Aku lahir di Kota Bima, kota yang terletak di bagian timur dari pulau Sumbawa. Sebagian besar masyarakat yang tinggal di Kota Bima bertani dengan menanam komoditas jagung dan tanaman keras lainnya. Hal ini disebabkan wilayah ini didominasi oleh gunung batu.
Ayahku sendiri seorang petani dan ibuku berjualan berbagai macam makanan sesuai pesanan orang. Sebagai anak pertama dari 9 bersaudara, dari kecil aku sudah disibukkan dengan merawat adik-adikku. Aku tidak pintar memasak namun aku selalu membantu pekerjaan ibu yang supersibuk dengan pesanan makanan dari banyak orang.
Sesibuk apapun aku membantu pekerjaan ibu dan merawat adik-adikku tetapi aku tidak pernah berhenti sekolah. Bagi orangtuaku sekolah itu penting supaya hidup menjadi lebih baik di masa depan dengan memiliki banyak pengetahuan. Kami 9 saudara dapat meluluskan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan satu adikku yang nomor 3 bahkan bisa sekolah lebih tinggi sampai menjadi seorang dokter.
Lingkungan tempat tinggalku masih sangat asri, di pekarangan rumah terdapat banyak pepohonan seperti jambu air, nangka, mangga hingga belimbing. Kami pun sering memakan buah hasil tanaman sendiri. Tidak hanya buah, tapi makanan seperti sayur dan nasi yang kami konsumsi juga dari hasil tanaman sendiri. Bahkan untuk lauk, seperti ikan, ayah sering mendapatkannya dari memancing di laut bersama adik lelakiku. Semua kebutuhan sehari-hari kami tidak perlu membeli.
Sedari kecil kami sudah terbiasa berbagi pekerjaan. Ayahku seorang laki-laki pekerja keras, beliau orang yang suka berbagi tugas dengan ibu di rumah. Suami yang selalu mengingatkan kebaikan-kebaikan kepada ibu meskipun kami hidup sederhana. Ayah adalah orang yang tidak pilih kasih terhadap anak-anaknya, ia selalu mengingatkan anak-anaknya untuk menjadi orang yang selalu jujur. “Jujur adalah pondasi dalam hidup,” kata-kata ayah yang selalu kami ingat dan menjadi pegangan kami. Begitu juga sosok ibu, di mataku ibu adalah perempuan yang tidak pernah mengeluh meskipun hidup dalam kekurangan dalam membesarkan 9 orang anak. Orangtuaku menjadi panutan sekaligus inspirasi dalam hidupku.
Berkumpul bersama dan saling bertukar pikiran serta berbagi cerita menjadi momen yang membahagiakan. Begitu pula ketika bersama anak-anakku, kami bercanda tawa dan berbagi banyak hal bersama. Itulah yang membuat keluarga menjadi hal penting dan berharga dalam hidupku. Meskipun tidak bisa dipungkiri hal berat juga terjadi dalam keluarga. Tantangan berat itu terjadi ketika aku menikah dan memiliki bayi. Belum lagi ketika tinggal bersama mertua, sebab kebetulan sekali mertuaku itu orang yang selalu ingin tahu semua yang kami lakukan dalam pengelolaan keuangan. Aku yang tidak bisa menerima perlakuan itu meminta suami untuk berbicara dengan ibunya. Sayangnya, suamiku tidak melakukannya. Aku merasa suamiku begitu tunduk dengan orangtuanya sehingga tidak berani untuk berkomunikasi. Aku pun memutuskan untuk pergi merantau ke Jakarta dan kemudian suami pun menyusul.
Akhir tahun 2003 aku melamar bekerja di sebuah perusahaan percetakan Swadarma yang ada di kawasan Pulo Gadung JIEP. Ketika itu aku dibawa oleh Oom yang juga bekerja di perusahaan tersebut. Sebelum di interview, Oom memberitahukan bahwa nanti pada saat di interview kalau ditanya apakah sudah berkeluarga atau tidak. Jawabnya tidak! Karena di perusahaan tersebut tidak menerima pelamar yang sudah berstatus berkeluarga dan aku tidak menanyakan apa alasannya ke Oom. Proses interview berjalan lancar, aku lolos dan dikontrak kerja tiga bulan pertama. Pekerjaanku saat itu sebagai buruh yang ngelem tiket pesawat. Menurutku targetnya masih biasa saja sebab masih bisa santai, ngopi, nyemil di jam kerja.
Hari hari berjalan seperti biasa. Suatu waktu ada teman kerja yang bertanya kepadaku “Itu yang antar-jemput kamu siapa?” dan dengan santai aku menjawab “Oh itu suamiku”. Sepulang kerja aku menceritakan kejadian tersebut kepada Oom, karena pada saat itu aku dan suami masih numpang tinggal di tempat rumah Oom. Aku kemudian diomeli karena berkata jujur, aku juga tidak tahu jika ada penyelidikan status buruh yang dilakukan oleh perusahaan. Akhir cerita, tiga bulan berlalu aku pun dipanggil pihak personalia, kontrak kerjaku tidak diperpanjang. Aku tidak diberitahu alasan tidak diperpanjang dan karena tidak mengerti apa-apa aku hanya menerima saja. Namun belakangan Oom memberitahukan bahwa itu disebabkan karena aku sudah berkeluarga.
Awal tahun 2004 suami ngajak untuk ke Jakarta Utara karena ada saudara suami di sana. Aku dan suami pamit ke Oom untuk pergi ke Jakarta Utara. Sesampainya di sana kami bertemu dengan saudara tersebut, mereka tinggal di kos-kosan yang berukuran 3 x 4 meter. Kami ditawari untuk menginap tapi kami bingung karena tempatnya kecil. Kami mengobrol dan bertanya apakah ada lowongan pekerjaan. Ternyata ada lowongan di tempat kerja tetangga kontrakan. Esoknya aku dibawa melamar kerja oleh tetangga saudara di salah satu pabrik garmen Kawasan Berikat Nasional (KBN) Cakung.
Singkat cerita aku diterima kerja di pabrik tersebut, namun karena aku belum punya pengalaman jadi aku ditempatkan di bagian pasang manik-manik dengan jarum tangan. Upahnya satu pieces baju Rp25.000. Hari pertama aku mengerjakan 8 pieces. Sayangnya tidak semua lolos Quality Control (QC), yang lolos QC hanya 4 pieces. Perasaanku sangat sedih sebab aku bekerja dari pukul 7 pagi hingga pukul 4 sore. Beda jauh dengan upah yang aku terima di perusahaan tempatku bekerja sebelumnya.
Hari kedua bekerja juga sama, hanya 5 pieces yang lolos. Sampai di kontrakan sepulang kerja aku cerita ke saudara begitu capeknya bekerja seperti itu. Saudaraku bingung, ingin membawaku kerja di garmen tapi yang banyak lowongan menjahit tapi aku tidak bisa menjahit. Esok harinya ada lowongan gosok (setrika) di tempat kerja saudara dan aku ditawarkan. Aku pun memutuskan untuk mengambil tawaran kerja tersebut.
Malamnya aku diajarkan cara mengosok baju seperti menggosok baju di dalam pabrik. Esoknya hari pertama aku bekerja sebagai tukang gosok di salah satu pabrik garmen di KBN Cakung Jakarta Utara. Akan tetapi, dua hari bekerja kakiku bengkak karena berdiri dari pukul 7 hingga pukul 4 sore. Aku sedih, menangis, dan meratapi perasaanku yang campur aduk saat itu. Tujuh hari kemudian aku dapat upah untuk 2 hari bekerja, awal-awal bekerja sangat sulit. Aku terus berusaha belajar untuk kerja yang bagus dan rajin sebab aku harus menanggung biaya hidup di Jakarta seperti biaya bayar kos, makan, air dan lain-lain.
Hari ke 7 bekerja aku di panggil personalia untuk tanda tangan kontrak kerja setahun. Aku sangat senang karena dapat kesempatan bekerja dengan upah yang sama dengan yang lain. Hari berganti hari, aku terus berusaha bekerja sebaik mungkin meskipun sering diomelin oleh atasan. Bahkan aku memanfaatkan waktu jam istirahat untuk belajar jahit, jaga-jaga kalau aku tidak diperpanjang kontrak. Terlebih lagi, aku bisa melamar di pabrik garmen di posisi jahit atau biasa disebut sewing.
Menjelang satu tahun bekerja aku terpilih menjadi buruh teladan karena tidak pernah absen dan kualitas kerja golongan terbaik. Akhirnya aku diangkat menjadi buruh tetap oleh direktur yang berwarga negara Korea. Sejak berstatus tetap aku tidak pernah lagi belajar menjahit, waktu jam istirahat aku manfaatkan untuk makan, salat dan tidur siang. Aku pun masih bekerja di pabrik garmen yang sama hingga sekarang.
Hal yang paling aku sukai adalah belajar dan bekerja. Dengan belajar aku dapat meningkatkan pengetahuan dan kapasitasku. Dengan begitu aku akan bisa menolong orang lain dalam hal apapun, juga dapat berjuang untuk mempertahankan hak kami di tempat kerja bersama teman-teman. Sama halnya dengan bekerja, aku sangat suka bekerja. Walaupun tidak bisa dipungkiri banyak tantangan yang aku hadapi di tempat kerjaku.
Tempat kerjaku tidak luput dari ragam bentuk kekerasan dan pelecehan berbasis gender (KPBG). Banyak atasan laki-laki sering berbicara kasar dan marah-marah kepada buruh yang dampaknya membuat terganggunya konsentrasi buruh ketika bekerja. Kasus lain yaitu buruh perempuan yang sudah lansia sering dikatai tidak becus bekerja, buruh perempuan dilecehkan dengan dicolek-colek tubuhnya hingga buruh perempuan hamil yang diputus kontrak.
Target adalah hal yang tidak bisa lepas dari kerjaku, di mana semua sudah ditentukan oleh atasan. Target pula yang membuat teman satu bagian menjadi terus berlomba-lomba untuk mencapainya padahal mereka sampai tidak bisa untuk sekadar minum atau ke toilet. Mereka menjadi takut untuk meninggalkan tempat kerja meski hanya sebentar. Belum lagi aku harus berhadapan dengan atasan yang diskriminasi dan lebih memilih buruh yang sering memberikan sesuatu. Walaupun aku tahu salah alasan buruh memberikan sesuatu ke atasan dalam rangka mempertahankan pekerjaan agar tetap diperpanjang kontrak kerjanya atau dipermudah mendapatkan pekerjaan.
Tantangan lain dalam kerjaku adalah sering dipindah-pindahkan bagian kerja atau diberikan pekerjaan yang sulit hanya karena aku dianggap pembangkang karena bergabung dalam organisasi. Bahkan kami yang berorganisasi seringkali menjadi tumbal perusahaan apabila order berkurang. Hal ini dikarenakan kami sering berterus terang kepada buyer apabila ada audit di perusahaan. Yang terburuk adalah secara sembunyi-sembunyi anggota kami diminta untuk mengundurkan diri dengan iming-iming tetap bekerja di pabrik.
Menyaksikan secara langsung segala bentuk KPBG di tempat kerja membuatku berani untuk melawan, bersuara dan berjuang bersama organisasi. Kami terus melakukan sosialisasi dan menegur langsung pelaku, dan mengingatkan manajemen untuk melakukan edukasi terhadap buruh. Kami melakukan perundingan dengan perusahaan terhadap Peraturan Kerja Bersama (PKB) yang banyak dilanggar oleh perusahaan. Penindasan dan intimidasi yang banyak kami alami membuat kami semakin bersemangat untuk bersuara dan berorganisasi.
Sedikit demi sedikit perubahan terjadi setelah kami melakukan advokasi. Teriakan terhadap buruh menjadi berkurang, pelecehan baik verbal dan nonverbal juga berkurang. Buruh perempuan hamil mendapatkan hak cuti melahirkan dan tetap berstatus buruh. Suap hingga pelecehan seksual juga berkurang. Advokasi ini tidak hanya terhadap diriku sendiri tetapi juga ke semua anggota dan buruh perempuan. Aku menjelaskan secara lugas bahwa tidak semua orang boleh dipegang, disentuh atau lainnya tanpa persetujuan dan menekankan bahwa itu adalah pelecehan. Maka ketika pelecehan seksual terjadi aku mendampingi anggota, pelaku langsung aku tegur dan pelaku meminta maaf.
Dengan percaya diri melakukan tindakan dan menyatakan bahwa itu adalah tidak benar. Meskipun masih banyak juga yang berpandangan bahwa aku bukan siapa-siapa, namun yang penting adalah tetap menunjukkan sikap dan posisi kita. Semua keberhasilan ini tentu saja di dukung oleh teman berjuang di organisasi. Jangan pernah menyerah dan berhenti adalah kunci. Mempertahankan kekompakan dan tetap solid dalam kolektif kerja.
Dalam semua kerja-kerjaku, melakukan pendampingan dan banyak orang yang tersadarkan menjadi salah satu momen ditegakkannya keadilan. Harapanku tentu saja dapat hidup dengan damai, nyaman dan aman dimanapun berada. Mampu berkarya, selalu sehat dan bisa menolong orang lain. Capek dan lelah tentu semua mengalami juga, hanya saja beda konteksnya. Mengambil jeda untuk beristirahat menjadi hal perlu untuk dilakukan sebab hidup terus berjalan.
#Tulisan ini merupakan bagian dari peringatan Hari Pemogokan Perempuan Internasional, yang diperingati tiap 8 Maret, yang disebut dengan HPI (Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day (IWD). HPI bermula dari pemogokan 15.000 buruh perempuan menuntut kenaikan upah dan pengurangan jam kerja di New York Amerika Serikat, pada 1908. Sejak 1910, konferensi perempuan internasional menetapkan setiap 8 Maret sebagai hari peringatan menuntut pemenuhan dan peningkatan hak buruh perempuan di berbagai negara. Kami mengundang para buruh, aktivis maupun pengamat perburuhan menulis dengan bebas dan kreatif seputar pemenuhan dan pemajuan hak-hak perempuan.