Belakangan ini mulai banyak membahas mengenai keberadaan NGO, khususnya tentang hak-hak dari aktivisnya atau pekerjanya. Persoalan ketimpangan gaji, sampai hak-hak yang tidak dipenuhi sebagaimana kasus Cakra Wikara Indonesia (CWI) menjadi topik yang sedang banyak diperbincangkan oleh para aktivis. Beberapa kasus pernah terjadi, semisal jika merujuk perselisihan kerja, dari LBH Yogyakarta sampai WALHI pernah dalam situasi demikian, seperti yang dituliskan oleh Salsabila Khairunisa dalam risetnya “Aktivis Atau Pekerja: Memetakan Posisionalitas Anggota NGOs dalam Konjungtur Rezim Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia.”
Saat ini NGO menghadapi dilema yang mendalam, di satu sisi harus mempertahankan semangat idealisme perjuangan rakyat dan di sisi lainnya harus memenuhi tuntutan administratif dan profesionalisasi yang semakin kompleks, begitulah yang penulis rasakan selama bergelut di dunia per-NGO-an yang keras ini.
Membaca dua artikel sebelumnya yakni “Untuk Siapa Anda Bekerja?” oleh Oman Burnawi dan “NGO, Industrialisasi Perlawanan, dan Serikat Buruh: Saat Gerakan Dibajak oleh Proposal” oleh Abdul Qodir. Keduanya menyuarakan kritik yang sebenarnya saling melengkapi, namun setelah membacanya akan mengundang pertanyaan penting mengenai arah gerakan itu sendiri.
Birokratisme: Industrialisasi Perlawanan dan Profesionalisasi
Membaca artikel “Untuk Siapa Anda Bekerja?”, Oman Burnawi menyampaikan kritiknya atas fenomena birokratisme dalam NGO. Ia menyoroti bagaimana istilah-istilah seperti “pekerja NGO” yang cenderung akademis dan elit telah menggantikan identitas perjuangan rakyat. Menurutnya, praktik administrasi yang berlebihan—yang mengutamakan laporan, indikator, dan konsep theory of change
Konsep tersebut lekat dengan logical framework atau kerangka kerja khas NGO, harus ada objective, intermediate objective dan istilah rumit lainnya, bahkan ada konsep ESG atau sebelumnya SMART. Keberadaan konsep-konsep itu telah menggeser fokus gerakan dari yang seharusnya menguatkan rakyat menjadi sekadar memenuhi target-target donor. Kritik ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah struktur yang ada benar-benar melayani kepentingan rakyat atau justru mendukung kepentingan birokrasi dan kapital?
Sejalan dengan itu Abdul Qodir, dalam artikelnya, tidak hanya mengulangi kritik atas birokratisme, tetapi juga mengungkap dimensi lain dari permasalahan internal NGO—yakni proses industrialisasi perlawanan. Ia menunjukkan bahwa selain terjebak dalam rutinitas administratif, NGO kini semakin bergeser ke arah struktur yang profesional. Fokus pengelolaan proposal dan target donor mendorong adopsi hierarki internal, kontrak kerja, serta standar pendidikan yang ketat.
Kondisi tersebut menyebabkan kesenjangan antara elit manajerial yang menikmati kompensasi lebih tinggi dan pekerja garis depan yang harus menangani beban administratif serta pelaporan yang kompleks. Karena itu, Qodir mempertanyakan apakah gerakan yang semakin terstruktur secara profesional masih mampu mewakili aspirasi kolektif rakyat atau justru mengukuhkan dominasi elit yang menjauhkan NGO dari semangat perjuangan asli.
Menjawab Kritik: Mencari Jalan Pembahasan
Merespons kedua kritik tersebut, penulis perlu mengakui bahwa dilema NGO bukanlah masalah yang sederhana, namun cukup rumit. Di satu sisi, tuntutan transparansi dan akuntabilitas—yang muncul dari ketergantungan pada dana hibah dan donasi—mewajibkan penerapan sistem administrasi dan struktur profesional yang kuat. Hal ini penting agar program-program yang dijalankan dapat dipertanggungjawabkan kepada donatur dan publik. Namun, di sisi lain, jika struktur ini terlalu mendominasi, maka nilai-nilai dasar aktivisme, yaitu keberanian untuk melawan ketidakadilan dan menguatkan rakyat, akan terkikis dari progresif menjadi pragmatis.
Silahkan dilihat pola pemberian per diem atau uang yang membuat rakyat melihatnya sebagai peluang ekonomi, yang secara psikologis membentuk mental “setiap ada NGO pasti akan ada uang,” atau ketika ada pihak luar datang pasti akan membawa rezeki. Kemudian soal perlawanan yang lebih banyak diarahkan ke jalur legal dan jalur-jalur yang sifatnya mengarah ke depolitisasi, menjauhkan dari analisis ekonomi politik, yang melemahkan cara pandang perjuangan, di mana hanya sebatas menggantungkan pada rezim, yang kita tahu sudah bobrok dan perlu diruntuhkan.
Sebagai catatan bahwa kritik Oman Burnawi, perlu ditekankan jika penggunaan istilah “pekerja NGO” seharusnya tidak menjadi label yang mengasingkan identitas perjuangan. Identitas seorang aktivis harus tetap diwarnai oleh semangat untuk berjuang bagi rakyat, meskipun ia juga harus menjalankan fungsi administratif. Akan tetapi, bahasa dan budaya organisasi perlu direvitalisasi agar tetap relevan dengan konteks perjuangan sehari-hari, tanpa harus mengorbankan profesionalisme yang diperlukan untuk keberlangsungan program.
Sementara itu, merespons kritik Abdul Qodir mengenai industrialisasi perlawanan, tantangannya adalah menemukan keseimbangan antara efisiensi operasional dan keberpihakan kepada rakyat. Profesionalisasi tidak harus berarti mengesampingkan nilai kolektif. Sebaliknya, sistem yang transparan dan akuntabel harus dirancang sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kesenjangan internal yang signifikan. Pengelolaan dana dan struktur organisasi seharusnya membuka ruang bagi partisipasi aktif dari seluruh lapisan—meniadakan elitisme dan birokratisme yang “toxic”—agar setiap keputusan benar-benar mencerminkan aspirasi perjuangan kolektif.
Harus Ada Perbaikan di Tubuh NGO
Pertanyaan mendasar “Apakah pekerja NGO adalah aktivis atau pekerja profesional?” mencerminkan kompleksitas yang harus dihadapi oleh setiap organisasi di era saat ini. Jawaban atas pertanyaan tersebut tidak bersifat hitam-putih. Idealnya, NGO harus mampu mengintegrasikan kedua identitas tersebut: mengadopsi standar profesional yang tinggi untuk menjaga kelangsungan operasional, sekaligus menanamkan nilai-nilai dasar aktivisme yang berakar pada keberanian dan solidaritas rakyat.
Evaluasi internal dan dialog kritis antar anggota harus menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika organisasi. Dengan pendekatan yang inklusif, NGO dapat merevitalisasi visi dan misi mereka sehingga tidak hanya menjadi alat administratif untuk memenuhi target donor, melainkan juga sebagai wahana penguatan dan supporting rakyat yang sejati. Pembangunan struktur yang demokratis dan partisipatif—misalnya melalui wacana mendukung keberadaan serikat pekerja NGO atau membuka ruang forum pekerja NGO—dapat menjadi salah satu cara untuk menyeimbangkan kekuatan antara elit dan pekerja garis depan, sekaligus menjaga agar semangat perlawanan tetap hidup.
Sebagai penutup, kritik yang dilontarkan oleh Oman Burnawi dan Abdul Qodir memberikan gambaran yang komprehensif mengenai dilema yang dihadapi oleh NGO di Indonesia. Sementara kritik atas birokratisme mengingatkan kita agar tidak melupakan akar perjuangan sosial, kritik terhadap industrialisasi perlawanan menuntut agar struktur profesional dalam NGO tidak mengaburkan esensi gerakan, bahwa NGO harusnya menjadi pendukung gerakan rakyat.
Jawaban atas kedua kritik ini terletak pada upaya mencari titik keseimbangan—di mana semangat idealisme dan nilai-nilai dasar aktivisme tetap terjaga, sehingga hemat penulis, memang dalam situasi yang pelik ini harus dapat beradaptasi dengan tuntutan administrasi dan transparansi yang menjadi syarat keberlanjutan program. Atau memang ada alternatif lain, yakni membuat organisasi yang lepas dari donor, agar independen, meskipun harus tetap belajar soal profesionalitas pengelolaan organisasi dan administrasi sebagai jawaban atas transparansi serta akuntabilitas kepada publik.
Masa depan NGO haruslah menjadi sebuah ruang dinamis yang mampu mengakomodasi dualitas identitas, sebagai bagian dari gerakan yang “seharusnya” autentik sekaligus sebagai organisasi dapat menjalankan apa itu transparansi, akuntabilitas dan partisipatif. Hanya dengan pendekatan yang seimbang, NGO dapat tetap relevan dan efektif dalam melayani kepentingan rakyat, tanpa terjebak dalam jerat birokrasi dan dominasi kapital yang mengikis semangat perlawanan.
Jika Anda menikmati membaca cerita ini, maka kami akan senang jika Anda membagikannya!