Nama saya Rizky, biasa dipanggil Rocky. Saya adalah satu dari 2.175.928 buruh[1] yang menjadi korban pemecatan semena-mena perusahaan, pada masa pandemi Covid-19. Sebelum dipecat, saya bekerja di perusahaan penyedia jasa katering untuk maskapai penerbangan, di Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Soetta), dengan status kerja sebagai buruh alih daya atau outsourcing.
Bagi saya, pemecatan sesuatu yang menyakitkan. Sebab, pemecatan bukan sekadar kehilangan pekerjaan, tapi juga memutus masa depan dan segala harapan hidup buruh. Apalagi rezim negara hari ini tak mampu memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, seperti tempat tinggal, pendidikan dan kesehatan. Satu-satunya cara untuk bertahan dan membangun harapan hidup adalah dengan bekerja. Sialnya, lapangan kerja yang tersedia makin terbatas dan makin rentan dipecat. Orang-orang menyebut kerentanan itu disebabkan oleh kebijakan pasar kerja yang makin fleksibel.
Kondisi di atas, mendorong kesadaran saya, sebagai buruh, harus berserikat. Setidaknya, dengan berserikat kesulitan-kesulitan dapat dimudahkan dengan solidaritas; kesewenang-wenangan perusahaan dan negara dapat dilawan dan dihadapi dengan kekuatan bersama; dan yang terpenting bagi saya, dengan berserikat saya tidak merasa sendirian hidup di bawah rezim pasar kerja fleksibel dan negara yang tiran terhadapteradap rakyatnya.
Melalui tulisan ini, saya akan menceritakan pengalaman saya sebagai buruh outsourcing yang berjuang bersama Serikat Buruh Gerakan Buruh Katering (SB-GEBUK)[2] melawan pemecatan dan menuntut hak kami. Meskipun kasus pemecatan kami sudah diputus inkrah oleh Mahkamah Agung, hingga hari ini kami masih berjuang mendapatkan hak kami atas pesangon. Dalam tulisan ini saya akan menceritakan bagaimana pemecatan massal yang saya alami, diperjuangkan selama tiga tahun hingga akhirnya meraih kemenangan di Mahkamah Agung.
Pemecatan Massal Buruh Katering Bandara
Kisah perlawanan terhadap pemecatan saya, dimulai ketika perusahaan outsourcing bernama PT. Nur Hasta Utama (PT NHU) ‘mengaku’ diperintahkan PT Aerofood Indonesia[3] –sebagai perusahaan pemberi kerja– yang melakukan efisiensi dengan kebijakan pemecatan massal. Kebijakan kejam tersebut merupakan upaya perusahaan menghindari kerugian karena dampak ekonomi akibat pagebluk Covid-19. Dengan kalimat lain: Agar tetap mempertahankan keuntungan, perusahaan menumbalkan buruh yang paling lemah, yaitu buruh outsourcing. Pemecatan dilakukan pada 24 Maret 2020. Total buruh yang dipecat sebanyak 800 orang. Saya adalah salah satu dari 800 buruh tersebut.
PT. Nur Hasta Utama merupakan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja untuk PT. Aerofood Indonesia dan International Service System (ISS). Perusahaan ini didirikan pada 2013. Alamat kantor PT. NHU, terletak di Jl. Marsekal Surya Dharma No.99, Kota Tangerang. Alamat tersebut berada di dalam kawasan Bandara Soekarno-Hatta. PT. NHU merupakan salah satu unit usaha dari Koperasi Karyawan (Kopkar) Angsana Boga. Keanggotaan Kopkar tersebut adalah para buruh PT. Aerofood Indonesia yang berstatus tetap. Singkatnya, Kopkar Angsana Boga mengembangkan unit usaha dengan mendirikan perusahaan penyedia jasa outsourcing, untuk mensuplai buruh di perusahaan tempat para anggota koperasi tersebut bekerja.
Umum diketahui, sejak diterapkannya konsep pasar kerja fleksibel, yang ditandai dengan munculnya lembaga-lembaga penyedia jasa calon tenaga kerja, banyak koperasi karyawan menjelma atau mengembangkan unit usahanya menjadi lembaga atau perusahaan penyalur calon tenaga kerja. Meskipun tujuannya untuk pengembangan bisnis koperasi, namun pertanyaan penting untuk diajukan adalah: Apa yang memungkinkan Kopkar tersebut berperan sebagai penyedia tenagatentaga kerja?
Dalam sebuah artikel yang pernah saya baca, ketika pelamar kerja berhadapan dengan penyalur jasa tenaga kerja, para penyalur tersebut adalah aktor-aktor yang memiliki akses informasi lowongan kerja (Tjandraningsih, dkk, 2010). Jika dilihat dari struktur pengurus koperasi Angsana Boga, sebagian besar dari mereka adalah orang-orang penting di PT Aerofood Indonesia. Dari sini, dapat dipastikan para pengurus Kopkar Angsana Boga tersebut memiliki informasi tentang kebutuhan tenaga kerja di PT Aerofood Indonesia. Dengan modal akses terhadap informasi kebutuhan tenaga kerja yang didukung dengan model pasar kerja fleksibel, para pengurus tersebut melihat peluang bisnis yang menguntungkan jika mendirikan unit usaha jasa penyedia calon tenaga kerja. Dua hal itulah yang memungkinkan Kopkar Angsana Boga mendirikan badan hukum perusahaan bernama PT. NHU dan berperan sebagai “calo tenaga kerja resmi” untuk PT Aerofood Indonesia.
Sebagai entitas bisnis, secara resmi PT. NHU dan PT. Aerofood Indonesia membangun kontrak kerjasama untuk mensuplai buruh outsourcing. Sejak kerjasama ditandatangani, secara bertahap buruh di PT. Aerofood Indonesia banyak yang berstatus outsourcing. Pada 2020, jumlah buruh outsourcing di PT. Aerofood Indonesia mencapai 60 persen. Semua buruh outsourcing tersebut disuplai oleh PT. NHU.
Penggunaan buruh outsourcing kerap menuai perdebatan panjang. Para penganut pasar kerja fleksibel selalu punya pembenarannya. Di luar perdebatan itu, fakta di lapangan, kondisi kerja buruh outsourcing buruk, jam kerja panjang, upah murah, dan sama sekali tidak memiliki jaminan atas keberlangsungan kerja. Setidaknya itu yang saya dan 800 buruh PT. NHU alami ketika menjadi buruh outsourcing. Dengan kerentanan tersebut, perusahaan dengan mudah memecat kami ketika gejolak krisis ekonomi yang disebabkandi sebabkan Pandemi Covid-19 pada 2020.
Kebijakan efisiensi di PT. Aerofood Indonesia berdampak pada pemutusan kontrak kerja sama dengan PT. NHU. Pemutusan kerjasama tersebut berarti pemecatan buruh PT Aerofood Indonesia yang disuplai oleh PT. NHU. Sampai sini, kita bisa menilai siapa yang paling diuntungkan dan siapa yang paling dirugikan dari sistem kerja outsourcing?!
Melawan PemecatanGEBUK
Sebagaimana yang saya tuliskan di awal, saya terlibat dalam serikat buruh. Bahkan, sejak 2017, saya terlibat dalam pembentukannya dan kemudian menjadi pengurus SB GEBUK. Jumlah anggota serikat saat itu, sekitar 500 orang. Semua anggota SB GEBUK tersebut adalah buruh outsourcing yang dipekerjakan di PT Aerofood Indonesia.
Ketika mendengar kabar tentang kebijakan efisiensi yang diindikasikan akan berujung pada pemecatan massal buruh outsourcing di PT. Aerofood Indonesia, kami sebagai pengurus segera melakukan koordinasi untuk mengadakan rapat pengurus. Keputusan rapat saat itu adalah serikat akan melakukan perundingan bipartit dengan manajemen PT. NHU. Perundingan tersebut sebagai respon cepat serikat terhadap isu pemecatan massal yang banyak dikhawatirkan oleh buruh. Perundingan pun berlangsung di hari yang sama, ketika pemecatan diumumkan. Melalui perundingan, pengurus GEBUK mendesak perusahaan membatalkan pemecatan dan meminta PT NHU untuk mengambil langkah lain yang tidak menumbalkan buruh. Sayangnya, perusahaan ngotot, tetap akan mengorbankan buruh. Perundingan buntu, tak mencapai kesepakatan alias deadlock.
Malam setelah perundingan, pengurus menggelar ‘rapat akbar’[4] di kawasan Sekretariat FSPBI di Kota Tangerang. Selain untuk mengumumkan ke anggota tentang hasil perundingan yang deadlock, rapat akbar juga sebagai upaya untuk melibatkan anggota dalam menyusun rute perjuangan selanjutnya. Rapat akbar yang dihadiri sekitar 300 orang anggota tersebut menyepakati akan melakukan aksi massa di halaman kantor PT. Aerofood Indonesia, pada 30 Maret 2020. Tuntutan yang disepakati pun masih sama: Mendesak perusahaan untuk membatalkan pemecatan massal, apapun alasannya!
Rapat akbar juga menyepakati tentang strategi agar aksi protes. Strategi tersebut untuk mengantisipasi agar tidak dihadapkan dengan otoritas keamanan bandara. Sebagaimana diketahui, sejak 2004, Bandara Internasional Soekarno-Hatta telah ditetapkan sebagai salah satu Objek Vital Nasional (Obvitnas) dan pada 2016 dikukuhkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Status Obvitnas dan PSN tersebut melegitimasi pelarangan kegiatan aksi massa, seperti demonstrasi di area bandara ditambah pula pada saat itu situasi sedang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pandemi Covid. Untuk menyiasati hal tersebut, pertama aksi tidak perlu diberitahukan ke pihak manapun. Kedua, agar tidak mengesankan aksi demonstrasi, kami tidak menggunakan atribut-atribut yang dapat diasosiasikan sebagai kegiatan aksi demonstrasi. Seperti, bendera, poster, spanduk dan mobil komando. Ketiga, Kami tidak datang dengan bersamaan, tanpa orasi, apalagi baris-berbaris. Kami datang secara bergantian dan tidak lebih dari 3 orang. Aktivitas ketika berkumpul hanya duduk dan ngopi di depan kantor PT. Aerofood Indonesia. Keempat, setelah massa berkumpul, pengurus serikat yang ditugaskan akan menemui pihak manajemen untuk mengajak berunding kembali. Aksi ini kami sebut dengan aksi diam.
Singkat cerita, aksi diam berlangsung dengan massa anggota yang terlibat sekitar 400 orang. Aksi dimulai pukul 09.00 pagi. Beberapa regu pertama datang, kemudian regu yang lain menyusul secara bergantian. Sekitar 30 menit berlangsung, massa anggota serikat sudah memenuhi halaman kantor PT. Aerofood Indonesia. Mereka berkumpul membentuk beberapa lingkaran. Hari itu massa hanya berkumpul, tanpa riuh suara orasi maupun yel-yel. Sementara saya dan beberapa orang pengurus berusaha menemui manajemen PT. NHU untuk mengajak kembali berunding terkait kebijakan pemecatan massal.
Sialnya, setelah 1 jam berunding, pihak PT. NHU tetap keras kepala. Mereka akan tetap mengambil langkah pemecatan massal. Satu-satunya alasan yang dilontarkan perusahaan: pemecatan merupakan perintah dari PT. Aerofood Indonesia sebagai pemberi kerja, dan akan dilakukan secara bertahap. Hari itu, untuk kedua kalinya perundingan kami deadlock akan tetapi menghasilkan sebuah penawaran berupa uang santunan untuk para buruh oleh Managemen tapi yang didapat variatif sesuai masa kerja. Karena, disaat perundingan pertama tidak menghasilkan apa-apa. Lalu, Kami keluar menemui massa anggota dan mengumumkan perundingan tak menemukan kesepakatan. Kami pun membubarkan diri, sebelum pihak otoritas bandara membubarkan kami. Apalagi saat itu pemerintah menghimbau tidak boleh berkerumun untuk menghindari penyebaran virus covid-19. Kami sebagai pengurus berpikir membubarkan diri adalah jalan terbaik, ketimbang harus berurusan dengan aparat. Kami pun memberikan penjelasan itu dengan memastikan ke anggota bahwa, kita akan mengatur ulang strategi untuk melawan.
Pengabaian hak berunding
Minggu pertama April 2020, kami kembali menggelar rapat akbar. Selain anggota dan pengurus, rapat akbar kali ini juga dihadiri oleh beberapa orang dari pengurus Federasi Serikat Pekerja Bandara Indonesia (FPBI) [5]. Dengan melibatkan FSPBI dalam rapat akbar, setidaknya kami mendapatkan dukungan dan solidaritas yang lebih luas. Untuk diketahui, SB GEBUK adalah salah satu dari 6 serikat buruh yang mendeklarasikan pendirian FSPBI, pada 19 September 2019. Rapat akbar pun memutuskan perjuangan melawan pemecatan massal akan ditempuh dengan menggunakan mekanisme perselisihan hubungan industrial. Dalam pertemuan itu, FSPBI menyatakan akan mendukung dan membersamai secara penuh perjuangan SB GEBUK dalam melawan pemecatan massal sepihak. Rapat itu juga memutuskan untuk membentuk tim advokasi secara khusus.
Langkah pertama yang kami lakukan adalah memastikan kejelasan status hubungan kerja kami –buruh outsourcing– dengan PT. Aerofood Indonesia sebagai pihak pemberi kerja. Dalam analisis kami, mestinya kami telah diangkat sebagai pekerja tetap. Selain karena kami bekerja dalam bagian inti produksi, masa kerja rata-rata buruh outsourcing di PT Aerofood Indonesia lebih dari 4 tahun. Berdasar kedua analisis tersebut, kami melaporkan temuan ini kepada pengawas ketenagakerjaan.
Benar saja, pada April 2020, pengawas ketenagakerjaan mengeluarkan nota pemeriksaan khusus yang menyatakan bahwa: “Demi hukum buruh alih daya beralih status menjadi buruh tetap di PT. Aerofood Indonesia”. Sayangnya, pihak PT. Aerofood Indonesia mengabaikan nota khusus yang dikeluarkan oleh pengawas ketenagakerjaan. Dari sini kita bisa menilai, perusahaan telah melanggar Undang-undang. Selain melanggar penggunaan buruh outsourcing, perusahaan juga mengabaikan negara yang direpresentasikan dari sikap pengabaian terhadap nota pemeriksaan khusus yang dikeluarkan oleh Pengawas Ketenagakerjaan Provinsi Banten.
Dengan bekal nota pengawas ketenagakerjaan tersebut, kami mengajukan perundingan bipartit dengan kedua perusahaan, yaitu: PT. NHU dan PT. Aerofood Indonesia. Sayangnya, permintaan untuk perundingan bipartit tidak ditanggapi oleh pihak perusahaan. Baik dari pihak PT. NHU maupun PT. Aerofood Indonesia. Lagi-lagi perusahaan telah melanggar hak kami sebagai serikat untuk berunding. Dalam banyak analisis hukum, penolakan perundingan dari serikat dapat dikategorikan sebagai tindakan union busting. Sebab hak berunding tidak bisa dipisahkan dari hak berserikat.
Melawan di Pengadilan
Sebagaimana mekanisme perselisihan hubungan industrial, jika dalam perundingan bipartit kasus tidak terselesaikan, langkah selanjutnya adalah dengan membawa kasus ini ke Dinas Ketenagakerjaan untuk dimediasikan secara tripartit. Singkat cerita, empat kali proses mediasi di Disnaker Kota Tangerang, pihak perusahaan tidak pernah hadir alias mangkir. Alhasil, pada Juni 2020, mediator Disnaker Kota Tangerang mengeluarkan anjuran sebagai syarat sah untuk menggugat perusahaan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Situasi yang demikian mendorong kami untuk menggugat perusahaan ke PHI.
Selama berproses di PHI, saya banyak belajar tentang advokasi litigasi. Beberapa hal yang saya pelajari diantaranya: Bagaimana menyusun argumen yang kuat untuk menggugat perusahaan; menentukan subjek tergugatnya; mengaitkan tindakan perusahaan dengan pelanggaran terhadap pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan; menyiapkan bukti atas gugatan; hingga menyiapkan saksi-saksi yang menguatkan.
Proses menyiapkan gugatan berlangsung selama 4 bulan. Meskipun dengan waktu yang cukup lama untuk menyiapkan berkas gugatan, pada November 2020 akhirnya kami berhasil mendaftarkan gugatan kasus kami di PHI Kota Serang. Kasus ini kami kuasakan ke FSPBI dengan pertimbangan bahwa SB GEBUK belum memiliki pengalaman beracara di PHI. Keputusan mengkuasakan kasus, kami putuskan bersama dengan melibatkan anggota.
Dalam menangani kasus, FSPBI dibantu oleh bung Ari dan bung Tomi. Mereka berdua adalah pengacara yang kami berikan kuasa untuk membela kami di persidangan. Pihak yang kami gugat ada tiga, yaitu: PT. Aerofood Indonesia sebagai pemberi kerja, PT. HNU sebagai penyedia jasa tenaga kerja, dan Kopkar Angsana Boga.
Proses persidangan di PHI cukup melelahkan dan memakan waktu lama: 217 hari atau hampir 7 bulan. Selain jarak tempuh yang cukup jauh mengharuskan kami bolak-balik ke persidangan, juga proses persidangan banyak mengalami kendala penundaan, karena situasi Pandemi Covid-19. Sialnya, setelah menanti lama, keputusan hakim menyatakan gugatan kami dinyatakan NO (niet ontvankelijke verklaard) alias cacat formil. Dua alasan hakim memutus NO dalam gugatan kami didasarkan pada eksepsi dari ketiga tergugat. Pertama, dalam perundingan bipartit, pihak Kopkar Angsana Boga tidak dilibatkan. Kedua, menurut hakim Kopkar Angsana Boga merupakan badan usaha yang berbentuk Koperasi tidak sepatutnya digugat dalam mekanisme perselisihan hubungan industrial di PHI. Hakim memutuskan perkara kami pada pertengahan Juni 2021.
Hari itu, beberapa anggota GEBUK beserta kuasa hukum keluar ruang sidang dengan mimik muka yang sangat kecewa. Situasi hari itu lumayan terik dibanding hari biasa, tetapi rasanya bukan hanya membakar kulit, namun juga emosi. Beberapa kawan yang pada saat sidang putusan berada di luar ruangan antusias, menghampiri dengan maksud menanyakan hasil.
“Gimana putusannya??,” ucap salah satu anggota. Salah satu kuasa hukum memberanikan diri menjelaskan putusannya “Kawan-kawan silahkan berkumpul disini..” ucap kuasa hukum menunjuk tempatnya berdiri di depan Pengadilan Negeri Serang, dibarengi respon anggota dengan mendekatinya.
Saat itu kuasa hukum menjelaskan hasil putusannya sembari tetap memberikan semangat kepada anggota SB GEBUK. Berbagai respon muncul melalui mimik wajah dari beberapa anggota, bahkan ada yang tidak melanjutkan untuk menyimak penjelasan kuasa hukum agar mengurangi rasa kecewa. Bayangkan, setelah mengetahui hasil putusan yang tidak menggembirakan itu, kami harus pulang ke Tangerang dengan berkendara sepeda motor. Perjalanan tersebut memakan waktu sekitar 2 jam. Pengurus SB GEBUK sangat memahami perasaan anggota, akhirnya ditengah perjalanan meminta waktu untuk beristirahat. Di momen inilah kami di kepengurusan menjelaskan serta meyakinkan anggota terkait gambaran ke depan langkah organisasi. Mayoritas dari anggota sepakat dan tetap berkomitmen pada perjuangan organisasi.
Pembahasan terkait strategi taktik dibahas lebih detail di rapat akbar, tepatnya beberapa hari setelah putusan dibacakan. Tidak berbeda hasil pada rapat akbar yaitu anggota sepakat dan tetap akan berkomitmen pada perjuangan, walaupun pada prosesnya harus melalui beberapa pendiskusian. Namun tantangan terjadi pada proses selama persiapan menuju ke PHI part 2. Beberapa anggota mengkonfirmasi keluar dari keanggotaan GEBUK dengan beberapa alasan: Aerofood terlalu kuat untuk kita lawan, ada juga yang mendapatkan tawaran kerja kembali di Aerofood. Selain anggota yang keluar ada juga yang menghilang tanpa kabar. Hal inilah yang membuat perjuangan waktunya berlangsung lama karena pada prosesnya penuh dengan dinamika, hingga jumlah terakhir anggota yang terlibat sebagai penggugat tersisa 100 orang.
Belajar dari putusan NO tersebut, pengurus FSPBI dan kuasa hukum kami (Ari dan Tomi) menyarankan kami untuk menggugat kembali perusahaan dan kami pun sepakat karena perjuangan tetap harus dilanjutkan meskipun harus mulai dari awal lagi.
Ya, kami mulai dari awal lagi! Kami melakukan perundingan bipartit, mediasi triparti di Disnaker hingga terbitnya anjuran sebagai syarat untuk kami mengajukan gugatan di PHI. Proses bipartit kali ini, kami melibatkan Kopkar Angsana Boga sebagaimana putusan hakim pertama. Karena kami menargetkan tiga tergugat, sebagai strateginya, kami memisahkannya menjadi dua upaya pengajuan perundingan: Pertama pengajuan perundingan bipartit dengan PT. Aerofood Indonesia dengan fokus pada tuntutan agar PT Aerofood Indonesia menjalankan nota pemeriksaan khusus yang dikeluarkan oleh Pengawas Ketenagakerjaan Provinsi Banten. Sementara permohonan bipartit kedua, dengan PT. NHU dan Kopkar Angsana Boga, dengan tuntutan agar memberikan sisa kontrak kerja selama 3 bulan.
Namun, lagi-lagi upaya perundingan bipartit maupun mediasi tripartit di Disnaker selalu diabaikan, baik oleh PT. Aerofood Indonesia, PT. NHU dan Kopkar Angsana Boga. Kami pun tak mempedulikan ketidakhadiran mereka. Bagi kami, yang terpenting adalah kami telah menempuh mekanisme perselisihan hubungan industrial dengan cara yang benar.
Dalam perjalanannya, kami mengantongi dua anjuran: Pertama, anjuran terkait perselisihan hak dengan PT NHU dan Koperasi yang dikeluarkan pada akhir Desember 2022. Anjuran itu berisi PT. NHU dan Kopkar Angsana Boga harus membayarkan sisa kontrak kerja selama 3 bulan kepada buruh. Sementara anjuran kedua dikeluarkan pada pertengahan Januari 2022. Anjuran kedua menyatakan PT Aerofood Indonesia harus mempekerjakan kembali buruh yang dipecat secara sepihak oleh PT. Aerofood Indonesia dengan peralihan status menjadi buruh tetap. Berdasarkan isi anjuran kedua tersebut, kami sebagai pengurus berinisiatif meminta kepastian hukum lebih lanjut ke Pengawas Ketenagakerjaan agar mencantumkan nama dan identitas dari 200 orang anggota SB GEBUK yang masih ingin melanjutkan perjuangannya ke PHI. Salinan akta nota khusus tersebut keluar pada akhir Maret 2022.
Agar memiliki kekuatan hukum, kami harus membawa nota pemeriksaan khusus tersebut ke Pengadilan Negeri (PN) Serang, untuk mendapatkan pengesahan. Di PN Serang, kami menghadapi beberapa kendala, seperti administrasi dan birokrasi yang berantakan dan berbelit. Hal itu berpengaruh pada lamanya waktu kami mendapatkan pengesahan. Bayangkan saja, untuk mendapatkan pengesahan, kami harus bolak-balik ke PN Serang lebih dari 3 kali dan harus menunggu lebih dari 3 bulan. Proses berbelit ini tidak saja merugikan, tapi juga tidak ramah terhadap orang kecil seperti buruh yang memiliki keterbatasan waktu dan finansial.
Setelah mendapatkan salinan nota pengawasan yang sudah memiliki kekuatan hukum, kami mulai memikirkan cara agar perusahaan menjalankan nota pemeriksaan khusus pengawas tersebut. Cara yang kami sepakati adalah menyurati Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) untuk memfasilitasi kasus kami. Kemnaker diharapkan dapat memanggil dan menjadi mediator antara SB GEBUK dengan pihak dari PT. Aerofood Indonesia, PT. NHU dan Kopkar Angsana Boga. Pada Akhir Juli hingga pertengahan Agustus 2022, kami telah dua kali mengirimkan surat ke Kemnaker. Sialnya, surat kami tak direspon dan tak berbalas. Lagi-lagi kami diabaikan!
Titik Terendah Perjuangan
Perjalanan kami mengurus kasus sudah hampir 2 tahun belum menampakkan hasil. Sebaliknya, proses advokasi malah menguras banyak waktu, pikiran dan bahkan finansial kami. Hal ini yang membuat banyak kawan-kawan kami terpaksa menyerah dan mundur dalam perjuangan. Beberapa kawan yang memiliki tanggungan keluarga, dituntut harus mencari pekerjaan baru. Alhasil, mereka tak punya waktu lagi untuk melakukan kerja-kerja perjuangan.
Tak hanya itu, pihak perusahaan juga melakukan pelemahan perjuangan kami. Perusahaan menyebar iming-iming kepada anggota SB GEBUK: Perusahaan akan dipekerjakan lagi sebagai buruh harian lepas di PT. Aerofood Indonesia, asalkan tidak terlibat dalam perjuangan, perusahaan menyarankan agar anggota menarik kuasa atas gugatan perusahaan. Bentuk lain dari upaya pelemahan perusahaan adalah mengintimidasi anggota SB GEBUK dengan cara menyebarkan isu bahwa anggota yang terlibat menggugat perusahaan tidak akan diterima kerja alias di-blacklist di semua perusahaan yang ada di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Dari awal total 200 anggota yang menyatakan siap berjuang sebagai penggugat, karena adanya pelemahan dari perusahaan kemudian tersisa hanya 100 orang.
Dari perjalanan yang panjang berjuang menuntut hak dengan berbagai dinamikanya, saya makin sadar bahwa pengusaha memanfaatkan berbagai keterbatasan buruh untuk melemahkan gerakan kami. Pengabaian, intimidasi hingga, iming-iming yang dilakukan oleh perusahaan adalah bentuk upaya pelemahan kejam terhadap kami.
Mengatasi hal itu pengurus SB GEBUK melakukan beberapa cara, seperti: Diskusi rutin setiap bulan dalam bentuk rapat akbar, publikasi-publikasi media sosial, serta menghidupkan forum pendiskusian di whatsapp grup, dengan aktif mengabarkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan SB GEBUK dan yang tak kalah penting, melibatkan anggota pada kegiatan-kegiatan di FSPBI sebagai anggota afiliasi.
Bangkit untuk Meraih Kemenangan
Setelah melakukan upaya penguatan-penguatan terhadap anggota, kami memulai lagi membicarakan penyusunan gugatan di PHI. Bersama bung Tomi sebagai kuasa hukum, kami kembali menyiapkan berkas dan dokumen. Kami juga harus kembali merapikan administrasi anggota yang berantakan karena dampak menyusutnya jumlah anggota. Kami juga menyiapkan surat kuasa baru dengan mengumpulkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan meminta anggota menandatangani surat kuasa tersebut.
Singkat cerita, pertengahan Januari 2023, semua berkas sudah siap, berikut dengan draft gugatan. Dalam proses menyusun gugatan tersebut, kami sempat mengalami dilema. Kami harus menentukan materi gugatan perselisihan hak, mana yang akan menjadi substansi gugatan: Kategori mengenai status hubungan kerja dengan tergugat PT. Aerofood Indonesia atau kategori perselisihan hak yang berkaitan dengan PT. NHU dan Kopkar Angsana Boga. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya kami mendaftarkan gugatan ke PHI Serang dengan dua kategori materi gugatan: perselisihan pemecatan yang diikuti dengan perselisihan hak dengan dua tergugat, PT. NHU sebagai tergugat 1 dan PT. Aerofood Indonesia sebagai tergugat 2. Kami pun menyerahkan kuasa hukum kami kepada bung Tomi dari LBH Yustek.
Pada awalnya persidangan berjalan lancar. Namun, situasi berubah ketika memasuki sidang ke-6. Saat itu perusahaan mengganti kuasa hukumnya yang semula pengacara biasa, diganti dengan pengacara yang memiliki latar belakang sebagai aktivis buruh. Pengacara yang demikian, dalam banyak kasus lebih kejam dan lebih mengetahui kekuatan dan kelemahan buruh, sehingga lebih mudah membaca strategi buruh. Hal itu membuat kami harus lebih berhati-hati dalam hal menyusun strategi dalam beracara. Sialnya, setelah hampir 4 bulan bersidang di PHI, untuk kedua kalinya hakim memutus NO terhadap perkara gugatan kami. Kenyataan pahit ini harus tetap kami terima bersama anggota, sembari kembali berpikir langkah selanjutnya.
Setelah menerima salinan putusan, kami bersama anggota, pengurus FSPBI dan kuasa hukum, mempelajari hasil putusan tersebut. Dari situ kami mendapatkan dua opsi: Apakah kami akan kembali membuat gugatan baru ke PHI, atau melanjutkan kasasi ke Mahkamah Agung (MA)? Setelah mendiskusikan hal tersebut kepada anggota di forum rapat akbar yang dihadiri kuasa hukum dan pengurus federasi, akhirnya kami memutuskan untuk mengajukan kasasi ke MA. Pertengahan Juni 2023 kami pun mengirimkan memori kasasi ke Mahkamah Agung.
Mempersembahkan Kemenangan
Tiga bulan setelah kami mengajukan kasasi, tepatnya pada 11 Oktober 2023 hakim MA mengabulkan permohonan kasasi kami. Berita baik itu disampaikan oleh kuasa hukum kami pada 11 Oktober 2023. Hari itu bertepatan dengan agenda FSPBI mengenang Ketua Umum FSPBI pertama, Edi Lesmana yang baru meninggal dunia pada 30 September 2023. Suasana haru tangis menyelimuti agenda in memoriam Edi Lesmana. Selain merasa senang karena kemenangan atas kasus, kami menaruh khidmat yang mendalam atas kepergian sosok pejuang tangguh dalam memperjuangkan hak buruh yang bekerja di bandara, khususnya kami sebagai buruh alih daya.
Dalam kesempatan itu pula, kami SB GEBUK mempersembahkan dan mendedikasikan kemenangan perjuangan kami selama 3 tahun, untuk Almarhum Bapak Edi Lesmana. Bagi kami, berkat perjuangan serta komitmen beliau dalam memperjuangkan buruh alih daya melahirkan kesadaran kami untuk berserikat. Tanpa ketekunan beliau membersamai kami, saya dan kawan-kawan pengurus SB GEBUK tidak akan sekuat ini dalam berjuang. Melalui tulisan ini pula, saya dan kawan-kawan SB GEBUK mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas peran dan jasamu. Kami akan selalu menganang mu sebagai pejuang buruh bandara.
Tak lupa juga kami ucapkan banyak terima kasih kepada kawan-kawan FSPBI. Terutama Jacqie, Angga, Nofrendo, Wahyu, dan Lena, yang telah berkomitmen mendukung penuh perjuangan kami dalam memperjuangkan hak buruh alih daya di bandara. Terima kasih juga kami sampaikan untuk International Transporation Federation (ITF) yang telah banyak membantu perjuangan kami selama ini. Khususnya Kamerad Erin, Artika dan Rhea.
Berikut adalah putusan gugatan SB GEBUK Melawan PT Nur Hasta Utama dan PT Aerofood Indonesia yang dimenangkan di Mahkamah Agung pada Rabu 11 Oktober 2023. Pertama, Kabul – Menyatakan hubungan kerja antara penggugat dan tergugat II putus sejak bulan April 2020. Kedua, Menghukum para tergugat untuk membayar hak kepada para penggugat berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
Demikianlah cerita singkat perjuangan kami. Sekali lagi kami menaruh hormat kepada semua kawan-kawan yang sudah banyak membantu perjuangan kami buruh outsourcing di Bandara.
End Notes
[1] Data Kemenaker mencatatkan sepanjang April hingga Juli 2020 terdapat 2.175.928 buruh terkena dampak pemecatan.
[2] Serikat Buruh Gerakan Buruh Katering (GEBUK) adalah serikat buruh yang menaungi beberapa perusahaan catering bandara. SB GEBUK terafiliasi dengan Federasi Serikat Pekerja Bandara Indonesia (SPBI).
[3] PT Aerofood Indonesia merupakan anak perusahaan Garuda Indonesia Group yang bergerak di bidang penyediaan produk dan layanan premium, termasuk makanan dan minuman untuk penerbangan domestik dan internasional. Perusahaan ini berdiri sejak 1974 dengan nama PT Aero Garuda Dairy Farm, kemudian pada 1982 berganti nama menjadi PT Angkasa Citra Sarana Catering Service, dan akhirnya menjadi PT Aerofood Indonesia pada tahun 2011 atau dikenal dengan nama Aerowisata Catering Service (ACS).
[4] Rapat akbar adalah rapat yang melibatkan semua anggota SB GEBUK. Mekanisme rapat akbar dilakukan untuk mengkonsolidasikan kekuatan serikat dengan melibatkan anggota dalam merumuskan langkah dan tuntutan perjuangan serikat serta untuk memobilisasi massa.
[5] FSBI (Federasi Serikat Pekerja Bandara Indonesia) adalah organisasi buruh bandara di Indonesia yang memiliki visi memperjuangkan kepentingan dan hak buruh di bandara. Visi ini dibangun bersama dalam sebuah persatuan para pekerja untuk dapat mewujudkan misi bersama yaitu kesejahteraan dan kehidupan yang lebih baik bagi buruh bandara. Visi dan misi ini selalu mengiringi perjalanan organisasi yang diwujudkan ke dalam program kerja yang dibuat dan dilaksanakan untuk kepentingan anggota FSPBI dan pekerja bandara di Indonesia pada umumnya.