MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Pengantar Membaca Buruh dan Ekologi: Buruh Korban Krisis Iklim dan Kerusakan Lingkungan

Krisis iklim dan kerusakan lingkungan hidup adalah dua fenomena yang semakin mengkhawatirkan dalam satu dekade ini. Dampaknya dirasakan di seluruh lapisan masyarakat, termasuk oleh para buruh, yang secara tidak proporsional terdampak oleh masalah ini. Buruh menjadi korban utama karena ketergantungan mereka pada kondisi lingkungan yang sehat untuk menjaga produktivitas kerja, kesehatan, dan kelangsungan hidup sehari-hari. 

Menurut laporan International Labour Organization (ILO) tahun 2018 yang berjudul “The Future of Work in a Changing Natural Environment: Climate Change, Degradation and Sustainability,” degradasi lingkungan dan perubahan iklim secara signifikan mempengaruhi dunia kerja. Laporan tersebut menyoroti bahwa buruh adalah salah satu kelompok yang paling rentan terhadap dampak krisis iklim, yang mencakup peningkatan biaya hidup, penurunan produktivitas, serta ancaman terhadap kesehatan dan keselamatan kerja.

Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa kerusakan lingkungan seperti pencemaran air, tanah, dan udara tidak hanya menurunkan kualitas hidup, tetapi juga menambah beban finansial yang harus ditanggung oleh buruh. Hal ini terutama terjadi di kota-kota besar di mana polusi dan degradasi lingkungan menjadi lebih parah akibat industrialisasi dan urbanisasi yang tidak terkendali.

Di Surabaya, misalnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Surabaya tahun 2022, terdapat sekitar 1,64 juta angkatan kerja yang tersebar di sektor formal dan informal. Buruh yang bekerja di kawasan industri seperti Kawasan Margomulyo dan Rungkut merasakan dampak langsung dari kerusakan lingkungan ini. Dengan rata-rata upah sebesar Rp4,5 juta hingga Rp5 juta per bulan, buruh harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar yang semakin mahal akibat degradasi lingkungan.

Biaya Air dan Pangan Mencekik Penghasilan Buruh

Salah satu dampak nyata dari kerusakan lingkungan adalah peningkatan biaya air bersih. Di Surabaya, buruh yang tinggal di daerah perkotaan seringkali harus membeli air isi ulang untuk kebutuhan harian mereka. Sebagai contoh, untuk membeli air isi ulang seharga Rp6.000 per galon, jika dibutuhkan tiga galon setiap tiga hari, maka pengeluaran bulanan mencapai Rp72.000, atau Rp864.000 setahun. Sementara itu, untuk kebutuhan air galon yang biasanya dibeli setiap tiga hari dengan harga Rp19.000, pengeluaran bulanan mencapai Rp228.000 atau Rp2,736.000 per tahun.

Selain air, kebutuhan pangan juga semakin membebani penghasilan buruh. Dengan asumsi pengeluaran harian untuk konsumsi makanan sebesar Rp45.000, buruh lajang harus mengeluarkan Rp1,26 juta per bulan atau Rp15,12 juta per tahun. Jika buruh tersebut memiliki keluarga dengan empat anggota, pengeluaran untuk konsumsi makanan bisa mencapai Rp5,04 juta per bulan atau Rp60,48 juta per tahun.

Dalam kondisi seperti ini, upah buruh yang berkisar antara Rp4,5 juta hingga Rp5 juta per bulan hampir tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Buruh harus mengeluarkan seribu jurus mengatur pengeluaran dengan mengurangi konsumsi atau mencari sumber pendapatan tambahan, yang pada akhirnya menambah beban mental dan fisik mereka.

Tidak hanya beban biaya hidup yang meningkat, krisis iklim juga berdampak negatif terhadap kesehatan dan produktivitas buruh. Dalam artikel yang diterbitkan oleh World Economic Forum pada 19 Oktober 2019, Madeleine North menyoroti tiga cara di mana krisis iklim mempengaruhi pekerjaan dan kehidupan buruh. Pertama, cuaca ekstrem seperti gelombang panas dan banjir membuat lingkungan kerja menjadi tidak aman, sehingga meningkatkan risiko cedera dan penyakit. Kedua, perubahan iklim dapat mengganggu rantai pasokan global, menyebabkan ketidakpastian kerja dan pemecatan. Ketiga, degradasi lingkungan seperti deforestasi dan polusi udara memperburuk kondisi kesehatan buruh, yang pada akhirnya menurunkan produktivitas.

Di Surabaya, peningkatan suhu udara dan polusi udara menjadi masalah serius yang mempengaruhi kesehatan buruh. Paparan polusi udara yang terus-menerus dapat menyebabkan berbagai penyakit pernapasan seperti asma dan bronkitis, yang tidak hanya mengurangi kualitas hidup tetapi juga mengurangi daya tahan dan produktivitas kerja. Selain itu, suhu yang lebih panas membuat kondisi kerja menjadi lebih sulit, terutama bagi buruh yang bekerja di luar ruangan atau di pabrik-pabrik dengan ventilasi yang buruk.

Masa depan kerja di tengah krisis iklim dan degradasi lingkungan tampaknya semakin suram, terutama bagi buruh. Seperti yang disebutkan dalam laporan ILO dan artikel WEF, perubahan iklim dan kerusakan lingkungan tidak hanya mengancam kesehatan dan keselamatan kerja, tetapi juga mempengaruhi stabilitas ekonomi para buruh. Ketika biaya hidup meningkat dan kondisi kerja memburuk, buruh menjadi semakin rentan terhadap kemiskinan dan eksploitasi.

Degradasi Lingkungan Harus Menjadi Isu Perjuangan Buruh

Mengingat dampak serius dari degradasi lingkungan terhadap buruh, isu ini harus menjadi bagian integral dari agenda perjuangan buruh. Persoalan air dan pangan, yang merupakan kebutuhan hidup dasar, harus menjadi perhatian utama dalam diskusi mengenai upah layak. Pemerintah dan pengusaha harus didorong untuk mempertimbangkan faktor lingkungan dalam penetapan upah dan kondisi kerja.

Sebagai contoh, kebutuhan hidup layak (KHL) yang menjadi dasar penentuan upah minimum harus memasukkan komponen biaya air bersih dan pangan yang semakin mahal akibat kerusakan lingkungan. Selain itu, buruh juga perlu memperjuangkan hak-hak mereka untuk bekerja di lingkungan yang aman dan sehat, yang berarti mendesak pemerintah untuk menghentikan eksploitasi alam yang berlebihan dan menerapkan kebijakan yang berkelanjutan.

Untuk menghadapi tantangan ini, diperlukan solidaritas lintas sektor antara buruh, organisasi masyarakat sipil, dan pemerintah. Kerjasama ini penting untuk menghentikan degradasi lingkungan dan memastikan bahwa dampak krisis iklim tidak semakin memperburuk kondisi hidup buruh. Misalnya, organisasi buruh dapat bekerja sama dengan organisasi lingkungan untuk mengadvokasi kebijakan yang lebih hijau dan berkelanjutan, yang tidak hanya melindungi lingkungan tetapi juga meningkatkan kualitas hidup buruh.

Selain itu, diperlukan juga kampanye kesadaran di kalangan buruh tentang pentingnya menjaga lingkungan sebagai bagian dari perjuangan hak-hak mereka. Buruh harus memahami bahwa kerusakan lingkungan adalah ancaman nyata terhadap kelangsungan hidup mereka, dan bahwa mereka memiliki peran penting dalam mendorong perubahan kebijakan yang lebih pro-lingkungan.

***

Krisis iklim dan kerusakan lingkungan hidup adalah ancaman besar bagi buruh, terutama di kota-kota besar seperti Surabaya. Di Surabaya, dengan populasi angkatan kerja yang besar dan tingkat urbanisasi yang tinggi, dampak krisis iklim dan degradasi lingkungan akan semakin terasa. Dampaknya terasa dalam bentuk peningkatan biaya hidup, penurunan produktivitas, dan memburuknya kesehatan. Jika tidak ada upaya nyata untuk mengatasi masalah ini, kita akan melihat peningkatan angka kemiskinan di kalangan buruh, penurunan produktivitas, dan memburuknya kondisi kesehatan masyarakat.

Oleh karena itu, isu ini harus menjadi bagian dari agenda perjuangan buruh, dengan fokus pada upaya menghentikan degradasi lingkungan dan memperjuangkan kondisi kerja yang layak. Membangun solidaritas lintas sektor dan mengadvokasi kebijakan yang berkelanjutan adalah langkah-langkah penting untuk melindungi buruh dari dampak krisis iklim dan kerusakan lingkungan hidup. 

Referensi:

1. International Labour Organization. (2018). The Future of Work in a Changing Natural Environment: Climate Change, Degradation and Sustainability. ILO.

2. North, M. (2019, October 19). 3 Ways the Climate Crisis is Impacting Jobs and Workers. World Economic Forum. Retrieved from https://www.weforum.org/agenda/2019/10/3-ways-the-climate-crisis-is-impacting-jobs-and-workers/

3. Badan Pusat Statistik Kota Surabaya. (2022). Surabaya dalam Angka 2022. BPS Kota Surabaya.

Penulis

Wahyu Eka Styawan
Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur