Terungkapnya skandal dugaan pemerasan pengurusan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Kemenaker pada Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK, membuka luka lama kaum buruh. Kasus yang menyeret Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker), Immanuel Ebenezer alias Noel tersebut, tentu saja memantik kemarahan buruh. Mengingat, kasus-kasus kecelakaan kerja yang terus meningkat setiap tahun dan menambah daftar korbannya. Kasus ini bukan semata soal korupsi, tetapi menyentuh inti persoalan perlindungan norma dasar ketenagakerjaan di Indonesia.
Berdasarkan temuan KPK, para tersangka diduga melakukan penggelembungan biaya pengurusan sertifikasi K3. Dari tarif normal Rp.275 ribu, bengkak menjadi Rp.6 juta. Hal tersebut tentu saja menjadi tekanan psikologis bagi pemohon. Jika pemohon menolak sesuai yang diminta, permohonan yang diajukan akan diperlambat dan bahkan tidak diproses, meskipun dengan syarat lengkap. Total uang yang berhasil dipungut dari praktik kotor tersebut, mencapai Rp81 miliar. Selain Wamenaker, kasus ini juga melibatkan beberapa oknum pejabat Ditjen Binwasnaker dan K3, serta perusahaan jasa K3 (PJK3).
“Ini adalah bentuk pemerasan terstruktur. Para pemohon diperlambat, dipersulit, bahkan ditolak bila tidak membayar. Padahal, sertifikasi K3 adalah hak normatif pekerja demi keselamatan di tempat kerja,” tegas Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu acara jumpa pers KPK, pada 20 Agustus 2025 di Gedung Merah Putih-KPK Jakarta.
Bayangan Kasus Freeport
Skandal yang melibatkan Ditjen Binwasnaker dan K3 ini mengingatkan kita pada kasus Pemecatan massal 8.300 buruh mogok kerja PT Freeport Indonesia pada 2017. Saat itu, ribuan buruh Freeport yang melakukan mogok kerja menuntut kepastian atas pekerjaan dan menolak kebijakan sepihak PT. Freeport Indonesia, justru dipecat semena-mena dengan menuduh buruh melakukan tindakan mangkir. Padahal, aksi mogok telah sesuai prosedur Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Konvensi ILO Nomor 87 dan 98.
Para buruh Freeport yang dipecat kemudian melaporkan kasusnya ke Ditjen Binwasnaker dan K3 Kemnaker. Sayangnya, Kemnaker tak memperlihatkan keberpihakannya terhadap buruh. Kemnaker tidak sama sekali berdiri di posisi 8300 buruh yang haknya dirampas semena-mena oleh PT. Freeport Indonesia. Sebaliknya, laporan-laporan resmi tentang pelanggaran Freeport ke Ditjen Binwasnaker mandek hingga detik ini. Per Mei 2025 lalu, genap 8 tahun buruh Freeport menuntut keadilan.
Bercermin dari kasus sertifikasi K3 ini, tidak menutup kemungkinan praktik serupa juga terjadi pada kasus Freeport. Apalagi, berdasarkan keterangan KPK, praktik kotor dalam pengurusan sertifikasi yang melibatkan Ditjen Binwasnaker dan K3 telah berlangsung lama, setidaknya sejak 2019. “Jika pada kasus sertifikasi K3 terdapat praktik pemerasan, maka dalam kasus Freeport, yang terjadi adalah pembiaran. Keduanya sama-sama menegaskan bahwa fungsi pengawasan ketenagakerjaan kita telah lama dikooptasi untuk kepentingan politik dan korporasi,” ungkap salah satu kawan dari perwakilan serikat buruh Freeport, di Timika.
Mentransaksikan hak buruh
Skandal sertifikasi K3 dan pemecatan buruh Freeport menempatkan buruh sebagai objek eksploitasi. Baik oleh pengurus negara yang berkelakuan mafia, maupun oleh korporasi yang gemar mengabaikan hak buruh. Oleh karena itu, praktik busuk dalam pengurusan sertifikasi K3, bukan sekadar soal korupsi.
Lebih dari itu, yang juga perlu dikritisi adalah, rezim sertifikasinya sendiri hanya akan membuka peluang bagi pejabat yang berkuasa untuk mentransaksikan kepentingan buruh. Barangkali ini juga yang menjelaskan perusahaan-perusahaan modern, besar, dan berskala internasional semacam Freeport tak luput dari peristiwa-peristiwa kecelakaan kerja dan selalu lolos dari hukuman atas pelanggaran hak buruh. Pada skala yang lebih luas, kasus kecelakaan kerja dan kasus perselisihan perburuhan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan.
Kasus pengurusan sertifikasi K3 dan belum selesainya kasus pemecatan massal buruh Freeport juga memperlihatkan lemahnya sistem penegakan hukum ketenagakerjaan. Buruh seolah tak punya tempat untuk mengadu. Sementara negara, yang seharusnya menjadi pelindung, justru tampil sebagai tameng kepentingan korporasi dan elite politik.
Momentum Perubahan
Kasus Noel cs bisa menjadi momentum koreksi menyeluruh. Publik berharap agar KPK tidak berhenti pada praktik pemerasan pengurusan sertifikasi K3, tetapi juga menelusuri pembiaran dugaan tindak pidana ketenagakerjaan lain yang menimpa ribuan buruh di sektor strategis seperti tambang emas-tembaga PT. Freeport Indonesia.
“Skandal ini membuka borok lama. Jangan biarkan buruh terus menjadi korban dua kali: diperas dan ditelantarkan. Sudah saatnya hukum ketenagakerjaan ditegakkan dan dijalankan tanpa pandang bulu,” tegas seorang kawan yang malang melintang di gerakan buruh.
Kini, semua mata tertuju pada keberanian pemerintah dan aparat penegak hukum. Apakah kasus ini akan jadi pintu masuk reformasi total di sektor ketenagakerjaan, atau justru kembali ditutup demi kepentingan politik jangka pendek.
Jika Anda menikmati membaca cerita ini, maka kami akan senang jika Anda membagikannya!