Kegagalan serikat buruh tradisional dalam mengorganisasikan gig workers tidak dapat kita pahami sebagai kelemahan taktis atau kesalahan strategi perjuangan buruh. Fenomena ini justru mencerminkan adanya transformasi mendasar dalam relasi perburuhan kapitalis yang semakin kompleks dan dinamis. Melalui kerangka teori alienasi Karl Marx, dapat kita pahami bahwa gig economy menghadirkan bentuk-bentuk alienasi baru yang tidak hanya mengintensifkan eksploitasi tenaga kerja, tetapi juga mengikis solidaritas kolektif yang selama ini menjadi fondasi utama kekuatan serikat buruh (Marx, 1844).
Dengan demikian, masalah yang dihadapi gig workers tidak lagi dapat dijawab dengan mekanisme lama (tradisional), tetapi membutuhkan penilaian ulang atau kritik yang berkaitan dengan bentuk organisasi, strategi perjuangan, serta solidaritas baru yang sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi era digital dan logika kapitalisme platform.
Beberapa Bentuk Keterasingan
Kegagalan serikat buruh tradisional dalam merespon perkembangan gig workers berakar pada perubahan fundamental dalam hubungan perburuhan kapitalis. Untuk memahami transformasi tersebut, maka teori alienasi Karl Marx dapat dijadikan pisau analisis yang tajam. Marx mengidentifikasi empat dimensi keterasingan yang dialami buruh di bawah kapitalisme dan keempatnya memperoleh bentuk yang lebih kompleks serta mendalam dalam konteks ekonomi pertunjukan (Marx, 1844).
Pertama, keterasingan dari produk kerja terlihat jelas ketika gig workers tidak memiliki kendali atas layanan yang mereka berikan maupun platform yang mereka gunakan. Misalnya, seorang pengemudi taxi online, mereka tidak dapat menentukan harga, memilih rute secara bebas, atau menetapkan standar layanan sesuai preferensi pribadi. Semua aspek tersebut dikendalikan secara penuh oleh platform—dan jika ada perubahan maka harus melalui proses legitimasi yang diajukan kepada platform, sehingga buruh hanya menjalankan tugas-tugas yang sudah diprogram sebelumnya (mekanis).
Kedua, keterasingan dari proses kerja semakin intensif terjadi sebagai akibat sistem manajemen algoritmik, yang menggantikan pengawasan manusia dengan mekanisme kontrol otomatis. Platform digital melacak setiap pergerakan buruh, mendikte pola kerja, serta mengevaluasi kinerja melalui sistem pemeringkatan. Situasi ini menciptakan bentuk kontrol “sibernetik” yang membatasi agensi buruh, sekaligus meniadakan struktur akuntabilitas yang jelas (Davies, 2025).
Ketiga, keterasingan dari esensi manusia terjadi ketika gig workers dilucuti dari kapasitas kreatifnya dan direduksi menjadi sekadar input yang dapat dipertukarkan dalam sistem algoritmik. Hubungan kerja yang terbentuk bersifat paradoksal—platform mengeksploitasi perilaku buruh demi tujuan manajemen, tetapi tidak memberikan otoritas atau perlindungan kerja yang nyata. Akibatnya, buruh terjebak dalam “putaran Möbius” relasi kerja yang merusak identitas mereka sebagai subjek yang berdaya dan kreatif.
Keempat, keterasingan dari buruh lain menjadi penghalang yang paling signifikan untuk tumbuhnya solidaritas kolektif. Gig economy secara inheren mendorong pengisolasian dan persaingan antar buruh, alih-alih membangun solidaritas. Buruh dibuat jarang berinteraksi secara langsung dengan rekan seprofesi, beroperasi di lokasi yang tersebar, dan diadu satu sama lain melalui sistem peringkat maupun mekanisme penetapan harga jasa. Kondisi ini semakin memperkuat fragmentasi sosial yang melemahkan kemungkinan pengorganisasian serikat buruh dalam bentuk tradisional, yang merupakan wujud nyata dari efek individualisme di dalam sistem kapitalisme.
Permasalahan Atomisasi
Individualisasi gig workers tidak hanya mencerminkan pemisahan fisik sederhana, tetapi juga dikenal sebagai upaya atomisasi—fragmentasi menyeluruh para buruh yang melemahkan kesadaran kolektif. Fenomena atomisasi ini berlangsung melalui berbagai mekanisme yang cukup sulit diatasi oleh serikat buruh tradisional. Salah satu mekanisme utama adalah dispersi geografis dan temporal. Tidak adanya ruang kerja bersama menghapus fondasi solidaritas yang secara historis berkembang di antara buruh pabrik, yang biasanya berkumpul di satu lokasi dalam jam kerja reguler. Sebaliknya, gig workers beroperasi secara mandiri di berbagai wilayah yang luas dengan jadwal kerja yang terlihat “fleksibel” sehingga metode pengorganisasian tradisional menjadi kurang efektif. Penelitian bahkan mencatat bahwa mengorganisasi gig workers menimbulkan tantangan unik karena sifat platform yang digunakan oleh para gig workers sangat terdesentralisasi (Land-Kazlauskas & Johnston, 2018; Davies, 2025).
Selain itu, hubungan kerja yang dimediasi oleh platform sehingga menggantikan struktur manajemen manusia dengan perantara algoritmik. Pola ini dapat mencegah buruh mengidentifikasi permasalahan secara kolektif. Model bisnis segitiga yang diterapkan platform—yang menghubungkan buruh, pelanggan, dan penyedia platform—mengaburkan hubungan tradisional antara pemberi kerja dan buruh, sembari mempertahankan kontrol ketat atas perilaku buruh.
Di samping itu, klasifikasi buruh sebagai kontraktor independen menciptakan hambatan hukum sekaligus memperkuat identitas individualistik secara psikologis. Buruh yang dikategorikan sebagai kontraktor independen berisiko melanggar hukum tertentu jika mencoba melakukan tindakan kolektif, sedangkan buruh dengan status ‘karyawan’ justru memiliki perlindungan hukum untuk melakukan pengorganisasian, sehingga posisi mereka dalam memperjuangkan hak-hak kolektif semakin rapuh (Nayak, 2023).
Pembentukan Kelas Prekariat
Kemunculan gig economy dapat dipahami sebagai tahap baru dalam perkembangan kapitalisme, yang mana relasi kelas tradisional mengalami konfigurasi ulang. Kehadiran prekariat—kelas buruh yang ditandai dengan ketidakstabilan pekerjaan, ketiadaan perlindungan sosial, dan minimnya prospek jangka panjang—menggambarkan perubahan mendasar dalam kondisi material kelas buruh. Tidak seperti proletariat industri yang secara historis memiliki basis material untuk membangun kesadaran kolektif, prekariat justru terjebak dalam situasi yang mengikis potensi tersebut. Marx pernah mengantisipasi bahwa kondisi material yang seragam akan mendorong lahirnya kesadaran kelas serta organisasi kolektif (Prayogi, tanpa tahun).
Namun, realitas gig workers justru memperlihatkan anomali terhadap prediksi ini. Gig economy menciptakan kondisi darurat yang mampu melemahkan dan mengancam solidaritas, sekaligus mempersulit pembentukan serikat buruh. Dengan ketiadaan organisasi kolektif, hal ini akan memperdalam ketidakamanan, sehingga menciptakan siklus yang mengokohkan posisi kapitalisme, individualisasi mencegah terbentuknya aksi kolektif, sementara absennya kekuatan kolektif semakin melanggengkan ketidakpastian hidup para buruh.
Melampaui Serikat Buruh Tradisional
Dalam konteks gig workers dan gig economy, jelas terlihat bahwa keterasingan, atomisasi, dan individualisasi yang melekat di dalam gig woerkers menandakan keterbatasan model serikat buruh tradisional. Serikat buruh yang selama ini kita lihat beroperasi dengan asumsi adanya ruang kerja bersama, relasi langsung dengan pemberi kerja, serta stabilitas keanggotaan, mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan dinamika tenaga kerja yang fluid dan terdesentralisasi. Keberhasilan perkakas digital dalam menjaga atomisasi buruh sekaligus mengekstraksi nilai lebih menegaskan adanya transformasi yang mendalam pada hubungan kerja kapitalis—sebuah transformasi yang menuntut lahirnya bentuk-bentuk baru organisasi buruh.
Salah satu pendekatan yang dapat didiskusikan adalah koperasi platform, yaitu model kepemilikan kolektif, yang mana buruh bersama-sama memiliki dan mengendalikan sarana produksi digital—termasuk memungkinkan penciptaan platform digital yang dikuasai oleh buruh itu sendiri. Pendekatan ini tidak hanya memperjuangkan kondisi kerja yang lebih baik, tetapi berupaya mengatasi akar keterasingan. Dengan memberi buruh kendali langsung atas platform, koperasi platform akan menegasikan dominasi kapital digital dan memungkinkan distribusi nilai yang lebih adil demi kesejahteraan buruh.
Selain itu, sifat global kapitalisme platform menunjukkan bahwa pengorganisasian gig workers membutuhkan skala transnasional. Upaya-upaya lokal sering kali gagal karena perusahaan platform dapat dengan mudah memindahkan operasi kerja lintas yurisdiksi atau mengganti buruh yang menolak tunduk dengan tenaga kerja dari wilayah lainnya. Dalam situasi seperti ini, solidaritas lintas negara (transnasional) menjadi kebutuhan strategis dan bukan sekadar pilihan ideal. Gerakan buruh masa depan harus mempertimbangkan jaringan global buruh digital yang mampu menekan kekuatan platform multinasional.
Akhirnya, kegagalan serikat buruh tradisional dalam merangkul gig workers bukan hanya sekadar kelemahan organisasi, tetapi bukti keberhasilan kapitalisme platform dalam membentuk struktur alienasi baru. Individualisasi ekonomi pertunjukan harus dipahami bukan hanya sebagai konsekuensi kultural, tetapi sebagai fitur struktural yang dengan sengaja dirancang untuk mencegah lahirnya solidaritas buruh dan secara simultan memaksimalkan ekstraksi nilai lebih. Dengan demikian, mengatasi permasalahan ini tidak cukup hanya dengan memperbaiki strategi pengorganisasian, tetapi juga menuntut tantangan langsung terhadap model bisnis platform itu sendiri. Tantangan inilah yang akan menentukan apakah buruh digital masa depan akan tetap terjebak dalam keterasingan, atau mampu membangun solidaritas baru yang transformatif.
Daftar Pustaka:
Bieler, A., & Lindberg, I. (Eds.). (2010). Global restructuring, labour, and the challenges for transnational solidarity (Vol. 25). London: Routledge.
Davies, D. (2025). The Unaccountability Machine: Why Big Systems Make Terrible Decisions—and How the World Lost Its Mind. University of Chicago Press.
Johnston, H., & Land-Kazlauskas, C. (2018). Organizing on-demand: Representation, voice, and collective bargaining in the gig economy.
Marx, K. (1844). The Economic and Philosophical Manuscripts.
Nayak, Meghabahen N. (2023). Collective Bargaining and Worker Rights in the Gig Economy: Navigating the Legal Landscape. International Journal of Research in all Subjects in Multi Languages. Vol. 11, Issue: 6.
Prayogi, A. Teori Konflik Karl Marx. Teori Sosiologi, 44.