MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Mengenang Widodo: Menanam Adalah Melawan

Ilustrasi Widodo (Peter Gentur)

Ilustrasi Widodo (Peter Gentur)

Sore itu, seorang kawan mengabarkan berita duka dari pesisir selatan Kulon Progo. ‘Sudah dikabari belum kalo Mas Widodo baru saja meninggal?’, ucapnya melalui telepon. ‘Innalillai wainnailaihi Rajiun’, jawab ku.

Sebelum menutup telepon, kawan tersebut meminta saya untuk mengabarkan berita duka tersebut kepada kawan-kawan di Bogor yang mengenalnya. Tetiba tubuh saya lemas. Serasa tak percaya. Terakhir berkontak dengan Widodo sekira akhir 2021. Saat itu kesehatannya sudah tak baik. Diabetesnya kambuh.

Widodo adalah petani hortikultura yang getol dan lantang menyuarakan penolakan pertambangan pasir besi di kampungnya. Ia juga sebagai koordinator lapangan dan juru bicara Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP).

Meskipun sudah jarang bertemu, Widodo kerap mengontak saya untuk sekedar menanyakan kabar, atau berdiskusi soal situasi terkini masyarakat di pesisir Kulon Progo. Tak hanya dengan saya, beberapa kawan yang sudah jarang bertemu dan berkunjung ke rumahnya kerap dikontak oleh Widodo untuk hal yang sama. Widodo adalah orang yang selalu menjaga komunikasi dengan kawan-kawan yang bersolidaritas terhadap perjuangan warga PPLP-LP. Kerjanya pun berhasil menggalang solidaritas dari dalam dan luar negeri, mulai dari gerakan mahasiswa, Serikat Buruh, akademisi, seniman dan organisasi nirlaba.

Sepuluh hari sebelum telfon itu, Widodo sempat dirawat di Ruang ICU (Intensive Care Unit) Rumah Sakit (RS)PKU Muhammadiyah Yogyakarta, sejak 27 Febuari 2022. Keadaannya kritis. Tak sadarkan diri selama berhari-hari.

Menurut keluarga, sejak pertengahan 2021, kesehatan Widodo mulai memburuk. Hampir setiap bulan ia harus dirawat di rumah sakit. Diagnosa dari beberapa dokter yang menanganinya, Ia divonis lebih dari satu jenis penyakit. Diabetes, asma, asam urat, jantung dan terakhir gagal ginjal. Tubuhnya tak kuat menahan sakit. Widodo menghembuskan nafas terakhirnya pada Rabu, 9 Maret 2022, pukul 15.00 wib di RS PKU Muhammadiyah Kota Yogyakarta. Selepas magrib, jasadnya dihantarkan ke rumah duka. Desa Garongan, Panjatan, Kulon Progo, DI Yogyakarta.

Mendengar kabar duka tersebut, saya segera menghubungi beberapa kawan yang mengenal Widodo. Mengabarkan berita duka sekaligus mengajak untuk menghadiri acara pemakaman almarhum di tempat peristirahatan terakhirnya. Widodo dimakamkan di Pemakaman Umum Sorosutan yang tak jauh dari rumah duka. Kamis, 10 Maret 2022 pukul 14.00 wib.

Saya, dan beberapa kawan dari Sajogyo Institute bergegas berangkat malam itu juga dari Bogor. Sepanjang perjalanan, kami saling menceritakan kenangan bersama Widodo. Bagi saya, Widodo adalah sahabat, ‘guru’ sekaligus teman diskusi yang baik. Olehnya, saya banyak diberikan kesempatan untuk belajar memahami bagaimana perlawanan petani terhadap rezim modal perampas ruang-hidup rakyat dilakukan dengan cara-cara yang biasa mereka lakukan. Mengolah tanah, menanam dan merawatnya.

Tiga hal tersebut adalah tindakan politis ketika petani dihadapkan dengan kasus perampasan lahan oleh korporasi. Jika rezim modal tetap mengusir paksa petani keluar dari lahan, petani akan siap bertarung di arena pertarungannya sendiri. Di tanah yang dipertahankannya.

Setelah menempuh dua belas jam perjalanan, kami tiba di rumah duka. Saat itu upacara pemberangkatan jenazah baru saja dimulai. Beberapa kawan lama yang dipertemukan karena Widodo dan isu penolakan tambang, hadir di pemakaman. Widodo menjadi magnet bagi banyak kalangan karena lantang menyuarakan penolakan tambang pasir besi di berbagai forum dan kesempatan. Cara bicaranya yang lugas dan berani mengkritik semua kalangan yang mendukung rezim tambang membuatnya menjadi sorotan banyak orang.

Selain warga PPLP beberapa jaringan organisasi nirlaba, akademisi, mahasiswa, seniman serta aktivis agraria dan buruh, turut hadir pula rombongan warga Wadas yang belum lama ini mendapatkan represi dari aparatur negara karena menolak pertambangan batu andesit untuk pembangunan waduk di Purworejo. Semua yang hadir di pemakaman dengan wajah yang penuh rasa kehilangan. Sedih.

***

Widodo memiliki nama lengkap Trisno Widodo. Lahir di Desa Garongan pada 8 Oktober 1978. Saya dan beberapa kawan memanggilnya Mas Wid. Di Kampungnya ia disapa dengan nama Tonjeh.

Selepas lulus SMK di Ma’arif 1 Wates, pada tahun 1996, Widodo sempat merantau ke Riau, Sumatera, hingga menyebrang ke Semenanjung, Malaysia.

Bagi Widodo, keputusannya merantau saat itu adalah satu-satunya pilihan yang paling mungkin untuk mencari penghidupan. Selain keterbatasan lahan, lahan pasir yang membentang sepanjang pesisir cukup sulit untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Tanah yang bepasir, kering dan panas hingga berangin kencang dari Samudra Hindia, membuat tanaman apapun tak mudah tumbuh dengan baik.

Kondisi alam yang demikian membuat banyak orang kampung saat itu menjadi buruh di wilayah industri Jabodetabek, buruh di perkebunan Sumatera dan Kalimantan, hingga menjadi buruh migran di Malaysia, Arab Saudi dan Hongkong. Sebelum generasi Widodo, pada periode akhir 70-an, program transmigrasi ke Sumatera menjadi pilihan warga pesisir untuk mengadu nasib.

Pada satu kesempatan Widodo pernah bercerita kepada saya tentang bagaimana kehidupan sewaktu ia bekerja menjadi buruh migran di Malaysia. Di sana, Ia sering mendapatkan perlakuan tak adil oleh orang-orang yang mempekerjakannya. Mulai dari makian, hinaan, ancaman hingga pemerasan. Perlakuan itu ia dapatkan hanya karena statusnya sebagai ‘pendatang haram’. Migran tak berdokumen.

Beberapa pekerjaan pernah ia lakoni, sebagai buruh bangunan, buruh pabrik, hingga menjadi buruh di perkebunan sawit di malaysia. Berpindah-pindah kerjaan dari majikan satu ke majikan lain, dari mandor satu ke mandor lain dan dari kebun satu ke kebun lain adalah caranya dan sebagian buruh migran di Malaysia untuk bertahan hidup.

Ketiadaan dokumen menjadi daya tawar majikan untuk menekan hak-hak buruh migran. Di luar itu, perburuan pihak imigrasi Malaysia, deportasi dan hukuman penjara selalu menghantui Widodo selama bekerja.

Widodo pun menuliskan pengalamannya menjadi buruh migran di Malaysia pada catatan harian. Pada 2013, diterbitkan menjadi buku berjudul “Menanam adalah Melawan”. Satu bagian dalam buku tersebut, Widodo menggugat rezim kerja dan lemahnya tanggung jawab negara terhadap perlindungan buruh migran Indonesia di Malaysia.

Melalui buku itu pula Widodo membongkar cerita tentang kemewahan-kemewahan bekerja di Malaysia yang kerap menjadi harapan banyak orang. Bagi Widodo, cerita-cerita itu hanya kemasan bujuk rayu yang diproduksi oleh para agen perekrutan ditengah kesulitan ekonomi dan lemahnya negara untuk melindungi warga negaranya.

Dari kecarut-marutan rezim migrasi dan rezim kerja, perusahaan mendapatkan banyak keuntungan dari keringat dan tenaga buruh migran Indonesia. Upah murah, rentan dipecat, dan jaminan kesehatan yang minim serta situasi kerja yang buruk, lumrah dialami buruh migran di Malaysia.

Setelah lebih dari dua tahun bekerja di Malaysia, Widodo sempat bekerja di beberapa kota di Sumatera sebagai kuli bangunan. Namun, pada 1998, Widodo memutuskan pulang ke kampung halaman dan bertani. Usahanya bertani pada tahun 2000-an awal menampakkan hasil yang baik. Sejak saat itu ia meneguhkan diri melakoni pekerjaan sebagai petani, sebagaimana orangtua dan banyak orang di kampungnya.

Pada tahun 2004, Widodo mempersunting Tri Muriyani menjadi isterinya. Dari pernikahannya, ia dikaruniai satu orang anak perempuan bernama Zapata. Nama anaknya diambil dari nama seorang tokoh pejuang dari suku Maya Indian di Mexico yang selama hidupnya selalu mengobarkan perlawanan di mana-mana. Zapata pun dikenal dengan gerakan revolusioner anti-globalisasi di Ciapas. Gerakan ini juga yang banyak menginspirasi Widodo dalam perjuangannya melawan tambang pasir besi.

***

Di saat pemuda-pemudi kampung pesisir selatan Kulon Progo pergi dan pulang dari rantau secara silih berganti, beberapa orang petani tak henti-hentinya mengusahakan pertanian di lahan pasir dengan berbagai eksperimen.

Salah satu orang yang sejak awal getol melakukan eksperimen pertanian di lahan pasir adalah Sukarman. Terinspirasi dari tiga batang pohon cabai yang tumbuh di antara semak belukar di pesisir pantai, Sukarman berfikir jika tanaman cabai dipelihara dengan baik maka kemungkinan besar akan menghasilkan cabai yang baik. Dengan memberinya pupuk, menyiramnya setiap hari dan melindunginya dari terpaan angin laut, Sukarman yakin segala usahanya akan berhasil.

Namun ia menyadari, sumber utama yang dibutuhkan untuk membantu kesuburan tanaman adalah kecukupan air. Untuk memenuhi kebutuhan itu, Sukarman mencoba membuat sumur brunjun[1] di lahan pasir. Sukarman lagi-lagi menemukan keajaiban. Setelah menggali sumur sekitar 4 meter ia mendapati air tawar yang jernih berjarak 200 meter dari bibir pantai. Dari dua temuan itu, untuk pertama kalinya, pada 1985, Sukarman mulai menanam cabai di lahan pasir. Panen pertamanya menghasilkan petikan cabai tak lebih dari 1 kilo gram, namun pada petikan keenam, Sukarman berhasil mendapatkan 17 kilo gram.

Keberhasilan Sukarman menanam cabai di lahan pasir diketahui banyak orang. beberapa orang yang awalnya mencibir apa yang dilakukan Sukarman pada akhirnya juga ikut menanam cabai. Sukarman berhasil menunjukkan kepada masyarakat pesisir, bahwa yang selama ini lahan pasir hanya ditanami ketela yang nilai ekonominya sangat rendah, ternyata bisa ditanami tanaman komoditas yang bernilai tinggi, yakni cabai keriting.

Eksperimen Sukarman memantik para petani peisir lainnya untuk memikirkan secara bersama-sama bagaimana meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil panen cabainya. Melalui tradisi ‘endong-endongan’ para petani pesisir menjadikan penemuan pertanian lahan pasir ini sebagai pengetahuan sosial kolektif.

Endong-endongan yang awalnya adalah tradisi berkumpul warga, kemudian menjadi suatu forum untuk bertukar pengalaman dan pengetahuan tentang pertanian di lahan pasir; menentukan bersama kapan musim tanam dan panen bisa dimulai secara serentak untuk menghindari hama; bagaimana mengatasi ketergantungan terhadap pupuk, pestisida dan pembasmi hama; pada musim apa jenis tanaman tertentu ditanam dan sebagainya.

Sebagai anak muda yang baru saja menggeluti pekerjaan sebagai petani, Widodo banyak belajar soal bertani dari tradisi endong-endongan. Hampir semua cerita tentang pertanian cabai di forum endong-endongan dibangun secara kolektif dan mandiri.

Cerita Sukarman dan sejarah pertanian pesisir Kulon Progo juga dituliskan Widodo secara rapi dalam bukunya. Penerbitan bukunya seolah memberi tanda bahwa sejarah yang ia tuliskan akan menjadi bekal ingatan kuat untuk menjaga perlawanan warga pesisir dalam mempertahankan tanah dari industri pertambangan. Sebagai petani ia turut menyumbang literasi sejarah perlawanan kaum tani Indonesia.

***

Periode awal 2000-an, budidaya pertanian lahan pasir makin menunjukkan perkembangan. Komoditas cabai hasil panen petani kulon progo mulai dikenal di berbagai pasar induk di Jawa dan beberapa kota di Sumatera sebagai cabai berkualitas. Dengan perkembangan tersebut, niat pemuda kampung merantau yang awalnya sebagai satu-satunya pilihan kemudian bergeser menjadi cara taktis untuk mendapatkan modal bertani di kampung.

Saat memasuki puncak kejayaannya pada 2005 hingga 2006, ketika harga cabai melambung tinggi, petani Kulon Progo mendapatkan keuntungan yang berlimpah. Mereka mulai merasakan hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun. Mengusahakan lahan pasir yang kering menjadi lahan subur.

Tak hanya itu, mereka juga berhasil memotong mata rantai tengkulak dengan membuat pasar lelang cabai yang dimulai pada 13 Juni 2004. Terobosan pasar lelang itu ditujukan untuk mengatasi permainan harga dalam ekonomi perdagangan yang kerap membuat petani rugi.

Sejak kenaikan harga cabai, pilihan bertani menjadi pilihan istimewa oleh sebagian besar pemuda di pesisir selatan Kulon Progo. Ribuan hektar Lahan pasir yang sebelumnya terlantar, kemudian secara kolektif didistribusikan dengan semangat kekeluargaan.

Desa-desa pesisir yang sebelumnya dicap sebagai desa miskin, kemudian berbalik menjadi desa-desa yang paling produktif secara ekonomi dan membawa kemakmuran bagi warganya. Istilah ‘wong cubung’, ‘wong udik’ dan miskin yang sejak lama kerap dilekatkan untuk masyarakat pesisir, lambat laun berubah makna setelah petani berhasil membangun system pertanian lahan pantai yang subur. Gemah ripah loh jinawi.

Hal tersebut mengundang perhatian banyak peneliti dan akademisi dari berbagai kampus. Salah seorang akademisi UGM mengatakan keberhasilan petani memanfaatkan lahan pasir adalah ketika petani berhasil membangun sistem irigasi yang selama ini kerap menjadi persoalan petani lahan pantai.

Pasir hitam yang membentang di sepanjang pesisir selatan Kulon Progo mengandung mineral yang dapat mengikat garam pada air laut. Pasir tersebut merupakan penyaring alami air laut menjadi air tawar yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber air untuk pertanian.

Perkembangan sistem irigasi yang dibuat petani begitu cepat. Dari yang awalnya hanya sumur brunjung, kemudian berkembang menjadi sumur renteng[2] yang memanfaatkan teknologi mesin pompa, selanjutnya berkembang lagi dengan menggunakan system infus. Terakhir, petani PPLP mengembangkan system irigasi sprinkler[3]. Kini, seiring perkembangan sistem irigasi tersebut, berbagai macam tanaman, seperti buah melon, buah naga, semangka, sayur-sayuran dan lain sebagainya dapat ditanam dengan baik.

Berbagai jenis komoditas yang dihasilkan berhasil membangun ekonomi rumah tangga petani. Misalnya, untuk kebutuhan jangka panjang, seperti membangun rumah dan menyekolahkan anak, petani mengandalkan komoditas utama cabe, melon, dan semangka. Sementara untuk kebutuhan harian, petani memanfaatkan tanaman berjangka pendek, seperti sayur-sayuran yang ditanam dengan menggunakan metode tumpang sari.

Evolusi pertanian lahan pantai mendatangkan kemakmuran warga pesisir diungkapkan Widodo di berbagai forum, “kami sudah berhasil menggarap lahan yang sebelumnya tidak produktif menjadi lahan yang mendatangkan kemakmuran. Kini, di lahan pasir tempat kami hidup dan bertani apapun bisa tumbuh, kecuali tambang!.

***

Ya!. Di tengah geliat ekonomi petani sedang tumbuh dan anak muda kampung bersemangat untuk menanam, pada 2006 muncul rencana pertambangan pasir besi di lahan pertanian yang mereka kelola. Rencana tersebut bersamaan dengan menguatnya kembali status tanah-tanah swapraja di Yogyakarta dalam narasi Keistimewaan, sering disebut dengan Sultanad Grounded (SG) dan Paku Alam Grounded (PAG).

Klaim SG/PAG tersebut merujuk pada Rijksblad Kasultanan No 16/1918 dan Rijksblad Kadipaten No 18/1918 yang merupakan produk hukum kolonial. Alih-alih menggunakan argumentasi sejarah, UU Keistimewaan justru malah menghidupkan kembali tanah-tanah bekas swapraja yang sebetulnya telah dihapus dalam UU Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960.

Mendengar kabar lahan pertaniannya akan digusur oleh tambang, para petani mengorganisir diri dan membentuk wadah perjuangan bernama Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP). Organisasi tersebut didirikan pada 1 April 2007 dan memiliki anggota yang tersebar di lima desa.

Alasan perlawanan petani cukup kuat, tambang bisa menghancurkan seluruh kehidupan di pesisir Kulon Progo. Slogan mereka adalah “bertani atau mati, tolak tambang pasir besi!”. Hingga hari ini PPLP masih secara konsisten melakukan penolakan terhadap tambang dan kerusakan ruang hidup lainnya.

Beragam cara perlawanan telah ditempuh PPLP untuk menyelamatkan kampung. Dari aksi geruduk kantor DPRD Provinsi DI Yogyakarta dan Bupati Kulon Progo untuk menuntut dibatalkannya rencana pertambangan, geruduk Kampus UGM yang ditenggarai bekerjasama dengan perusahaan tambang karena merekomendasikan reklamasi lahan eks tambang pasir besi nantinya, hingga melaporkan kasusnya ke lembaga-lembaga seperti Komnas HAM dan lain sebagainya. Namun upaya tersebut selalu berada pada jalan buntu dengan janji-janji pemerintah yang mengecewakan.

Di tengah perlawanan yang mereka bangun, berbagai serangan juga turut menghantam diantaranya adalah negara menggunakan perangkat hukum untuk mengkriminalisasi Tukijo, teman Widodo. Ia dipenjara tiga tahun. Ratusan preman yang mengatasnamakan organisasi masyarakat (ormas) juga turut dikerahkan untuk menyerang pemukiman para petani secara membabibuta. Mereka mengintimidasi petani agar menghentikan aksi protes terhadap tambang.

Dalam perjalanannya, Widodo juga mengorganisasi kekuatan pemuda kampung untuk mengambil peran dalam perjuangan. Pengorganisasiannya menggunakan berbagai metode, mulai dari membuat radio komunitas di kampungnya, membuat pertunjukan teater, hingga membuat organisasi khusus pemuda.

Widodo adalah orang yang selalu menjaga ingatan warga PPLP tentang perjuangan. Baginya, ingatan soal perlawanan tambang harus tetap di kepala karena musuh bisa datang kapan saja. Karenanya, ia selalu menggerakkan pemuda-pemuda kampung untuk memasang poster, spanduk tentang penolakan tambang di setiap sudut kampung. Selain itu, Widodo juga berperan sebagai penghubung antara generasi tua dan muda dalam menyatukan perlawanan terhadap PT Jogja Magasa Iron.

***

PT Jogja Magasa Iron (PT JMI) merupakan perusahaan patungan antara PT Jogja Magasa Mining (PT JMM) dengan perusahaan asal Perth, Australia. Indo Mine Ltd. Kepemilikan sahamnya terdiri dari 30 persen milik PT JMM dan 70 persen sisanya dimiliki oleh Indo Mines Ltd.

Diketahui, PT JMM memiliki hubungan erat dengan keluarga Kesultanan dan Pakualaman. Berdasarkan akte pendiria PT JMM, anak dan adik Sultan Hamengkubuwono X, Gusti Pembayun dan GBPH Joyokusumo tercatat menjabat sebagai komisaris PT JMM. Sementara Direktur Utama dijabat oleh BRM Hario Seno dari keluarga Pakualaman.

Pada tahun 2012, kepemilikan saham PT JMI beralih ke Rajawali Group, setelah membeli 250 juta saham baru Indo Mines seharga Aus $ 50 juta. Angka tersebut menempatkan PT Rajawali menguasai 57,12 persen Indo Mine Ltd. Pada 2019 PT JMI juga menggandeng perusaan baja asal China, Rockchek Steel Group untuk bergabung dalam proyek pertambangan pasir besi di pesisir selatan Kulon Progo.

Setelah melewati berbagai pengalaman perjuangan, PPLP meyakini bahwa salah satu kekuatan dan kekokohan gerakan adalah terbangunnya kemandirian. Sebagaimana tersirat dalam bukunya “Menanam adalah Melawan”, bahwa untuk mempertahankan lahan adalah dengan tetap menanam dalam rangka membangun kemandirian gerakan sembari menggalang solidaritas seluas-luasnya.

***

Sejak 2009, Widodo bersama rekan-rekannya kerap aktif berkeliling ke berbagai tempat di Jawa dan Sumatera untuk menggalang solidaritas perlawanan akar rumput. Kerja kerasnya berhasil mendorong terbentuknya wadah perjuangan bersama, Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA) pada Desember 2011.

Organisasi akar rumput yang tetgabung dalam FKMA adalah: Kelompok Tani Berdikari (Sumedang), Urutsewu Bersatu (Kebumen), PPLP (Kulon Progo), Foswot (Lumajang), Forum Nelayan dan Persatuan Rakyat Balong (Jepara), Serikat Petani Blora Selatan dan Gerakan Rakyat Menggugat (Blora), Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng dan Sedulur Sikep (Pati), Front Pemuda Rengas (Ogan Ilir), Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (Parangtritis, Bantul), Suara Korban Lumpur Lapindo (Sidoarjo), Bale Ruhayat (Ciamis dan Tasikmalaya), Gerakan Rakyat Anti Pembangunan Aqua Danone (Banten).

Melalui Widodo, saya dipertemukan dengan berbagai rombongan perlawanan di tempat lain. Mulai dari petani, nelayan, miskin kota, dan korban-korban diskriminasi sosial lainnya yang sedang berjuang mempertahankan ruang-hidupnya dari rezim modal yang mengatasnamakan pembangunan, kepentingan umum dan pertumbuhan ekonomi.

Terimakasih Mas Wid atas segala kesempatan menjadi teman, sahabat dan keluarga selama di Yogyakarta.

Sebagai penutup obituari ini, saya akan mengutip pesan yang disampaikan Widodo yang dimuat Zine Bertani Atau Mati.

“Tetaplah Perjuangan ini adalah perjuangan kita. Jangan kita serahkan pada siapapun dan tetap tolak tambang pasir besi sampai kapapun di manapun!”

Selamat Jalan Kamerad Widodo, tunai sudah tugas mu menjaga bumi.


[1] Sumur brunjung adalah sumur yang dibuat di pesisir dengan memanfaatkan anyaman bambu yang dilapisi plastik sebagai penyangga dinding sumur.

[2] Sumur Renteng adalah penampungan air yang berupa bak yang terhubung dengan pipa saluran air yang bersumber dari sumur.

[3] Sprinkler adalah system penyiraman air otomatis yang berputar.

Penulis

Sugeng Riyadi
Lembaga Informasi Perburuhan Sedane