Negara dan Finansialisasi Alam
Beragam pendekatan perusahaan untuk mengatasi permasalahan sosial-ekologi, sebatas pemberian kompensasi dan pemenuhan sanksi administrasi lingkungan dari negara. Pendekatan penyelesaian permasalahan yang dilakukan oleh perusahaan, tidak menyelesaikan akar permasalahan sosial-ekologi yang terjadi. Beragam tuntutan mengenai perbaikan lingkungan justru dijawab dengan pemberian kompensasi dan pemberian lapangan pekerjaan. Hal demikian yang menunjukkan bahwa kualitas lingkungan hidup yang sehat dapat ditukar dengan nilai tukar semata.
Berbicara mengenai industrialisasi tentu tidak bisa dilepaskan dengan logika pertumbuhan ekonomi negara. Kehadiran industri disebut-sebut sebagai penyumbang pendapatan bagi negara melalui beberapa bentuk penetapan objek pajak. Di sisi lain, industrialisasi juga menciptakan buruh upahan. Melalui upah para buruh, negara turut memperoleh pendapatan berupa pajak penghasilan. Namun industrialisasi juga membutuhkan tumbal. Kerusakan lingkungan menjadi salah satu tumbal nyata akibat akumulasi kapital sektor industri untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
Merespons kerusakan lingkungan tersebut, hal yang paling umum dilakukan oleh perusahaan-perusahan, yakni dengan memberikan program-program bertemakan sosial dan atau lingkungan. Istilah lain menyebutnya sebagai Corporate Social Responsibility (CSR).[1] Program CSR kemudian lebih akrab dikenal dengan istilah “pemberdayaan masyarakat”. Selain bentuk program pemberdayaan kepada masyarakat terdampak, ada pula perusahaan yang mengambil jalan pintas dengan menutup kerusakan lingkungan dalam bentuk pemberian ganti rugi atau kompensasi kepada masyarakat yang terdampak. Pada praktik lainnya, ada pula program-program menghijaukan kawasan hutan dengan cara menanam bibit pohon bersama.
Praktik-praktik bertemakan sosial dan lingkungan merupakan hasil interpretasi terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pada Pasal 74, CSR diterjemahkan sebagai Tanggung Jawab Sosial dan Linafwegkungan (TJSL). Selain Undang-Undang tentang perseroan terbatas, aturan mengenai TJSL juga dapat ditemukan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2012 Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Melalui kedua produk hukum ini, pemerintah negara mengatur seluruh aktivitas bisnis perusahaan-perusahaan yang bersinggungan atau berkaitan dengan Sumber Daya Alam (SDA) untuk wajib menjalankan praktik TJSL. Meskipun dikatakan wajib bagi perusahaan untuk menjalankan praktik TJSL, di sisi lain Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 memberikan kelonggaran kepada perusahaan perusak lingkungan dalam bentuk frasa kalimat “kepatutan dan kewajaran”. Frasa kalimat tersebut ditemukan pada Pasal 5 Ayat 1. Selanjutnya, pada bagian bab penjelasan pasal UU No. 40 Tahun 2007, kalimat “kepatutan dan kewajaran” ditafsirkan menjadi “berdasarkan kemampuan keuangan perusahaan”. Sehingga, dapat diartikan TJSL bukan merupakan jawaban untuk mengatasi permasalahan atau kerusakan lingkungan. Tetapi, sebatas norma hukum atau menyebut dalam istilah lain sebagai pemenuhan terhadap “rezim administratif” ketika sebuah perusahaan telah atau mau beroperasi.
Pada kasus PT Pajitex, respons perusahaan terhadap permasalahan lingkungan, selalu ditekankan pada dua praktik dalih kemanfaatan dari keberadaan perusahaan bagi warga dan lingkungan sekitar. Pertama, perusahaan merasa telah menjalankan kewajiban dengan memberikan “bantuan sosial”[2] sejak 2006, kepada warga Desa Watusalam yang terdampak polusi batu bara. Setiap tahun PT Pajitex mengeluarkan biaya kompensasi atau ganti rugi kerusakan lingkungan dalam bentuk pemberian uang dan kain sarung. Uang yang diberikan berkisar Rp175 ribu – Rp 350 ribu, berdasarkan radius polusi batu bara yang telah ditentukan oleh perusahaan. Juga, pemberian satu buah kain sarung untuk setiap Kepala Keluarga (KK). Praktik pemberian uang dalam bentuk kompensasi ini, menurut beberapa orang dinamakan “Uang Tombo Kebul”.
Klaim yang kedua, PT Pajitex acap kali merasa berguna bagi kehidupan warga desa sekitar, dengan bukti telah membuka lapangan pekerjaan. Walaupun pada kenyataannya, pekerja yang terserap selama ini lebih banyak berstatus buruh kontrak-putus bukan pekerja berstatus tetap. Kedua klaim argumen tersebut seringkali digunakan oleh perusahaan untuk bisa tetap beroperasi.
Setelah protes warga RT 13 dan 14 RW 07 akibat limbah polusi udara batu bara mencuat ke permukaan, PT Pajitex mulai merangkul warga Desa Watusalam. Perusahaan dengan gencar menawarkan maklun kepada warga yang ingin menambah penghasilan. Beberapa jenis pekerjaan yang ditawarkan berupa pekerjaan tahap finishing, seperti obras kain sarung, pengepakan (packaging) kain sarung, pengelolaan limbah padat, dan penjualan kardus bekas, serta besi rongsok.
Praktik pemberian CSR dalam upaya memperbaiki reputasi perusahaan memang telah dituliskan oleh lembaga think tank korporasi bisnis bernama Mckinsey. Pada artikel yang berjudul Valuing Social Responsibility Program, artikel tersebut menekankan dampak pragmatis yang diperoleh bagi perusahaan yang terlibat di dalam program-program sosial dan lingkungan. Hal yang diperoleh oleh perusahaan tidak hanya sebatas pembentukan reputasi baik, tetapi program CSR dianggap sebagai moda pembentukan nilai keuangan jangka panjang. Memang membutuhkan waktu yang lama, tetapi dampak yang dihasilkan berpengaruh terhadap pertumbuhan keuangan perusahaan di masa mendatang. Selain bentuk investasi jangka panjang, keterlibatan perusahaan di dalam program-program bertajuk lingkungan, sosial, dan agenda pemerintah suatu negara, dapat pula berdampak terhadap: peningkatan pengembalian modal, meminimalisir risiko pemboikotan, peningkatan penjualan, dan perbaikan kualitas produk.[3]
Kritik atas praktik CSR dapat ditemukan pada hasil penelitian Peter Newell (2008) yang berjudul CSR and The Limits of Capital. Newell mengatakan, peran CSR hanya sebatas ‘meringankan’ permasalahan, seperti kemiskinan dan pencemaran lingkungan. CSR bukan merupakan strategi yang dirancang untuk memulihkan kerusakan alam. Berkaca pada kasus PT Pajitex, pada akhirnya pelaksanaan CSR hanyalah sebagai tameng untuk menutupi permasalahan yang sesungguhnya terjadi, yakni kerusakan lingkungan yang diciptakan akibat operasi industri.
Kritik atas praktik CSR atau TJSL dapat diperluas dalam kerangka analisis ekonomi-politik. Dengan menggunakan kerangka analisis yang ditawarkan oleh Jutta Kill (2014) dalam tulisan yang berjudul Economic Valuation of Nature The Price to Pay for Conservation, dinamika kasus pencemaran lingkungan PT Pajitex merupakan proses finansialisasi alam. Kill meminjam kerangka pemikiran Gerald Epstein untuk membangun pengertian konsep finansialisasi. Melalui tulisan Epstein yang berjudul Financialization, Rentier Interest, and Central Bank Policy. Kill mencoba menjelaskan lebih detail mengenai istilah finansialisasi yang ia maksud.
“’Financialization’ refers to the increasing importance of financial markets, financial motives, financial institutions, and financial elites in the operation of the economy and its governing institutions, both at the national and international levels.”
Juta Kill, 2014
Berdasarkan kutipan tersebut, finansialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses operasi ekonomi pasar yang didorong oleh motif keuangan, pengaturan dan keterlibatan institusi keuangan, serta lembaga pemerintahan, dengan semakin pentingnya peran pasar keuangan, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Dalam konsep finansialisasi alam, menurut Kill, merupakan suatu proses ketika hutan, padang rumput, lereng gunung, dan material alam lain-lainnya berubah menjadi sebatas koleksi “layanan ekosistem”, termasuk di dalamnya keanekaragaman hayati, pengaturan dan penyaringan air, penyimpanan dan penyerapan karbon, yang nilai ekonominya bisa dikalkulasi dan diekspresikan dalam istilah moneter atau dapat dimonetisasi. Kill juga menambahkan, bawah persepsi dan pendekatan masyarakat dalam memandang alam dapat menjadi acuan untuk melihat praktik finansialisasi alam.[4]
Jika kembali pada potongan-potongan cerita di dalam kasus pencemaran lingkungan PT Pajitex, maka praktik finansialisasi alam, tidak hanya dilakukan oleh perusahaan, yakni dalam bentuk pemberian kompensasi dan praktik maklun saja, tetapi juga dilakukan oleh aparatur negara dan warga Desa Watusalam RT 16 RW 08.
Pada praktik yang dilakukan oleh aparatur negara misalnya, kasus pencemaran lingkungan kerap dijawab dengan pemberian sanksi hingga pembayaran denda administratif. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sanksi administratif ditetapkan secara bertingkat, dari tingkat: teguran tertulis, paksaan dalam bentuk surat keputusan, pembekuan izin lingkungan, dan pencabutan izin lingkungan sesuai Pasal 76 Ayat 2. Bagi perusahaan yang terlambat dalam menjalankan paksaan tertulis sanksi administratif lingkungan akan dikenakan denda administratif yang harus dibayarkan kepada pemerintah. Mengenai penetapan besaran denda administratif, detailnya dapat dilihat pada PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Penetapan denda administratif beserta nominalnya dan kategori sanksi diatur mulai dari Pasal 514 sampai dengan 520 pada PP Nomor 22 Tahun 2021. Semua denda administratif dalam bentuk uang tersebut masuk ke dalam kantong negara sebagai penerimaan bukan pajak, begitu juga dengan kasus tindak pidana lingkungan hidup. Selanjutnya, aturan tersebut akan menjatuhkan pada sanksi penjara dan denda kerusakan yang harus dibayarkan. Lagi-lagi denda tersebut merujuk dalam bentuk nominal uang. Mengenai nominal denda pidana, besarannya diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2009.
Praktik meng-uangkan alam juga dilakukan oleh warga Desa Watusalam RT 16 RW 08. Sebelumnya, warga telah melakukan gugatan perdata pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT Pajitex karena getaran, kebisingan dan kerusakan bangunan akibat aktivitas produksi. Dampak lingkungan tersebut yang selanjutnya mendorong tiga belas warga terdampak meminta ganti rugi dalam bentuk nominal uang lebih dari Rp6 miliar.
Semua rangkaian peristiwa yang terjadi pada kasus kerusakan lingkungan PT Pajitex, pada akhirnya dapat dikatakan suatu proses finansialisasi alam. Pada tingkat kapitalisme yang lebih canggih, mekanisme finansialisasi alam terjadi dalam beberapa proyek berkedok lingkungan lainnya. Salah satunya, perdagangan karbon melalui proyek hibah berjudul Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) atau REDD+. Proyek ini beroperasi melalui mekanisme konservasi atau pemagaran hutan-hutan hujan tropis di belahan penjuru negara. Pohon-pohon di kawasan hutan dianggap memiliki cadangan oksigen yang berguna mereduksi buangan karbon negara-negara industri maju. Ironisnya, beberapa kawasan hutan yang ditetapkan dalam proyek tersebut merupakan ruang hidup bagi masyarakat hutan yang keberlangsungan hidupnya bergantung penuh melalui hutan.[5]
Selain proyek REDD+, finansialisasi alam juga dapat ditemukan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan. Objek pajak terbaru yang diatur oleh pemerintah Indonesia melalui produk hukum ini adalah karbon. Penetapan pajak karbon tidak hanya pada kendaraan transportasi bermotor, tetapi juga kepada perusahaan-perusahaan industri yang melakukan pembuangan emisi karbon di atmosfer bumi. Seluruh kondisi ini menunjukkan alam telah seutuhnya dikomodifikasi menjadi sebatas aset keuangan semata. Dengan begitu, upaya kerusakan iklim dapat diselesaikan dengan mengganti rugi kerusakan dalam bentuk program atau skema ganti rugi lainnya.
Sebagai penutup, tulisan ini mengajak pembaca untuk bersama-sama mendiskusikan kembali tentang proses penanganan krisis iklim atau kerusakan alam yang terjadi hari ini. Setidaknya, terdapat dua hal yang perlu menjadi agenda diskusi ke depan.
Pertama, kita membutuhkan konsep tandingan untuk mengatasi krisis iklim, yang mampu melampaui kerangka sistem moneter semata dan rezim administrasi hukum. Kedua, kita membutuhkan cara baru untuk membicarakan isu lingkungan di dalam gerakan perburuhan karena melihat dinamika gerakan warga yang dibenturkan dengan gerakan buruh yang notabene sebagian juga adalah warga desa sekitar. Bisakah gerakan buruh melampaui tuntutan-tuntutan yang bersifat normatif, seperti upah, pesangon, atau tunjangan?”
[1] Dalam Bahasa Indonesia Corporate Social Responsibility (CSR) diterjemahkan sebagai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL).
[2] Istilah bantuan sosial yang diklaim sebagai bentuk CSR dapat ditemui pada dokumen kesepakatan perdamaian yang dibuat secara sepihak oleh perusahaan pada Pasal 2 Ayat 2.
[3] McKinsey adaptasi dari artikel “Valuing corporate social responsibility and sustainability,” a white paper published by the Boston College Center for Corporate Citizenship, March 2009. https://www.mckinsey.com/business-functions/strategy-and-corporate-finance/our-insights/valuing-social-responsibility-programs, diakses pada 16 Mei 2022 Pukul 20:50 WIB.
[4] Kill J. Economic valuation of nature: the price to pay for conservation? A Critical Exploration. Rosa-Luxemburg-Stiftung Brussels office no financialization of nature network. June 2014.
[5] Mengenai perdagangan jual beli karbon dapat dibaca lebih lanjut dalam tulisan Jutta Kill. Atau melalui buklet publikasi World Rainforest Movement yang berjudul What do forests have to do with climate change, carbon markets and REDD+?. Booklet ini dapat diakses di laman: https://www.wrm.org.uy/publications/what-do-forests-have-to-do-with-climate-change-carbon-markets-and-redd