Ketika massa dari pihak pabrik mulai terdesak, secara tidak terduga, “byuurrrrrrr”. Tiba-tiba dari arah pintu gerbang air menyembur. Kami disemport air hydrant dengan memakai selang pemadam kebakaran. Kaget, sejenak aku tidak tahu harus berbuat apa. Ketika kesadaranku kembali, aku melirik di sebelah kiri ku ada yang terluka. Air bertekanan tinggi yang disemprotkan tepat ke muka laki-laki berseragam biru itu membuatnya terpental. Darah keluar dari hidungnya, kaos biru yang dipakainya seketika berubah warna, karena darah bercampur air.
Semprotan air hydrant membuat massa buruh semakin marah dan terus bergerak maju. Sementara laki-laki itu masih terkapar di tengah massa. Khawatir terinjak massa, aku dan beberapa orang segera mengangkat laki-laki itu ke pinggir. Selanjutnya aku tidak tahu dibawa ke mana. Belakangan aku tahu orang tersebut mengalami patah tulang pada hidungnya dan harus dioperasi.
Saat aku kembali ke barisan massa, beberapa orang laki-laki dengan gerakan cepat menginjak selang sembari beberapa orang lainnya berusaha merebut kendali hydrant. Selang berhasil direbut dan seketika itu pula serangan berbalik arah. Air disemprotkan ke arah barisan massa pengusaha. “yeah, senjata makan tuan” pikirku bersorak dalam hati.
Menghadapi serangan balik, massa bayaran pabrik kocar-kacir, berhamburan menyelamatkan diri, mereka berebut masuk ke dalam pabrik. Melihat massa yang kocar-kacir, muncul inisiatifku untuk membuka gerbang pabrik agar massa buruh bisa masuk ke dalam pabrik. Aku melihat ada pintu kecil di samping gerbang pabrik yang agak sedikit terbuka. Tanpa menunggu komando aku pun bergegas lari ke arah pintu tersebut dan berusaha untuk masuk ke dalam pabrik.
Sialnya aku salah perhitungan, ternyata massa pabrik sedang berkumpul di balik pintu. Saat aku berhasil masuk mereka langsung menutup pintu tersebut. Aku terjebak, terkurung sendiri di antara massa pabrik. Tanpa bisa berbuat apa-apa, aku ditarik ke tengah-tengah massa yang wajahnya tampak beringas. Dalam keadaan tak berdaya, sebuah kursi lipat berbahan besi dipukulkan ke pundak ku, aku mencoba menangkis, namun secara bersamaan kaki dan tangan ku juga dipukul menggunakan berbagai benda panjang dari kayu dan besi. Belum sempat mengelak tonjokan dan tendangan pun jatuh tepat ke muka dan tubuku secara bertubi-tubi.
Meskipun aku menguasai ilmu bela diri, jika lawannya berjumlah lebih dari duapuluh orang, tak banyak yang bisa aku lakukan. Kecuali melindungi kepala agar tidak terkena pukulan sembari melafalkan doa semoga ada keajaiban pertolongan yang bisa menyelamatkanku. Tetiba pandanganku menjadi gelap, tak sadarkan diri.
Aku tidak tahu siapa yang menyelamatkanku. Saat aku sadar, aku sudah terbaring di ranjang rumah sakit dengan tubuh penuh balutan perban.
***
Namaku Gondo, aku bukan buruh pabrik, sehari-hari aku bekerja serabutan. Selain itu, aku terlibat aktif menjadi anggota dan pengurus cabang pada salah satu perguruan silat yang cukup terkenal di Indonesia dan beberapa negara Asia. Terkahir yang aku tahu anggota perguruan silat yang aku ikuti memiliki anggota sekitar tujuh juta.
Aku dan istriku, Lastri, bertemu ketika kami sama-sama masih bekerja di salah satu pabrik garmen yang terletak di Kabupaten Tangerang. Usia pernikahan kami genap sembilan tahun, tapi Allah belum memberikan kepercayaan kepada kami seorang anak.
Pada 2007, pabrik tempat kami bekerja tutup. Perusahaan membayarkan pesangon kami hanya satu bulan upah. Untuk melanjutkan hidup setelah sudah tidak lagi bekerja, aku dan istriku terpaksa menjual makanan. Dengan modal uang pesangon yang kami terima, setiap pagi kami menjual nasi uduk dan gorengan, jika siang tiba, kami menjual minuman dingin di depan rumah.
Sembari berjualan, aku mencoba mencari pekerjaan. Walaupun aku memiliki berpengalaman sebagai mekanik, tapi sulit bagiku mencari pekerjaan. Lowongan yang tersedia kebanyakan untuk perempuan, kalaupun ada buat laki-laki harus membayar sejumlah uang yang tidak sedikit, antara dua sampai lima juta.
Setahun lebih kami berjualan tidak ada kemajuan. Beberapa kali modal dagang terpakai untuk menutupi kebutuhan sehari-hari karena keuntungan dari berjualan tidak seberapa. Padahal, pengeluaran rumah tangga kami sudah hampir separuh kami kurangi. Terutama untuk pengeluaran makan. Jika modal berjualan habis, kami terpaksa harus berhutang. Gali lubang tutup lubang menjadi strategi bertahan hidup kami. Jangankan mengembangkan usaha yang ada hutang kami terus membesar.
***
Tahun 2008 istriku diterima bekerja pada salah satu pabrik pembuat sepatu merek internasional. Karena istriku sudah bekerja, kami tidak lagi berjualan. Agar mengurangi pegeluaran transportasi, setiap hari aku antar jemput istriku ke pabrik.
Selain itu, untuk dapat membeli rokok, setelah aku membereskan pekerjaan rumah, aku ngojek atau jika ada yang membutuhkan kenek tukang bangunan aku lakoni. Syukur-syukur uang hasil kerjaku bisa untuk membayar listrik dan air.
Sejak istriku kerja, lambat laun keadaan ekonomi kami membaik. Meskipun istriku harus memperpanjang waktu kerjanya dengan lembur. Hampir setiap hari, istriku pulang sekitar pukul 20.00 WIB, bahkan pernah lembur hingga pukul 22.00 WIB, melebihi batas waktu lembur normatif. Hari sabtu yang seharusnya libur pun istriku lebih sering lembur.
Walaupun upah yang diterima bisa mencapai tiga juta rupiah, tapi aku merasa kasihan dengan istriku. Tak bisa membayangkan betapa lelahnya karena ia harus bekerja hingga duabelas jam setiap hari. Ingin rasanya aku menggantikan pekerjaan istriku, namun apalah daya, laki-laki seusiaku sangat sulit untuk bisa bekerja di pabrik. Namun aku tahu diri, semua pekerjaan rumah seperti mencuci, memasak, dan bersih-bersih aku kerjakan kecuali setrika, karena aku paling anti dengan pekerjaan itu.
“[A]ku pengen berhenti kerja, mas. Capek ati kerja disana” ujar istriku tiba-tiba berbisik kepadaku di atas motor ketika menjemputnya pulang kerja.
“Maksudmu apa dek? Mau pindah kerja, atau apa?” balasku sambil tetap fokus mengendarai sepeda motor. Tidak ada sahutan dari istriku, diam sepanjang jalan.
Sampai kontrakan belum juga tertutup sempurna pintu kontrakan tiba-tiba “Hiks, hiks, hiks pokoknya aku mau keluar kerja, mas. Aku nggak betah,” suara istriku diiringi isak tangisan.
“Kowe ki keno opo kok teko-teko nangis terus arep metu kerjo, enek opo crito sek jelas (Kamu kenapa, tiba-tiba menangis dan minta keluar kerja, ada apa, cerita yang jelas” ujarku masih dengan kekagetanku.
“Pokoke aku arep metu kerjo, aku loro ati, (Pokonya aku mau keluar kerja, aku sakit hati)” balasnya masih dengan tangisannya yang semakin kencang.
Lebih dari limabelas tahun aku mengenal istriku. Aku sangat paham kondisi kerja dipabrik garmen sebagaimana tempat kami kerja sebelumnya, tapi dia bisa bertahan. Namun di pabrik sepatu ini, dia menangis dan mengatakan akan berhenti kerja. Itu artinya ada sesuatu yang membuatnya sangat sedih.
“aku dilempar upper[1] sama mandorku, kena mukaku. Aku juga diomel-omelin, aku malu mas teman-temanku yang line lain pada ngeliatin” jelasnya disela-sela isak tangisnya.
Sejujurnya aku sakit hati mendengar istriku diperlakukan seperti itu, walaupun rumah tangga kami tidak selalu rukun tetapi aku tidak pernah kasar, apalagi main tangan.
“udah nggak usah nangis, siapa atasanmu? besok sore temuin mas sama atasan mu,” ucapku setelah mendengar keterangan dari istriku. Sulit rasanya aku menahan marah mendengar perlakuan yang menimpa istriku.
Perasaan marah dengan diri sendiri, malu, sakit hati bercampur jadi satu. Kalau saja aku bisa mendapatkan pekerjaan aku akan meminta istriku di rumah. Tetapi sekarang ini untuk dapat kerja yah harus keluar modal, apalagi lowongan kerja untuk laki-laki harus membayar di atas tiga juta. Dari mana aku mendapat uang untuk bayar lowongan kerja.
Setelah beberapa bulan, rengekan istriku untuk berhenti kerja hilang seiring berjalannya waktu. Walaupun hampir tiap hari selalu ada keluhan dengan aturan pabrik dan perlakuan atasannya. Aku hanya bisa menyuruhnya untuk bersabar. Aku juga mulai mendapat pekerjaan sampingan lain walaupun tidak tiap hari. Yaitu menjadi penjaga malam di salah satu kantor pergudangan, kerjanya jika ada bongkaran barang atau naikan barang.
Sampai pada suatu hari, aku ingat hari kamis 12 Juli tahun 2012, antara pukul 10.00 WIB atau 11.00 WIB notifikasi SMS berbunyi dari handphone Esiaku. “Mas, aku ora kerjo. Neng pabrik lagi demo, mengko sampean le menthuk ojo sore-sore yo (Mas, aku ngak kerja. Di pabrik lagi ada demo, nanti kamu jemput jangan sore-sore ya)”
Sejak hari itu sampai seminggu full aku lihat istriku dan teman-temannya terus melakukan aksi, sampai suatu sore sepulang aksi istriku menyampaikan kalau dia dan sekitar 1300 temannya yang ikut demo di pecat dengan alasan dianggap mengundurkan diri.
“Terus nasib kita ke depan gimana, mas. Aku udah nggak kerja,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
“ Lha terus gimana, kira-kira kamu dapat pesangon ngak? Tanyaku.
“Aku ora ngerti mas, tadi nggak ngomong soal pesangon” jawabnya.
“Lho sampeyan iku yo opo se sakjane mau sampeyan takok masalah pesangon (kamu ini bagaimana, harusnya tadi kamu nanya soal pesangon, jangan diem aja)” ucapku.
***
Memasuki dua minggu puasa, istriku dan teman-temannya masih tetap demo. Berangkat pukul 06.00 WIB dan pulang pukul 18.00 WIB, bahkan lebih. “ Dek, ini gimana kelanjutan demo kalian? Sebentar lagi lebaran, apa nanti kamu dapat THR?” Tanyaku disuatu malam selepas kami sholat tarawih.
“Aku nggak tau mas, kalau kata ketua kami harusnya dapat THR, nanti juga mau ada aksi ke kantor Menaker menuntut soal THR sama sisa gaji bulan kemarin,” jawabnya. Menjelang idul fitri kami berdua, bahkan mungkin teman-teman istriku yang lain dilanda keresahan.
Saat itu, belum ada bayangan kami bisa pulang kampung, atau memberi uang kepada kedua orangtua kami, yang menjadi prioritas kami saat itu adalah bayar zakat fitrah. “Mas, apa aku nyerah aja yah? Teman-teman banyak yang ambil tali asih ke pabrik,” entah dari mana tiba-tiba istriku punya pikiran itu.
“Berapa tali asih yang didapat temenmu? Sudah ikuti saja temen-temenmu yang bertahan, toh ada pengurus yang masih semangat berjuang kan?, ujarku menguatkan kembali semangatnya. Obrolan kami malam itu membuat istriku tetap bertahan dan terlibat dalam perjuangan.
“Mas aku masih di Jakarta, aku nggak tahu aksi kami sampai jam berapa,” sekitar puku 17.00 WIB pesan SMS itu aku terima. Hari itu aku lupa tanggal berapa dan sudah keberapa kalinya istriku aksi. Tapi aku ingat saat itu, menjelang hari raya idul fitri.
Sekira pukul 23.00 WIB istriku dan teman-temannya sampai Tangerang pulang dari aksi di depan gedung Kemenaker RI. Tampak, wajah istriku dan teman-temannya berseri-seri. Di tengah kerumunan orang yang turun dari bis, tiba-tiba terdengar suara cempreng istriku “Mas, demonya berhasil, perusahaan mau bayar THR dan kekurangan upah,” ujarnya ketika menemuiku di parkiran Mitra 10, nama toko bangunan yang selalu dijadikan tempat kumpul istriku dan teman-temannya ketika akan aksi. “Alhamdulillah akhirnya kita bisa berlebaran walaupun tidak pulang kampung,” ucapku dalam hati.
Selama aksi-aksi yang dilakukan dari bulan Juli 2012, peranku hanya mengantar jemput istriku ketika aksi. Namum di bulan Agustus 2012, tiba-tiba istriku meminta ku untuk terlibat dalam aksi yang akan dilaksanakan pada 8 Oktober 2012.
“Mas, nanti bulan Oktober mau ada aksi besar, melibatkan keluarga, nanti suami, adik, kakak, pacar diajak untuk terlibat. Kata mba Zul tadi, kasus ini bukan cuma masalah 1300 buruh yang di PHK tapi masalah keluarganya juga,” ujarnya sepulang dari kumpulan anggota wilayah. Mba Zul adalah panggilan kami untuk koordinator wilayah (Korwil).
Aku sepakat dengan apa yang disampaikan istriku karena PHK ini berdampak terhadap kehidupan keluarga. Dari selebaran yang dibawa istriku dan dari nguping ketika kumpulan wilayah, aku jadi tahu dampak dari PHK ini luar biasa. Ada yang diusir dari kontrakan, ada anak yang dikeluarkan dari sekolah karena belum bayar uang SPP, bahkan ada yang ditinggalkan suaminya. Intinya PHK membuat taraf hidup kami semakin terpuruk, itu yang aku dan keluarga lain rasakan.
***
Kumpulan wilayah adalah istilah yang digunakan oleh istriku dan teman-temannya, berupa aktifitas ngumpul rutin setiap minggu sesama buruh yang sudah di PHK. Sebelumnya, buruh-buruh yang di-PHK dibentuk per group, sesama teman-teman satu line. Setelah ter-PHK, group line dibubarkan dan diganti menjadi group wilayah.
Setiap wilayah tempat tinggal buruh-buruh yang ter-PHK dibuat group-group kecil dengan jumlah antara 7 hingga 11 orang. Satu wilayah dipimpin oleh satu orang koordinator dan setiap group dipimpin oleh ketua group dan istriku adalah salah satu ketua group. Aku heran kenapa istriku yang pendiam, pemalu bisa jadi ketua group, ada kebanggan tersendiri melihat istriku berbicara di depan teman-temannya, sesuatu yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Seminggu sekali istriku mengikuti pertemuan, biasanya pertemuan diadakan di rumah anggota yang rumahnya cukup luas. Namanya mba Isti.
Di fase awal kumpulan wilayah, para suami biasanya ngobrol-ngobrol sambil merokok menunggu rapat hingga selesai. Aku lupa kapan tepatnya, yang pasti mnjelang aksi 18 Oktober 2012, seperti yang pernah disampaikan istriku. Akhrinya setiap pertemuan wilayah selain dipimpin oleh korwil juga ada pendamping satu atau dua orang laki-laki dari sekretariat. Aku tahu, karena aku sering melihat ketika mengantar atau menjemput istriku ketika aksi.
Pendamping laki-laki itu bertugas mengajak kami para suami berdiskusi. Sebelumnya kami biasa menunggu di atas motor, dengan adanya pendamping laki-laki itu kami dikumpulkan di teras “Kawan-kawan tahu bagaimana perlakuan atasan istri kawan-kawan?” tanya laki-laki kurus berambut gondrong. “Kalau belum tahu coba pulang nanti tanya istrinya bagaimana kondisi kerja di dalam yah, agar tahu bagaimana istri tercinta kawan-kawan ditekan oleh pabrik,” lanjutnya.
Akhirnya aku dan suami-suami lainnya yang awalnya hanya mengantar istri, karena biasa ngobrol dengan pendamping tersebut, lama-lama kami menjadi bagian dari 1300 buruh yang di PHK. Dari mulai ikut menyiapkan pernik-pernik perlengkapan aksi, sampai ikut aksi seperti aksi pada 18 Oktober 2012, dimana selama hampir tiga bulan aku harus berobat jalan karena patah tangan di pukul orang-orang bayaran dari perusahaan. Untungnya organisasi bertanggung jawab membiayai pengobatanku sampai sembuh.
Bukan hanya ikut aksi dan menyiapkan perlengkapan aksi, kami para suami juga ikut membantu pindahan sekretariat. Ketika sekretariat kebanjiran aku dan beberapa orang suami anggota lain bertanggung jawab membersihkan. Bahkan beberapa orang suami anggota sering aku lihat ikut orasi di atas mobil komando. Tidak hanya istriku, aku sendiri sudah merasa bagaimana perubahan hidup yang drastis ketika di pecat oleh perusahaan, padahal sepanjang aku bekerja menghasilkan banyak keuntungan untuk perusahaan.
***
Setelah istriku di PHK untuk kedua kalinya, kami kembali jualan nasi uduk dan gorengan setiap pagi. Walaupun tidak seberapa, tapi cukup buat makan sehari-hari.
Suatu hari istriku merasa tidak enak badan. “Mas, aku kok lemes banget ya, males banget mau siapin buat jualan” kata istriku di suatu malam ketika kami harusnya sudah bersiap masak untuk berjualan di pagi harinya.
Aku lihat wajahnya memang agak pucat, “kalau kamu sakit udah tiduran aja, biar mas yang siapin tapi kamu kasih tahu bumbunya yah,” ucapku sambil menyiapkan beras yang akan ku masak menjadi nasi uduk. Sampai selesai jualan kondisi istriku bertambah parah, muntah-muntah dan pusing keluhannya. Agar tidak bertambah parah, aku bawa istriku berobat ke klinik dekat kontrakan.
“Sudah berapa lama ibu telat haid?” tanya dokter yang memeriksa. Pertanyaan yang membuat jantungku bergetar dag-dig-dug tidak karuan. Sampai akhirya “selamat yah bu, kandungannya sudah sekitar lima minggu,“ lanjut dokter klinik yang mengenakan hijab merah maroon itu.
Kalimat itu yang selalu kami tunggu sejak lama, hampir 10 tahun menunggunya. Hari ini kalimat indah itu kami dengar di saat keadaan ekonomi kami benar-benar berada dititik nol, bahagia itu pasti tapi aku juga sedih membayangkan bagaimana menghadapi kehamilan istriku kedepannya.
Memasuki bulan ketiga kehamilannya alhamdulilah akhirnya aku diangkat jadi satpam tetap di tempat kerjaku, walaupun kontrak dua tahuh tapi ini adalah rejeki dari kehamilah istriku.
“Mas, aneh lho setelah di PHK teman-temanku jadi banyak yang hamil lho lebih dari 20 orang yang hamil mas. Bukan aku aja lho, bang Andi yang nunggu lebih dari 15 tahun akhirnya istrinya hamil mas. Kata Bang Andi ini keajaiban selain mungkin karena kami sudah tidak strees dengan kejaran target,” ucap istriku ketika merefleksikan perjalanan menjadi seorang buruh. Meskipun kami kekurangan uang, tapi perasaan istriku dan teman- teman yang lain tenang tidak berada dalam tekanan seperti ketika ia bekerja di pabrik.
Setelah istriku hamil dan untuk menjaga kehamilanya aku mintanya untuk tidak bekerja terlalu capek. Konsekuensinya dengan sadar aku menggantikan posisi istriku sebagai ketua grup di wilayah. Kalau ada pertemuan di sekretariat aku ikut, aku juga koordinasi dengan koordinator wilayah. Setiap selesai pertemuan, aku menceritakan ke istriku, untuk meneruskan ke anggotanya.
Juga ketika di tahun keempat perjuangan, ketika organisasi memulai rute perjuangan dengan berkampanye di media sosial, selain anggota yang kampanye, keluarga juga dilibatkan. Tidak aneh ketika agenda pendidikan kampanye turut hadir pula anaknya, suaminya atau adiknya yang juga ikut belajar.
Delapan tahun perjuangan istriku dan teman-temannya, Jika berbicara kompensasi yang didapat mungkin tidak seimbang dengan perjuangan panjang yang dilakukan. Tetapi, ada sisi lain yang aku rasa lebih dari sekedar nominal uang yang didapat. Seperti yang aku rasakan, banyak pengalaman berharga yang baru aku rasakan dan tentu saja ilmu dan pemahaman baru tentang bagaimana berjuang menuntut hak.
Melibatkan keluarga dalam perjuangan menuntut hak adalah hal baru bagiku. Para suami mengantikan istrinya aksi, keluarga dilibatkan dalam kampanye media sosial. Itulah yang membuat kami, keluarga anggota tidak segan untuk datang ke sekretariat untuk sekedar ngopi atau ngobrol-ngobrol. organisasi menjadi rumah bersama untuk para anggota dan keluarganya.
Aku melihat hubungan pengurus dan anggota tidak sekedar penanganan kasus, aku tahu pengurus juga terlibat dalam masalah anggotanya. Sebagai contoh, ketika suami salah seorang anggota berurusan dengan hukum karena dituduh penadah, ketua dan pengurus lain ikut mendampingi, mengurus, mengantar ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH), mereka membantu buat kronologi dll. Hubungan kami tidak sebatas anggota dan pengurus, hubungan kami mirip seperti keluarga.
Sisi positif yang aku rasakan adalah istriku yang sebelum aksi mempunyai sifat pendiam dan pemalu, setelah aksi-aksi yang dilakukan, dia bisa memimpin anggotanya, berbicara di pertemuan-pertemuan dan memimpin anggotanya. Bagi orang lain, mungkin itu hal sepele, tapi bagiku itu hal yang istimewa. Istriku seorang ibu rumah tangga, buruh biasa dengan pendidikan tidak sampai di tingkat menengah pertama tapi mampu bernegosiasi dengan aparat kepolisian, orasi di depan massa aksi. Itu adalah kebanggaan dan kemenangan yang tidak bisa dinilai dengan uang.
Sepuluh tahun sudah berlalu, anak kami sudah masuk sekolah dasar. Setelah kasus selesai, kami memutuskan pulang kampung. Kami menggarap lahan di kampung walaupun tidak luas tetapi mencukupi untuk kami hidup.
Setahun yang lalu, istriku, perempuan sederhana itu, diminta warga untuk mencalonkan diri menjadi RT, dan terpilih “Mas kalau aku nggak aktif waktu demo dulu, mungkin aku masih jadi Lastri yang cuma tahu jahit masak dan beberes, malu buat ngomong depan orang banyak” Ujarnya suatu malam diperbincangan kami sebelum tidur. “Yah kamu Lastri perempuan sederhana, pendiam, sabar, pekerja keras tulus dalam menolong sesama. Aku Gondo suamimu bangga dengan pencapaianmu, jadilah ibu yang baik bagi anak kita. Jadilah pimpinan kampung yang amanah, jadilah wanita yang hebat. I Love You Lastri![]
[1] Upper adalah bahan untuk bagian atas sepatu yang menyelimuti seluruh permukaan kaki.
Penulis
-
Nonon Cemplon
-
Labour story teller