MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Akal-akalan untuk Merampas Upah Buruh

Baru-baru ini lima asosiasi pengusaha berkirim surat kepada Ida Fauziah selaku Menteri Tenaga Kerja (Menaker). Surat bertanggal 7 Oktober 2022 tersebut, berisikan tentang permohonan para pengusaha kepada Ida Fauziah untuk dibuatkan aturan tambahan mengenai fleksibilitas jam kerja bagi perusahaan padat karya yang berorientasi ekspor.

Alasan permohonannya klasik, order turun gegara perekonomian dunia sedang tidak baik. Aturan fleksibilitas jam kerja yang dimaksud dalam surat tersebut adalah pengurangan jam kerja dari 40 jam per minggu menjadi 30 jam per minggu.

Surat bernomor 001/APINDO/KOGA/KOFA/API/10/2022 tersebut ditandatangani oleh Anton J Supit sebagai ketua umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Edi Wijanarko selaku ketua umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (APRISINDO), Ane P Sutanto sebagai wakil ketua umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Lee Jong Yan selaku chairman Korean Footware (KOFA) yang merupakan organisasi pengusaha sepatu asal Korea Selatan dan terakhir Ahn Chang Sub sebagai chairman dari Korean Government Manufakturers Asosiation (KOGA) yang merupakan asosiasi pengusaha garmen asal Korea Selatan.

Entah bagaimana mereka bisa bersepakat memohon kepada Menaker untuk dibuatkan aturan tabahan yang dapat menyelamatkan bisnis mereka. Ya, sekali lagi bisnis mereka yang selama ini untung dari mengupah buruh murah, merekalah para pengusaha industri padat karya. Pengusaha garmen, tekstil dan alas kaki yang paling aktif memohon kepada pemerintah untuk mengurangi upah buruh. Mulai dari penangguhan upah, upah padat karya, upah kesepakatan hingga meminta perlindungan bisnisnya dengan memotong upah saat pandemi. Barangkali kesepakatan itu dirumuskan sambil main golf setelah seharian sibuk menelfon sana-sini para manajer pabrik untuk memastikan target produksi berhasil dicapai oleh para buruh. Entahlah.

Surat itu beredar luas di media sosial dan group-group whatsapp serikat buruh. Banyak buruh yang bertanya-tanya apa tujuan dari surat itu. Termasuk saya yang setiap harinya bekerja sebagai operator di salah satu pabrik garmen di Sukabumi, Jawa Barat. Pertanyaan saya sederhana, kenapa pengusaha yang biasanya memaksa buruh untuk bekerja lebih banyak, justeru dalam surat itu pengusaha menginginkan aturan tambahan tentang pengurangan jam kerja? ada apa gerangan?

Membaca surat itu saya jadi teringat apa yang saya dan sebagian besar buruh alami sebelumnya, tepatnya saat pandemi Covid-19 ditetapkan sebagai bencana nasional oleh pemerintah. Saat itu, Kemenaker mengeluarkan Surat Edaran (SE) terkait perlindungan buruh dan kelangsungan usaha dalam rangka pencegahan dan penanggulangan Covid-19. Pasca SE diedarkan, yang terjadi di tempat saya bekerja adalah buruh diliburkan tanpa upah, upah kami dipotong dan kami kehilangan sebagian pendapatan di tengah situasi krisis kesehatan.

Padahal, dalam situasi normal, meskipun upah yang kami terima berdasarkan UMK, masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan harian kami, karena politik pengupahan upah tak lagi didudukkan sebagai hasil negosiasi antara buruh dan pengusaha, melainkan ditentukan oleh pasar, melalui pertumbuhan ekonomi dan kerumitan rumus ekonomi dalam aturan turunan dari Omnibus Law Cipta Kerja. Akibanya, sudah dua tahun ini upah kami tak ada kenaikan, padahal harga-harga barang terus naik. Minyak goreng, telur, daging, dan terkhir BBM membuat kami terjebak dalam hutang rentenir dan pinjol. Untuk tetap hidup, kami harus pontang-panting mencari tambahan agar bisa mencukupi kebutuhan hidup kami, karena upah yang terlalu murah alias sangat minim. SE tersebut menjadi legitimasi bagi pengusaha untuk membayar upah di bawah nilai UMK dengan berbagai cara. Narasi yang dibangun adalah “menjaga kelangsungan bisnis” dengan menerapkan no work no pay sembari mengancam akan melakukan PHK.

Sekarang pandemi sudah berakhir, tapi katanya krisis ekonomi global belum pulih dan berdampak pada order. Sebagai buruh yang setiap hari berada di pabrik, saya masih belum bisa menerima alasan tersebut. Di pabrik, kami masih terus bekerja setiap hari dengan sistem target.

Bahkan, di pabrik di Sukabumi masih banyak yang memberlakukan sistem scorsing. Jika buruh tidak bisa menyelesaikan target akan menjadi hutang jam kerja atau kerja tambahan yang tak dibayar. Biasanya perusahaan membungkus itu dengan istilah tanggugjawab buruh dan bentuk dari loyalitas buruh terhadap perusahaan. Parahnya, secara diam-diam sistem no work no pay masih terus diterapkan meskipun pandemi sudah berakhir.

Tak hanya itu, rekrutmen pun masih terus dilakukan perusahaan dan parahnya beberapa perusahaan di Sukabumi justeru malah melakukan ekspansi ke wilayah yang upah buruhnya lebih murah. Kondisi kerja yang demikian ini tidak hanya terjadi di tempat saya bekerja, beberapa kawan yang bekerja di pabrik lain di Sukabumi juga menceritakan hal yang sama.

Melihat fakta di lapangan perusahaan masih tetap baik-baik saja, saya jadi menaruh kecurigaan dengan adanya surat permohonan dari para pengusaha tersebut. Apalagi alasan situasi ekonomi global yang sedang tidak baik-baik saja dan berpengaruh secara signifikan terhadap order, tanpa disertai sumbernya dari mana, dan tanpa data yang bisa menjelaskan argumen tersebut. Sebagaimana surat tersebut tidak melampirkan apapun selain selembar kertas yang berisi permohonan saja.

Se-signifikan apa order berkurang karena dampak krisis ekonomi global terhadap bisnis mereka? Cerita krisis itu dari mana sumbernya? terpercaya atau tidak data dan sumbernya? Jika tidak bisa menjelaskan itu kepada kami sebagai buruh artinya bisa saja cerita itu dibuat-buat alias gosip belaka. Atau sekedar alasan agar para pengusaha mendapat legitimasi membayar upah di bawah ketentuan UMK. Sebagaimana cerita pada saat covid-19 upah kami dipotong hingga hari ini belum dibayarkan.

Kalau memang benar bisnisnya terancam, mestinya para pengusaha tersebut memperlihatkan laporan keuangan perusahaan. Mana saja perusahaan yang terimbas dan sejauh mana keuangan perusahaan dapat bertahan dari krisis tersebut. Lagi pula bertahun-tahun keuntungan yang pengusaha dapatkan berasal dari keringat kami. Buruh. Ke mana keuntungan selama ini? Sampai-sampai harus meminta bantuan ke pemerintah. Kenapa keuntungan sebelumnya tidak digunakan saja untuk mencegah agar bisnisnya tetap bertahan meskipun order berkurang?

Berkurangnnya order bukan berarti rugi bukan? Kalaupun rugi tunjukkan saja sejauh mana potensi kerugiannya. Saya sendiri sangat yakin berkurangya order itu tak benar-benar rugi, hanya saja keuntungannya berkurang. Itu pun menurut saya salah mereka, karena setiap tahunnya para pengusaha ini merencanakan target kenaikkan keuntungan perusahaan. Tentu cara yang paling mudah adalah dengan mengotak-atik upah buruh yang sudah minim dan membuatnya terus berkurang sehingga berubah menjadi keuntungan pengusaha.

Bagi buruh, mengurangi jam kerja dari 40 jam per minggu menjadi 30 jam merupakan akal-akalan pengusaha untuk melegalkan perampasan upah dan melegalkan upah perjam. Tegasnya, usaha pengusaha untuk membayarkan upah di bawah UMK. Apalagi sekarang adalah bulan-bulan menjelang buruh dan serikat buruh mulai ramai menyuarakan kenaikan upah. Sebagaimana diketahui, tahun ini pertumbuhan ekonomi meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Dengan demikian kuat argumentasi buruh untuk menuntut kenaikan upah tahun 2023. Apalagi kenaikkan harga pangan dan BBM yang berdampak pada kenaikan harga-harga kebutuhan lainnya akan mendorong perjuangan upah tahun ini lebih besar dan luas.

Surat itu bagi saya tanda ancaman bagi buruh jika upah yang merupakan satu-satunya andalan hidup buruh terus berkurang. Jika permohonan para pengusaha tersebut diterima oleh pemerintah yang terjadi adalah penghianatan Negara terhadap rakyatnya. Dalam surat itu pula, para pengusaha secara halus memaksa pemerintah dengan sedikit nada ancaman “untuk menghindari PHK”. Bagi saya kalimat ini adalah pemerintah diancam akan mem PHK buruh jika tidak menuruti keinginan pengusaha. Berikut ini adalah simulasi jika pengurangan jam kerja berakibat pada pengurangan pendapatan buruh dengan contoh kasus untuk kabupaten Sukabumi.

UMK Sukabumi:Rp.3.125.444
Upah per jam untuk 40 jam per minggu:Rp.19.534
Upah per bulan jika diterapkan 30 jam per minggu atau 120 jam per bulan:Rp.2.344.083
Kekurangan upah jika diterapkan 30 jam per minggu.  :Rp.781.361

Dari rincian di atas kita bisa lihat jika jam kerja per minggu 40 jam menjadi 30 jam per minggu maka buruh akan kehilangan 25 persen pendapatan mereka dari UMK Sukabumi. Padahal jika pengusaha membayar upah di bawah ketentuan UMK adalah sebuah tindakan kriminal, karena aturan di undang-undang hal tersebut masuk dalam perkara pidana.

Hal lain yang tersirat dari keinginan pengusaha sebagaimana surat tersebut adalah upah per jam akan menjadi patokan karena terlegitimasi dengan jam kerja yang fleksibel. Sementara besaran upah per jam ditentukan sepihak oleh pengusaha. Padahal barang yang dibuat buruh bernilai jutaan rupiah. Tak berhenti di situ, dalam sejam buruh dipaksa menyelesaikan target yang ditentukan sepihak oleh perusahaan. sebagai contoh: buruh diupah 20 ribu per jam untuk membuat 150 piece jaket Hoodie Zipper merk H&M yang harganya Rp.700.000. Berarti total harga jaket sejam yang dibuat buruh adalah Rp 105 juta. dari hitung-hitungan ini saya sangat yakin bahwa meskipun order berkurang para pengusaha tidak akan rugi, yang ada hanya keuntungannya menjadi berkurang.[] 

Penulis

Nanang Kurniawan
Buruh Garmen di Sukabumi