MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Aksi Peringatan May Day 2024: Wujudkan Kesejahteraan dan Kedaulatan Rakyat (4)

Artikel ini merupakan booklet tentang peringatan May Day 2024 yang diterbitkan oleh Aliansi Barisan Rakyat Anti Penindasan (BARA API), Surabaya, Jawa Timur. Untuk kepentingan pendidikan dan kampanye Majalah Sedane menerbitkan ulang dalam Serial May Day 2024.

Bagian 3: Perluasan Konflik Sosial Ekologis

Krisis Ruang Hidup Di Jawa Timur, Rakyat Terpuruk dalam Pusaran Konflik Agraria

Sampai hari ini, reforma agraria di Tanah Air belum terwujud. Ketimpangan penguasaan dan pemilikan lahan terjadi di setiap daerah sehingga meningkatkan tensi konflik agraria. Sementara penanganan dan penyelesaian ketidakadilan serta konflik agraria jauh dari kata usai.

Di Jawa Timur, perampasan terhadap ruang hidup belakangan turut menyisakan derita bagi rakyat. Bahkan, kerap diiringi praktik kriminalisasi dan represi. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, kurang lebih ada 66 kasus konflik agraria di Jawa Timur dalam kurun waktu 4 tahun terakhir (2020 – 2023). Dari jumlah tersebut, membuat Jawa Timur masuk dalam daftar 5 propinsi sebagai zona sangat rentan konflik agraria di Indonesia. WALHI Jawa Timur mencatat, lokasi yang selama ini menjadi episentrum konflik agraria membentang dari Matraman, Surabaya Raya, Malang Raya, Tapal Kuda, Madura, Pesisir Selatan, Pesisir Utara dan Kepulauan.

Tipologi konflik agraria Jawa Timur pun beragam. Dari sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, pesisir dan pulau-pulau kecil, infrastruktur, properti dan fasilitas militer. Hal ini selain buntut operasi perusahaan-perusahaan pemilik konsesi, sebagian lain karena pembangunan infrastruktur dan kawasan industri melalui Proyek Strategis Nasional (PSN). Kegiatan tersebut secara kasat mata telah menimbulkan dampak sosial-ekologis signifikan, yakni perubahan dan kerusakan lingkungan, ketegangan sosial, kerugian ekonomi, budaya, politik dan pelanggaran hak asasi manusia.

Bentang konflik agraria di Jawa Timur yang semakin berkecamuk, menorehkan catatan buruk mengenai kegagalan negara dalam mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sesuai amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat (3). Negara selalu setengah hati dalam mengentaskan kasus-kasus agraria di Jawa Timur. Bertindak sebagai pemangku kebijakan dan aktor utama, negara justru menciptakan desain pengaturan tanah lewat peraturan hukum secara serampangan demi mencapai ambisi bisnisnya, semakin memperluas jurang ketimpangan. Mengakarnya sindikat mafia tanah terorganisir yang sukar diberantas. Ditambah bank tanah, jika ditelaah mendalam berpotensi besar dalam memperpanjang praktik-praktik liberalisasi tanah dan mengedepankan logika pasar. Rakyat sipil, terutama kaum tani yang paling merasakan dan menderita akibat menjadi korban dari buah ketidakadilan struktural tersebut. Kaum tani juga selalu terperangkap di lingkar kemiskinan struktural dan konflik agraria berkepanjangan. Dalam urusan pertanahan, negara seharusnya berpihak kepada petani dan rakyat kecil dengan menjamin sepenuhnya hak atas tanah sesuai amanat konstitusi dan UUPA demi mewujudkan reforma agraria sejati.

Kriminalisasi Pejuang Rakyat Kian Marak

Teror dan ancaman kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan, pejuang HAM dan buruh kian melesat kencang. Di Jawa Timur, pelanggaran HAM menunjukan tren yang amat buruk. Di sektor perburuhan LBH Surabaya mencatat, selama 2023 dari total 168 kasus tersebut didominasi buruh dan kekerasan terhadap perempuan. Salah satu kasus kriminalisasi sebagai bentuk pelanggaran HAM pada akhir 2023 ialah menimpa seorang buruh perempuan, yakni Dwi. Perjuangannya ialah menuntut hak atas upah selama 3 bulan juga jaminan kesehatan ketika bekerja sebagai buruh kontrak kepada PT Mentari Nawa Satria. Namun tidak digubris instansi terkait. Ia justru terkhianati dalam proses hukum oleh negara dalam dugaan tindakan pemalsuan surat rekomendasi kerja yang dilaporkan balik perusahaan tersebut, hingga berujung penahanan.

Potret kejadian tersebut tidak hanya bergulir di sektor perburuhan. Pola kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan di Jawa Timur ini selalu memakai pasal-pasal yang berbeda dalam proses hukum. Beberapa kasus yang sudah-sedang bergulir, seperti kriminalisasi terhadap Budi Pego sebagai pejuang lingkungan dan warga dari Tumpang Pitu Banyuwangi. Ia dikenakan Pasal 107a UU RI No. 27/1999 berkaitan kejahatan terhadap keamanan negara tentang penyebaran paham komunisme, Marxisme, Leninisme telah divonis bersalah sampai tingkat kasasi. Beralih ke Desa Pakel Kecamatan Licin Banyuwangi, kriminalisasi turut menimpa trio petani Pakel (Mulyadi, Suwarno dan Untung) yang tengah memperjuangkan hak atas tanah dengan PT Bumi Sari. Mereka divonis bersalah dengan Pasal 14 dan Pasal 15 UU No.1/1946 tentang penyebaran berita bohong yang menyebabkan terjadi keonaran di masyarakat.     

Sekelumit kejadian di atas menjadi pertanda bahwa pejuang keadilan rentan sekali dengan jeratan kriminalisasi. Negara abai dalam memberikan perlindungan dan jaminan hukum. Salah satu peraturan hukum yang tercipta yakni UU Minerba Pasal 162 No. 3/2020 (sebelum diubah dalam UU No. 6/2023 Tentang Cipta Kerja), semakin melanggengkan praktik-praktik kriminalisasi terhadap pejuang keadilan terimbas pertambangan. Segelintir orang dengan akses dan kontrol penuh atas negara, selalu memainkan instrumen hukum yang timpang, melalui pasal-pasal untuk memberangus pejuang keadilan dan menjauhkan diri dari jeratan hukum. Negara harus bertanggung jawab secara penuh dalam menjamin perlindungan dan penegakan HAM yang seringkali menyudutkan pejuang lingkungan, pejuang HAM, serta buruh selama proses hukum. Negara juga tidak boleh abai dalam setiap kasus kriminalisasi dan perampasan ruang hidup yang merugikan rakyat sipil. 

Lanjutkan membaca

Kembali

(Ilustrasi: Senja Melawan)