Di masa Covid-19, kehidupan buruh dan keluarganya makin tidak menentu. Dengan alasan terdampak Covid-19, buruh terancam dipecat atau dikenai pemotongan upah; atau bekerja dengan terpapar virus karena tidak disediakan alat pelindung diri memadai.
Seperti tidak ada pilihan lain: bekerja dengan kondisi tidak aman atau tidak mendapat upah. Mengadukan persoalan di tempat kerja ke dinas ketenagakerjaan pun sia-sia karena petugasnya menjawab: ‘sedang WFH’.
Mogok nasional diumumkan dengan niat menyetop produksi selama tiga hari dari 6-8 Desember dengan melibatkan 2 juta buruh dari lima konfederasi dan 60 federasi serikat buruh. Dua video pendek dari aliansi serikat buruh di Bekasi dan Tangerang tersebar di grup media sosial Whatsapp, menyambut rencana tersebut dengan judul ‘mogok daerah’. Dengan tuntutan utama kenaikan upah minimum 7 sampai 10 persen dan MK mencabut UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Rencana mogok tidak berubah meski Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa UU Cipta Kerja inskonstitusional bersyarat. Tuntutan sedikit berubah: agar pemerintah mematuhi putusan MK!
ALVIN HAMZAH dan belasan kawannya duduk di pelataran pojok pabrik. Belasan kawan lainnya, berkumpul di kantin dan ruang tunggu. Tidak terdengar apapun dari dalam pabrik.
Tulisan ini disusun ketika serikat-serikat buruh sedang melancarkan protes dengan berbagai cara di berbagai tempat.
Memerhatikan Bab IV bagian Ketenagakerjaan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang diajukan pemerintah ke DPR pada Februari lalu, terutama Naskah Akademis di bagian Martiks Analisisnya, mirip dengan Laporan Akhir Analisis dan Evaluasi Hukum Terkait Ketenagakerjaan, yang diterbitkan Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, pada 2018. Mirip […]