MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Perjanjian Kerja Bersama, Dialog Sosial dan Demokratisasi Serikat Buruh

Bukan hanya bagaimana memenangkan tuntutan, tapi bagaimana tuntutan dan strategi itu dirumuskan dan didiskusikan. Apakah melibatkan anggota atau hanya pengurus saja. Kadang anggota hanya sebagai penonton atau sekadar menyetujui gagasan-gagasan pengurus.

Fauzi abdullah, 2018

Pengesahan UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 disambut optimisme pemerintah dan pengusaha. Pemerintah dengan segera mengeluarkan peraturan pemerintah. Sebanyak 45 PP (Peraturan Pemerintah) dan 4 Perpres (Peraturan Presiden) diteken. Peraturan pelaksana akan terus bertambah sesuai amanat UU Cipta Kerja. Melalui UU Cipta Kerja, eksekutif memiliki kekuasaan lebih besar untuk membuat peraturan pelaksana.

Sebulan setelah disahkan, Wakil Ketua Umum Kadin (Kamar Dagang dan Industri) mendesak agar peraturan di tingkat perusahaan pun disesuaikan dengan UU Cipta Kerja. Berarti, PKB (Perjanjian Kerja Bersama) dan PP (Peraturan Perusahaan) harus segera diubah. Kemudian Kementerian Ketenagakerjaan menggelar seminar dengan tema Dialog Implementasi dan Evaluasi Peraturan Perusahaan (PP) dan Perjanjian Kerja Bersama (PP-PKB) Pascapenetapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan dan Peraturan Turunannya, di Yogyakarta, pada 14 Oktober 2021.

Di tingkat pabrik, manajemen perusahaan menyambut UU Cipta Kerja dengan suka cita.

Salah satu serikat buruh di Jakarta mengatakan, direksi di perusahaan menerbitkan internal memo untuk segera mengubah PKB dan PP agar disesuaikan dengan UU Cipta Kerja. Pimpinan serikat buruh di Kabupaten Tangerang dan Purwakarta menginformasikan, setelah pengesahan UU Cipta Kerja terjadi gelombang pemaksaan pengalihan status hubungan kerja dari tetap ke kontrak. Ada pula buruh yang diminta mendaftar ulang melalui penyalur tenaga kerja. Jika tidak bersedia, dianggap mengundurkan diri. Perhitungan kompensasi pengunduran diri dihitung berdasar UU Cipta Kerja.

Salah satu serikat buruh tingkat pabrik di Serang Banten merasa khawatir dengan permintaan manajemen. Bulan keempat 2021, masa berlaku PKB segera berakhir. PKB harus segera diperbarui. Dalam perundingan, manajemen menuntut agar isi PKB, terutama tentang pesangon, disesuaikan dengan UU Cipta Kerja. Serikat buruh menolak. Perwakilan serikat buruh berargumen, segala sesuatu yang telah menjadi kebiasaan baik merupakan sumber hukum. Sementara pengusaha keukeuh dengan pendirian: dasar hukum PKB harus disesuaikan. Perundingan buntu. Akhirnya disepakati, masa berlaku PKB diperpanjang untuk enam bulan ke depan.

***

PKB merupakan hasil dari proses perundingan, konsultasi dan kesepakatan antara perwakilan buruh dengan pengusaha. Isinya menyangkut syarat-syarat kerja, kesehatan kerja, hak-kewajiban buruh dan pengusaha, tata cara penyelesaian masalah, pengupahan, tunjangan-tunjangan, perekrutan, pemutusan hubungan kerja, promosi, jam kerja, sanksi dan hal-hal lain yang dianggap perlu. Sumber hukum perundingan adalah peraturan perundangan tingkat nasional yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, peraturan tingkat daerah, dan kebiasaan-kebiasaan baik yang telah membaku.

Setelah disepakati dan disahkan pejabat berwenang, PKB bersifat mengikat kedua belah pihak dan menjadi landasan hukum di tempat kerja. Seluruh buruh di tempat kerja yang telah memiliki PKB terikat oleh hasil kesepakatan tersebut. Seandainya, di sebuah perusahaan terdapat 1600 buruh, sementara yang tergabung di serikat hanya 300 orang. Kemudian, sebelas dari 300 orang tersebut terlibat merumuskan dan menyepakati PKB. Maka, semua buruh terikat oleh PKB.

Bagi serikat buruh, lembaga-lembaga internasional dan para pemilik merek, PKB memiliki nilai penting. Bagi penyelenggara negara, jumlah peningkatan PKB merupakan indikator diakuinya kebebasan berserikat dan berunding. Bagi produsen barang yang dijual di pasar Amerika Serikat dan Eropa, adanya PKB merupakan ‘nilai tambah’ terhadap produk yang dipasarkan. Bagi serikat buruh, PKB menandakan ‘keberhasilan’ mengendalikan pemilik modal.

Istilah PKB populer setelah pengesahan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Sebelumnya, istilah yang dipergunakan adalah KKB (Kesepakatan Kerja Bersama). KKB merujuk pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan, setelah Indonesia meratifikasi Konvensi ILO Nomor 98 Tahun 1949 tentang Hak Berorganisasi dan Berunding Bersama. Kemudian diperkuat dengan ratifikasi Konvensi 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan terhadap Hak Berorganisasi, yang kukuhkan dengan Undang-Undang Serikat Pekerja/Buruh Nomor 21 Tahun 2000.

PKB maupun KKB diterjemahkan dari atau ke bahasa Inggris menjadi Collective Barganing Agreement (CBA) atau Collective Labour Agreement (CLA). Bukan Joint Work Agreement atau Partnership Agreement. Penerjemahan tersebut menandai evolusi perlawanan-perlawanan buruh dalam konsep collective bargaining.

Collective bargaining atau perundingan bersama atau perundingan kolektif muncul di akhir Abad-18 di Inggris. Istilah tersebut dipopulerkan oleh Beatrice Webb dan Sidney Webb. Kala itu, perundingan kolektif merupakan alternatif dari model hubungan kerja dengan kontrak individual. Model perundingan kolektif kemudian menjalar ke Eropa, Amerika Serikat dan Asia.

Perundingan kolektif, pada akhirnya diakui sebagai pranata internasional dan menjadi indikator kemajuan pengakuan hak asasi manusia di sebuah negara. Pada 1948, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menetapkan Kebebasan Berserikat dan Perlindungan terhadap Hak Berorganisasi sebagai Konvensi Nomor 87. Kemudian, pada 1949, menetapkan Hak Berorganisasi dan Berunding Bersama dalam Konvensi Nomor 98. Dua konvensi tersebut, dengan enam konvensi lainnya, yaitu larangan dan penghapusan kerja paksa, upah yang sama bagi buruh perempuan dan laki-laki, larangan diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan, usia minimum bekerja serta larangan buruh anak, disebut sebagai delapan konvensi inti ILO.

Jadi, praktik membangun serikat buruh, kemampuan melakukan perundingan dan menuntut pekerjaan yang layak, lebih dahulu ketimbang norma-norma yang mengakuinya. Dengan demikian, semua pikiran yang mengatakan, ‘segala sesuatu harus memiliki dasar hukum’ dan ‘tidak dapat menuntut lebih dari aturan yang tersedia karena tidak ada dasar hukumnya’, merupakan pernyataan yang percuma.

Dialog Sosial atau Dialog yang Sial?

Istilah lain dari praktik perundingan dan konsultasi adalah dialog sosial. Dalam sepuluh tahun terakhir, istilah dialog sosial menjadi mantra baru di jagat perburuhan. Narasi dan training dialog sosial diselenggarakan. Modul-modul pelatihan dialog sosial disusun, diterbitkan dan disebarluaskan. Pesan yang disampaikan kurang lebih: serikat buruh harus menggunakan metode dialog dalam menyelesaikan persoalan, melengkapi diri dengan keterampilan bernegosiasi, menguasai data dan membangun argumen yang kuat. Karena menggunakan kekuatan massa sudah tidak efektif.

ILO (Organisasi Perburuhan Internasional) mengartikan dialog sosial sebagai sebagai perundingan, konsultasi atau sekadar tukar pikiran antara perwakilan pengusaha, pekerja dan pemerintah. Dialog sosial dapat mencakup hubungan antara perwakilan pekerja dengan pengusaha yang disebut dengan bipartit. Dapat pula dilakukan oleh perwakilan serikat buruh, pengusaha dan pemerintah, yang disebut dengan tripartit.

Mengikuti perkembangan dialog sosial muncul istilah Multi-Stakeholders Inisiativesatau Multi-stakeholders Dialogues. Dua istilah tersebut merupakan praktik gagasan sukarela organisasi masyarakat sipil, pemerintah dan korporasi; atau antara perwakilan serikat buruh dengan perwakilan merek. Dua istilah tersebut dianggap sebagai inovasi dari praktik dialog sosial.

Mari perhatikan beberapa peristiwa berikut:

Alasan Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 cacat formil dan inkonstitusional bersyarat, karena melanggar asas keterbukaan, tidak ada ruang dialog yang cukup bagi masyarakat untuk mendiskusikan isi UU Cipta Kerja dan akses masyarakat terhadap rancangan undang-undang terbatas. Dengan model penyusunan undang-undang demikian, keterampilan dialog sosial seperti apa yang dibutuhkan?

Awal November 2018 PT Dada Indonesia Purwakarta tutup secara tiba-tiba. Direkturnya kabur. Lebih dari 3000 buruh terlunta-lunta, tanpa upah, apalagi pesangon. Direktur perusahaan yang kabur, menutup pabrik dan menelantarkan buruh terjadi pula di PT Selaras Kausa Busana Bekasi, pada akhir November 2018 dan di PT Mikwang Prima Indo Tangerang, pada Februari 2019. Jika kejadiannya demikian model dialog sosial seperti apa yang dibutuhkan?

Kemudian para buruh mengadukan kasusnya ke Kementerian Ketenagakerjaan. Para buruh pun melengkapi rincian data, sebagaimana diminta Kementerian Ketenagakerjaan. Hingga tulisan ini dibuat ribuan buruh tersebut masih terlunta-lunta. Sekali lagi, model dan keterampilan dialog sosial seperti apa yang dibutuhkan?

Namun, jika melihat pola yang bekerja di atas, yang lebih membutuhkan training dialog sosial adalah penyelenggara negara dan pengusaha. Agar pengusaha tidak menggunakan penguasannya terhadap sarana produksi untuk melucuti hak perburuhan. Agar penyelenggara tidak menggunakan kuasanya untuk berkelit mengatasi persoalan perburuhan.

Problematika PKB

Sebelum UU Cipta Kerja disahkan, serikat buruh tengah sibuk meningkatkan jumlah dan memperbaiki kualitas PKB di tiap perusahaan. Misalnya, afiliasi-afiliasi IndustriAll Global Union di Indonesia giat mengampanyekan ‘14 minggu cuti melahirkan’ agar menjadi klausul dalam PKB. Ada pula serikat-serikat buruh yang berupaya memasukan pasal-pasal yang melarang kekerasan dan pelecehan seksual terhadap buruh perempuan. Ada juga yang bersikeras membuat PKB multiperusahaan. Inisiatif ini dilakukan oleh SPPP SPSI (Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) dengan GPP (Gabungan Pengusaha Perkebunan) Jabar Banten, pada 2015.

Jumlah Serikat Buruh, LKS Bipartit, PP dan PKBDesember 2020

Perusahaan manufaktur besar dan menengah*

Serikat Buruh

LKS Bipartit

PP

PKB

Konfederasi

Federasi

Tempat Kerja

29 ribu

16

161

10.748

18.868

81.778

15.749

Total berserikat: 3,23 juta orang




Sumber diolah dari Satu Data Ketenagakerjaan Kemnaker dan Direktori Industri Manufaktur BPS

* Tidak termasuk usaha perkebunan, pertanian, minyak dan gas.

Menurut keterangan Kemnaker, per 2020 dibanding tahun sebelumnya, jumlah LKS Bipartit naik sebanyak 10,09 persen, PKB naik 4,79 persen, jumlah serikat buruh tingkat perusahaan naik 47,35 persen atau sekitar 3.454 unit.

Jumlah buruh yang berserikat pun meningkat sekitar 19,80 persen atau sebanyak 538.064 orang dari 2,72 juta anggota pada Juni 2019. Sementara jumlah federasi meningkat sebesar 11,81 persen dari 144 unit pada Juni 2019 menjadi 161 unit pada Juni 2020. Jumlah Konfederasi bertambah 1 unit dari 15 unit pada Juni 2019 menjadi 16 unit pada Juni 2020.

Jumlah PKB 2020 tampak mengalami kenaikan, apalagi jika dibanding tahun 2011, yang hanya mencapai 11.052 buah. Namun, di periode 2020, jumlah PP lebih banyak daripada PKB. Jika PKB merupakan indikator kebebasan berserikat dan berunding maka PP sebaliknya.

Hal yang sama adalah melonjaknya jumlah LKS (Lembaga Kerja Sama) Bipartit ketimbang jumlah serikat buruh tingkat pabrik. Seperti diketahui, LKS Bipartit merupakan lembaga industrial tingkat pabrik. LKS dibentuk dengan melibatkan serikat buruh atau perwakilan buruh jika tidak ada serikat buruh. Tak jarang, LKS Bipartit dibentuk untuk mengurangi peran serikat buruh. Selain itu, sejak 2015, di pabrik-pabrik garmen dan tekstil terdapat lonjakan pembentukan serikat buruh oleh manajemen. Serikat buruh tersebut biasanya menyebut ‘serikat pekerja tingkat perusahaan’ atau ‘serikat pekerja mandiri’. Di antara tindakan yang diperankan oleh serikat-serikat buruh bentukan manajemen tersebut adalah membentuk LKS Bipartit, menyetujui rencana-rencana perusahaan dan mendelegitimasi serikat buruh yang tergabung dalam federasi nasional.

Problem lain dapat dilihat dalam penelitian Khamid Istakhori tentang pasal-pasal cuti haid dalam PKB. Dari riset tersebut terdapat persoalan-persoalan mendasar tentang penyusunan dan muatan PKB.

Pertama, isi PKB sekadar pemindahan dari peraturan perundanganm, bahkan, tanpa panduan pelaksanaan di tingkat pabrik.

Kedua, muatan PKB sekadar memindahkan dari peraturan perundangan dengan peraturan pelaksana lebuh lebih buruk. Kasus-kasus ini umumnya terlihat dalam pengaturan cuti haid. Cuti haid yang semestinya cuti khusus perempuan, menjadi cuti sakit. Buktinya, ketika buruh perempuan mengalami haid maka diharuskan menyertakan surat keterangan sakit dari dokter.

Ketiga, tidak ada mekanisme untuk menyampaikan dan mendiskusikan isi PKB kepada buruh. Satu-satunya cara adalah mencetak dan membagikan PKB kepada seluruh buruh.

Keempat, seandainya pasal-pasal dalam PKB lebih baik dari peraturan perundangan, sulit dilaksanakan. Karena kualitas isi PKB bukan berasal dari pemahaman bersama anggota untuk menyelesaikan masalah. Tapi kepentingan bersama auditor atau buyer.

Selain itu, dapat pula ditambahkan. Tidak sedikit para perumus PKB tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang peraturan perundangan. Hal ini terlihat dari masih dimasukannya pasal-pasal yang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat atau pasal-pasal yang telah ditafsir ulang oleh mahkamah konstitusi. Hal ini terlihat dicantumkannya tentang pasal kesalahan berat.

Memahami Kembali PKB

Per 2013, orang yang bekerja formal sebanyak 40 juta orang dan yang berserikat 3 juta orang. Per 2021, orang yang bekerja formal sebanyak 52,92 juta orang dengan buruh berserikat sekitar 3,23 juta orang. Berarti dalam delapan tahun jumlah orang yang bekerja bertambah 12,92 juta sementara pertambahan buruh yang berserikat hanya 230 ribu orang.

Gambaran-gambaran tersebut memperlihatkan bahwa berunding secara kolektif sedang dipreteli secara langsung dan tidak langsung. Negara dan pemilik modal berkontribusi besar terhadap penurunan keanggotaan serikat buruh.

Sejak 2003, perundingan kolektif, termasuk hak berorganisasi menghadapi serangan. Dengan skema perjanjian kerja untuk waktu tertentu atau buruh kontrak dan outsourcing, diperkenalkan kontrak individual. Akibatnya, kemampuan kolektivisme serikat buruh perlahan hilang. Karena setiap orang diikat oleh perjanjian individu. Fakta lain adalah tentang semakin mudahnya perusahaan menuntup dan memindahkan usahanya ke tempat lain, yang berakibat pada ‘bubarnya’ serikat buruh tingkat pabrik.

Gambaran tersebut mengenyampingkan kemampuan serikat buruh merespons perubahan-perubahan pasar kerja. Ketika kesadaran buruh perempuan menolak kekerasan dan pelecehan meningkat, terdapat kesan serikat buruh menganggap bahwa isu tersebut semata persoalan perempuan atau sekadar persoalan norma hukum. Begitu pula, ketika angkatan kerja didominasi oleh buruh fleksibel dengan usia muda, serikat buruh berkeyakinan dengan keanggotaan buruh tetap dan afiliasi serikat buruh tingkat perusahaan. Perlu dipikirkan kembali, bagaimana pembentukan ‘komisi perempuan dan komisi kaum muda’ di serikat buruh dapat meningkatkan semangat berkumpul dan meramaikan serikat buruh di tiap pabrik.

Merundingkan PKB bukan perkara gampang. Karena, terdapat dua pihak yang memiliki kepentingan dasar yang berbeda. Pengusaha berkepentingan meraup laba sebanyak-banyaknya dengan menekan ongkos produksi: membayar murah upah buruh, mengurangi tunjangan, tidak menyediakan alat pelindung diri, dan sebagainya. Pengusaha pun berkepentingan menundukan buruh agar patuh terhadap rencana produksi. Sementara buruh berkepentingan mendapat kesejahteraan, disediakan kondisi kerja yang aman dari kecelakaan dan sebagainya. Buruh pun berharap bahwa perusahaan dapat mengerti kesulitan-kesulitan ketika bekerja dan persoalan dapur keluarga buruh. Dengan konteks sejak mula buruh berada di posisi lemah dan pengusaha memiliki kekuatan, tidak ada win-win solution, kecuali buruh mengumpulkan, meningkatkan kapasitas dan memperkaya strategi perlawanan.

Ketika perundingan PKB berlangsung, tak jarang diwarnai dengan adu bargain: ancaman pemecatan terhadap buruh atau pemogokan. Karena itu, merundingkan PKB tidak sekadar kelihaian berunding, kemampuan menggebrak meja dan keterampilan memahami klausul-klausul hukum. Apalagi, terdapat kepentingan anggota dan buruh nonanggota yang diwakili dalam perundingan PKB. Bagaimana strategi menyerap aspirasi dan mengatasi masalah-masalah anggota dan nonanggota di setiap lini produksi?

Setelah PKB disepakati dan disahkan oleh dinas berwenang, memastikan pelaksanaan PKB merupakan kerumitan tersendiri. Karena itu, tak heran, peraturan-peraturan yang dianggap menguntukan buruh sekadar tulisan di atas kertas. Bukankah isi PKB begitu kaya sebagai bahan diskusi dengan kelompok buruh di tiap lini produksi?