Saturday May 27, 2023

Blog

Strategi Triangulasi Solidaritas: Solidaritas Internasional bagi Gerakan Buruh Asia di Era Pabrik Global

Solidaritas internasional telah dan masih menjadi salah satu isu utama dalam gerakan buruh. Pada abad ke 20, aksi solidaritas secara individu memang bermunculan, namun strategi solidaritas internasional mengalami kondisi yang stagnan -bila tidak mau dikatakan mengalami kemunduran. Kondisi ini terjadi karena adanya integrasi gerakan buruh dengan bermacam jenis kontrak sosial di negara-negara industri maju (core countries) semenjak berakhirnya gerakan Internasionale pertama (dimana tidak benar-benar ‘internasional’). Beragam kontrak sosial -yang menjamur sepanjang periode perang dingin (akhir 1950 hingga awal 1960-an)- tersebut dibentuk untuk meningkatkan petukaran produktivitas demi kesejahteraan di negara-negara maju. Dengan begitu, gerakan buruh telah menjadi bagian integral dari sistem akumulasi kapital nasional. Gerakan buruh saat itu dipenuhi agenda-agenda yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan buruh di ranah perlindungan kerja dan domestik. Selain itu, agenda-agenda yang bernafaskan nasionalis juga bermunculan, dan semua itu menghalangi terwujudnya Internasionalisme.

            Bagaimanapun juga, dalam dua dekade terakhir, solidaritas internasional mengalami perubahan yang signifikan, seiring berubahnya struktur produksi dan konsumsi kapitalistik secara internasional.  Oleh karena itu, penting bagi kita sekarang ini untuk memikirkan ulang strategi solidaritas internasional bagi kaum buruh. Usaha ini menjadi semakin mendesak melihat perkembangan terkini dari semakin mudahnya perpindahan modal dari satu negara ke negara lain sebagai respon terhadap munculnya perlawanan buruh di suatu negara. Modal lebih mudah mengatasi hambatan-hambatan teritorial negara bangsa dibandingkan dengan buruh. Di satu sisi, globalisasi modal di negara-negara barat (dan kemudian Jepang) terjadi karena adanya kebutuhan modal untuk memperluas ekspansinya. Kebutuhan ini muncul sebagai  respon dari mahalnya biaya politik untuk mengintegrasikan buruh ke dalam sistem produksi nasional dan masalah over-produksi yang muncul semenjak tahun 1960. Di sisi lain, buruh sebagai tenaga kerja telah mengalami standarisasi dan juga deskilisasi semenjak awal abad 20 hingga tahun 1960an, akibat semakin intensifnya mekanisasi secara menyeluruh di dalam pabrik. Hal tersebut memungkinkan terjadinya pertumbuhan modal  untuk membangun industri manufaktur dengan target pasar global di negara-negara yang buruhnya dianggap tidak terampil dalam pengertian tradisional.

Lalu bagaimana dengan kawasan Asia? Pada masa awal kolonial, negara-negara Asia menjalankan peran penting namun pasif, dengan menjadikan cara hidup kapitalis sebagai sesuatu yang universal di negara-negara industri barat. Sumber daya alam, buruh perkebunan dan pasar Asia mendorong terjadinya perebutan daerah kolonial yang mengarah pada konsolidasi batasan ekonomi nasional dan kedaulatan negara modern. Perjuangan gerakan buruh di kawasan timur dan selatan Asia pada masa itu adalah untuk melawan kolonialisasi. Berdasarkan aturan politik perang dingin dan tatanan negara ‘triplanetary world order’ – kategorisasi dunia kesatu, kedua dan ketiga– kawasan Asia terbagi menjadi kutub, Asia-Amerika (negara-negara yang berada dibawah pengaruh kuat Amerika Serikat), Asia-Komunis, dan negara Dunia Ketiga Asia. Negara Asia-Komunis (selain Vietnam Utara, Korea Utara, dan China) memiliki kedekatan politik dengan negara-negara ‘third world Asia’.

Negara-negara yang termasuk di dalam kategori dunia ketiga Asia lebih merasakan adanya kesamaan tujuan politik dan keterikatan dengan negara Asia-Komunis (Vietnam Utara, Korea Utara, dan China), dibandingkan dengan konsep negara bebas yang merupakan bentukan para penjajah. Namun, di sisi lain, politik ‘third world Asia’ juga merupakan sikap penolakan terhadap aliansi politik yang digencarkan baik oleh Uni Soviet maupun Amerika. Ikatan ‘third world Asia’ ini dikukuhkan dalam sejarah Koferensi Bandung pada tahun 1955, dimana negara-negara yang baru saja merdeka – dan ‘netral’ secara politik- bergabung dengan negara-negara Asia-Komunis. Aliansi negara-negara Asia-Komunis berawal dari kerjasama China dan India pada awal 1950. Politik ‘Third World Asia’ juga menghasilkan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap buruh. Kebijakan-kebijakan ini merupakan hasil dari pengaruh organisasi-organisasi dan partai-partai buruh kiri dalam perjuangan gerakan kemerdekaan.

Namun, kerjasama antara negara-negara dunia ketiga dan negara-negara komunis Asia tidak berlangsung lama. Begitupun dukungan permerintahan nasionalis baru terhadap gerakan buruh hanya bertahan seumur jagung. Gerakan buruh Asia beralih peran, baik itu sebagai aparatus negara-negara komunis atau gerakan untuk melawan otoritas negara dan kaum kapitalis yang mencekik para buruh. Pada saat yang bersamaan, negara Asia-Amerika berhasil melakukan akumulasi modal melalui kerjasama segitiga Amerika–Jepang–Asia. Keberhasilan ini dikarenakan Amerika Serikat memberikan perlakukan istimewa, dengan memberikan preferensi pasar konsumen serta pinjaman dan bantuan dana kepada negara-negara Asia Amerika. Dimana reproduksi modal pada negara-negara Asia tersebut dipolitisasi secara berlebihan oleh aparatus-aparatus negara.

Kondisi di atas menjadi pondasi dari produksi massal dalam skala internasional yang sistematis di negara Asia. Sistem produksi ini melibatkan antara lain Korea, Taiwan, Hong Kong dan Singapura sebagai produsen, dan dengan konsumennya Amerika Serikat dan negara-negara Eropa maju. Bahkan industri-industri di Korea dan Taiwan sukses bertransformasi dari industri import menjadi industri yang berorientasi eksport. Karena semua kesuksesan tersebut, mereka berhasil mencapai pertumbuhan rata-rata Produk Domestik Bruto (PDB) di angka 9,2 dan 9,5% pada 1961 dan 1980. Pertumbuhan ini mengubah struktur industri di kedua negara tersebut. Kemudian, sejak 1960 jumlah pekerja manufaktur di Korea dan Taiwan meningkat dua kali lipat. Dimana perempuan-perempuan muda dari daerah-daerah pertanian bermigrasi ke daerah urban untuk bekerja sebagi buruh pabrik. Kebanyakan dari mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian khusus, seperti memproduksi garmen dan tekstil dengan mesin untuk akhirnya dieksport ke pasar Amerika.

Migrasi penduduk dalam jumlah besar juga terjadi di negara kota seperti Hong Kong dan Singapura. Perpindahan masyarakat desa ke kota yang terus menerus menciptakan sumber daya manusia yang murah bagi industri-industri kapitalis yang menjamur. Selain itu, warisan kolonial -sistem kerja yang menjajah – juga masih merajalela, khususnya di Hong Kong. Dimana buruh kontrak menjadi sistem kerja yang dominan di Hong Kong. Hubungan kerja kontrak ini menjadikan para buruh sebagai komoditas yang bisa dipekerjakan atau diberhentikan berdasarkan fluktuasi pasar. Kondisi tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi para buruh untuk menuntut hak mereka. Di Singapura, yang kental dengan otoriterisme ekstrim dari negara, gerakan buruh bahkan tidak muncul ke permukaan karena kerasnya tekanan dari negara.

Para buruh, termasuk buruh perempuan, di Asia bekerja di bawah naungan manajemen paternalistik yang menyembunyikan informasi tentang kontrak kerja formal dan kolektif. Selain itu, perusahaan bahkan menggunakan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat Asia untuk menjustifikasi bentuk manajemen yang lebih menindas dibanding masa kolonial. Kemudian para buruh mulai menunjukkan sikap melawan dengan mendirikan serikat. 

Pertentangan buruh selalu menjadi urusan otoritas negara seperti polisi. Gerakan buruh tidak bisa mengembangkan basis mereka karena berbagai latarbelakang. Basis gerakan buruh di Hong Kong menjadi lemah karena tergusur di tengah-tengah perang sipil dan organisasinya yang terisolasi dari daerah-daerah besar. Hal lainnya adalah karena terpisahnya para buruh pada saat terjadi gerakan bersenjata di hutan tropis selatan Asia. Lemahnya basis gerakan buruh secara nasional membuat pengaruh serikat buruh di perusahaan juga menjadi lemah. Konsekuensi dari kondisi ini adalah kondisi kerja yang buruk dengan jam kerja yang sangat panjang dan upah yang sangat rendah. Kondisi kemudian semakin memperdalam polarisasi antara status dan kondisi kerja buruh kantoran (pen: kerah putih) dan buruh pabrik manufaktur (pen: kerah biru).

Sistem ini kemudian berkembang menjadi ‘struktur segitiga’, yaitu akumulasi modal manufaktur di Asia Timur, modal dan pasar dari negara barat, dan pekerja murah dari negara berkembang. Sistem ini merupakan jawaban para pengembang modal di Asia Timur untuk mengatasi kurangnya tenaga kerja, kenaikan upah buruh secara sosial (global) yang muncul akibat adanya tuntutan kelas buruh dan demokratisasi, serta kenaikan biaya yang diakibatkan persaingan sengit para kapitalis di negara-negara barat. Foreign Direct Investment (FDI) di negara-negara berkembang Asia (kecuali Jepang yang sudah menjadi negara eksportir modal) meningkat secara signifikan dari US$ 11.4 milyar di 1990 menjadi US$ 49.4 milyar di tahun 1997. Pertumbuhan investasi ini sempat terhambat saat krisis ekonomi Asia terjadi, namun segera dapat diatasi dan pada 2004, dimana nilai investasi langsung di negara-negara berkembang Asia mencapai angka US$ 87 milyar.

Buruh berusaha mendobrak batasan-batasan yang dibentuk perusahan. Buruh informal di jalanan New Delhi, India. Foto: Chang Dae Oup

***

Negara-negara industri baru di Asia (Newly Industrialized Countries/NICs) seperti Hong Kong, Singapura, Taiwan, dan Korea Selatan mengikuti Jepang dengan memindahkan industri manufaktur mereka ke negara-negara berkembang di Asia. Mereka berbondong-bondong mendirikan pabrik di China dan di daerah selatan Asia. Generasi pertama NICs inilah yang terlibat dalam mobilisasi modal investasi besar-besaran, yang pada tahun 2000 dan 2004 jumlah pengeluaran modalnya mencapai 90% dan 75% dari total investasi di negara-negara berkembang Asia. Dimana pengeluaran modal ini menjadi sumber pemasukan investasi langsung di kawasan Asia. Sebagai contoh, pada tahun 2000, Taiwan mengeluarkan 45% dari US$7,7 milyar sebagai modal yang dimasukkan ke kawasan Asia. Bersamaan dengan itu, Korea juga mengeluarkan 37% dari total pengeluaran modal yang berjumlah US$5,9 milyar, untuk diinvestasikan di negara-negara berkembang di Asia. Secara total, pergerakan modal keluar di lintas Asia jumlahnya mencapai 40% dari modal yang masuk di tahun 2004. Mobilisasi modal ini menjadi kekuatan pada periode akhir masa industrialisasi di Asia.

Modal dan buruh Asia yang kini aktif bergerak dalam ‘sistem segitiga’ telah membentuk sesuatu yang kita sebut ‘pabrik global’ (global factory), dimana hampir seluruh negara Asia terlibat di dalamnya, termasuk China dan India. Pabrik global ini menghubungkan rantai suplai global (global supply chains) bagi industrialiasi yang kemudian membentuk struktur produksi dan sirkulasi kapitalis skala dunia. Namun pada saat bersamaan, pabrik global ini juga berperan sebagai sistem global yang membunuh kondisi hidup, dan kondisi kerja yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kapitalisme.

Kondisi pasar global melanggengkan logika relasi sosial kapitalistik yang awalnya berjalan di masa dan ruang industrialisasi (yaitu pembangunan pabrik, negara industri, dan penerapan jam kerja) yang kini telah merasuk ke seluruh dimensi ruang dan waktu masyarakat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pabrik global merupakan ekspresi kapitalisme kontemporer, dimana kehidupan manusia dijejalkan ke dalam lintasan modal. Pembagian kerja internasional, yang pada tahun 1960 dianggap baru dan diyakini sebagai langkah strategis dalam persaingan produksi, khususnya industri manufaktur, kini telah diinternalisasi ke dalam kehidupan sehari-sehari nyaris seluruh populasi dunia. Kini, individu-individu hanya dilihat sebagai titik-titik yang menghubungkan nilai rantai produksi.

Seiring berkembangnya hubungan yang terjadi secara alamiah di dalam pabrik global, setiap titik (individu) telah menjadi bagian yang tidak bisa terpisahkan dari proses akumulasi ruang dunia. Dalam konteks ini, generasi pertama NICs di Asia bukan hanya menjadi bagian dari pabrik global, namun juga telah berperan aktif menjadikan ‘pabrik’ ini menjadi tumbuh semakin besar. Usaha untuk mengintegrasikan manusia ke dalam rantai nilai global adalah proses koersif yang brutal, yang bertujuan untuk melenyapkan seluruh elemen relasi sosial non-kapitalastik yang masih tersisa. Logika pasar global mendikte, bahwa seharusnya kehidupan manusia, walaupun hanya sebagian, tidak boleh berlandaskan mekanisme yang non-pasar; petani dan buruh tani yang matapencahariaannya jauh dari industri manufaktur sekalipun, tetap tidak bisa melepaskan diri dari cengkraman aturan pasar global.

Walaupun sebagian besar populasi di Asia menggantungkan hidupnya dengan bekerja sebagai buruh pabrik (penj: sektor formal), namun mereka menghadapi kondisi yang secara alamiah terbentuk, yaitu status buruh menjadi sesuatu yang bersifat informal, akibat bentukan sejarah yang telah merombak kondisi kerja buruh, bahkan definisi ‘buruh’ telah mengalami erosi secara global. Hal ini merupakan implikasi lanjutan dari keberadaan pabrik global. Implikasi ini bahkan berjalan lebih cepat namun terselubung di negara-negara Asia, dimana buruh ‘formal’ belum menjadi sesuatu yang dianggap wajar. Sistem pabrik global tidak lagi tergantung pada status kerja formal yang dilindungi hukum demi memperluas jangkauannya. Justru sekarang ini telah terbentuk suatu relasi sosial yang baru: minimnya institusi perlindungan buruh, tingkat kedewasaaan industrialisasai yang rendah dan integrasi populasi ke dalam relasi sosial yang kapitalistik menghasilkan satu bentuk baru relasi sosial di negara-negara berkembang Asia, yaitu meningkatnya sektor informal, dimana beragam bentuk usaha untuk mencari uang bercampur dengan strategi bertahan hidup tradisional dan reproduksi buruh.

Bagi para buruh di negara-negara NICs dan Jepang, juga buruh di negara berkembang, perkembangan informalisasi buruh berarti menghilangkan sistem perekrutan kerja reguler. Buruh yang awalnya menjalankan bentuk standar perekrutan, kini menghadapi resiko pemutusan kerja secara sepihak saat mereka bergabung dengan perusahaan yang menerapkan sistem kerja kontrak dan  paruh waktu; yang reguler kini menjadi ireguler, yang awalnya terlindungi secara institusi kini bekerja tanpa jaminan. Pembangunan pabrik global memang lebih tentang pembagian divisi dibandingkan dengan integrasi. Seperti yang ditunjukkan oleh generasi pertama NICs, dimana pabrik global membangun sebuah hubungan hirarkis antara segmen-segmen sosial dalam produksi dan konsumsi. Contohnya adalah hubungan hirarkis antara pemegang posisi pekerjaan inti (core: buruh regular/tetap) dan buruh informal (tidak tetap/non reguler).

Pada waktu bersamaan, perusahaan transnasional Asia (Asian transnational corporations) membangun divisi produksi regional yang baru dengan cara mengeksploitasi kesenjangan pembangunan antar wilayah. Meskipun trend gerakan buruh di Asia telah sangat berubah dengan munculnya pabrik global dan pembagian kerjanya, namun strategi solidaritas buruh cenderung tidak merespon perubahan tersebut. Paradigma pembagian kerja Barat-Timur, dan pemahaman tentang kelas kerja yang lama masih menjadi dasar solidaritas buruh kita. Industrialisasi yang terjadi di Asia dengan adanya pabrik global tidak bisa lagi dilihat hanya sebagai konsekuensi dari ekspansi peradaban barat atau sebagai kekutan mahakuasa dari perusahaan transnasional Barat. Tapi  industrialisasi di Asia ini telah merekonstruksi pembagian kerja buruh regional menjadi sebuah struktur segitiga yang melibatkan kapitalisme finansial dan komersial barat, modal produktif dari Asia utara dan juga buruh-buruh dari negara-negara berkembang di Asia. Hal ini mendesak kita untuk melampaui kerangka kerja solidaritas internasional Barat-Timur, dan mulai mendasarkan strategi solidaritas internasional kita dengan basis struktur segitiga Asia. Lebih jauh lagi, populasi masyarakat yang menggantungkan hidupnya dengan bekerja sebagai buruh di luar industri kapitalis terus bertambah dan bahkan ‘buruh perempuan’ makin berintegrasi dengan jalur modal yang terus meluas. Dalam konteks ini, kita harus mengkaji ulang strategi solidaritas warisan para industrialis, dan mulai menembus ‘bangunan aliansi’ kelas pekerja industri tradisional; kita bahkan perlu memikirkan ulang konsep kelas pekerja industri. Jika kita ingin mewujudkan sebuah solidaritas internasional dan tidak menjadikannya sebagai slogan semata, maka penyusunan ulang secara menyeluruh harus dilakukan.

Saya ingin menggunakan perayaan ulang tahun AMRC ke-30 ini untuk  menegaskan kembali pendekatan-pendekatan baru yang bisa membantu kita dalam membangun platform baru yang inovatif untuk mewujudkan solidaritas regional dan internasional. Pertama, saya ingin mengulang kembali pernyataan pentingnya solidaritas inter-Asia dalam membangun ‘solidaritas segitiga’. Walaupun pembagian kerja regional telah membangun ekonomi Asia secara hirarkis, negara-negara Asia tetap memiliki lebih banyak kesamaan dibandingkan perbedaan sepanjang tetap menjadi negara-negara, yang dalam istilah ekonomi global disebut sebagai negara periphery. Lebih jauh lagi, negara kita yang kaya tanah ini telah merasakan penjajahan pada masa kolonial, yang kemudian kita lawan dengan  gerakan anti penjajahan, lalu muncul industrialisasi di bawah negara otoriter dan proses demokratisasi. Semua itu  telah membangun rasa saling pengertian antar kita, dalam melihat masalah yang kita hadapi saat ini. Memang benar, sebuah solidaritas membutuhkan basis materiil, dan basis tersebut telah tersedia untuk kita karena adanya integrasi ekonomi Asia. Akan sangat sulit bagi kita untuk membangun ‘solidaritas’ bila satu diantara kita menjadi ‘penjual’ dan satu lagi menjadi ‘pembeli’, atau yang satu berperan sebagai penolong dari negara lain dengan dasar simpati. Solidaritas inter-Asia bisa menjadi titik awal bagi kita untuk mulai membangun ‘south-south solidarity’ yang lebih luas, yaitu yang mampu menolong negara lain di tengah-tengah kebutuhan negaranya yang mendesak. Solidaritas yang mampu membuat antar negara itu sebagai rekanan bukan sekedar dermawan, sehingga membantu satu sama lain menjadi sebuah keharusan.

Hal kedua adalah kebutuhan untuk melampaui solidaritas buruh industri (seperti sudah disampaikan di atas). Pemikiran yang melampaui batasan solidaritas buruh industri dibutuhkan untuk membangun solidaritas lintas-Asia dan itu dimulai dengan membangun solidaritas segitiga. Strategi solidaritas industrial melihat para buruh yang bekerja di non-industri sebagai ‘orang luar’ yang hanya berguna untuk membangun ‘opini publik’. Pengalaman terakhir telah mengajarkan kepada kita, bahwa tidak ada opini publik yang mendukung gerakan buruh, bahwa kita memang harus turun ke lapangan dan berjuang bersama buruh. Ini bukan berarti gerakan buruh perlu bergabung dengan gerakan-gerakan lain. Justru ini adalah satu bentuk usaha untuk menyadari bahwa kontradiksi yang terjadi di kalangan buruh tidak lagi muncul di satu lajur modal, namun harus menghadapi masyarakat secara keseluruhan yang telah terjerat pemikiran kapitalis yang terus menjalarkan kontrolnya. Tidak ada istilah ‘orang luar’ (the others). Tidak lupa juga, mari kita sadari bersama, bahwa solidaritas internasional tradisional merupakan strategi yang digenderisasi, dirasialisasi, dan juga melanggengkan akumulasi modal sosial. Akar dari dominasi modal sosial terletak pada tindakan diskriminasi antara ‘kita’. Semakin banyaknya perempuan dan buruh imigran yang berhasil kita bawa ke arena solidaritas, maka kita akan semakin mendekati realisasi dari slogan solidaritas internasional. Bahkan dengan begitu, kita bisa mengklaim bahwa gerakan buruh adalah gerakan universal untuk semua kalangan.

Pekerjaan berat menunggu di depan kita. Setiap usaha untuk mengatasi kontradiksi yang ada, akan berhadapan dengan organisasi-organisasi ‘internasional’ dan budaya yang telah berjalan ratusan tahun yang justru menjadi penyebab munculnya semua kontradiksi tersebut. Semua itu datang ke kita dengan wajah ‘bersahabat’. Mereka memang pernah menjadi sahabat bagi kita, namun sekarang tidak lagi. Mungkin kini saatnya kita perlu sadar, bahwa mereka adalah tantangan yang perlu kita hadapi secara halus dan konsisten. Dan saya sungguh percaya, kekuatan AMRC justru berasal dari situ, dari kemampuannya untuk mengatasi masalah dengan halus dan konsisten.[]

__ __ __

*(Tulisan ini adalah versi panjang dari pidato yang dipresentasikan pada konferensi perayaan ulang tahun ke-30 AMRC, 27 – 28 Agustus 2007 di Hong Kong)

**Diterjemahkan oleh Hafidh Soeriawinata dan Abu Mufakhir.

Jahatnya Korporasi Tambang dan Kondisi Buruh yang Dijanjikan

Minggu Bulu dan Amirullah, dua buruh PT GNI menerima surat panggilan dari Polres Morowali pada 4 April 2023. Di surat itu disebutkan, keduanya harus hadir di Polres pada Senin, 10 April 2023.

Minggu Bulu dan Amirullah akan dimintai keterangan berkaitan dengan dugaan penghasutan atas tindakan pidana pada peristiwa 14 Januari 2023.

Per 14 Januari 2023, terjadi bentrok massal di PT GNI. Namun, sebelum kejadian tersebut massa buruh sedang mempersoalkan ketidakpatuhan perusahaan terhadap peraturan perundangan, terutama berkaitan dengan pemenuhan hak buruh di industri tambang. Di antaranya penyediaan APD (Alat Pelindung Diri) lengkap saat bekerja, sirkulasi udara di setiap gudang atau smelter, dan memperjelas hak-hak pekerja yang sudah meninggal akhir tahun lalu akibat kecelakaan kerja.

Tak dikira, pertistiwa kerusahaan di atas telah menjadi headline berita nasional. Anehnya, ketimbang memeriksa sebab terjadinya demonstrasi, aparat keamanan malah menyelidiki pelaku kerusuhan.

***

Membaca surat tersebut mereka punya firasat. Pemanggilan tersebut sepertinya akan berujung penahanan.

Setelah berkonsultasi dengan penasihat hukum serta pengurus serikat buruh, Minggu Bulu mengemas pakaian, berpamitan kepada istri dan empat orang anaknya. Sementara Amirullah, yang belum berkeluarga, sebatas berpamitan kepada kakaknya, sebab orangtuanya sedang sakit.

Firasat alam itu nyata. Setelah menjalani pemeriksaan hingga dini hari, keduanya resmi ditahan di Polres Morut (Morowali Utara) dan akan menjalani proses hukum.  Keduanya dikaitkan bentrokan maut di pabrik smelter PT GNI.

Tidak hanya Minggu Bulu dan Amirullah, ternyata polisi pun mencokok 17 orang buruh lainnya. Mereka ditahan di Lapas Poso dengan tuduhan sebagai biang kerusuhan.  Semua yang ditahan adalah buruh Indonesia.  

Jauh sebelum pemanggilan tersebut, Minggu Bulu dan Amirullah telah menduga sedang diincar aparat kepolisian. Bagi keduanya, terdapat dua hal yang terpisah namun berusaha disambung-sambungkan oleh aparat keamanan. Yaitu, kejadian demonstrasi dan kejadian bentrok.

Di media massa kejadian demonstrasi dan bentrok seolah satu kejadian, bahkan disebutkan telah menyebabkan dua orang meninggal. Untuk diketahui, informasi korban dua orang meninggal tersebut berasal dari kepolisian. Belum ada informasi solid tentang dua korban tersebut karena penyelidikan mengarah pada pelaku kerusuhan.

Proses hukum di atas, terjadi ketika mereka sedang mencari perlindungan kepada Komnasham dan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban). Mereka masih mengadukan tindakan bejat perusahaan yang melanggar peraturan perundangan dan membiarkan para buruh dalam kondisi berbahaya. Pun mereka tak pernah tahu menahu soal peristiwa bentrok malam hari.

Berdasarkan kronologis yang dirilis SPN (Serikat Pekerja Nasional), mayoritas buruh tidak mengetahui bahkan tidak berada di lokasi ketika bentrokan terjadi. Selaku pengurus SPN PT GNI, Amirullah dan Minggu Bulu, sebagai penanggung jawab aksi massa, memberikan keterangan. Menurut mereka, aksi massa tersebut telah berakhir pada pukul 5 sore waktu setempat. Pembubaran aksi massa itu pun dilakukan di hadapan sejumlah aparat kepolisian dan seluruh peserta aksi.

Setelah aksi massa, barisan massa bubar. Minggu Bulu dan Amirullah pun pulang ke kontrakan masing-masing.

***

Cerita Minggu Bulu, Amirullah dan buruh lainnya telah menjadi cerita umum.  Mereka kerap dijadikan tumbal untuk menutupi ketidakmampuan pemerintah dalam menindak perusahaan zalim. Perusahaan yang merusak daya dukung alam, melanggar peraturan perundangan dan melucuti hak-hak perburuhan.

Minggu Bulu pernah bercerita. Sebelum bekerja di PT GNI, ia pernah bekerja sebagai buruh tambang di Kalimantan. Setelah itu, ia kerja di PT GNI di Morowali Utara. Di Morowali Utara kian banyak perusahaan tambang beroperasi. Karakter perusahaan tambang memang penuh dengan potensi bahaya. Namun, kondisi di PT GNI adalah yang terburuk.

“Alat Pelindung Diri yang saya pakai waktu kerja di PT GNI, diperoleh dari tempat kerja saya sebelumnya di IMIP,” kata Minggu Bulu mengungkapkan bahwa perusahaan membiarkan buruhnya tidak terlindungi.

Tambang, sebagaimana perusahaan lainnya selalu memberi ilusi: menyediakan lapangan kerja yang luas dan upah tinggi. Fakta berkata lain. Penambangan adalah sektor pekerjaan berbahaya baik ruang kerjanya maupun jenis pekerjaanya. Para buruh di sektor tambang harus berhadapan dengan tingkat kecelakaan fisik, penyakit paru-paru hingga kematian. Alih-alih membayar upah buruh tambah dengan standar tambang internasional, buruh tambang dibayar di bawah upah minimum dan dengan hubungan kerja kontrak. Apabila mereka menuntut kepatuhan perusahaan, malah dipecat bahkan dikriminalkan.  PT GNI adalah contoh telanjang dan nyata.[1]

Lokasi PT GNI berada di kawasan Objek Vital Nasional meliputi Kecamatan Petasia Timur dan Kecamatan Petasia Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah.

Kawasan Objek Vital Nasional ditetapkan melalui keputusan Menteri Industri Nomor 1194 Tahun 2021 tentang Penetapan Kawasan Industri yang dikelola oleh PT Stardust Estate Investment (SEI) sebagai Objek Vital Nasional Bidang Industri seluas 712,8 hektar. Kawasan tersebut berbatasan langsung dengan teluk, gunung, jalan trans Sumatera serta konsesi sawit PT Agro Nusa Abadi.

Di kawasan PT SEI terdapat tiga perusahaan yang menguasai smelter. Yaitu, PT Gunbuster Nickel Industry dan PT Nadesico Nickel Industry. Masing-masing dengan kapasitas produksi 1,8 juta ton feronikel per tahun. Kemudian PT Ideon Nickel Industry Satu dengan kapasitas 150 ribu ton feronikel per tahun.

Mobilisasi pekerja di bidang industri menurut catatan Disnaker setempat mencapai 11.533 orang. Sebanyak 500 orang adalah TKA, seluruhnya berasal dari Tiongkok. Menurut PT GNI, jika perusahaan telah optimal beroperasi, dibutuhkan sekitar 42 ribu buruh. Jumlahnya dipastikan melimpah jika diakumulasikan dengan buruh perkebunan sawit PT Agro Nusa Abadi.

Dapat dibayangkan, warga desa yang masih bertani dan mencari ikan akan beradapan langsung dengan industri padat modal.  

Tidak hanya persoalan buruh. Banyak publikasi mengenai jejak buruk serta jejaring aktor di balik PT GNI. Namun tidak ada satu pun lembaga negara yang sanggup menindak tegas perusahaan asal China ini. Sebaliknya, aparat kepolisian dikerahkan untuk menjamin PT GNI tetap berproduksi, dibanding melindungi keselamatan buruh serta warga terdampak lainnya.

Jika PT GNI terkesan mendapat jaminan untuk terus beroperasi, tidaklah mengejutkan. Nikel adalah komoditas tambang primadona saat ini, terutama untuk bahan baku mobil listrik. Juga, PT GNI adalah salah satu anak perusahaan nikel terbesar di China, yakni Delong Group.

Memproduksi feronikel merupakan salah satu bisnis moncer di abad milenium. Feronikel dari Indonesia digunakan oleh perusahaan di Amerika Serikat, Tiongkok, Eropa dan Jepang. Feronikel dipergunakan sebagai utama dalam industri otomotif, elektronik hingga farmasi. Fungsinya menahan karat dan panas. Barangkali mendekati ungkapan, ‘menguasai nikel berarti menguasai jantung industri modern’. Itulah yang menjelaskan raksasa bisnis tambang bertaruh dalam produksi nikel.

Indonesia sebagai negara penghasil nikel terbesar dunia dengan potensi kandungan nikel sebanyak 11,7 miliar ton, yang tersebar dari Halmahera, Sulawesi hingga pulau Papua, menjadi target empuk Delong Group.

Sejak 2015, tepatnya dua tahun setelah Belt and Road Initiative diluncurkan, Delong Group berhasil melobi para petinggi negeri. Mereka pun menempatkan sejumlah politisi dan pejabat sebagai bagian anak perusahan Delong, PT VDNI, PT GNI, dan PT OSS.

Ketiga anak perusahaan di atas pegang oleh Tony Zhou yang memiliki kedekatan dengan Gubernur Sultra Ali Mazi melalui Yayasan Andrew dan Tony Foundation. Di Yayasan tersebut Ali Mazi menduduki ketua dewan pengawas.

Selain itu, di akta perusahaan PT VDNI, tercatat Friedich Lodewijk Paulus sebagai komisaris. Lodewijk adalah Sekjen Partai Golkar dan tentara yang tergabung dalam Tim Cakra 19, organ Timses Jokowi yang dipimpin Menteri Marives, Luhut Binsar Panjaitan.

Dengan sejumlah relasi yang meyakinkan, dalam perhelatan G 20 di Bali tahun lalu, Dai Guofang pemilik utama Delong Grup sempat berfoto dengan Jokowi. Melalui  strategi lobi pejabat dan politisi serta berbagai modus operandinya di lapangan, Delong Group telah berhasil menjadi salah satu pemain besar nikel di negeri ini. Selain beroperasi di Pulau Sulawesi, korporasi ini telah melakukan ekspansi ke Halmahera, pada 2017. Setelah itu, tidak menutup kemungkinan mencaplok Papua.

Anak Delong Group, PT OSS dan VDNI, beroperasi melalui Perpres Nomor 58 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional di kawasan Industri Morosi Sultra.

Selain soal gugatan warga, kasus yang mencuat dari PT OSS dan VDNI terjadi pada 2019 lalu. Polda Sultra pernah menyegel ratusan alat berat dua perusahaan tersebut. Keduanya diduga melakukan penambangan ilegal di kawasan hutan, sebab  beroperasi tanpa Izin Pelepasan Pemanfaatan Kawasan Hutan-IPPKH dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Selain itu, PT VDNI pun pernah melakukan kriminalisasi terhadap 12 buruh yang menuntut hak-haknya.

Dalam catatan Trend Asia, secara umum korban buruh karena K3 di sektor tambang lebih parah. Warga Negara Asing (WNA) meninggal dunia hingga 13 korban dan 15 korban luka. Korban Warga Negara Indonesia (WNI) meninggal dunia hingga 40 korban dan 14 korban luka. Jumlah kewarganegaraan tidak sama dengan jumlah total sebab dalam data yang ditemukan tidak ada informasi identitas lengkap yang mengarah pada kewarganegaraan.[2]  Jumlah itu mencakup buruh yang bekerja di IMIP dan PT GNI.

Namun kasus hukum tentang kejahatan korporasi itu menguap. Selain buruh, korporasi tambang juga telah membungkam Budi Pego, petani asal Banyuwangi yang getol menolak tambang emas Tumpang Pitu. Budi Pego kini mendekam di Lapas Banyuwangi, setelah 5 tahun kasusnya dipetieskan atau digantung.

Di balik janji peningkatan ekonomi warga lokal dan kesejahteraan bagi para buruh, sektor tambang justru memiliki risiko paling tinggi. Risiko itu diperarah dengan lemahnya pengawasan serta minimnya tindakan hukum terhadap berbaga pelanggaran yang dilakukan perusahaan. Industri tambang tidak saja meningalkan jejak kotor bagi lingkungan, juga mempertaruhkan nyawa jutaan buruh lainnya di Indonesia.

Investasi, peningkatan devisa, serapan tenaga kerja dan peningkatan ekonomi warga lokal adalah janji pemerintah, yang untuk memerolehnya harus mengorbankan nyawa dan kebebasan.

Bagi Minggu Bulu, Amirullah dan 17 buruh lainnya, tidak membayangkan akan berada di posisi dan waktu yang salah dalam suatu peristiwa. Mereka selama ini hanya mendengar bahwa tambang menjanjikan kesejahteraan jika mereka bekerja di dalamnya. Berbekal janji itulah, mereka datang ke Morowali Utara, kemudian dipenjara.

Jika janji sekadar janji, bukankah lebih baik buruh dan tani memperkuat diri sendiri akan tidak lagi menjadi sapi perahan di negeri sendiri?


[1] https://www.jatam.org/arogansi-pt-gni-dan-jejaring-kepentingan-elit-politik-di-balik-peristiwa-bentrokan-tki-dan-tka-di-morowali-utara/

[2] https://trendasia.org/kecelakaan-kerja-di-pt-gni-pengabaian-dan-pelanggaran-kemanusiaan-di-kawasan-industri-nikel-indonesia/

Nikel Morowali: Mengubah Lanskap, Mengobrak-abrik Kehidupan (Akhir)

Tulisan ini merupakan bagian akhir dari Nikel Morowali: Mengubah Lanskap, Mengobrak-abrik Kehidupan. Di bagian ini kita mendiskusikan unit-unit dari praktik produksi. Kekhususan produksi, mekanisme proses kerja dan asal modal memperlihatkan wajah industri pertambangan. Bagaimana gerakan buruh membangun kekuatan di tengah pengorganisasian dan perlawanan yang dilemahkan oleh negara dan modal?

***

IMIP sebagai Kawasan Industri, sebagai Penyalur Buruh

IMIP saat ini memperkerjakan sekitar 66.000 buruh. Selain buruh lokal, IMIP juga mempekerjakan buruh asing. Mayoritas buruh asing (Tenaga Kerja Asing/TKA) didatangkan dari China. Jumlah TKA di IMIP diperkirakan sekitar 5.000 buruh.

Di media massa jumlah total buruh di IMIP disebutkan dengan angka berbeda-beda. Perbedaan angka tersebut dikondisikan oleh dua hal. Pertama, berlakunya hubungan kerja fleksibel di mana jumlah keluar-masuk buruh sulit terdeteksi. Kedua, sistem pendataan negara lebih teliti menghitung jumlah investasi ketimbang lokasi-lokasi pekerjaan warga negaranya.

Jika buruh lokal bisa memilih tempat tinggal antara di dalam kawasan atau di luar kawasan. Tidak demikian dengan TKA, mereka semua tinggal di dalam kawasan IMIP.

Sebagai kawasan industri, IMIP menerapkan manajemen terpadu. Hal ini terlihat pada kantor manajemen yang dipusatkan di satu gedung yang biasa disebut dengan kantor General Affair (GA). Sedangkan kantor pusatnya terletak di RT 16/RW 7, Meruya Utara, Kembangan, Kota Jakarta Barat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 11620

Kantor GA berisikan seluruh perwakilan atau HRD dari perusahaan yang berada dalam komplek atau kawasan industri IMIP. Dalam kantor GA inilah masalah–masalah administrasi dan ketenagakerjaan di IMIP diatur dan diurus. Buruh-buruh IMIP akan mengurus berbagai keperluan administrasi dari kontrak kerja, kasus ketenagakerjaan, hingga mutasi atau bahkan ketika mereka diberhentikan atau terkena PHK.

Jika ada yang ingin bekerja di IMIP maka calon buruh memasukan lamaran kerjanya ke PT IMIP. Setelah itu, IMIP akan menempatkan calon tenaga kerja yang dikelola oleh IMIP. Dengan demikian, calon tenaga kerja baru akan mengetahui nama perusahaan dan departemen kerjanya setelah dinyatakan diterima bekerja oleh IMIP. Misalnya, si Aldi melamar dan diterima, setelah itu IMIP akan menempatkan Aldi di PT ZHN, bagian departemen feronikel divisi mekanik kendaraan. Dengan demikian, model kawasan IMIP agak berbeda dengan kawasan industri di Jabodetabek. Di Jabodetabek, pengelola kawasan industri adalah pengusaha properti yang menyiapkan berbagai kelengkapan untuk operasi pabrik. Setiap pabrik dikelola oleh manajemen berbeda. Sedangkan di IMIP, unit-unit usaha dikendalikan oleh pengelola kawasan.  

Umumnya lowongan pekerjaan dibuka secara online di website IMIP. Ketika melamar kerja melalui sistem online pelamar memasukan kelengkapan dokumen lamaran sebagaimana dipersyaratkan. Setelah itu, pelamar menunggu pemberitahuan panggilan. Kabarnya daftar tunggu pelamar kerja di IMIP saat ini sudah mencapai ribuan.

Dengan sistem online maka terhindar dari kemungkinan calo tenaga kerja, sebagaimana terjadi di pabrik-pabrik garmen di Jabodetabek. Selain itu, sistem online pun membuka kesempatan semua orang dari berbagai pulau untuk mendaftar, terhindar dari biaya penggandaan dokumen dan pengiriman lamaran kerja secara manual. Tidak diketahui dengan pasti berapa lama sistem yang relatif terbuka tersebut akan bertahan. Sementara ini, sebagai industri yang berambisi menjadi penguasa nikel dunia, IMIP butuh tenaga kerja lebih banyak. Karena para pemilik modal dan pengelola pabrik tidak akan bersedia memegang dan menggerakkan alat-alat kerja pertambangan. Mereka akan secara agresif mencari tenaga-tenaga segar untuk dipekerjakan.

Upaya lain merekrut buruh dilakukan melalui skema kampus hiring. Kampus hiring dilakukan dengan membuka both di kampus-kampus di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, terutama di Makassar dan Palu.

Upaya lain untuk merekrut buruh dilakukan pula melalui penyalur-penyalur tenaga kerja. Penyalur-penyalur tenaga kerja tersebut membuka kantor di sekitar IMIP. Sebenarnya, sejak IMIP beroperasi santer berita mengenai pungutan liar oleh agensi penyalur resmi dan tidak resmi. Para penyalur resmi memungut uang muka atau potong gaji dari buruh yang diterima bekerja. Mereka menyebutnya sebagai ‘uang administrasi’. Besaran uang administrasi dipotong dari upah harian. Dari upah harian Rp200 ribu akan dipotong Rp40 ribu (Metrosulteng.com, 27/10/2021). Ada pula praktik pungutan liar yang dilakukan oleh komplotan aktor penyalur tenaga kerja tidak resmi. Biasanya mereka memungut Rp2 juta per calon buruh yang akan diterima bekerja (Bursabisnis.id, 4/10/2017).

Dari informasi yang dikumpulkan dari pelamar kerja yang menempuh jalur resmi. Setelah mengajukan lamaran ke PT IMIP, mereka akan mendapatkan panggilan wawancara dan psikotest dari HRD PT IMIP. Wawancara dilakukan dengan undangan langsung untuk datang ke IMIP. Undangan didapat melalui pesan ke telepon genggam atau melalui email.

Setelah tahapan pertama, calon tenaga kerja akan mendapat pemberitahuan lagi untuk memasuki tahap lanjutan. Tahap lanjutan tersebut berupa MCU (medical check up). Setelah mengikuti MCU calon pekerja yang lulus akan mendapat panggilan untuk melakukan registrasi ulang dengan membawa tiga belas syarat administrasi dan salinan rekening bank yang telah ditentukan. Misalnya untuk buruh Tsingshan Grup (SMI, ITSS, GCNS, IRNC, OSMI dan TSI) diharuskan menggunakan bank BRI wilayah Morowali atau Bank Sulteng; dan Tsingshan (ONI, OSMI, QFF, QSEM, YWI, SMI) BRI dan Mandiri wilayah Morowali.

Sedikit berbeda dengan jalur kampus hiring. Untuk kampus hiring, wawancara biasanya dilakukan di lokasi both kampus/lokasi maupun dengan video call. Perbedaan lainnya adalah calon buruh dari kampus hiring akan langsung mendapatkan offering letter (surat penawaran), bersamaan dengan tahap medical checkup.

Offering letter yang diberikan berupa tawaran untuk bekerja di salah satu perusahaan di IMIP lengkap dengan departemen dan divisinya, besaran jumlah gaji dan tunjangan hingga sistem kerja di IMIP. Namun begitu, ditemukan juga offering letter yang isinya hanya memberikan penawaran kerja pada departemen tertentu di IMIP tanpa disebutkan penempatan perusahaannya. Penempatan kerja baru diketahui saat registrasi ulang di IMIP.

Isi offering letter dari IMIP untuk hiring kampus antara lain:

Pertama: Posisi yang ditawarkan di IMIP. Biasanya yang paling banyak dicari oleh pelamar adalah posisi kru dan operator dalam departemen tertentu. Di IMIP ada banyak departemen (bagian kerja) yang tidak terbatas pada satu perusahaan. Satu departemen bisa saja membawahi buruh di beberapa perusahaan sekaligus. Misalnya Departemen Erection 2 yang membawahi semua mekanik di IMIP, atau kemudian Departemen Erection 1 yang membawahi semua mekanik elektrik/listrik serta buruh yang bekerja di pembangkit listrik IMIP. 

Beberapa departemen di IMIP adalah: Departemen Feronikel, Departemen Erection 1, Departemen Erection 2, Departemen Ferro Chrome, Departemen HSE (membawahi semua petugas safety), Departemen CRP, Departemen FPD dan lain sebagainya.

Kedua: Jam kerja, upah dan tunjangan. Di IMIP, sistem kerja untuk buruh tergantung pada penempatan departemen dan divisi.

Secara umum ada tiga yang digunakan yaitu: 8 jam per hari,  kemudian 6 hari kerja per minggu serta yang steady day. Sementara untuk upah, tahun 2022, IMIP menawarkan upah pokok sebesar Rp2,9 juta. Kemudian tunjangan tetap yaitu tunjangan perumahan Rp600 ribu dan tunjangan lokasi sebesar Rp100 ribu. Sementara tunjangan tidak tetapnya berupa insentif kehadiran sebesar Rp260 ribu per bulan, uang skill hingga tunjangan keluarga. Angka tersebut tidak termasuk dengan hasil cuti yang besarannya tergantung pada departemen kerjanya. Padahal jika dilihat dari jenis produksinya, IMIP seharusnya masuk dalam sektor industri logam dan kimia, di mana upah minimum sektoralnya sebesar Rp 3.650.000. Jadi selisih upah pokoknya yang dibayarkan sangat besar.

Secara umum praktik pengupahan IMIP berdasar standar besaran upah yang sama di tiap perusahaan. Misalnya untuk kru (operator produksi dengan upah paling rendah) yang bekerja di perusahaan dalam kawasan IMIP semuanya mendapatkan besar upah Rp3,6 juta, perbedaannya besarnya upah kemudian ditentukan oleh lama jam kerja yang mereka dapat.

Karena upah buruh sangat rendah maka buruh di IMIP cenderung memilih untuk bekerja dalam model shift atau long shift atau steady day daripada yang regular.

Sebagai gambaran, kru yang bekerja regular akan menerima upah maksimal Rp5 juta per bulan termasuk tunjangan-tunjangan. Sedangkan untuk yang sistem shift akan menerima sekitar Rp6 juta per bulan dan Rp7 juta hingga Rp8 juta untuk yang long shift.

Setelah registrasi ulang, buruh juga harus melakukan registrasi induksi. Induksi adalah proses semacam tahap perkenalan dan training.  Mulai dari induksi BPJS, induksi keselamatan hingga induksi perusahaan penempatan. Dalam proses induksi buruh akan melalui tahap sebagai buruh kontrak. Panjang kontrak bervariasi antara 3 hingga 6 bulan per kontrak. Padahal, jika buruh telah melalui tahap training seharusnya diangkat menjadi buruh tetap bukan menempuh perjanjian kerja waktu tertentu alias kontrak.

Calon buruh yang diterima akan mendapatkan APD (Alat Pelindung Diri), yang terdiri dari helm, sepatu safety, satu stel baju kerja, masker dan kacamata sesuai dengan penempatan kerja. Namun tidak sedikit mendapatkan APD yang berbeda dengan tempat kerjanya. Misalnya si A kerja di PT GCNS, namun saat pembagian APD dia justru mendapatkan seragam kerja bertuliskan PT IRNC.

Praktik tersebut menempatkan PT IMIP seperti penyalur buruh untuk perusahaan–perusahaan yang ada di kawasan tersebut. Kebijakan ketenagakerjaan seperti ini tidak akan ditemui di kawasan industri yang biasa di Indonesia. Ini menimbulkan pertanyaan lain tentang sejauh mana hubungan pasar ketenagakerjaan yang fleksibel bisa dimanifestasikan di IMIP.

Praktik lainnya adalah kebijakan mutasi atau pemindahan buruh dalam satu kawasan IMIP. Buruh yang bekerja di IMIP dapat dipindahkan ke perusahaan lain sewaktu-waktu. Padahal biasanya mutasi hanya dilakukan dalam satu perusahaan, dari satu unit kerja ke unit kerja lain, baik dalam satu divisi atau departemen yang sama ataupun yang berbeda.

Di IMIP ditemukan banyak praktik perpindahan/mutasi buruh dari satu perusahaan ke perusahaan yang lain. Praktik ini umumnya terjadi kepada kru dan operator perusahaan yang sudah lama bekerja, seperti yang terjadi pada seorang buruh di PT SMI yang sudah bekerja selama 7 tahun dan kemudian dimutasi ke OSMI.

Pemindahan atau mutasi tersebut tidak hanya terhadap buruh kontrak (PKWT), juga kepada buruh yang sudah berstatus tetap atau buruh dalam status Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

Buruh kontrak yang dipindah seperti yang dialami oleh Misbah (bukan nama sebenarnya), di awal tulisan ini. Misbah dipindah ke OSMI meskipun awalnya kontrak di PT GCI. Misbah akhirnya tidak diperpanjang kontraknya dengan alasan yang tidak jelas. Seharusnya Misbah otomatis diikat sebagai buruh tetap setelah dua kali masa kerja kontraknya. Misbah adalah buruh yang dikontrak oleh CGI selama 6 bulan, sebelum kemudian dipindahkan ke OSMI pada kontrak periode keduanya. Ironisnya Misbah baru tahu kontrak kerjanya tidak diperpanjang saat sedang cuti di kampung halamannya di Sulawesi Selatan.

Sementara buruh tetap atau PKWTT saat terjadi pemindahan atau mutasi memang tidak mengubah statusnya sebagai PKWTT. Namun demikian masalah kemudian timbul ketika perpindahan tersebut menghilangkan masa kerja yang telah dialami oleh si buruh tersebut. Dengan kata lain masa kerja buruh tersebut kembali ke nol atau dihitung kerja dari awal lagi.

Pemindahan divisi kerja yang sewenang-wenang dan penghangusan masa kerja menimbulkan kerentanan tersendiri bagi buruh. Mereka terancam kehilangan hak-haknya terutama terkait dengan masa kerja akibat praktik yang begitu fleksibel dalam rotasi dan perpindahan buruh di dalam IMIP.

Situasi lain yang memperlihatkan bagaimana cairnya praktik hubungan industrial dalam lingkungan IMIP adalah adanya buruh “titipan”. Buruh titipan adalah buruh yang hubungan ketenagakerjaannya dengan kerjanya berbeda perusahaan. Misalnya buruh yang statusnya bekerja di PT ONI tetapi dalam kerjanya di PT GCNS. Praktik ini terjadi biasanya karena perusahaannya masih dalam tahap pembangunan atau belum beroperasi penuh, sehingga buruh dipekerjakan sementara untuk perusahaan lain. Buruh ‘titipan’ ini cukup banyak, mengingat pembangunan dan pengembangan IMIP yang terus berlangsung.

Dalam pengupahan, buruh ‘titipan’ tidak menerima tunjangan produksi dan uang skill. Hal ini tentu menguntungkan perusahaan, karena mereka tidak perlu membayar tunjangan buruh ‘titipan’ meskipun kerja mereka sama dengan buruh di perusahaan tempatnya dipekerjakan.

Di IMIP, semua buruh mendapatkan perintah lembur wajib yang jumlah jam kerjanya tergantung pada sistem kerjanya. Misalnya buruh regular mendapatkan lembur wajib selama satu jam, sementara yang long shift mendapatkan lembur wajib hingga empat jam.

Hal tersebut perparah dengan situasi lain dalam ketersediaan saranan dan prasarana kerja di IMIP. Misalnya masalah K3 (Keamanan & Keselamatan Kerja), yang menimpa buruh di IMIP. Kecelakaan kerja di IMIP terjadi setiap hari. Indikasi awal adalah alat dan sasaran kerja di pertambangan merupakan bidang yang berbahaya. Keberbahayaan ruang kerja dikondisikan oleh intensitas jam kerja kerja buruh. Namun, APD yang dipergunakan merupakan jenis perlindungan yang tidak memadai.

Contoh kejadian akibat masalah K3 adalah ketika ada buruh yang terjatuh dari truk saat menumpang untuk pulang. IMIP kemudian merespons kejadian tersebut dengan surat edaran: melarang buruh menumpang truk baik untuk pulang maupun berangkat ke perusahaan mereka. Contoh kecil tersebut memperlihatkan tanggung jawab pengelola kawasan sangat rendah, bahkan menyalahkan buruh.

Dalam masalah K3 IMIP menerapkan mekanisme sanksi bukan mengurangi risiko, apalagi menghilangkan faktor-faktor terjadinya kecelakaan. IMIP menetapkan bahwa buruh yang tidak mematuhi aturan-aturan teknis keselamatan kerja mendapat surat peringatan hingga pemotongan upah. Misalnya, jika seorang buruh kru kedapatan melanggar aturan K3 akan dipotong upah dengan tidak diberikannya tunjangan skill sebesar Rp500 ribu dan tunjangan produksi Rp300 ribu.

Selain buruh kru dikenai hukuman potongan upah, personel bagian safety di divisi tersebut pun harus mengalami pemotongan upah dengan tidak diberikannya tunjangan safety sebesar Rp500 ribu. Selain itu pelanggar K3 juga akan diberi surat peringatan (SP) bahkan terancam PHK. Namun SP ini hanya berlaku untuk buruh lokal, karena buruh TKA hanya mendapatkan pemotongan upah.

Masalah ketenagakerjaan di IMIP juga terlihat pada kesenjangan upah antara TKA dengan buruh lokal. TKA memang bekerja di hampir semua bagian kerja di perusahaan yang ada di IMIP, dari yang terendah sebagai buruh di kontraktor (istilah untuk pekerjaan di konstruksi), level kru, operator hingga level yang tinggi seperti manajemen.

Perbedaan perlakuan upah buruh lokal dan TKA dengan jenis pekerjaan yang sama telah menimbulkan persoalan serius: rasisme.

Namun demikian masalah utama dalam ketenagakerjaan di IMIP memang berakar pada kebijakan yang membuat buruh dalam posisi rentan. Perbaikan kondisi ketenagakerjaan di IMIP bukan semata pada masalah upah, tetapi secara keseluruhan dari K3 hingga aturan ketenagakerjaan yang bisa memastikan posisi buruh terlindungi di hadapan negara dan pengelola IMIP. Untuk mencapai harapan tersebut, dibutuhkan model pengorganisasian yang komprehensif. Lagi pula, diskriminasi upah telah melanggar konvensi internasional mengenai upah yang sama untuk pekerjaan dengan nilai yang sama. Dalam konteks tersebut, tuntutan kesetaraan upah menjadi masuk akal bagi buruh di IMIP.[]

“Teeetttt!”: Aku vs Lionel Messi*

Demi mencapai target dan dengan kualitas terbaik, buruh perempuan pembuat sepatu Adidas mengalami kekerasan fisik, verbal dan ekonomi.

***

November 2022

“Goollll”, “Aaahh”. Teriakan dan sahutan. Hampir tiap malam aku dengar, sejak Piala Dunia 2022 bergulir baik di rumah maupun di rumah tetangga. Yah! dimulai 18 November 2022 pecinta sepak bola dimanjakan dengan permainan lihai pesebapak bola kelas dunia di Piala Dunia 2022 yang diselenggarakan di Qatar. Dua di antara puluhan sponsornya adalah Adidas dan Coca Cola. Keduanya merupakan dua merek yang familiar di Indonesia. Terutama Adidas, adalah merek yang menorehkan cerita dalam hidupku.

Piala Dunia, bola, Lionel Messi pesebak bola sohor sudah dikabarkan akan menggunakan sepatu warna emas detail variasi biru dan putih mewakili bendera Argentina. Sepatu Messi dinamai Adidas X Speedportal Leyenda.

Piala Dunia 2022, membawa ingatanku pada cerita sepuluh tahun lalu.

***

Januari 2012

“Teeetttt!” Suara bel jam istirahat. Suaranya melengking tak bernada dan khas. Hanya dalam hitungan detik teman-temanku meninggalkan pekerjaan. Dengan langkah kaki cepat mereka berlomba memburu pintu keluar. Kulihat di belakang, tepatnya di meja Quality Control (QC), Bu Narti kepala bagianku sedang ngobrol dengan Teh Kiki bagian output di line-ku. Quality Control adalah bagian yang bertugas mengecek produk agar sesuai dengan standar perusahaan.

Aku celingak-celinguk memerhatikan sekeliling. Aku menarik napas agak panjang sambil memegang erat surat ajuan cuti yang dibungkus amplop putih. Surat itu sudah kusiapkan sejak kemarin. Sambil berjalan ke arah mereka berdua, hatiku berbisik, “Semoga output setengah hari ini sesuai target. Jika tidak, sudah bisa aku pastikan, selepas istirahat kami akan melihat wajah asam Bu Narti”.

Bu Narti perempuan tinggi kurus memiliki wajah khas Indonesia Timur dengan suara yang melengking. Bu Narti adalah pimpinan di gedung dua. Dia membawahi line: cutting, sewing dan assembling. Di setiap line dipimpin oleh seorang supervisor dan dibantu seorang mandor.

Semakin mendekati mereka, jantungku semakin tak karuan. Ketika tiba di samping meja QC, sekira setengah meter sembari menghela napas aku membuka mulut. “Bu, maaf ganggu,” ucapku setengah payah seolah merasa bersalah memotong obrolan mereka.

“Ada apa Ani?” Dengan wajar datar Bu Narti menolehku. Teh Kiki kulihat bergeser ke depan papan tulis yang berada di samping meja QC. Papan tulis memang disediakan di setiap line untuk mencatat hasil produksi setiap jam. Letaknya di bagian belakang sebelah meja QC.

“Bu.” Suaraku gemetar. “Saya minta izin.” Keberanianku tumbuh perlahan. Tanpa mengubah posisi badannya, dua bola mata Bu Narti masih memerhatikanku. “Minggu depan tanggal 12 saya mau cuti satu hari aja. Adik saya nikah, Bu.” Jelasku menyatakan tujuan. Bu Narti masih terdiam. Tanpa reaksi apapun. Aku melanjutkan kalimatku, “Ini surat pengajuannya, Bu.” Tambahku sambil menyodorkan amplop putih yang di dalamnya sudah ada surat pengajuan cuti.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun Bu Narti mengambil dan membuka amplop yang aku ajukan. Ia langsung membaca surat ajuan cutiku, “Enggak bisa!” Suara Bu Narti menggelegar seperti gledek di siang bolong. “Minggu depan ada ekspor. Kita belum lengkap.” Suaranya meninggi seperti ingin menarik perhatian orang lain. “Pan kamu tahu sendiri kita gak dapet-dapet target.” Kini suara Bu Narti seperti sedang menyalahkanku dan teman-temanku. Aku gagal mencapai target pekerjaan. Dalam satu hari target yang harus kami capai adalah 180 pasang per jam. Saat itu aku bekerja 8 jam berarti aku harus menyelesaikan target sekitar 1440 pasang.

“Tapi, Bu.” Suaraku makin merendah seperti membujuk. “Saya minta tolong.” Setengah merajuk, aku meyakinkan Bu Narti. “Ini kan nikahan adik. Masa saya gak hadir. Saya kan mpok satu-satunya.” Aku kira semua orang akan mengerti dengan alasan itu: saudara sedarah menikah sudah selayaknya aku hadir. Agamaku pun mengajarkan bahwa pernikahan merupakan salah satu ibadah yang harus dipersiapkan dengan matang. Tanpa menunggu Bu Narti menjawab, aku menambahkan kalimatku. “Lagian kan, Bu, selama ini saya tidak pernah cuti.”

Mendengar kalimat terakhirku, seketika Bu Narti mengubah posisi badannya dan memandang wajahku. Kedua bola matanya membulat mengarah padaku. “Kamu paham gak sih apa yang saya bilang?!” Dengan kedua urat leher yang menonjol suara Bu Narti seperti sedang memanggil orang dari jarak satu kilometer: keras sekali. “Minggu depan kita ekspor barangnya masih banyak. Lagian kalau kamu cuti yang balik busa siapa? Si Nia sendirian? Kamu tahu, dia gak biasa kerja di sana, ntar kalau Teh Yamah udah balik cuti, kamu silahkan cuti.” Suara Bu Narti agak pelan. Ia seperti sedang membujukku. Seolah sedang membutuhkanku, sekaligus menegaskan pernikahan adikku tidak lebih penting ketimbang memutar mesin produksi.

Dalam hitungan detik tangan Bu Narti memegang ujung amplop yang aku berikan. Mulutnya terbuka, “Sekarang gak ada cuti-cutian!” Kalimatnya diakhiri dengan merobek surat ajuan cutiku menjadi empat potong. Surat yang aku buat susah payah dengan penuh pertimbangan jadi sampah seketika. Aku melongo. Jantungku berdebar antara marah dan takut.

***

***

Namaku Nurani. Orang-orang memanggilku Ani. Aku ibu tiga anak yang bekerja di salah satu pabrik pembuat sepatu Adidas di Tangerang. Aku tinggal di wilayah utara Tangerang daerah pantai yang menjadi tujuan wisata dan belanja berbagai macam ikan laut.

Hampir satu jam perjalanan dari tempat tinggalku ke pabrik. Setiap hari aku berangkat sekitar pukul 5.00 pagi. Kembali ke rumah ketika masih sudah gelap. Hanya seminggu sekali aku bisa melihat matahari siang hari. Hampir lima tahun aku bekerja di pabrik X. Saat ini aku bekerja di bagian sewing tepatnya di bagian balik busa.

PT X adalah pabrik yang berlokasi di Banten yang memproduksi sepatu merek Adidas jumlah buruhnya sekitar 2000 dengan 85 persen adalah perempuan.

Bulan Juli 2012 sekitar 1500 buruh melakukan protes karena menutut perbaikan kondisi kerja, pembayaran kekurangan upah dan kebebasan berserikat. Protes tersebut diekspresikan dengan mogok kerja. Perusahaan membalas mogok kerja dengan memecat 1300 buruh dengan tuduhan mengundurkan diri sepihak.

Balik busa adalah pekerjaan manual menempel busa di antara collar lining dengan heel lalu dibalik kemudian ditonjok. Ditonjok adalah istilah membentuk ujung komponen di bagian collar lining agar membentuk dan tidak tinggi-rendah. Karena pekerjaan balik busa membutuhkan ketepatan maka hanya dapat dikerjakan oleh tangan, sulit digantikan mesin.

Pekerjaan balik busa termasuk pekerjaan yang vital. Minimal membutuhkan empat orang yang bekerja di bagian tersebut. Biasanya tidak sembarang orang yang ditempatkan di bagian ini. Aku biasanya bekerja dengan mbak Yamah. Tetapi sudah sekitar sebulan mbak Yamah cuti keguguran. Sebagai gantinya aku dipasangkan dengan Nia. Sebelumnya Nia bekerja di bagian pola. Saat itu, aku hamil sekitar enam bulan.

Aku paham alasan Bu Narti tidak memberiku cuti. Bagi Bu Narti pencapaian target produksi dengan kualitas terbaik adalah pekerjaannya. Mungkin pula tujuan hidupnya. Mungkin hanya dengan cara demikian, ia akan mendapat puja-puji atasannya yang patuh pada manajemen. Tapi aku aku tidak tahu, apakah hanya dengan menyepelekan kebutuhan keluarga para buruh, ia dapat menunaikan pekerjaannya. Tapi, bagaimana pun juga aku anak tertua. Lagi pula, orangtua kami sudah lama tiada. Sebagai anak perempuan tertua aku-lah yang harus mendampingi adik bungsuku di pernikahannya.

Selama lima tahun bekerja, aku tidak pernah mengambil cuti. Aku berusaha bekerja sesuai perintah manajemen perusahaan: patuh dan disiplin. Kalau jam istirahat walaupun aku sudah membawa bekal makan tapi kalau Bu Narti atau Bu Siti, mandor di line-ku meminta untuk membelikan makanan, aku tidak pernah menolak. Jadi pekerjaanku bukan hanya mengerjakan tugas-tugas sewing, tapi patuh pada keinginan atasanku.

Sekuat tenaga aku berusaha menjadi buruh yang patuh dan baik. Karena apa? Karena aku butuh pekerjaan. Dari pekerjaan itu aku mendapatkan uang untuk mempertahankan hidupku dan ketiga anaku. Suamiku bekerja serabutan; kadang menjadi tukang bangunan, dan kadang bantu-bantu nelayan. Upah bulanan yang aku terima merupakan topangan hidup kami.

Selain itu, aku mempunyai mimpi besar yang entah kapan bisa terwujud: memperbaiki rumah. Rumah kami tepat di pinggir pantai; rumah yang sangat sederhana dengan atap rumbia dan dinding bilik berlantai tanah. Kalau air laut pasang, rumah kami bisa terendam berhari-hari. Setelah banjir surut, dinding-dinding rumah lembab.            

Selain itu, rumah kami hanya punya satu kamar tidur. Kamar itulah yang biasa ditempati aku, suamiku dan anakku yang bungsu. Dua anakku biasa tidur di depan depan televisi. Kini, anak pertamaku menginjak remaja. Aku berharap bisa menabung untuk membuat kamar agar kedua anakku bisa tidur layak.

***

***

Sejujurnya perlakuan Bu Narti merobek surat ajuan cutiku membuatku kecewa dan sakit hati. Line tempatku bekerja adalah line andalah. Bu Narti merupakan atasan yang selalu mendapat pujian atasan. Line kami selalu menjadi percontohan karena dianggap selalu mencapai target dengan kualitas terbaik. Tapi kami anak buahnya tersiksa dengan perlakuan Bu Narti.

***

***

“Goyang!” Suaranya hampir mengisi seluruh isi ruangan. Seperti pembajak sawah yang sedang memecuti kerbau di sawah. Ribuan perempuan menundukkan kepala menekuni pekerjaannya. Ada yang berdiri. Ada pula yang duduk. Semuanya tak hirau dengan suara yang berulang kali menghalau. “Goyang! Ayo jangan lemot!”. Suaranya semakin keras. “Goyang! Ayo jangan lemot!”. Kami berusaha menambah kecepatan.

Begitulah teriakan Bu Narti setiap hari: dari pagi hingga sore. Kalau ada anak buahnya yang tidak masuk kerja atau merusak barang—istilah kami reject, kami harus siap dimaki-maki dengan suara sekeras-kerasnya di depan mejanya. Dan, jika Bu narti sudah memaki, seisi ruangan akan mengetahui bahwa ada salah satu buruh yang melakukan kesalahan. Jadi kami harus menghasilkan barang, tidak boleh ada yang cacat sedikit pun dan target tercapai.

Bu Narti juga tipe pimpinan yang tidak pernah puas dengan capaian pekerjaan kami. Kalau dalam waktu dua minggu kami mencapai target maka minggu ketiga target akan dinaikan lima atau sepuluh pasang. Misalnya, kalau dalam tiga minggu berturut-turut line kami bisa mencapai target 1450 pasang sehari maka minggu keempat target akan dinaikan jadi 1460 pasang sehari bahkan bisa mencapai 1500 pasang.

Karena cutiku ditolak aku harus memutar otak mencari cara agar aku bisa tidak masuk kerja. Sekilas terpikir membeli surat dokter. Tapi tidak mungkin karena Bu Narti sudah tahu kalau hari itu adikku menikah. Akhirnya, aku nekat bolos kerja.            

Kebetulan hari pernikahan itu bertepatan dengan hari Senin. Senin adalah hari yang sibuk. Karena di hari ini biasanya kami harus nyetok atau nabung hasil. Karena hasil sebelumnya sudah tutup buku di hari Sabtu. Maka, Senin selain mencapai target 180 pasang per jam kami juga harus menjahit lebih untuk stock sebagai tabungan apabila di hari lain tidak mencapai target.  Tapi hari ini adikku lebih butuh aku. Sebagai kakak tertua aku harus menjadi bagian di hari bahagia itu.

***

***

Selasa pagi. Januari 2012. Seperti biasa aku sarapan bersama Nia, mpok Tato, mba Atun dan Nila. Kami biasa sarapan di saung-saung yang sudah disediakan di halaman pabrik; atau kalau waktunya mepet kami sarapan di meja tempat kerja. Aku membawa kue-kue sisa hajatan adiku.

“Kemarin kamu dibantu siapa Nia?” Tanyaku di sela-sela sarapan.

“Orang line sebelah mpok. Kerjanya lelet tuh kita keteteran,” tunjuk Nia ke keranjang di bawah meja. Ada dua keranjang yang penuh dengan upper yang belum dibalik busa. Upper adalah bagian atas sepatu.

“Ani, siap-siap Lu dimakan Nenek Lampir,” sambar mbak Atun yang memperingatkanku. Ucapan mbak Atun memecah canda-gurau kami mengawali hari kerja. Nenek Lampir adalah sebutan kami untuk Bu Narti. Nenek Lampir atau Mak Lampir merupakan perempuan buruk rupa dan berperangai jahat dalam cerita legenda yang dipopulerkan oleh salah satu stasiun televisi swasta pada 2000-an.

Aku mengabaikan peringatan mbak Atun. Lagi pula aku sudah memperkirakan akan dimarahi oleh Bu Narti. Jadi aku sudah bersiap.

Sarapan selesai. Aku mengenakan celemek dan topi kerjaku. Lalu kami membersihkan meja tempat kami kerja. Sebenarnya, waktu kerja belum mulai. Tapi karena pekerjaan menumpuk kami sudah mulai bekerja.

“Teeetttt!” Suara melengking tanpa nada itu kembali berbunyi. Jam kerja sudah dimulai, pukul 7.00 pagi. Yayuk, anak bagian input menghampiri mejaku. Bagian input adalah bagian yang paling awal yang memberikan support material berdasarkan rencana kerja yang harus diproduksi setiap hari.  

“Mpok,” kata Yayuk datar. “Dipanggil ibu di mejanya.” Ibu adalah panggilan resmi untuk Bu Narti. “Mpok Tato, bantuin Nia dulu, yah,” perintah Yayuk seraya memanggil mpok Tato untuk menggantikan pekerjaanku.

Aku tidak bertanya mengenai pemanggilan itu. Aku pun sudah memperkirakan kejadian ini dan aku sudah siap dengan kemarahan Bu Narti. Dari jarak sepuluh langkah aku lihat Bu Narti tengah duduk di kursinya. Di depan mejanya ada Bu Siti, Teh Kiki, Yayuk dan mba Atik QC di line-ku. Aku mendekati meja Bu Narti. Karena Bu Siti masih ngobrol dengan mereka aku hanya berdiri di samping meja dengan jarak yang tidak begitu jauh.

Aku masih berdiri kaku, merapatkan kaki dengan kepala menunduk dan memegang tangan, seperti pesakitan. Waktu seperti berjalan lambat. Sekitar sepuluh menit mereka meninggalkan meja. Kini tersisa Bu Narti. Ketika aku melangkahkan kaki kananku menuju meja, Bu Narti hanya sedikit menggerakan kepalanya. Dua bola matanya membulat. “Kamu tunggu saya. Jangan ke tempatmu dulu!” Perintah Bu Narti setengah membentak. “Berdiri sana, saya mau meeting dulu”. Tanpa menunggu jawaban dariku, Bu Narti mengangkat badannya. Ia pergi begitu saja sembari menenteng buku tebal hijau. Aku masih berdiri, seperti anak SD yang dihukum karena tidak mengerjakan PR.

Gedung tempat kerjaku berada di lantai dua. Gedung yang berdiri di atas tanah sekitar 2,7 hektare. Semuanya terdapat tiga bangunan kokoh: bagian depan dan di belakang office terdapat gedung dua lantai yang merupakan area produksi. Gedung di bagian belakang adalah gudang.

Di dalam produksi terdapat empat line. Line menurut istilah manufaktur adalah stasiun kerja untuk memproduksi item tertentu.[1] Setiap line dipimpin oleh supervisor. Di depan line tepatnya di tengah-tengah ruang kerja terdapat meja masing-masing pimpinan dan papan tulis berukuran 100×200 sentimeter. Papan tulis itu berfungsi untuk mencatat yang berhubungan dengan order atau untuk menjelaskan tentang produksi apabila sedang breafing.

Lima menit berlalu. Sepuluh menit aku lewati. Ibarat menunggu bedug Magrib saat puasa, waktu terasa berjalan lambat. Aku masih berdiri. Aku menggerak-gerakkan kakiku. Tapi perlahan panas menjalar di kedua betisku. Aku merasa pegal. Ingin sekali duduk dan menyelonjorkan kaki. Tapi aku hanya berdiri, seperti patung. Sesekali aku mengelus perutku yang tampak membesar. Usia kehamilanku yang enam bulan menambah berat yang ditahan kakiku. Karena aku berdiri di depan line, semua orang yang lewat menontonku. Teman-teman line-ku hanya bisa menatap kasihan dari kejauhan. Mereka nyaris tidak berbuat apa-apa.  Aku lihat beberapa orang berbisik sesama temannya, seperti mewanti-wanti agar tidak ada kejadian yang sama kepada mereka. Di saat demikian, orang-orang seperti menyelamatkan diri. Mereka tampak lebih khusu’ bekerja.

Keringat dingin menghampiri badanku. Pikiranku berkecamuk antara malu dan marah. Hampir lima belas menit aku berdiri. Aku lihat pimpinan-pimpinan sudah berdatangan ke meja mereka. Rupanya meeting pimpinan sudah selesai. Begitu juga dengan Bu Narti dan Bu Siti. Keduanya sudah ada di meja.

Posisiku masih berdiri ketika Bu Siti menghampiriku, “Ani disuruh kemeja Ibu tuh!” Meskipun nadanya seperti suara robot, kalimat Bu Siti seperti menyelamatkan kepegalan kakiku. Tanpa berpikir panjang aku memburu meja Bu Narti.

Tanpa menunggu aku menarik napas, Bu Narti memberondong dengan pertanyaan yang bersifat menghakimi, “Saya tidak kasih kamu cuti, tapi kamu malah bolos kerja Ani? Maksud kamu apa? Kamu udah bosan kerja? Kalau sudah bosen keluar aja ngapain kamu masuk lagi?” Suara Bu Narti hampir memecahkan gemuruh mesin. Beberapa orang melirik ke meja Bu Narti. Kemudian mereka kembali ke pekerjaan mereka. Aku merasakan aliran darah menuju ke kepala dan seluruh tubuhku. Jantungku berdetak kencang. Sambil berdiri, aku tertunduk. Untuk kedua kalinya aku dipermalukan di depan umum. Ingin rasanya aku membantah semua kata-katanya, tapi bibirku kelu. Tak terasa air mata menetes di kedua pipiku.            

Sejak hari itu aku tidak lagi memandang sama terhadap atasan dan pekerjaanku. Aku mencatat baik-baik dalam hatiku atas perlakuan yang aku terima. Seperti goresan luka yang tak mungkin terobati. Jika aku mengingat lagi hari itu, aku pasti merasa marah, takut dan sedih. Orang-orang menyebutnya trauma.

***

***

Juli 2012 cuti melahirkanku berakhir. Aku dengar dari teman-teman kerja yang tinggalnya satu kampung bahwa pabrik sedang didemo. Kawan-kawanku menutut kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja. Menurut cerita tetanggaku, setelah kepergianku serikat buruh telah berdiri, tapi ketua dan sekretarisnya dipecat. Alasan pemecatannya pun tidak masuk akal. Aku juga mendengar kabar, pabrik tidak menjalankan upah minimum sesuai keputusan gubernur.

Upah yang kami terima Januari 2012 adalah sebesar Rp 1.381.000. Sedangkan Gubernur Banten sudah merevisi SK UMK (Surat Ketetapan Upah Minimum Kota) menjadi Rp 1.529.150. Baru di bulan Maret perusahaan membayar upah sesuai SK yang kedua. Atas dasar itu kami meminta perusahaan untuk membayar kekurangan pembayaran upah selama tiga bulan yang jumlahnya sebesar Rp.660.000.

Selain menutut pembayaran kekurangan upah juga menutut perbaikan kondisi kerja, di mana sejak dijalankannya system one piece flow buruh terkondisikan untuk terus-menerus melakukan pekerjaan sehingga sulit melakukan aktivitas lain. Bahkan, apabila ada buruh yang akan melaksanakan salat Asar, atasanku bilang, “Pulang kerja kamu kan bisa salat”. Waktu salat Asar bukan waktu istirahat. Jadi diharapkan dapat dilaksanakan setelah pekerjaan selesai. Sekali lagi, produksi lebih penting ketimbang salat. Dengan jarak dan berbagai kemacetan di perjalanan, tiba di rumah selepas Magrib. Praktis waktu salat Asar pun dilewatkan.

Sejak Februari 2012 mulai dijalankan system one piece flow atau tidak ada penumpukan. Dengan dijalankannya sistem ini buruh yang tadinya memegang satu proses diwajibkan memegang dua atau tiga proses. Jumlah buruh yang dianggap berlebihan digabungkan ke departemen surplus. Intinya, dengan one piece flow jenis pekerjaan yang ditanggung oleh buruh ditambah, kualitas produksi dijaga, jumlah produksi ditambah dan jumlah tenaga kerja kurangi.

Satu contoh adalah ketika dijalankannya sepatu Adidas tipe Predito yang dijalankan di cell 6 di bulan Januari sampai April. Jumlah tenaga kerja untuk sewing 40 orang dan assembling 48 orang dengan target 140 pasang per jam. Pada 15 Mei jumlah tenaga kerja di bagian sewing dipangkas menjadi 34 orang dan assembling menjadi 37 orang dengan target yang sama. Berarti pada Mei sebanyak 17 orang buruh telah dipecat.

Sebelum one piece flow, pabrik menjalankan lean system. Lean system adalah metode produksi yang bertujuan memaksimalkan hasil produksi dengan tenaga kerja yang tersedia. Dengan sistem kerja one piece flow maupun lean system kadang aku berpikir, apakah betul dengan banyaknya pabrik akan secara otomatis membuka lowongan kerja? Nyatanya, ketika beroperasi pabrik memiliki logika sendiri. Dengan berbagai ilmu manajemen, pabrik lebih suka mempekerjakan lebih sedikit orang dengan upah alakadarnya ketimbang merekrut lebih banyak tenaga kerja.

Sejak diberlakukan one piece flow bagianku yang tadinya empat orang dikurangi hanya berdua: aku dan mbak Yamah. Bukan bagianku saja, bagian pola pun ditambah pekerjaaan yaitu menempel komponen. Karena jenis pekerjaanku bertambah maka semua waktu dipergunakan untuk melakukan produksi. Keperluan pribadi dianggap membuang waktu.

One piece flow juga berakibat lain kepadaku. Sudah merupakan keadaan alamiah, jika perempuan hamil akan lebih banyak buang air kecil. Karena itu, aku yang dalam posisi hamil harus pinter-pinter nahan kencing agar tidak bolak balik ke toilet. Seandainya aku tidak berhasil menahan buang air kencing, harus siap-siap kena semprot atasan, “Kerja bolak balik ke toilet mulu. Kalau tau gak bisa nahan kencing pampers dong biar nggak repotin orang lain”.

***

***

Senin 16 Juli 2012 hari pertamaku kerja setelah tiga bulan di rumah menjalani cuti melahirkan.  Aku sudah bersiap dari rumah untuk bekerja. Ketika akan tiba di pabrik, dari jarak sekitar lima puluh meter aku lihat semua temanku berkumpul di depan pabrik. Di hadapan mereka sebuah mobil pick up yang dilengkapi pengeras suara. Di kemudian hari aku baru mengetahui kalau mobil itu disebut dengan mobil komando, yang disebut sebagai salah satu perangkat aksi massa.

Aku semakin mendekati mobil komando. Di atas mobil komando aku lihat Ayuk Leni dan Teh Eva, bergantian berpidato. Suara mereka lantang dan berani. Sembari memegang mic sesekali tangannya diacungkan dan digerak-gerakkan. Tapi gaya pidatonya tidak seperti pidato-pidato dalam acara keagamaan. Tidak ada ayat Qur’an atau hadis yang dikutip.  Dikemudian hari aku juga baru tahu bahwa jenis pidato dalam aksi massa disebut dengan orasi.

“Kawan-kawan semalam kami sudah berbicara dengan pihak brand Adidas dan hari ini kita akan kembali melakukan negosiasi dengan pihak pabrik.” Suara Teh Eva menggelegar disambut tepuk tangan kawan-kawan. “Harapan saya kawan-kawan tetap solid; jangan terpecah dan terprovokasi oleh pihak-pihak yang tidak suka dengan perjuangan kita,” wanti-wanti Teh Eva.

“Kita akan mendatangi Kemnaker. Kita juga akan mendatangi Adidas di Jakarta” tambah Teh Eva. Suara Teh Eva semakin melengking. Urat-urat lehernya menonjol nyaris keluar. “Kita akan menutut pihak-pihak itu agar ikut bertanggung jawab atas nasib kita. Kemnaker harus tegas atas pelanggaran yang dilakukan perusahaan. Adidas tidak bisa lepas tangan. Adidas harus memastikan PT X taat dengan Code of Conduct yang sudah ditetapkan.”

Mendengar untaian kalimat Teh Eva bulu kudukku berdiri. Jantungku berdebar. Air mataku menggenang. Seperti bensin yang disulut api, aku marah. “Iya, Teh. Bener itu!” Kata-kata itu spontan saja meluncur dari mulutku. Teman-temanku yang lain bergemuruh menyetujui kata-kata Teh Eva. “Betul itu!” “Betul itu!” Suara dari kerumunan bersahutan.

“Adidas tidak melakukan audit atas kondisi kerja. Karena Adidas hanya menginginkan kualitas dan on time saja. Kita sudah memberikan keuntungan besar kepada Adidas, kita akan terus menutut Adidas,” lanjut Teh Eva dengan penuh keberanian. Aku kagum melihat keberanian Teh Eva dan Ayuk Leni.

Aku membenarkan kata-kata Teh Eva dan Ayuk Leni. Ketika aku bekerja, seluruh waktu, tenaga dan pikiranku dihabiskan untuk menyelesaikan produk Adidas. Memang aku berhadapan dengan Bu Narti yang mirip Nenek Lampir. Tapi Bu Narti pun melakukan itu semua atas perintah manajemen. Manajemen melakukannya atas perintah Adidas. Manajemen pabrik dan Adidas bersekongkol mengeruk ludes semua tenaga kami.

Setelah mendengar orasi Teh Eva dan Ayuk Leni, dengan kesadaran penuh aku memutuskan terlibat dalam demonstrasi bersama kawan-kawan. Aku sepakat dengan apa yang menjadi tuntutan kawan-kawan bahwa selama ini kami sudah ditindas. Tenaga kami diperas tapi kami takut untuk melawan sendirian. Selama ini kami hanya bisa ngedumel di belakang. Ngedumel tidak akan menyelesaikan persoalan.

Sejak hari itu aku terlibat bersama kawan-kawan. Aku menjadi salah satu barisan demonstrasi berhari-hari. Pada suatu hari, entah di hari ke berapa dalam rangkaian demonstrasi, kami dinyatakan PHK tanpa pesangon oleh perusahaan. Aku adalah bagian dari seribu orang buruh perempuan pembuat sepatu Adidas, yang setiap hari dipaksa menyelesaikan produk Adidas agar berkualitas; dipecat begitu saja dengan tuduhan mangkir. Hatiku berbisik, “Beginikah orang-orang berkuasa dan berharta? Mereka hanya menginginkan tenaga tanpa memikirkan kebutuhan kami sebagai manusia”.

Aku dan teman-temanku dibuang begitu saja, seperti membuang korek kuping. Usia kami antara 30 hingga 40 tahunan, dengan latar belakang pendidikan sekolah dasar dan SMP dan sedikit yang lulusan SMA. Aku sedih dengan PHK ini tetapi ini adalah risiko yang harus aku dan kawan-kawan terima.

Hari demi hari aku lalui. Tak terasa enam tahun kami berjuang, melawan pengusaha dan pemilik brand. Dari sini aku paham betapa sombong perwakilan brand yang ada di Indonesia. Dari kejadian ini aku sadar ternyata berjuang untuk mendapatkan hak itu sangat sulit. Tidak terhitung berapa ratus kali kami aksi massa mendatangi kantor-kantor instansi pemerintah, kantor Adidas, Kedutaan Besar Negara Jerman sampai aksi di jalan-jalan protokol umum.

Sekali waktu kami berdemonstrasi di depan Kantor Perwakilan Adidas di Jakarta. Teh Eva dan beberapa pengurus diterima oleh perwakilan Adidas. Setelah audiensi dengan perwakilan Adidas, Teh Eva naik ke mobil komando. Rupanya tidak ada hasil yang menggembirakan. Kata Teh Eva, Perwakilan Adidas Indonesia menerima perwakilan buruh di tempat parkir. “Mereka mengelak bertanggung jawab. Mereka berdalih tidak memberikan order Adidas ke PT X, tapi ke induk perusahaannya.”

Mendengar informasi dari Teh Eva, darahku mendidih. Pikiranku melayang ke tempat kerja. Kembali terbayang Bu Narti yang tidak pernah berhenti membentak untuk menyelesaikan pekerjaan; terlihat jelas aku yang dihukum berdiri di depan line karena tidak kerja untuk menghadiri pernikahan adikku; kembali terbayang ruangan kerja yang penuh mesin dan bahan-bahan baku; ada bagian pola, cutting, moulding hingga wujud sepatu Adidas. Yang aku tahu di dinding-dinding pabrik tergantung dalam bingkai kaca tulisan “Code of Conduct Adidas” dengan penjelasannya. Yang aku tahu beberapa kali bule-bule Adidas itu datang, istilah kami “Audit Adidas”.

Aku akan beritahu. ‘Audit Adidas’ itu secara rutin dilakukan meskipun aku tidak terlalu ingat berapa kali dalam setahun. Jika ‘audit Adidas’ akan datang: kami akan diminta menggunakan baju dengan warna yang seragam, karena pabrik tidak pernah memberikan seragam kerja; kamar mandi yang tadinya bau berubah jadi bersih dan wangi; mesin penyedot bau lem yang selalu mati tiba-tiba nyala; di-line tiba-tiba ada petugas yang nyapu setiap waktu sehingga lantai terlihat bersih; dan atasan-atasan yang setiap detik membentak berubah menjadi ramah.

Tibalah waktunya ‘audit Adidas’ datang. Dengan tubuh tinggi, kulit putih dan rambut kekuningan mereka melemparkan pandangan ke ruangan produksi. Sesekali mereka tersenyum ke buruh. Kami menyebutnya bule. Bule-bule itu muter-muter di tempat kami kerja: melihat proses produksi dan hasil kerja. Suasana kerja begitu tenang. Biasanya bule-bule itu melihat-lihat tempat kerja kami tidak sampai tiga puluh menit. Setelah itu mereka pergi.

Hanya dalam hitungan detik setelah kepergian bule-bule itu, suasana kembali seperti semula. Kembali terdengar, “Ayo, Goyang! Jangan lemot!”, “Bego, Lu. Bisa kerja gak sih?!”, “Kalau gak bisa kerja pulang sana!”, “Gua tendang juga kaki, Lu!”, “Ke toilet mulu kapan kerjanya?!”.

***

***

“Gooool!!” Suara para penonton bola itu mengagetkanku yang setengah terlelap. Piala Dunia 2022 berakhir. Argentina menggondol kemenangan mengalahkan Prancis. Lionel Messi, yang selama bermain mengenakan sepatu berwarna emas merek Adidas, dinobatkan sebagai pemain terbaik. Lionel Messi dikontrak seumur hidup oleh Adidas dengan nilai kontrak Rp349 miliar per tahun. Aku mengintip langit melalui jendela, terlihat gelap. Semilir angin merambat pelan melalui bilik-bilik rumah. Aku melihat jam dinding, hari sudah larut. Batinku berbisik, “Semoga besok masih ada rezeki makan untuk anak-anakku dan ada uang bekal sekolah mereka”.[]

***


[*] Tulisan ini pemenang dalam Buruh Menulis yang diselenggarakan oleh Koalisi CCC Indonesia, pada April-Mei 2023. Tulisan ini pertama kali diterbitkan di http://www.marsinahfm.com/teeetttt-aku-vs-lionel-messi/, 11 Mei 2023. Tulisan ini merupakan pemenang

[1] Yuk! Kenali Istilah-Istilah Populer di Industri Manufaktur. Jurnal Kawasan. 5 Januari 2022. Tersedia: https://jurnalkawasan.com/id/berita/yuk-kenali-istilah-istilah-populer-di-industri-manufaktur, diakses pada 24 April 2023.

Nikel Morowali: Mengubah Lanskap, Mengobrak-abrik Kehidupan (4)

Tulisan ini merupakan bagian keempat dari Nikel Morowali: Mengubah Lanskap, Mengobrak-abrik Kehidupan. Di bagian ini kita akan mendiskusikan unit-unit usaha di IMIP sebagai operator modal asal China. Bagaimana modal diuntungkan dari kebijakan yang meminggirkan hak-hak dasar rakyat?

***

Membedah Unit-unit Usaha IMIP

Kawasan Industri IMIP, merupakan kerjasama antara Bintang Delapan Group dari Indonesia dengan Tsingshan Steel Group dari negara Tiongkok. Lumrahnya kawasan industri tahun 2010-an, kawasan industri IMIP dilengkapi dengan landasan pacu pesawat, fasilitas hiburan, hotel berbintang hingga fasilitas pembangkit listrik batubara dengan kapasitas 2 Giga Watt. Bedanya, sebagaimana akan diuraikan di bawah, IMIP mengendalikan berbagai unit usaha di dalam kawasan.

Wujud kerjasama Tsingshan Steel Group dan Bintang Delapan Group sebagai berikut. Tsingshan Steel Group mendirikan SDI (Shanghai Decent Investment) untuk menjadi pengelola IMIP. SDI bermitra dengan PT Bintang Delapan Investama, anak usaha PT BDG (Bintang Delapan Grup), dan PT SMI (Sulawesi Mining Investment), perusahaan patungan PT BDG dengan Dingxin Grup/Tsingshan dalam pengelolaan IMIP.

Tokoh-tokoh penting di Bintang Delapan Group di antaranya, Letnan Jenderal (purnawirawan) Sintong Panjaitan, sebagai presiden komisaris dan Mayor Jenderal (purnawirawan) Hendardji Supandji, sebagai presiden komisaris Bintang Delapan Investama. Hendardji adalah adik Hendarman Supandji, kepala Badan Pertanahan Nasional, dan kakak dari Gubernur Lemhanas, Budi Susilo Soepandji (Mongabay.co.id, 12/5/2014).

Kepemilikan IMIP. Sumber: The People Maps.

Tsingshan Group akan menjadikan IMIP sebagai metronom industri nikel. Saat ini IMIP telah menjadi salah satu pusat pengolahan nikel terbesar dunia terutama untuk Nickel Pig Iron (NPI) dan feronikel. Selain NPI dan feronikel, IMIP terus mengembangkan lini produksi. Terbaru adalah dengan pengembangan klaster Katoda Baterai EV (Electric Vehicle), sehingga IMIP memiliki tiga klaster setelah sebelumnya ada klaster NPI sampai feronikel dan klaster carbon steel.

The People ‘s Map of Global China, situs inisiatif kolaboratif gerakan sosial, menyebutkan bahwa IMIP didanai oleh sejumlah oleh lembaga-lembaga keuangan asal China, seperti CDB (China Development Bank), Bank Export-Impor China, Bank of China, ICBC (Industrial and Commercial Bank of China) dan HSBC. CDB, misalnya, mengucurkan dana sebesar USD 5 miliar, di mana USD 1,22 miliar untuk pabrik baja milik Tsingshan Grup serta dua pembangkit listrik dengan kapasitas 300 Mega Watt. Pembangkit listrik IMIP juga mendapatkan pendanaan dari Bank Exim China senilai USD 240 juta.

Saat ini lebih dari 30 perusahaan atau tenant yang ada di IMIP. Jumlah tersebut melonjak sejak 2016, yang hanya sekitar 10 perusahaan. Hal ini membuat Tsingshan Grup menjadi produsen nikel terbesar di dunia dengan kapasitas mencapai 20 persen dari pasar dunia. Perusahaan – perusahaan yang ada di IMIP:

1PT BDM (Bintang Delapan Mineral)16PT BDT (Bintang Delapan Mineral)
2PT SMI (Sulawesi Mining Investment)17PT HNI (Hengjaya Nickel Industry)
3PT ITSS (Indonesia Tsiangshin Stainless Steel)18PT RNI (Ranger Nickel Industry)
4PT GCNS (Indonesia Guangching Nickel And Stainless Steel Industry)19PT MTI (Merdeka Tsingshan Indonesia)
5PT IRNC (Indonesia Ruipu Nickel chrome alloy)20PT RISUN (Risun Wei Shan)  
6PT OSMI (Ocean Sky Metal Indonesia)21PT TSINDA  
7PT TSI (Thingshan Steel Indonesia)22PT LSI (Lestari Smelter Indonesia)
8PT ONI (Oracle Nickel Indonesia)23PT BSI (Bukit Smelter Indonesia)
9PT QFF24PT Cahaya Smelter Indonesia
10PT QSEM25PT Fajar Metal Industry
11PT YWI26PT Teluk Metal Industry
12PT HCAI27PT Lestari Hua Metal Indonesia
13PT DSI (Dexin Steel Indonesia)28PT WNI (Walsin Nickel Industry Indonesia)
14PT QMB (Qing Mei Bang New Energy Material Indonesia)29PT Morowali Power Mandiri
15PT HYNC (Huayue Nickel dan Cobalt)30PT IPRT (Indonesia Puqing Recyling Technologies)
16PT QMB (Qing Mei Bang New Energy Material Indonesia)31PT KINRUI (Kinrui New Energy Technologies Indonesia)

Sejumlah perusahaan di IMIP ditengarai memiliki hubungan kepemilikan dengan Tsingshan Grup.  Dari proses rekrutmen misalnya terlihat indikasi perusahaan seperti PT ITSS, PT SMI, PT OSMI, PT GCNS, PT TSI, PT IRNC merupakan bagian dari grup Tsingshan. Sementara perusahaan seperti PT RNI, ONI, QMB, KINRUI, MTI, maupun HNI merupakan perusahaan kerjasama atau join venture dengan grup lain.

Jumlah perusahaan di IMIP memang terus bertambah. Hal tersebut seiring dengan pembangunan klaster industri di IMIP yang saat ini memiliki tiga (3) klaster industri yaitu:

  1. Klaster NPI (Nickel Pig Iron) hingga stainless steel
  2. Klaster carbon steel
  3. Klaster Katoda Baterai EV

Klaster Katoda Baterai EV merupakan klaster terbaru. Dengan perkembangan pasar kendaraan listrik, kampanye energi bersih, dan kebijakan pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat produksi baterai dan kendaraan listrik dunia, luasan lahan dan produksi IMIP akan semakin membesar. IMIP saat ini memiliki ambisi untuk melakukan hilirisasi nikel untuk mendukung program pemerintah tersebut. Ketika lahan diperluas dan produksi digenjot terdapat dua kepastian: perampasan lahan dan kondisi kerja buruh yang memburuk.

Tentu saja, yang diuntungkan dengan keputusan menjadikan Indonesia sebagai pusat produksi baterai dan kendaraan listrik dunia adalah seluruh investor sumber daya alam dan perusahaan teknologi informasi yang mengaku sebagai perusahaan rintisan. Investor-investor di sektor lain pun tergiur dengan kebijakan tersebut. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadila yang menyatakan, Indonesia kedatangan investor besar masuk untuk industri baterai kendaraan listrik. Investasi yang akan masuk di antaranya adalah dari Korea Selatan yaitu LG, Contemporary Amperex Technology Co., Limited (CATL) dari China dan Britishvolt dari Inggris.

Sementara di IMIP, hilirasasi nikel disambut dengan rencana PT TBS Energy Utama Tbk (TOBA) untuk berinvestasi di sektor EV Manufacturing, EV sales, after sale, financing, charging hingga recycling untuk baterai listrik. TOBA bersama dengan GoTo (Gojek Tokopedia) juga telah membentuk perusahaan patungan bernama Elektrum untuk masuk dalam bisnis baterai kendaraan listrik.

PT TBS Energy Utama Tbk sendiri sebelumnya dikenal dengan nama PT Toba Bara Sejahtera Tbk. Perusahaan ini dikenal karena kaitannya dengan nama Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan.

Selain TOBA dan GoTo yang akan terjun dalam bisnis baterai listrik, sudah ada sejumlah pengusaha cum pejabat yang mengincar bisnis nikel. Sandiaga Uno melalui Saratoga Investama Sedaya Tbk memperkuat posisinya dengan menambah saham di PT Merdeka Copper Gold Ltd (MDKA) dari 1,64 persen menjadi 18,34 persen. MDKA kemudian patungan dengan Eternal Tsingshan Group Limited untuk mendirikan PT Merdeka Tsingshan Indonesia (MTI) untuk projek AIM (Acid, Iron, Metal).

MDKA diketahui memiliki saham MTI sejumlah 80 persen dan sisanya sejumlah 20 persen dimiliki oleh Eternal Tsingshan Group. MTI menginvestasikan sekitar USD 412 juta selama tiga tahun untuk proyek AIM di IMIP dan pelabuhan khusus di pulau Wetar.

Penelusuran JATAM yang dimuat dalam Betahita.id menemukan dugaan pasokan ore nikel ke IMIP tertaut dengan nama politisi Partai Nasdem, Ahmad Ali. Perusahaan-perusahaan seperti PT Graha Mining Utama, PT Graha Agro Utama, PT Graha Istika Utama dan PT Tadulako Dirgantara Travel yang terafiliasi dengan politisi sekaligus pengusaha asli Sulawesi Tengah tersebut menjadi pemasok ore ke IMIP.

***

***

Selama ini proyek Belt and Road Initiative (BRI) China juga membangun dan berinvestasi industri pendukungnya seperti industri baja-aluminium dan industri semen. Produksi logam terutama baja, aluminium dan semen dari China memasok berbagai proyek pembangunan infrastruktur dalam proyek-proyek yang didanai dari Belt and Road Initiative. Lonjakan produksi nikel Indonesia menjadi 1.000.000 metrik ton per tahun terjadi setelah investasi China masuk ke Indonesia. 

IMIP sebagai produsen nikel Indonesia memberi gambaran bagaimana keuntungan yang akan diperoleh industri logam China di Indonesia. Hitungan tersebut belum termasuk jika kita membicarakan kontribusi dari pusat smelter nikel dan pengolahan logam lain seperti kawasan industri Konawe, Sulawesi Tenggara maupun kawasan industri di Weda Bay di Maluku yang keduanya dibangun dengan investasi dari China.

Selain itu, industri keuangan China juga mendapatkan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar. Bank dan lembaga pembiayaan swasta dan bank pemerintah China mendapatkan keuntungan dari proyek-proyek investasi seperti yang dilakukan di IMIP. Bunga kredit tentu ukuran paling sederhana dari keuntungan pinjaman dan pembiayaan dalam industri keuangan.

Peran industri keuangan menguatkan suprastruktur ekonomi dengan berbagai kerjasama antarnegara yang seringkali tidak setara. Kesepakatan-kesepakatan tersebut, pada akhirnya, mengubah berbagai peraturan perundangan.

Selain membiayai kawasan indusri IMIP, perusahaan pembiayaan investasi pun turut serta dalam pembiayaan untuk mengembangkan industri turunannya termasuk untuk industri otomotif, khususnya kendaraan listrik. Nikel merupakan komponen utama dalam pembuatan baterai EV (Electric Vehicle) yang menjadi bahan bakar untuk mobil dan sepeda motor listrik.

Pertama, pembangunan infrastruktur besar di Indonesia ditopang oleh skema hutang dan investasi. Pemerintah Indonesia memberikan insentif bagi masuknya investasi ke Indonesia. Skema-skema pelicin investasi dalam bentuk keringanan dan potongan pajak (dalam bentuk tax allowance dan tax holiday), kemudahan perizinan, dukungan infrastruktur, jaminan bahan baku, jaminan ketersediaan energi hingga kebijakan upah menjadi kebijakan-kebijakan pemanis investasi dari pemerintah Indonesia.

Pemerintah Indonesia memiliki aturan melalui Peraturan Presiden (PP) Nomor 10 tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Melalui PP tersebut, pemerintah mengatur kebijakan-kebijakan insentif fiskal dan nonfiskal kepada investor yang masuk dalam daftar prioritas. Usaha prioritas yang dimaksud dalam PP tersebut adalah usaha dengan kriteria seperti Proyek Strategis Nasional (PSN), padat modal, padat karya, teknologi tinggi, industri pionir, orientasi ekspor dan kegiatan penelitian.

Dalam aspek ketenagakerjaan, kebijakan insentif investasi berwujud pada skema pasar tenaga kerja fleksibel. Skema ini secara teknis akan berbentuk kebijakan easy hiring and easy firing dengan prinsip perluasan no work no pay. Kebijakan tersebut memangkas berbagai masalah ketenagakerjaan yang sering dianggap menghambat investasi, seperti kebijakan pengupahan, kebijakan soal pesangon dan lainnya. Dalam cerita kemudahan investasi tersebut, para pebisnis mengeluh dengan berbagai pungutan tidak resmi dari aktor-aktor predator di daerah maupun pusat. Namun mereka lebih suka dan lebih berani mempersoalkan aksi-aksi massa buruh dan kenaikan upah minimum ketimbang berhadapan dengan parasit ekonomi.

Lihat saja di IMIP. Buruh dihadapkan pada praktik perburuhan yang sangat rawan seperti hubungan ketenagakerjaan yang rentan manipulasi. Kebijakan pengupahan yang diskriminatif hingga masalah mudahnya buruh dipecat dengan alasan yang tidak masuk akal.

Pada akhirnya dalam rantai produksi nikel, buruh Indonesia menjadi pihak paling lemah dan dilemahkan. Diskriminasi upah dan kerentanan hubungan ketenagakerjaan menjadi salah satu hal paling vulgar.

Ketika bisnis nikel tumbuh, muncul masalah agraria dan ketenagakerjaan. Sementara pemerintah berdalih investasi pertambangan akan meningkatkan perekonomian dan membuka lapangan pekerjaan, letupan perlawanan menyeruak di kampung-kampung di Morowali dan di lini-lini produksi di unit usaha IMIP.

Protes-protes tersebut wajar. Rakyat tidak perlu berkorban untuk keuntungan segelintir pemilik modal dan pejabat negara. Industri smelter Indonesia tidak diragukan lagi memberi keuntungan besar bagi pemodal asal China sebagai produsen baja terbesar dunia. Yang tidak wajar adalah protes perlawanan yang berubah menjadi sentimen rasisme anti-China.[]

Eksploitasi Seksual, Bukan Bahan Candaan!

Sekitar pukul 19.30 WIB, di tengah rutinitas mengembalikan mood setelah aksi massa memperingati Hari Buruh Internasional, dua pesan masuk melalui aplikasi Whatsapp. Walaupun sudah memasuki hari keempat setelah aksi massa badan terasa ringsek. Bawaannya mager.

Saya lihat pesan itu. Ternyata dia mengirim sebuah link berita dari media massa daring lokal, Fajarpendidikan.co.id. Tertera, Viral, Perusahaan di Cikarang HRD Haruskan Karyawati Staycation untuk Perpanjangan Kontrak.

“Ini lagi rame ya?” Lanjut pesan itu. 

Saya terperangah.

“Aih parah, kalau beneran, jahanam nih perusahaan,” balas saya.

“Perusahaan apa ya?” lanjut balasan saya.

“Kalau di TikTok ramai. Konon nama pabriknya PT M dan PT E,” tegas pengirim pesan.

Selepas May Day saya memang lebih banyak rebahan. Sesekali mengintip berita-berita online dan status Whatsapp orang lain. Kadang tergoda mengomentari drama ‘cium tangan’, dukung mendukung Capres dan klarifikasinya. Rupanya saya ketinggalan berita yang lebih penting.

Informasi di media daring tersebut di tulis pada 2 Mei 2023. Sebenarnya, tidak layak disebut berita karena sekadar pernyataan tanpa bukti. Tapi, tidak menunggu lama, saya pun membuka aplikasi Tiktok, platform yang dulu saya bilang alay.

Setelah menekan tombol searching dengan cepat saya pun mendapatkan informasi yang dicari. Betul saja, di TikTok sudah banyak yang membuat video tentang kejadian ‘staycation karyawan Cikarang’.

Saya memilih salah satu video dan mengintip beberapa komentar yang jumlahnya ratusan. Seluruh komentar tidak membenarkan peristiwa ‘HRD meniduri buruh dengan alasan perpanjangan kontrak’. Dari semua komentar saya menyimpulkan dua jenis komentar. Pertama, komentar yang mewajarkan peristiwa tersebut. Kedua,  yang menyalahkan buruh perempuan karena rela ditiduri atasan demi perpanjangan kontrak. Komentarnya, ada yang disampaikan dengan cara bercanda, ada pula yang disampaikan dengan serius.

Berikut saya mencatat beberapa komentar yang mewajarkan kejadian tersebut:

“Ah itu mah bukan hal baru dah dari tahun 2006”.

“Iya temenku ada yang hamil. Disuruh nikah sama laki-laki yang mau, tapi dibiayain sama tuh HRD “.

“Emang udah sering sih kalau itu hampir di semua PT”.

“Mau kerja harus bayar, mau diperpanjang kontrak harus @$%^&”.

Komentar-komentar yang menyalahkan buruh perempuan:

“Ah itu mah sekalian open BO aja”

“Cita-cita jadi HRD Cikarang”

“Kok mau sih gadaikan harga diri demi status Kartap”

Lebih dari 30 menit saya scroll Tiktok dengan kata kunci, “Staycation Cikarang”. Jantung saya berdebar. Kepala saya terasa panas. Perasaan saya diaduk-aduk antara muak, sedih, dan heran. Sekilas terlintas, “Kok bisa buruh perempuan bersedia diajak begitu oleh atasannya. Emang gak bisa menolak?!”.

Setelah saya pikir-pikir, peristiwa itu tidak sederhana dan tidak dapat disederhanakan. Orang lain menyebutnya: relasi kuasa. Yang jelas, kejadian tersebut tidak boleh dijadikan bahan guyonan, tidak bisa diwajarkan, apalagi menyalahkan buruh perempuan.

Buat saya, berita ‘Syarat staycation agar kontrak diperpanjang atau agar tetap bekerja’ adalah pukulan telak bagi kita, bagi serikat buruh. Mestinya sih, kejadian tersebut merupakan bahan evaluasi bagi dinas ketenagakerjaan. Apalagi berita tersebut muncul di Hari Buruh Internasional, hari di mana semua buruh memperingati perjuangan menuntut pengurangan jam kerja, kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja.

***

Saya jadi teringat zaman-zaman sekitar tiga belas tahun yang lalu. Di satu pabrik pembuat sepatu merek internasional di Kota Tangerang.

Ceritanya begini. Saat itu seisi pabrik heboh. Ada satu operator mengalami depresi.

Hari itu, Senin. Ketika sarapan pagi, saya terlibat obrolan.

“Hari Jum’at, si A diajak istirahat sama Pak T,” cerita Ellena (bukan nama sebenarnya) dengan memelankan suaranya.

“Eh, taunya diajak ke hotel X tuh. Ketika Pak T lagi di toilet si A kabur,” tambah Ellena sembari membungkukan punggungnya dan dua bola matanya menatap tajam. “Dia gak bawa apa-apa pokoknya lari aja sambil nangis. Katanya mereka udah sepakat. Pak T nawarin, kalau mau diangkat jadi karyawan tetap, harus mau ke hotel dulu.” Ellena mengakhiri ceritanya sembari menyandarkan badannya ke kursi.

Kisah buruh perempuan yang mengalami depresi berakhir ketika manager HRD turun tangan. Tapi saya mendapat cerita lebih lengkap dari manager HRD. Menurut manager HRD, Pak T telah menyalahgunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi. Manager HRD pun menambahkan bahwa korban dari kelakuan Pak T lebih dari tiga orang.

Akhir cerita Pak T dipecat. Tapi beberapa bulan kemudian saya mendapat kabar, Pak T sudah bekerja lagi di salah satu pabrik sepatu di Kabupaten Tangerang.

Bagaimana dengan korban Pak T? Korban-korban Pak T pun rupanya ikut mengundurkan diri dari pabrik. Ketiganya merasa malu dan trauma. Apakah mereka dapat bekerja lagi? Saya tidak dapat informasi. Dugaan saya, tidak semudah mendapat pekerjaan seperti Pak T.

Saya punya cerita lain ketika kita pertama kali mengenal telepon genggam dengan merek Blackberry.

Sebut saja, R. Teman sekerja R, menyebut R cewek Bispak atau BP, singkatan dari ‘Bisa Dipakai’ alias R mudah digauli oleh siapapun di kalangan atasan di pabrik. Stigma itu menempatkan perempuan seperti barang. Saya dapat kabar. Kalau bersedia melayani atasannya, R akan diangkat menjadi buruh tetap, diberikan tambahan upah dan dibelikan handphone merek Blackberry.

R adalah buruh kontrak. Sekali waktu R kedapatan hamil. R pun keluar dari pekerjaan.

Ada pula kasus ‘N’. Ceritanya tidak jauh dari ‘R’. Sekali waktu, N pun hamil. Celakanya, N sulit menentukan bapak dari bayinya. Pasalnya, jumlah atasan yang memanfaatkan N lebih dari satu orang.

Rupanya, atasan-atasan di pabrik tersebut berkonsolidasi. Dalam kasus ‘N’ mereka bersepakat membiayai kelahiran N. Mulanya setelah melahirkan, N tetap bekerja. Tapi, N jadi bahan gunjingan teman sekerjanya. Akhirnya, N pun keluar dari pabrik.

Tidak berhenti di cerita R dan N. Masih ada cerita S, C dan beberapa nama lagi dengan cerita yang sama dan status yang sama yaitu buruh kontrak.

“Saya bingung, Teh. Gak kerja. Gimana harus hidupin anak saya, Emak dan adik-adik saya,” curhatan R ketika saya menengoknya ketika sudah lahiran.

“Kamu sudah coba ngobrol sama bapak anakmu, gimana kedepannya,” tanya saya.

“Udah Teh. Dia memang mau biayain lahiran dan janjinya nanti tiap bulan mau kirim uang,” jawab R dengan tatapan kosong

“Tapi saya juga gak tau berapa uang yang mau dikirim. Selain itu juga saya masih harus nanggung ibu dan adik-adik saya,” tambahnya.

R adalah anak tertua dari tiga bersaudara. Adiknya dua orang. Adik pertama bersekolah di SMP. Entah kelas berapa. Adik kedua masih kelas empat SD. Bapaknya pedangan buah potong keliling. Ibunya buruh cuci di rumah-rumah tetangganya. R dan keluarganya merantau ke Tangerang. Di Tangerang mereka menempati kontrakan tiga petak yang dibayar bulanan sebesar Rp500 ribu. R adalah anak tertua yang juga tulang punggung keluarga. Bapaknya sudah lama mengidap penyakit paru-paru akut. R memang harus bertahan dalam pekerjaan agar dapat menjadi topangan keluarga. Saya tidak tahu kelanjutan nasib R. Terakhir saya dengar, R menjadi buruh migran.

***

Sekilas terpikir, “Kok mau buruh menggadaikan dirinya demi perpanjangan kontrak”, “Kok bisa sih, buruh perempuan melayani atasannya demi pekerjaan?”. Kejadian ‘staycation untuk mempertahankan kontrak kerja’ di Cikarang. Cerita R, N dan banyak perempuan lain yang menyerah dengan bujukan atasannya tidak sederhana dan tidak dapat disederhanakan. Tapi dapat dirangkum dalam satu kata: dunia kerja semakin buruk. Ketika ingin mendapat pekerjaan harus berhadapan dengan pungutan lowongan kerja. Ketika diterima bekerja berhadapan dengan kondisi kerja yang buruk dan ancaman pemecatan dengan kompensasi murah. Buruh seperti hidup sendiri tanpa pertolongan siapapun.

Dalam kasus Pak T, R dan N, saya mengajak mengamati relasi itu. Pak T adalah kepala bagian produksi. Ia membawahi empat bagian: preparation, cutting, sewing dan assembling. Ingat ya, empat bagian itu isinya bukan hanya mesin, bahan baku dan jenis-jenis pekerjaan. Ada manusia, yaitu perempuan. Di pabrik sepatu, keempat bagian itu dikerjakan oleh perempuan. Jadi, sebagai laki-laki, Pak T memiliki jabatan sebagai kepala bagian. Dalam jabatan tersebut melekat kekuasaan, pendapatan dan posisi.

Sebagai kepala bagian, Pak T memiliki kekuasaan untuk memutuskan buruh dapat menjadi buruh tetap atau dipecat. Upahnya pun lebih besar. Hubungan kerja Pak T adalah buruh tetap. Posisinya lebih tinggi ketimbang operator. Karena Pak T adalah laki-laki, derajatnya dianggap lebih unggul ketimbang perempuan.

Sementara itu, bawahan-bawahan Pak T adalah buruh perempuan. Sebagai buruh operator, mereka tidak dapat mengambil keputusan. Tugasnya menjalakan perintah atasan. Upahnya lebih kecil ketimbang Pak T. Dapat dipecat kapan pun dan dengan alasan apapun. Sebagai perempuan, para buruh operator dianggap harus patuh kepada laki-laki.

Dua kata: bekerja atau dipecat bukan sekadar kata, tapi menyangkut sumber penghasilan, kelangsungan pendapatan dan status sosial. Jadi jangan menyederhanakan dua kata tersebut. Ketika seseorang bekerja maka statusnya menjadi orang yang bekerja; ekonominya terjamin karena memiliki penghasilan dan memiliki kesempatan merencanakan masa depan; dan terkadang menjadi andalan keluarga. Ketika seseorang dipecat derajatnya turun menjadi: penganggur, beban keluarga, dikucilkan dari lingkungan keluarga, terancam diusir dari kontrakan dan masa depan suram. Lagi-lagi mendapat pekerjaan formal di Tangerang tidak mudah.

***

Mungkin banyak pemuka agama yang mengecam kejadian ‘staycation’ sebagai perbuatan terlarang. Hanya saja masalah bukan hanya di situ. Saat ini, kita berhadapan dengan kebijakan yang merugikan semua kalangan: Undang-Undang Cipta Kerja. Undang-undang tersebut membuat kesempatan kerja semakin sulit, buruh semakin dihargai murah tanpa kepastian kerja. Bagi R,N, dan ribuan buruh perempuan yang sedikit memiliki pilihan negara tidak pernah memberikan perlindungan. Mereka hanya dapat mengandalkan dirinya sendiri.

Saya yakin sekali cerita-cerita di atas tidak hanya terjadi di Cikarang atau Tangerang tetapi di banyak daerah. Atasan-atasan di tingkat manajemen baik itu HRD atau kepala bagian memanfaatkan relasi kuasa yang mereka miliki untuk mengeksploitasi pihak yang tidak memiliki daya tawar dengan iming-iming buruh tetap.

Ketua semua lembaga negara dan agama sibuk memikirkan dirinya sendiri, di mana peran serikat buruh memastikan tidak adanya pelecehan di dunia kerja?[]

Bukan Kebaikhatian Negara, Tapi Gerakan Massa: Refleksi Perjuangan Upah Minimum di Banten

SELASA, 6 Desember 2022, aku sudah menyiapkan baju tidur, baju ganti, alat mandi dan perlengkapan make up, seadanya. Tapi untuk skin care tidak bisa di-skip dan tidak boleh seadanya. Harus full.

Hari itu ada agenda rapat rutin di ‘Seknas’. Tidak seperti biasanya, rapat kali ini akan berlangsung dua hari penuh. Makanya, aku bersiap-siap lahir dan batin. Biasanya, rapat berlangsung dua sampai empat jam dan aku bisa bolak-balik Tangerang-Jakarta. Kali ini, demi menghemat ongkos dan waktu aku memutuskan menginap di ‘Seknas’ atau biasa disebut ‘Sekre’, istilah sehari-hari kami untuk menyebut kantor serikat buruh tingkat pusat.

Malam itu di sekre, aku menghabiskan malam dengan berdiskusi. Kami berdiskusi tentang upah minimum nasional hingga larut malam, sekira pukul 12.00 malam. Aku melepas malam dengan mandi dan membersihkan muka. Sembari menunggu datangnya kantuk, aku membuka pesan Whatsapp. Aku melihat dan membaca pesan status di Whatsapp.

“Alhamdulillah. Akhirnya perjuangan kita berhasil. 7,2% hasil perjuangan dan aku terlibat dalam perjuangan ini”.

“Walaupun badan gak keruan. Tapi alhamdulilah perjuangan kita ada hasilnya”.

“Jam 01.25 wib akhirnya gubernur tanda tangan SK”

Demikian, tiga status Whatsapp yang dibuat oleh kawan-kawan yang ada di kontakku. Malam itu, mereka sedang berdemonstrasi di Kantor Gubernur Banten. Mereka berhasil mendesak kenaikan upah minimum 2023 sebesar 7,2 persen. Walaupun kenaikan tersebut masih jauh dari tuntutan tapi aku ikut mensyukuri nilai itu. Angka kenaikan yang lumayan di tengah harga-harga kebutuhan pokok yang melambung.

Seperti telepati, tidak lama muncul notifikasi pesan dari seorang kawan pimpinan salah satu serikat buruh di Kabupaten Tangerang,

“Teh, belum tidur? Mau ngabarin, anaknya dari PT X kesurupan. Tapi udah aman kok, udah dibawa pulang”. ‘Anak’ adalah istilah untuk teman sekerja. Aku tidak tahu entah sejak kapan istilah ‘anak’ dipergunakan untuk menyebut kawan sesama buruh.

Pesan tersebut seakan mengusir kantuk yang sedang menghampiriku. Aku segera menelepon kawan-kawan pimpinan serikat buruh yang sedang terlibat ikut dalam aksi massa kenaikan upah minimum. Dari tiga pimpinan yang aku hubungi hanya satu orang yang mengangkat telepon genggam.
“Iya, Teh. Maaf lagi di motor dalam perjalanan pulang,” jawabnya setengah berteriak mencoba menyaingi suara kendaraan sepeda motor yang dinaikinya dan di sekelilingnya.

Malam itu berlalu cepat.

Pagi hari aku sudah terbangun dan segera mengirim pesan broadcast ke sebuah grup serikat buruh di Kabupaten Tangerang.

“Bagaimana kabar kawan-kawan, sehat-sehatkah? Selamat, yah. Walaupun nilai 7,2% jauh dari tuntutan tapi kita sudah berhasil melawan gerombolan KOGA, dkk”. KOGA alias Korea Garment Association, sebuah perkumpulan pengusaha Korea Selatan.

Aku agak lega dengan kenaikan upah minimum 2023, meskipun nilainya tidak terlalu memuaskan. Rupanya pemerintah tidak mengikuti apa yang diminta KOGA dan kawan-kawan.

Seperti diketahui, per 22 Oktober 2022 lima organisasi pengusaha yang terdiri dari KOGA, KOFA, API, APRISINDO dan APINDO mengirimkan sura kepada Kementerian Ketenagakerjaan. Mereka meminta Kemnaker mengeluarkan aturan mengenai fleksibilitas jam kerja dengan alasan menghindari pemutusan hubungan kerja karena resesi ekonomi global. Untuk mencapai tujuannya tersebut, aliansi para pengusaha tersebut melakukan lobi ke dewan perwakilan rakyat, melakukan siaran pers dan mendatangi kantor-kantor redaksi surat kabar.

Sejujurnya, surat dari grup pengusaha tersebut menjadi salah satu pangkal kekhawatiranku dan kawan-kawan lain. Apalagi sepanjang Oktober-November media massa gencar memberitakan tentang pemutusan hubungan kerja dengan dalih resesi global. Rupanya Kemnaker tidak mengabulkan tuntutan para pengusaha. Dan, kenaikan upah tahun 2023 sedikit lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. Kenaikan upah tersebut merupakan kemenangan yang patut diapresiasi. Tentu saja yang diapresiasi adalah gerakan massa menuntut kenaikan upah bukan jajaran Kemnaker.

Beberapa kawan membalas pesan broadcast-ku. Mereka menceritakan alasan bertahan hingga pukul 1.30 pagi. Sebenarnya, aksi massa dan bertahan hingga larut malam bukan hal yang pertama kali dalam perjuangan menuntut kenaikan upah minimum. Tahun sebelumnya aksi massa bertahan dan menunggu keputusan gubernur dilakukan hingga pukul 11 malam. Kejadian tersebut memicu ‘pendudukan’ kantor gubernur oleh beberapa buruh.

Tahun ini, massa aksi bertahan karena Pelaksana tugas (Plt) Gubernur Banten masih di perjalanan pada pukul 11.00 malam sekembali dari sebuah acara di Cianjur Jawa Barat. Para buruh kesal dengan informasi tersebut, sehingga memutuskan akan menginap di KP3B (Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten). Akhirnya, pukul 1.30 pagi Plt Gubernur menandatangani dan mengeluarkan Surat Keputusan UMK Banten 2023.

Di tengah penantian surat keputusan tersebut terdapat banyak kejadian yang sulit dilewatkan. Ada beberapa orang buruh yang kesurupan, ada yang berantem, ada yang membakar ban di tengah jalan, sementara disudut-sudut lain beberapa buruh menghabiskan waktu dengan tiduran di tempat-tempat yang tidak menentu. Hal-hal tersebut wajar terjadi karena rasa lelah, lapar dan marah semua menjadi satu.

NoKota/KabUMK 2022UMK 2023PersentaseKeterangan
1Kabupaten Pandeglang2.800.292,542.980,351,466,43Tahun 2022 tidak ada kenaikan
2Kabupaten lebak2.773,590.402.944,665,466,17
3Kabupaten Serang4.215,180,864.492,961,286,59Tahun 2022 tidak ada kenaikan
4Kabupaten Tangerang4.230,792,654.527,688,527.02Tahun 2022 tidak ada kenaikan
5Kota Tangerang 4.285,798,904.584,519,086,97
6Kota Tangerang Selatan4.280,214,514.551,451,706,34
7Kota Cilegon4.340,254,184.657,222,947,30
8Kota Serang3.850,526,184.090,799,016,24

***

Obrolan kami dalam pesan Whatsapp masih berlanjut.

“Tapi kok aneh ya Teh. Sebelum SK keluar, temenku dari “Serikat Senior Sudah Tua Sekali” sudah posting duluan tuh SK,” herannya.

“Dah, yang kayak gitu ngak usah dibikin heran. ‘Kan udah terbiasa; mereka yang duduk manis di rumah tahu lebih dulu dibandingkan kita yang aksi. Bahkan dari sebelum keluar SK, juga biasanya begitu,” tandasku.

***

Empat tahun lalu bersama beberapa kawan aku mendeklarasikan satu aliansi buruh. Setelah itu aku terlibat penuh dalam perjuangan upah di Banten. Beberapa kegiatan itu adalah diskusi, menganalisis situasi dan kondisi, rapat-rapat dengan aliansi lain hingga persiapan rencana aksi massa. Dalam arti empat tahun belakangan itu aku tahu peliknya perjuangan upah minimum di Banten.

Biasanya aksi-aksi massa wilayah baik kota atau kabupaten dimulai sekitar Oktober. Istilah kawan-kawan adalah aksi massa pengawalan rapat dewan pengupahan. Untuk aksi massa pengawalan upah di wilayah kota atau kabupaten dilakukan antara empat sampai enam kali. Itu adalah kegiatan yang melelahkan. Aksi-aksi massa tersebut, sebenarnya, lebih memperlihatkan dukungan kepada perwakilan buruh di dewan pengupahan. Apakah perwakilan buruh di dewan pengupahan membawa aspirasi buruh? Di situlah masalahnya.

Akhirnya aku menemukan beberapa hal yang bisa membuat bad mood dalam perjuangan upah ini. Pertama, pemberitahuan adanya rapat dewan pengupahan selalu dadakan H-1 atau bahkan hari H. Kedua, acara rapat dewan pengupahan dapat berubah dengan tiba-tiba. Ketiga, ini faktor yang paling penting. Meskipun di dewan pengupahan terdapat perwakilan dari serikat buruh dan mereka dapat mengatasnamakan perwakilan buruh di Banten, ternyata sangat sulit sekali untuk bertemu atau mengudang, perwakilan serikat buruh di dewan pengupahan. Selain mengatasnamakan buruh mereka itu dibayar oleh APBD.

Untuk diketahui, dewan pengupahan merupakan lembaga tripartit nonstruktural yang dibentuk pada 2004 di kota dan kabupaten, provinsi hingga pusat. Dewan pengupahan berisi perwakilan pemerintah, akademisi, asosiasi pengusaha, serikat buruh, serta perguruan tinggi dan pakar dengan komposisi keanggotan berimbang. Tugasnya merumuskan dan merekomendasikan kebijakan pengupahan di tiap tingkatan.

Selain syarat pendidikan minimal Diploma 1 untuk dewan pengupahan kota dan kabupaten dan Sarjana untuk dewan pengupahan provinsi dan nasional, ada pula pula syarat jumlah keanggotaan di serikat buruh. Dengan syarat tersebut hanya serikat-serikat buruh besar yang memiliki kesempatan duduk di dewan pengupahan.

Meskipun hanya mewakili serikat buruh tertentu, perwakilan serikat buruh di dewan pengupahan dianggap mewakili seluruh serikat buruh, bahkan semua buruh. Anehnya, perwakilan serikat buruh di dewan pengupahan seperti tidak memiliki pertanggungjawaban terhadap konstituen yang diwakilinya, bahkan sangat sulit untuk diajak ‘duduk bersama’ dengan serikat buruh lain.

Persoalan lainnya adalah ketika memutuskan aksi-aksi massa mengawal dewan pengupahan kerap muncul perselisihan internal dari organisasi maupun di aliansi. Perselisihan-perselisihan tersebut biasanya berkenaan dengan pembagian kerja, penyediaan logistik, kedisiplinan, bahkan komitmen di saat melaksanakan pertemuan seperti diskusi dan rapat.

Di tengah beragam perselisihan internal tersebut, rangkaian perjuangan menuntut kenaikan upah minimum dilaksanakan. Di antara hal yang mempertemukan aliansi adalah: kami tidak rela jika kenaikan upah minimum ditetapkan semakin rendah. Apalagi setelah lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja, pandemi Covid-19 dan krisis global, keputusan-keputusan rezim semakin kejam terhadap buruh dan serikat buruh. Kami tidak dapat berpangku tangan dengan kebijakan-kebijakan tersebut.

Sejarah pernah mencatat gerakan perjuangan upah minimum di Banten selalu dahsyat. Sambil iseng aku membuat daftar kenaikan upah Kota Tangerang dari tahun 2012 hingga tahun 2023. Aku sengaja membuat daftar di bawah untuk mengingatkan bahwa perjuangan upah minimum di Banten pernah mendapatkan kemenangan besar sekitar tahun 2012.

Tahun Presentase kenaikanNominal KenaikanAturan yang dipakai
201218,3 %Rp 237.000
201410,9 %Rp 241.301
20188,71 %Rp 287.000
20198,03 %Rp 287.641
20208,51 %Rp 249.312
20220,56 %Rp 23.783

***

Aku mengingatkan kembali perjuangan upah minimum 2012. Kala itu, serikat-serikat buruh di Banten berjuang keras. Selain demonstrasi dan pawai massa, yang dilakukan berulang kali, serikat buruh pun memblokir jalan tol Bitung dan menduduki Kantor Gubernur Banten hingga larut malam. Tuntutan kami waktu itu: agar Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah merevisi Surat Keputusan (SK) Upah Minimum yang sudah dikeluarkan pada November. Aksi-aksi massa menuntut revisi berlangsung dari November hingga Januari. Hasilnya, Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah merevisi Surat Keputusan Upah Minimum dari Rp 1.381.000 menjadi Rp 1.529.150.

Berbeda dengan dua tahun belakangan ini, tahun 2012 kami tidak memiliki pikiran putus asa. Kami selalu bersandar pada kekuatan massa. Dua tahun ini pikiran kami selalu dihantui pesimisme. Berikut ungkapan-ungkapan pesimis tersebut: ‘Kalau pemerintah sudah memutuskan kita tidak dapat berbuat apa-apa’, ‘pemerintahnya tidak memiliki hak diskresi jadi mereka tidak mau menetapkan upah sesuai tuntutan’. Padahal sejak negara ini terbentuk, yang namanya pemerintah pasti harus dipaksa dengan aksi massa. Negara tidak akan sekonyong-konyong menjadi baik hati tanpa paksaan.

Mengenang perjuangan 2012 memang sekadar romantisme. Saat ini, situasi relatif berbeda. Aku seringkali berpikir apakah ancaman kemudahan pemecatan dan lembur semakin membuat buruh sulit terlibat dalam aksi-aksi massa? Tapi, menurutku, kemudahan dipecat dan buruh demen lembur sudah terjadi sejak dulu. Toh, para buruh tetap semangat terlibat aksi-aksi massa. Atau, jangan-jangan pengusaha semakin lihai mengontrol buruh sementara strategi perjuangan serikat buruh tidak berubah.

“Kita ngak akan pernah menang kalau anggota kita masih mengandalkan dispensasi,” keluh seorang pimpinan serikat buruh Wawan.

Saya menyetujui keluhan Wawan. Namun perjuangan upah yang dilakukan berulang kali di tengah kondisi sekarang terasa sangat berat. Pasalnya, antusiasme buruh terlibat dalam perjuangan massa semakin kendur karena berbenturan dengan kebutuhan sehari-hari.

“Bulan lalu aku dipotong sampe 500 ribu, Teh. Gara-gara aksi pake ITB (Ijin Tidak Dibayar). Aksi besok gentian dulu sama yang lain. Berat kalau dipotong sampe 700 ribu, Teh,” ungkap salah satu pimpinan serikat buruh yang bekerja di salah satu pabrik sepatu di Kota Tangerang Rahmi.

Rahmi dan kawan-kawannya baru membentuk serikat buruh pada 2019 kesulitan untuk mendapatkan dispensasi. Satu-satunya cara yang ia lakukan agar dapat terlibat dalam perjuangan upah adalah dengan izin tidak dibayar.

Di lain waktu, aku berkesempatan berbincang dengan pimpinan-pimpinan serikat buruh lain. Kata mereka, untuk melaksanakan aksi massa biayanya sangat besar.

“Kalau selesai aksi upah, pasti kas (serikat buruh) kosong, Mbak,” ujar salah satu pimpinan serikat buruh di Tangerang. Menurutnya satu kali demonstrasi dengan massa aksi sekitar 20 hingga 25 orang pengguna sepeda motor butuh biaya sebesar Rp3 juta hingga Rp5 juta. Jika 6 kali aksi massa maka butuh biaya Rp15 juta hingga Rp30 juta. Angkanya lumayan besar.

“Dilema, Mbak. Kalau keluarkan massa banyak kami terbentur dengan logistik, mungkin kalau untuk serikat buruh yang besar tidak terlalu persoalan. Tapi bagi kami serikat kecil persoalan logistik bisa jadi kendala dalam perjuangan,” ungkapnya. “Bukan tidak mau keluarkan massa sampai 100 orang tapi itu masalahnya: keuangan, Mbak”, lanjutnya.

****

Dari pengalamanku terlibat dalam perjuangan upah minimum ada beberapa hal yang aku catat. Di antaranya:

  • Aksi upah dilakukan berkali-kali dalam waktu yang panjang;
  • Kesiapan organisasi dalam menghadapi perjuangan upah terutama dalam hal keuangan;
  • Masih mengandalkan dispensasi dalam melakukan perjuangan upah;
  • Posisi dewan pengupahan di mana anggota dari dewan pengupahan masih memosisikan sebagai wakil dari serikatnya;
  • Dewan Pengupahan tidak melibatkan SP/SB dalam perjuangan upah; dan
  • Kemampuan dari personil dewan pengupahannya.

Selanjutnya ketika surat keputusan upah minimum keluar, biasanya tidak ada lagi konsolidasi-konsolidasi baik di internal maupun di aliansi. Nanti, memasuki bulan September akan ramai lagi dengan rapat-rapat dan diskusi-diskusi perjuangan upah.

Namun di tahun ini aku mendapatkan kritikan dari anggota. Kritikan tersebut, sebetulnya, persis seperti yang aku pikirkan.

“Teh, kenaikan upah ini jauh dari tuntutan kita. Terus kita mau ngapain setelah ini?,” kata seorang Korlap dari basis anggota bertanya dengan antusias.

“Setiap tahun begini, yah. Turun SK kita diam padahal nilainya jauh dari yang diharapkan,” timpal yang lain.

“Aku jadi males ikut aksi. Gini-gini aja tiap tahun. SB A aksi hari ini, SP B aksi hari lainnya padahal sama tuntutannya. Hari ini aksi ke Disnaker, besok aksi ke KP3B. Udah turun SK senyap,” tambah yang lainnya.

Saya tidak merespons pertanyaan dan pernyataan mereka. Saya setuju dengan apa yang mereka sampaikan. Setiap tahun metode aksi massa selalu sama, padahal pemerintah terus meng-upgrade model penindasannya terhadap buruh. Dan, menjadi pertanyaan bagiku adalah: ‘mau berapa kali lagi buruh kalah?’, ‘apakah setiap tahun akan terus dengan perjuangan upah dengan metode yang sama? fokus dengan besaran kenaikan upah minimum?’. Padahal kita sama-sama mengetahui dengan menggunakan rumus PP 36/2021 besaran upah minimum sudah diketahui besarannya tapi perjuangan buruh seakan berjalan di tempat.

Tanggal 16 Maret 2023, aku membaca berita bahwa Menaker mengeluarkan peraturan baru yaitu Permenaker Nomor 5 tahun 2023. Isi Permenaker menyebutkan bahwa pengusaha diperbolehkan memotong upah sebesar 25 persen untuk perusahaan padat karya yang berorientasi ekspor dengan alasan resesi global agar tidak terjadi PHK. Perasaanku campur aduk antara: marah, kecewa dan sedih. Meskipun area pekerjaanku tidak terdampak dengan kebijakan tersebut, Permenaker telah menghina perjuangan buruh. Perjuangan yang dilakukan dengan susah payah dan hanya naik 7 persen dengan mudah dipotong sebesar 25 persen. Nilai potong tersebut akan semakin menurunkan nilai upah ketika dipotong iuran BPJS sebesar 4 persen. Jadi total potongannya mencapai 29 persen. Berarti jumlah total upah buruh hanya Rp3 jutaan. Lagi-lagi buruh hanya berpikir keras mencukupi hidup dengan total upah sekecil itu.

Pada kesempatan lain, aku sempat terlibat bersama KASBI dalam audiensi dengan Kemnaker, pada 21 Maret 2023. Di kesempatan tersebut, Wakil Menteri dan Sekretaris Ditjen PHI JSK Surya Lukita menjelaskan tentang Permenaker No 5 Tahun 2023. Jajaran kementerian berdalih bahwa Permenaker dengan tujuan untuk kebaikan semua pihak, terutama agar tidak terjadi PHK. Mereka pun mengaku akan mengawasi dengan ketat praktik pemotongan 25 persen, seperti adanya kesepakatan dengan serikat buruh atau buruh ada di perusahaan. Selain itu, mereka pun berkelit bahwa peraturan tersebut hanya berlaku pada perusahaan yang ekspor ke Eropa dan Amerika.

“Ini tergantung dari kawan-kawan serikat buruh bagaimana nanti bernegosiasi, minta dokumen kepada pengusaha sebelum menyepakati, dan Permenker ini juga sudah disepakati oleh tripartit nasional,” ujarnya. Saya tidak habis pikir, kok bisa perwakilan serikat buruh di tripartit nasional menyetujui peraturan yang menindas buruh. Jangan-jangan lembaga-lembaga yang mengaku mewakili buruh itu diam-diam membawa aspirasi yang sama: membungkam gerakan buruh.

Setelah 1 Mei diliburkan

1 Mei 2023, Hari Buruh Internasional, jatuh pada hari Senin. Lima hari setelah libur bersama Idulfitri. Tapi, dua dari lima pabrik yang saya telusuri meliburkan buruhnya hingga 1 Mei. Bagaimana May Day akan diperingati, jika buruh masih di kampung halaman?[1]

Serikat-serikat buruh tingkat nasional tengah bersiap menyambut hari bersejarah tersebut dengan aksi massa di pusat-pusat pemerintahan.

Tahun ini serikat buruh akan mengisi hari buruh internasional dengan memprotes Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Cipta Kerja merupakan undang-undang yang menjamin investor mendapatkan tanah, jaminan kredit dan upah murah melalui land administration project, sovereign wealth fund/lembaga pengelola investasi dan pasar kerja fleksibel. Cipta Kerja menguntungkan pebisnis merugikan rakyat miskin.

Selain itu, gerakan buruh pun akan mempersoalkan pembungkaman ruang demokrasi oleh aparat negara. Sejak 2015, aktivis gerakan sosial semakin mudah dikriminalkan. Kasus terbaru adalah penangkapan enam belas aktivis buruh di Morowali Sulawesi Tengah yang dituduh menghasut massa setelah melaksanakan pemogokan; dan penangkapan dua aktivis hak asasi manusia di Jakarta dengan tuduhan mencemarkan nama baik pejabat negara.

Gerakan buruh Indonesia sudah mengenal peringatan May Day sebagai bagian dari gerakan antikolonial. Sejak itu, Hari Buruh Sedunia selalu diperingati dengan semangat dan meriah; sebagai momentum konsolidasi anggota, persatuan gerakan sosial, menggugat pemilik modal, memprots kebijakan negara, terutama mengampanyekan hak-hak perburuhan. Dalam catatan LIPS, aksi-aksi massa 1 Mei dari 2000 hingga 2012 selalu melibatkan jumlah massa ribuan dengan sebaran dari Aceh hingga Papua. Jumlah intensitas, partisipasi dan sebaran aksi massa 1 Mei mengalahkan peringatan Hari Tani Nasional ataupun Hari Hak Asasi Manusia.

Sejak 1 Mei dijadikan hari libur, pada 2013, jumlah partisipasi dalam peringatan Hari Buruh Internasional menurun. Para buruh menggunakan 1 Mei untuk berlibur ketimbang berdemonstrasi. Sementara sebagian pemimpin serikat buruh menilai percuma berdemonstrasi di hari libur.

Sebaliknya, sejak 1 Mei menjadi hari libur nasional lembaga-lembaga negara menjadikan hari buruh ruang penaklukan buruh dan serikat buruh dengan mengadakan kegiatan karitatif sambil memberikan keistimewaan kepada pebisnis. Kegiatan tersebut, bahkan, diadakan dua bulan sebelum 1 Mei. Bulan ini Pemerintah Daerah Kota Tangerang merayakan hari buruh dengan mengadakan lomba azan, ceramah dan baca al-Quran antarserikat buruh (Antaranews.com, 14/4/2023). Kota Tangerang adalah satu kota industri, di mana upah murah, kekerasan dan pelecehan berbasis gender dan pemberangusan serikat buruh merupakan peristiwa sehari-hari yang dialami buruh.

Penetapan 1 Mei sebagai hari buruh dan hari libur nasional, pada 2013, merupakan pengakuan kedua kalinya oleh negara. Pada 1948-1965, 1 Mei ditetapkan sebagai hari buruh dan hari libur. Namun, pada 1966, rezim jagal Soeharto menghapus dan mengganti 1 Mei dengan 20 Februari sebagai hari pekerja nasional dan bukan hari libur.

Tanggal 20 Februari merujuk pada deklarasi pendirian FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia), serikat buruh yang disponsori negara, lembaga keuangan internasional dan serikat buruh kuning internasional. FBSI kemudian menjadi SPSI (serikat pekerja seluruh Indonesia) pada 1985, merupakan serikat buruh yang didirikan untuk mengendalikan gerakan buruh agar menyetujui kebijakan-kebijakan negara yang mengutamakan investasi. Di zaman Soeharto metode-metode protes buruh dicap sebagai gerakan komunis yang sah dibubarkan dan ditangkap. Dengan politik massa mengambang, struktur serikat buruh direkayasa sedemikian rupa agar menjauhkan buruh dari serikat buruh. Beberapa praktik dan narasi yang dibangun di antaranya sistem keanggotaan otomatis, pendidikan yang terpusat di kalangan pengurus, serikat buruh hanya menangani persoalan normatif dan ‘biar pengurus yang menangani kasihan anggota sudah terlalu cape bekerja’.

Tiga tahun lalu, peringatan May Day dilaksanakan dengan berbagai keterbatasan. Karena bertepatan dengan libur massal, Covid-19 dan represi negara. Sejak 2018, demonstrasi massal memeringati hari buruh internasional maupun aksi-aksi massa lainnya dapat dengan mudah dibubarkan dengan alasan ditunggangi kaum anarkis.

Duapuluh lima tahun setelah kebebasan berserikat jumlah federasi serikat buruh tingkat nasional bertambah namun jumlah buruh yang berserikat tidak lebih dari tiga juta orang dari 55 juta buruh formal. Serikat buruh kehilangan ribuan anggota karena negara memberikan kelonggaran kepada perusahaan untuk memecat buruh dan melenturkan hubungan kerja.            

Di berbagai sektor industri muncul beragam jenis-jenis hubungan kerja yang tidak diakui dan tidak mendapat perlindungan negara. Manusia-manusia yang bekerja di industri media, logistik, transportasi hingga pabrik sepatu. Namanya macam-macam; stringer, freelancer, buruh on call, buruh magang, buruh kontrak, outsourcing, kurir, hingga mitra. Sementara pendidikan dan pengorganisasian serikat buruh belum dapat menjangkau jenis-jenis buruh yang paling rentan tersebut.[]


[1] Sebagian dari tulisan ini ditayangkan Asia Labour Review, Asia’s May Day: Tradition and Renewal. 30 April 2023. Tersedia: https://labourreview.org/may-day/, diakses pada 30 April 2023.

Perempuan Dukung Perempuan, Butuh Keberpihakan

Jam digital di handphone memperlihatkan pukul 16.10 WIB ketika saya tiba di stasiun Pasar Senen. Saya menuju pulang dari rapat pengadvokasian kebijakan RUU KIA di kantor SPSI KEP di Cempaka Mas Tangerang.

Saya menunggu KRL ke arah Tangerang. Dua KRL saya lewatkan, penumpangnya terlalu berdesakan karena bertepatan dengan jam pulang kerja. Saya melihat isi KRL lebih mirip akuarium. KRL ketiga saya putuskan ikut berdesakan dengan penumpang lain. Kebetulan saya mendapati gerbong terakhir yang dikhususkan untuk penumpang perempuan.

Walaupun kereta full tapi saya anggap lumayan, karena masih bisa berdiri di depan kursi prioritas. Minimal bisa nyender di antara pintu penghubung ke gerbong sebelah. Di depan saya seorang perempuan paruh baya duduk. Di sebelahnya perempuan muda sekitar 20 tahunan. Di seberang saya dua orang perempuan muda asyik ngobrol bersebelahan perempuan berusia 35 tahunan berseragam instansi pemerintah.

KRL berhenti di stasiun Kemayoran. Saya mengintip melalui kaca jendela: para penumpang sudah berjejer dan bersiaga. Ketika pintu KRL terbuka mereka menyerbu masuk berhimpitan di antara para penumpang yang sudah sesak. Dalam keadaan demikian, pikiran saya selalu menyalahkan pengelola KRL: ‘kenapa KRL tidak ditambah lagi?’.

KRL melajukan mesinnya. Dari rombongan penumpang baru itu, saya melihat seorang perempuan muda sedang hamil sekitar 4 atau 5 bulan dan seorang perempuan lanjut usia dipegang anak perempuannya mendekati kursi prioritas. Mata mereka menatap perempuan-perempuan muda yang duduk di kursi seberang saya. Perempuan-perempuan muda itu semakin asyik HP-nya dan obrolan bersama temannya. Mata anak perempuan yang menuntun perempuan lanjut usia tersebut seakan seakan berbicara, “Bisakah ibu saya duduk?”. Tapi, perempuan-perempuan muda semakin asyik dengan tempat duduknya.

Peristiwa kecil itu membuat bulu kuduk saya merinding. “Apakah kita kehilangan rasa empati,” batin saya.

Kejadian seperti itu bukan hal baru. Ada banyak cerita tentang ‘kekejaman’ gerbong KRL khusus perempuan. Ceritanya diantarkan dari mulut ke mulut atau dari media sosial ke media sosial. Tidak ada perubahan. KRL selalu berdesakan. Lambang dan tulisan di bangku-bangku prioritas untuk ‘lanjut usia, wanita hamil, penyandang cacat, ibu membawa anak’ sekadar hiasan.

Saya pernah berpikir gerbong khusus perempuan. Tentu saja diisi oleh perempuan. Sesama perempuan tentu akan lebih aware. Nyatanya, tidak. Jika tidak ditegur oleh penumpang lain atau Satpam mereka akan berpura-pura tidak tahu. Para penumpang muda itu, seandainya buta huruf sekalipun tentu akan dapat memahami makna simbol dari bangku prioritas.

Setiap KRL berhenti di stasiun hati berdebar-debar berharap ada penumpang turun, ternyata penumpang malah bertambah. Pikiran saya terus tertuju kepada perempuan muda yang enggan berbagi dengan perempuan lanjut usia dan perempuan hamil. ‘Bukankah berbagi ruang merupakan salah satu indikator demokratis yang paling konkret?’, ‘Bukankah berbagi kepada orang yang lebih membutuhkan merupakan perintah agama yang memiliki nilai ibadah yang tinggi?’. Pikiran saya berkecamuk dengan berbagai keheranan.

***

Women supporting women, begitulah salah satu tagar yang ramai dibicarakan di media sosial dan diikuti selebritas di medio 2020. Menurut Kalis Madarsiah, women supporting women adalah sebuah kesadaran bahwa perempuan sebagai kelompok rentan mesti saling mendukung. Kesadaran tersebut memiliki kepercayaan, pengalaman tubuh dan pengalaman sosial perempuan lebih mudah dipahami oleh sesama perempuan.[1]

Membaca tulisan Kalis Madarsiah di atas, pikiran saya berkelana menyusuri lorong-lorong kontrakan buruh perempuan di kota-kota industri dan menjelajahi ruang produksi di balik tembok-tembok pabrik di negeri tercinta ini. Yang diingat hanya kegelapan dan kebisuan. Ribuan perempuan muda bekerja di atas 8 jam kerja per hari, setiap hari dihardik, dibentak dan dicaci maki untuk mencapai target produksi.

Menurut data BPS 2022 partisipasi angkatan kerja perempuan sebesar 54,2 persen.[2] Masih menurut BPS, angka pekerja perempuan di sektor formal pada Februari 2021 meningkat menjadi 40,38 persen.[3] Dewasa ini, perempuan tersebar di berbagai sektor pekerjaan, bahkan sektor yang diasosiasikan sebagai pekerjaan laki-laki pun perlahan diisi perempuan. Apakah perempuan Indonesia bekerja karena pilihan bebas berbasis karir atau keterdesakan ekonomi? Itu pun sesuatu yang patut didiskusikan.

Tentu saja, 40,38 persen bukan sekadar angka. Angka tersebut mewakili manusia bernyawa yang telah mengerahkan tenaga dan pikirannya dalam membangun negara. Dari setiap belanja dan pendapatannya negara meraup untung melalui pajak. Apakah negara memberikan perlindungan terhadap buruh perempuan?

Hak Buruh Perempuan dalam Peraturan Perundangan di Indonesia

UU No 12/1948UU No 13 /2003UU No 11/ 2020Perppu No 22/2022
Pasal 7 Orang wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan pada malam hari, kecuali jikalau pekerjaan itu menurut sifat, tempat dan keadaan seharusnya dijalankan oleh orang wanita. (2)Dapat dikecualikan dari larangan termaksud dalam ayat (1) hal-hal dimana pekerjaan wanita pada malam hari itu tidak dapat dihindarkan berhubung dengan kepentingan atau kesejahteraan umum. (3) Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan hal-hal yang dikecualikan termaksud dalam ayat (2) beserta syarat-syarat untuk menjaga kesehatan dan kesusilaan buruh wanita itu.Pasal 76 Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.   (2)Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. (3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib : a.memberikan makanan dan minuman bergizi; dan b.menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja. (4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00. (5)Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Keputusan MenteriTidak dicantumkanTidak dicantumkan
Pasal 8 (1) Orang wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan di dalam tambang, lobang di dalam tanah atau tempat lain untuk mengambil logam dan bahan-bahan lain dari dalam tanah. (2)Larangan tersebut dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap kepada orang wanita, yang berhubung dengan pekerjaannya kadang-kadang harus turun di bagian-bagian tambang di bawah tanah dan tidak menjalankan pekerjaan tangan.Pasal ini dihilangkan  
Pasal 9 (1) Orang wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatannya, demikian pula pekerjaan yang menurut sifat, tempat dan keadaannya berbahaya bagi kesusilaannya. (2) Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan pekerjaan yang termaksud dalam ayat 1.   
Pasal 13. (1) Buruh Wanita tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haidh; (2)Buruh Wanita harus diberi istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya ia menurut perhitungan akan melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah melahirkan anak atau gugur-kandung. (3)Waktu istirahat sebelum saat buruh wanita menurut perhitungan akan melahirkan anak, dapat diperpanjang sampai selama-lamanya tiga bulan jikalau didalam suatu keterangan dokter dinyatakan, bahwa hal itu perlu untuk menjaga kesehatannya.  (4)Dengan tidak mengurangi yang telah ditetapkan dalam pasal 10 ayat (1) dan (2) buruh wanita yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusukan anaknya, jikalau hal itu harus dilakukan selama waktu-kerja.Pasal 81 Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.     Pasal 82 Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. (2)Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.   Pasal 83 Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja  

Tahun 1948 tiga tahun setelah kemerdekaan, SK Trimurti, perempuan pertama yang menjadi menteri buruh. Ia pun merupakan menteri perempuan pertama dalam jajaran kabinet Amir Syarifudin II (11 November 1947 – 29 Januari 1948). Trimurti pejuang kemerdekaan, bekerja sebagai jurnalis dan menjadi aktivis serikat buruh. Tahun 1950 SK Trimurti menjadi salah satu pendiri organisasi perempuan bernama Gerwis (Gerakan Wanita Sedar) lalu berganti nama menjadi Gerwani.[4]

Di era SK Trimurti-lah hak-hak perempuan diakui, dilindungi dan dimajukan. Seperti cuti haid tanpa syarat, cuti keguguran, cuti melahirkan, jam kerja untuk buruh perempuan, sektor pekerjaan bagi perempuan dan kesempatan menyusui.

Tahun 2003 di bawah kepemimpinan presiden perempuan pertama Indonesia yaitu Megawati Soekarno Putri, keluar-lah Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang yang melibatkan tim kecil dari serikat buruh tersebut mempreteli hak-hak perempuan. Cuti haid yang dalam UU Kerdja Nomor 12 Tahun 1948 berbunyi, “Buruh Wanita tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haid” menjadi “Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid” (UUK Nomor 13 Tahun 2003).

Klausulnya berubah. Dalam UU Kerdja Nomor 12 Tahun 1984, haid diakui sebagai hak alamiah perempuan, dilindungi oleh undang-undang, dan dimajukan dalam bentuk hak untuk tidak bekerja dan mendapat upah penuh. Dalam UUK Nomor 13 Tahun 2003, haid tidak diakui, tidak dilindungi karena dianggap sakit dan tidak dimajukan karena dibatasi dengan keharusan memberitahukan kepada pengusaha.   

Pelaksanaan UUK Nomor 13 Tahun 2003 berdampak besar terhadap pelaksanaan cuti haid, terutama di sektor produksi yang mempekerjakan lebih banyak perempuan, seperti tekstil, garmen, sepatu, kulit, makanan, minuman, dan elektronik. Di beberapa pabrik pelaksanaan cuti haid harus dibuktikan dengan surat keterangan dokter, bahkan melalui melalui pemeriksaan fisik. Bentuknya, Satpam perempuan memeriksa secara langsung perempuan yang sedang haid. Artinya, haid disamakan dengan sakit tipes, influenza, dan jenis penyakit lainnya.

Bukan hanya mengubah pasal cuti haid, di masa Megawati pula kerja kontrak dan outsourcing dilegalkan di berbagai sektor industri. Akibatnya, hubungan kerja kontrak, outsourcing, harian lepas, dan jenis-jenis pekerjaan yang merampas hak buruh semakin banyak.

Tahun 2020, Menteri Ketenagakerjaan dipegang kembali oleh perempuan, Ida Fauziah. Keluarlah Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020. Pasal-pasal perlindungan buruh perempuan tidak dicantumkan. Selain itu, Ida Fauziah pun mengeluarkan item pembalut dan diganti korek kuping dari KHL melalui Permenaker Nomor 20 Tahun 2020. Ida Fauziyah dan jajarannya dengan segala daya membela UU Cipta Kerja, yang telah merampas hak-hak buruh perempuan.

Begitu juga dalam Perppu Nomor 21 Tahun 2022 yang ditandatangani Presiden Jokowi di akhir 2022. Aturan yang melindungi hak reproduksi buruh perempuan tidak dicantumkan. Hak reproduksi perempuan diserahkan kebijakannya ke perusahaan. Perppu Cipta Kerja dengan sistematis merampas hak buruh perempuan melalui legalisasi no work no pay dan perluasan buruh kontrak dan outsourcing.

Di salah satu pabrik pakaian olahraga merek internasional di Kabupaten Tangerang, buruh kontrak yang hamil otomatis putus kontrak kerjanya, walaupun masa kontrak belum selesai. Begitu juga dengan keguguran, perusahaan hanya memberi dispensasi tiga hari dengan surat dokter. Lebih dari itu, perempuan keguguran dan melahirkan otomatis putus kontrak, walaupun bisa melamar kembali di perusahaan tersebut apabila sudah melahirkan atau keguguran.

Praktik cuti melahirkan di pabrik sepatu merek internasional di Karawang. Buruh yang melahirkan mendapatkan cuti melahirkan, tapi harus bersedia bekerja jika perusahaan memanggil untuk bekerja meskipun masa cutinya belum kelar. Itu-lah yang dimaksud dengan ‘kebijakan diserahkan ke perusahaan’, yang tidak hanya sekali diungkapkan Ida Fauziyah di media massa. Pemilik perusahaan dengan sesukanya mempreteli hak-hak buruh perempuan.

Peraturan cuti haid memang telah dibakukan pula dalam PKB (Perjanjian Kerja Bersama). Di beberapa pabrik sektor garmen, tekstil dan sepatu, yang memproduksi brand-brand internasional di kota-kota yang disebutkan di atas, peraturan cuti haid sekadar tulisan tanpa makna. Mayoritas buruh perempuan tidak pernah mengambil hak cuti haid. Apa masalahnya? Menurut salah satu pimpinan serikat buruh, perempuan nyaris tidak memanfaatkan hak cuti haid karena dipersulit dan terancam mendapat hukuman. “Ketika masuk kerja kembali setelah cuti haid khawatir mendapat teguran dari atasanya atau dipindah-pindah kerja,” kata pimpinan serikat buruh tersebut.

Kesulitan mendapat cuti haid ditopang pula oleh sistem produksi berbasis target pekerjaan. Ketika buruh perempuan meninggalkan bagian pekerjaanya otomatis pekerjaan akan bertumpuk di kawan kerjanya, sehingga ia akan dipersalahkan oleh kawannya.

Megawati Soekarno Putri, Ida Fauziah dan banyak lagi nama perempuan yang menduduki posisi strategis di lembaga-lembaga negara, serta dua perempuan muda yang mengabaikan hak perempuan lanjut usia dan perempuan hamil di dalam KRL, kalau saja memiliki keberpihakan, solidaritas dan saling menguatkan, tentu ceritanya akan lain.[]


[1] https://mojok.co/esai/kolom/meluruskan-makna-woman-supporting-woman/

[2] https://money.kompas.com/read/2022/07/29/210000426/angkatan-kerja-perempuan-masih-rendah-menaker–budaya-patriarki-masih-mengakar

[3] https://money.kompas.com/read/2021/05/05/134842326/bps-februari-2021-serapan-tenaga-kerja-perempuan-lebih-cepat-dibanding-laki?page=all

[4] https://www.kompas.com/stori/read/2022/08/20/080000279/sk-trimurti-menteri-tenaga-kerja-pertama-indonesia?page=all

Sumber gambar: https://apwld.org/solidarity-protest-by-apwld-and-partners/

Buruh Siap Mudik 99 Persen, Tapi…  

Beberapa minggu lalu, saya ditelepon seorang kawan semasa kecil yang sedang merantau. Kami berbincang banyak hal, dari gosip kampung dan berbagai obrolan lainnya. Sebelum telepon disudahi, ia mengabarkan bahwa lebaran tahun ini ia tidak dapat pulang kampung. Uangnya tidak cukup untuk membeli tiket pulang. Lagi pula ia merasa malu jika pula tanpa tidak membawa uang yang dapat dibagikan kepada sanak saudara.

Bukan kali pertama dirinya tidak bisa mudik. Tiga tahun lalu ia tidak pulang karena terhalang pagebluk Covid-19. Tahun ini dihadang oleh kondisi keuangan.

Kawan saya bekerja di perusahaan konstruksi. Ia mengerjakan pembuatan pendingin udara untuk gedung-gedung mall dan kantor berskala besar. Jangan bayangkan teman saya mendapatkan upah yang cukup untuk hidup layak. Menurutnya, tempat tinggal sementaranya adalah mess yang disediakan perusahaan. Tempat tinggal alakadarnya yang cukup untuk menyimpan pakaian, menjaga dari hujan dan sengatan matahari serta relatif aman dari hewan buas.

Kawan saya menerima upah bersih per bulan tidak lebih dari Rp1,5 juta. Jumlah tersebut merupakan upah bersih setelah dipotong rokok sebulan, peralatan mandi dan berbagai keperluan lainnya. Jika ingin mendapatkan uang lebih besar ia harus lembur 6 jam. Jika tidak, uang yang ia dapat hanya pas untuk bertahan hidup.

Sebulan ini kondisi kesehatannya sedang tak baik, karena itu ia tidak pernah ikut lembur, yang artinya ia tidak memiliki tambahan pendapatan. Itu juga yang membuatnya tidak bisa pulang kampung.

Bagi orang-orang yang tidak pernah merasakan merantau meninggalkan tempat asalnya dalam tahunan, saya pastikan akan sulit mengimajinasikan bagaimana sedihnya tidak bisa pulang kampung. Walaupun teknologi hari ini mempermudah interaksi jarak jauh tapi tidak mampu mengobati rasa rindu bertemu dengan keluarga.

Mudik sendiri adalah istilah yang umum dipakai untuk menggambarkan kegiatan seseorang pulang ke kampung halaman. Tradisi ini berlaku bagi umat muslim di Indonesia yang ingin merayakan momen lebaran Idulfitri di tanah kelahirannya.

Dalam konsep mudik, terdapat makna kultural bahwa orang kembali ke kampung asal-usul leluhur. Mudik sendiri mengandung nilai yang kompleks antara nilai religius, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Kompleksnya nilai mudik membuat minat dan semangat tradisi mudik seolah-olah tidak terbendung. Tentu saja, pulang kampung mengandaikan seseorang memiliki kampung halaman alias ruang hidup yang membesarkannya.[1]

Mudik adalah momentum yang ditunggu-tunggu oleh mayoritas penduduk terutama buruh-buruh di kota. Di bulan-bulan biasa, buruh sulit untuk pulang dalam waktu yang relatif lama. Hanya di waktu lebaran-lah para buruh dapat pulang kampung dan menikmati cuti massal.

Menurut Profesor Heddy Shri Ahimsa-Putra, antropolog UGM,[2] istilah mudik mulai dikenal luas di era tahun 1970-an, ketika rezim jagal Soeharto memusatkan pembangunan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan Medan. Dalam kerangka pembangunan tersebut, rezim Soeharto mendorong program pengerahan tenaga kerja ke kota-kota besar.

Seperti diceritakan Muryanti dalam Buruh Menuliskan Perlawanannya. Pada 1993, ia diberangkatkan dari Klaten Jawa Tengah menuju Tangerang dengan sebuah bus milik perusahaan PT Hasi.[3] Saat itu ia mendapat informasi lowongan kerja dari siaran radio dan melamar kerja melalui yayasan di kampungnya. Menurutnya, di periode tersebut sudah lumrah jika melamar ke yayasan di kampung untuk bekerja di kota-kota besar di Jakarta dan sekitarnya. Proses melamar dan penerimaan kerja di era Muryanti tidak seribet zaman sekarang. Karena di zaman itu, pabrik sedang membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar. Di era itu, memang sudah ada calo tenaga kerja yang menjalankan pungutan liar, tapi tidak sebanyak zaman sekarang.            

Muryanti dan tetangga kampungnya diantarkan oleh bus menuju Tangerang. Sesampainya di Tangerang, ia dan calon-calon buruh lain dikumpulkan per kelompok. Kemudian diberikan pengarahan mengenai pekerjaan dan tempat tinggal. Ia ditempatkan di bagian assembling. Setelah itu, setiap kelompok dikirimkan ke tempat tinggal yang telah disiapkan oleh perusahaan.

***

Pengulangan

Bagi saya, ketidakmampuan kawan saya pulang kampung karena tidak memiliki ongkos merupakan cerita yang mengerikan. Tentu saja ketidakmampuannya pulang kampung bukan sebab boros dan tidak rajin menabung, melainkan tempat kerjanya tidak membayar upahnya secara layak. Cerita seperti kawan saya akan sangat mudah di temui di kota-kota besar. Buruh bekerja bertahun-tahun tapi terus-menerus dililit kemiskinan.

Di tengah musim mudik nasional tahun ini, saya pun menyaksikan cerita lain. Sebut saja namanya Kucrit (bukan nama sebenarnya). Kucrit bekerja sebagai kurir di salah satu perusahaan e-commerce yang memiliki jasa logistik.

Di perusahaan tersebut, Kucrit diupah berdasarkan satuan hasil setiap pengiriman barang. Setiap barang yang berhasil dikirim dihargai Rp 2100 ditambah tunjangan transportasi Rp50 ribu per hari dan jaminan kesehatan.[4] Harga tersebut tidak memperhitungkan jarak pengiriman. Setiap hari, Kucrit mengirim lebih dari 200 pesanan barang. Berarti pendapatan Kucrit tidak lebih dari Rp420 ribu per hari. Dalam sebulan, pendapatan Kucrit mencapai Rp5 juta. Sedikit lebih besar dibanding upah minimum Kota Bogor senilai Rp4,5 juta.  

Malam itu Kucrit memperlihatkan statistik pengiriman barang di aplikasi yang terdapat di telepon pintarnya. Statistik tersebut memperlihatkan keberhasilan dan kegagalan pengiriman barang per hari. Menurutnya, di bulan Ramadan volume pengiriman barang meningkat. Hari itu, ia baru saja menyelesaikan 266 paket. Sebanyak 98,12 persen pengiriman barang berhasil dan 1,88 persen gagal diterima pemesan barang.

Aplikasi pengiriman barang tersebut memperlihatkan performa kerja Kucrit. Jika dalam sebulan jumlah pengiriman barang lebih banyak gagal berarti Kucrit siap-siap mendapat surat peringatan, suspend bahkan pemecatan. Kucrit selalu mempertahankan performanya, bukan hanya karena takut disanksi. Namun, jika ia tidak berhasil mengantarkan paket kepada penerima pendapatannya tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari.

Kucrit mengirimkan barang menggunakan sepeda motor. Dengan sepeda motor tersebut, ia membawa setumpuk barang dan dengan sabar menemui satu per satu pemesan barang di setiap lokasi.  Sebenarnya, kapasitas sepeda motor tersebut tidak layak untuk mengangkut barang terlalu banyak.

Mengenai kapasitas sepeda motor tersebut sebenarnya sudah diwanti-wanti oleh pembuat sepeda motor. Peringatan tersebut biasanya dicantumkan di buku panduan atau diberikan tanda khusus di bagian samping ban setiap jenis sepeda motor. Misalnya, di samping ban tertulis 80/90 14 TL 40S dan 90/90-14 TL. Kode tersebut menunjukkan bahwa beban maksimum adalah 140 kilogram hingga 310 kilogram. Jika pengendara mengangkut barang melebihi kapasitas dapat membahayakan keselamatan pengendara. Salah satu produsen ban merek FDR menyebutkan, setiap pengendara harus memerhatikan beban sepeda motornya dengan cara membandingkan kemampuan sepeda motor dan barang yang dibawanya. Misalnya, kapasitas maksimum motor matic total adalah 310 kilogram. Jika berat badan pengendara 60 kilogram maka sepeda motor tersebut hanya sanggup mengangkut 250 kilogram.[5]

Sayangnya peringatan kapasitas sepeda motor tersebut sering diabaikan oleh pengusaha logistik. Mereka hanya peduli dengan jumlah pemesanan yang dapat menambah keuntungan. Bukti ketidakpedulian tersebut diperlihatkan dengan sistem pengupahan yang didasarkan pada satuan hasil dan sistem penilaian berdasarkan pengiriman barang. Dua sistem tersebut memaksa setiap kurir memperbanyak barang yang diangkutnya. Para pengusaha logistik tentu saja akan berkilah jika sistem keji tersebut bersumber dari mereka. Mereka akan menyalahkan pemesan barang yang tidak tahu diri. Maka dibuatlah akun-akun media sosial yang memperlihatkan kurir membawa barang yang tidak sesuai kapasitas dengan caption menyalahkan pemesan barang.

Setiap pengirim barang, Kucrit memenuhi sepeda motornya dengan barang-barang. Di bagian depan dan belakang dipenuhi dengan barang yang melebihi kapasitasnya. Saya memperkirakan, Kucrit membawa barang lebih dari lebih dari 500 kilogram.

***

Malam itu saya membicarakan pengeluaran setiap bulan yang harus dikeluarkan kucrit. Dalam sebulan Kucrit harus mengganti oli sebanyak dua kali. Kucrit harus merogoh kocek sebesar Rp130 ribu. Kucrit pun secara rutin merawat sepeda motornya sebesar Rp200 ribu. Secara lebih rinci, berikut adalah pengeluaran Kucrit.

PengeluaranJumlah Rupiah
Ganti Oli motor30.000
Ongkos Service Motor200.000
Kuota internet150.000
Rokok750.000
Makan (Rp40 ribu per hari selama sebulan)1.200.000
Tanggungan orang tua dan adik1.000.000
Air mineral (Rp20 ribu per hari selama sebulan)600.000
Total4.030.000

Jumlah tersebut belum memperhitungkan pengeluaran untuk kepeluaran lain yang bersifat harian, bulanan tahunan seperti, membayar asuransi kesehatan, peralatan mandi, minyak wangi, dan sebagainya.

Dari gambaran di atas, tampak sekali bahwa hampir seluruh biaya produksi ditanggung Kucrit. Beberapa kebutuhan lain yang harus ditanggung Kucrit adalah alat pelindung diri saat mengendarai sepeda motor, seperti helm, sepatu, sarung tangan dan rompi dada. Tentu saja Kucrit tidak mendapat Tunjangan Hari Raya dan bonus tahunan.

Cerita lain saya dapat dari Agus, driver Ojol kelahiran 2000. Agus baru bekerja enam bulan. Sebelumnya, Agus adalah buruh pabrik sparepart printer di Karawang, kemudian dipecat. 

Agus bercerita tentang kesulitannya mendapatkan penumpang. Setiap hari, Agus hanya dapat order dua hingga tiga penumpang. “Boro-boro mikirin buat ongkos mudik, buat makan aja susah.” Ucap Agus dengan nada kesal.

Sebagai orang yang pernah bekerja di pabrik, Agus merasa tidak ada perbedaan proses melamar kerja di pabrik dan menjadi driver online. Dua-duanya menggunakan lamaran kerja dan menyetujui perjanjian. Setelah itu, driver online pun menyelesaikan orderan yang telah disaring oleh operator aplikasi, menerima upah dengan besaran yang telah ditentukan oleh operator aplikasi. Anehnya, driver online tidak sebut sebagai buruh tetap, apalagi kontrak, tapi mitra. Karena statusnya mitra, Agus pun tidak mendapat tunjangan hari raya. “Kita gak dapat THR,” ujar Agus.

Tahun ini, Agus memutuskan tidak pulang pulang kampung. Agus merasa malu jika pulang kampung dalam keadaan pengangguran, “Mending saya narik aja sembari masukin lamaran-lamaran ke pabrik”.

Tak bisa mudik juga dialami buruh-buruh pabrik. Menurut Direktur Bina Pemeriksa Norma Ketenagakerjaan Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, Keselamatan, dan Kesehatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Yuli Adiratna, yang telah membuka Posko daring THR, dari 28 Maret hingga 13 April 2023, telah masuk 452 pengaduan. Dengan rincian 242 aduan perusahaan tidak membayar THR, 185 aduan THR tidak sesuai peraturan perundangan, dan 25 aduan THR terlambar dibayarkan.[6] Sebenarnya, saya agak heran dengan tindakan Kemnaker. Setiap tahun mereka selalu membuka Posko pengaduan THR dengan jumlah pengadu yang begitu banyak. Tapi setiap tahun pelanggaran THR selalu terjadi. Para pengusaha pelanggar THR tak satu pun yang dikenai sanksi. Apakah Kemnaker sedang berusaha menyelesaikan persoalan atau mengumpulkan penderitaan buruh?

Seorang kawan yang bekerja di pabrik di wilayah industri baru Jawa Tengah bercerita. Per 6 April tempat kerjanya mengumumkan libur hari raya. Libur hari raya dimulai dari 21 April sampai 1 Mei 2023. Anehnya, sebagian dari libur massal tersebut dipotong dari cuti tahunan bagi buruh yang telah memiliki hak cuti. Bagi buruh yang belum memiliki hak cuti, libur tersebut dipotong dari upah. Waktu libur yang dipotong dari cuti dan upah sebanyak enam hari.

Padahal, jika melihat peraturan perundang-undangan, cuti massal adalah hak buruh. Tidak boleh memotong cuti tahunan dan memotong upah. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan Pasal 40 Ayat (2) menyebutkan, “Perusahaan tetap wajib membayar gaji/upah karyawan/pekerja yang menjalankan hak waktu istirahat atau hak cutinya”.

***

***

Lima tahun terakhir kita diperkenalkan dengan istilah daily workers, freelancer dan mitra. Mereka bekerja di perusahaan-perusahaan raksasa, yang menyebut diri start up. Di sektor manufaktur dan jasa muncul istilah lain, seperti buruh kontrak, harian lepas, outsourcing dan borongan.[7] Jika menilik peraturan perundangan semua peristilahan hubungan kerja tersebut tidak semestinya mengurangi hak buruh sebagai manusia: berhak upah layak, hak beristirahat, jaminan sosial, hak pesangon dan hak cuti lebaran. Tapi dengan istilah-istilah baru tersebut, hak buruh dipangkas dan dipapas.[8]  

Sambil mendengar lagu anyar Majelis Lidah Berduri bertajuk, Pulang Kampung, saya membayangkan ribuan orang yang tidak bisa pulang kampung dan merayakan hari raya Idulfitri dengan khidmat. Stigma menjadi orang boros dan kalah di parantauan akan disematkan kepada mereka yang gagal untuk mengikuti ritual sosial yang sudah menahun. Sementara itu, tiga hari menjelang akhir Ramadan tahun ini, para pemuka agama berdebat mengenai waktu lebaran Idulfitri: ru’yatul hilal danhisab. Namun, tak satu pun pemuka agama yang mempersoalkan perampasan hak THR, perampasan hak cuti dan perampasan upah buruh menjelang lebaran.[]


[1] CNN Indonesia. Mengapa Mesti Pulang Kampung: Mengulik Akar Tradisi Mudik. 13 Apr 2023. Tersedia: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230403205606-20-933118/mengapa-mesti-pulang-kampung-mengulik-akar-tradisi-mudik, diakses pada 19 April 2023.

[2] Gusti Grehenson. Mengenal Tradisi Mudik. 27 April 2022. Tersedia: https://sahabat.ugm.ac.id/fo/berita/detail_berita/JQ_1m3XHPHBcVoLTgma2r7YhjdPRSg0wJRGRAUDQcudiaoA_N5KRPMoj849itSXDefaAHfS_2gOXQzO2BI5PGfP1524KFt747DazzPOvkA0OTa6JjB-pe0lJKKGszEXPp6Uoz-NeOcDbXNAvTa5E1GTrBXzZMogi1Bfxq3_PseY=, diakses pada 20 April 2023

[3] Muryanti. 12-16 Juli 2012: Saya, Pemogokan, dan Serikat, dalam Buruh Menuliskan Perlawananya. Bogor: LIPS dan TAB. 2015.

[4] Lukman Ainul Hakim. Ketika Pesanan Barang Anda Tiba. 9 Juni 2022. Tersedia: https://majalahsedane.org/ketika-pesanan-baraang-anda-tiba/, diakses pada 19 April 2023.

[5] Bagaimana cara menghitung beban maksimum motor?. 22 Januari 2018. Tersedia: https://fdrtire.com/article/view/1040/bagaimana-cara-menghitung-beban-maksimum-motor, diakses pada 20 April 2023

[6] Hidayat Salam dan Stephanus Aranditio. THR Lebaran Belum Cair, Ratusan Pekerja Mengadu ke Kemenaker. Kompas.com, 14 April 2023. Tersedia: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/04/13/thr-lebaran-belum-cair-ratusan-pekerja-mengadu-ke-kemnaker, diakses pada 19 April 2023

[7] Lukman Ainul Hakim. Ketika Pesanan Barang Anda Tiba. Majalah Perburuhan Sedane, 9 Juni 2022. Tersedia:https://majalahsedane.org/ketika-pesanan-baraang-anda-tiba/, diakses pada tanggal 20 04 2023

[8] Syarif Arifin. ‘Upah Piece-rate’, Kolonialisme Data dan Pemiskinan Ojol. Majalah Perburuhan Sedane. Tersedia: https://majalahsedane.org/upah-piece-rate-kolonialisme-data-dan-pemiskinan-ojol/3/, diakses pada tanggal 20 April 2023

***

Sumber foto: Twitter/@txtdrikurir

Back to Top