MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Tulang Rusuk (Bagian 3)

Forces of Nature series. Design composed of colorful paint and abstract shapes as a metaphor on the subject of modern art, abstract art, expressionism and spirituality

Manusia berencana tapi Allah yang menentukan. Tadinya kalau aku sudah mulai kerja Apip mau dititipkan di rumah orang tuaku. Jarak rumah orangtua dan mertuaku tidak terlalu jauh.

Waktu itu, akhir cuti melahirkanku adalah 20 Juli. Tapi tanggal 12 Juli 2012 aku mendengar kabar kalau buruh di tempatku bekerja demo. Aku mendengar kabar ini dari Yuli tetanggaku. Di kampungku banyak yang satu pabrik denganku. Walaupun cuti melahirkan aku tidak ketinggalan informasi.

Tanggal 20 Juli 2012 aku berangkat ke pabrik. Tapi semua teman-temanku ikut demo. Akhirnya aku ikut mereka sampai sore.  

Tanggal 21 Juli 2012 aku tetap berangkat. Tentu saja ikut demo lagi. Temanku menyarankan agar aku bergabung bersama ibu-ibu hamil. Biar aman, katanya.

Sekitar pukul 10.00 pagi. Aku dan ibu-ibu hamil serta ribuan buruh lain sedang duduk-duduk menunggu ketua serikat berunding. Aku mendengarkan pidato beberapa orang yang tidak aku kenal. Di kemudian hari aku tahu ternyata sebutan untuk jenis pidato tersebut dinamakan orasi.

Aku dan ibu-ibu hamil lainnya disiapkan tempat di halaman pabrik kaca depan. Sedang asyik mendengarkan orasi tiba-tiba kawan-kawan di barisan depan teriak, “Weiii perih… mata saya perih”. Aku lihat di dalam pabrik, tepatnya di bawah pintu gerbang keluar asap putih. Kami yang awalnya duduk langsung berhamburan. Mataku terasa perih. Sulit untuk dibuka. Tenggorokan kering dan terasa mual.

Aku merasa tidak kuat. Untungnya aku dibawa ke warung oleh laki-laki berseragam organisasi. Aku diberi minum dan mataku dibasuh air. Ternyata mataku semakin terasa perih. Aku tidak tahu situasi di depan pabrik. Saat itu kacau-balau: ada yang berlarian, berteriak, dan saling menyelamatkan diri. Aku pulang. Kepalaku sakit.

“Ipah, kok jam segini sudah pulang? Kamu nggak kerja?” Sapa mertuaku yang sedang duduk di teras rumah.

Nggak Mak. Di pabrik ada demo. Jadi Ipah nggak kerja,” jawabku sambil membuka sepatu

Lha kamu ngapain ikut-ikutan demo-demo segala. Udah kamu kerja aja. Ikut-ikut demo nanti kamu di-PHK. Ingat anak kamu masih kecil. Butuh susu. Jangan ngandelin suami kamu. Tahu berapa penghasilan suamimu?! Kalau kamu nggak kerja bagaimana bisa suamimu bantu cicilan motor si Yani.” Panjang lebar mertuaku memberi nasehat. Membuat kepalaku semakin sakit.

Yani adik bungsu  suamiku baru diterima bekerja di pabrik garmen. Baru sebulan kerja. Dia nyicil motor dan suamiku membantu untuk membayar cicilannya dari hasil dia ngojek. Tentu saja dari pendapatanku. Suamiku jarang memberikan nafkah padaku. Seminggu paling dapat Rp30 atau Rp50 ribu. Paling besar Rp100 ribu. Pendapatan Rp100 ribu bisa dihitung dengan jari tangan.

“Kata ibu kamu ikut demo?” Malam hari sebelum tidur suamiku bertanya.

“Iya! Semuanya ikut,” jawabku ringan

“Udahlah kamu nggak usah ikut-ikutan. Gimana kalau di-PHK? Sebentar lagi lebaran. Nanti nggak dapat THR. Besok masuk kerja saja. Nanti berangkat dianter.” Makmun menyakinkan.

Pagi sekali aku berangkat kerja diantar suamiku. Tepat dugaanku. Di depan pabrik belum ada kawan-kawan yang demo. Tapi banyak Satpam dan polisi serta mobil polisi berjaga di depan. Tidak banyak buruh yang masuk kerja. Aku hanya melihat mandor dan supervisor. Aku tidak melihat teman-teman yang aku kenal. Itu  membuatku ragu untuk masuk kerja. Tapi suamiku terus membujuk. Dia tidak pergi sampai memastikan aku masuk ke dalam pabrik.

“Mbak mana péneng-nya?,” Satpam perempuan di pos satu menghadang langkahku.

“ Ini,” jawabku sambil menunjukan peneng yang tergantung di leher.

“Bukan yang ini Mbak,” bantahnya.

“Kalau ini peneng yang demo. Yang masuk kerja penengnya baru.”

“Tapi bu, saya baru masuk. Saya baru selesai cuti hamil.” Aku mencoba meyakinkan.

“Oh, Mbak baru selesai cuti melahirkan. Mana surat keterangan cutinya?”

“Lha, ini harusnya dua hari lalu,” gertak Satpam sambil melihat surat keterangan cuti yang kuberikan.

“Kok Mbak baru masuk sekarang? Kemarin kemana?” Satpam perempuan itu tak berhenti menyerang dan mencurigaiku.

“Kemarin saya ikut demo, Bu,” ucapku jujur karena tidak tahu harus menjawab apa.

“Ya udah. Mbak di sini dulu. Saya mau koordinasi dulu dengan Pak Yono. Suratnya saya bawa ya?!”

Setelah sekitar 10 menit aku menunggu di pos Satpam. Akhirnya Satpam tadi datang. Dia meminta aku ke HRD, yang bernama Pak Yono.

Sekitar 20 menit aku di ruangan HRD. Katanya, aku belum bisa masuk kerja. Nanti pihak perusahaan akan menelepon untuk memanggil aku kerja.

“Udah kamu diam aja di rumah. Tunggu aja panggilan dari HRD. Nggak usah ikut-ikutan demo,” omel suamiku ketika kuceritakan pertemuan dengan Satpam dan HRD.

Pertengahan Agustus. Aku mendapat surat yang dikirim oleh pegawai desa. Ada dua surat tapi dijadikan satu amplop. 

Dalam surat pertama itu aku diminta menghadap HRD, pada 2 Agustus 2012 pukul 10.00 pagi.

Surat kedua aku diminta menghadap HRD pada 7 agustus 2012. Dua surat itu baru sampai ke tanganku pada 18 Agutus 2012.

Besoknya pagi-pagi. Aku datang ke pabrik untuk menghadap HRD. Aku menyampaikan bahwa surat baru diterima pada 18 Agustus 2012. Ternyata HRD sudah memiliki dengan keputusan: aku dianggap mengudurkan diri karena tidak datang memenuhi panggilan.

Dalam kebingungan setelah dituduh mengundurkan diri. Aku tidak tahu harus bagaimana. Suamiku, lagi-lagi, menyalahkanku: gara-gara ikut demo.

“Lebaran sebentar lagi. Harusnya kamu dapat THR dan gaji. Darimana duitnya buat beli baju lebaran anak-anak, gimana ngasih THR ibu sama bapak?!” Bentak suamiku.

Aku hanya diam. Hatiku menggerutu. Tidak satu kata pun keluar dari mulutku. Aku tidak memiliki keberanian buat membantah suamiku. Sejak itu setiap kami bertengkar dia selalu mengatakan mengatakan: gara-gara kamu ikut demo.

Akhirnya aku gabung dengan grup demo dikampungku. Aku menjadi anggota Teh Ijah.  Suamiku mengizinkan aku gabung dengan teman-teman. Aku sampaikan bahwa organisasi sedang memperjuangkan agar perusahaan membayar THR dan sisa gaji.

Benar, saja setelah aksi di kantor Kementerian Ketenagakerjaan, esoknya THR dan upah kami ditransfer. Alhamdulilah. Senang sekali. Akhirnya dapat membeli baju lebaran untuk anak-anakku. Sikap suamiku kembali baik. Tidak lagi marah-marah, bahkan ia bersedia mengantarkanku berkumpul bersama teman-temanku di daerah Ketapang.

Setelah lebaran Idulfitri terjadi lagi demonstrasi di pabrik. Demo yang besar sekali. Ribuan orang ikut demo. Aku tidak tahu siapa saja mereka dan dari mana. Demo kali ini sangat menakutkanku. Kaca-kaca pabrik pecah serta banyak yang terluka dan berdarah. Tapi aku dan teman-teman tetap bertahan. Kami tidak pulang karena ingin tahu apa hasil dari perundingan. Ternyata perusahaan tidak mau memenuhi tuntutan kami: mempekerjakan kembali kami yang dianggap mengundurkan diri.

Capek, kecewa, marah bercampur jadi satu. Suasana yang panas membuat kami bertahan sampai malam. Sekitar pukul 10.00 malam aku sampai rumah.

“Gimana hasil demonya? Bisa kerja lagi nggak? Gaji bulan ini dibayar nggak?” Belum lepas sepatu, suamiku memberondong dengan pertanyaan.

Nggak! Perusahaan nggak mau terima kami,” jawabku singkat

“Tuhkan, akhirnya begini,” salah suamiku. “Gimana kalau kamu di-PHK nggak dapet pesangon. Lagian ikut-ikut demo!”

Kalimat-kalimat dari mulut suamiku seperti petir di siang bolong. Menusuk-nusuk ke setiap urat nadi. Tetiba darah dalam dadaku seperti mendidih. Jantungku berdebar kencang. Napasku memendek.

Malam itu, adalah pertama kalinya aku membalas ocehan suamiku. Kemarahanku pada perusahaan aku tumpahkan pada suamiku. Sepanjang pernikahan aku belum pernah membalas bentakan suamiku. Tapi malam itu aku tidak lagi berpikir dosa atau tabu. Aku berteriak sama suami. Aku ingin menumpahkan semua sesak di dadaku.

Sejak itu tidak ada hari yang tidak dilalui dengan pertengkaran. Bukan pertengkaran biasa. Ketika pertengkaran terjadi, beberapa kali suamiku merusak barang. Ia melayangkan kakinya ke tubuhku. Sekali waktu, ketika masakan ku dihidangkan buatnya, kepalaku digetok menggunakan sendok. Katanya, makanan itu terlalu pedas. Kedua mertuaku ikut menyalahkanku.

Di rumah mertuaku aku merasa menjadi orang asing. Akhirnya, aku memutuskan pindah ke rumah orangtuaku. Suamiku sebenarnya tidak setuju. Tapi mertuaku seakan menginginkan aku meninggalakan rumahnya. Walaupun aku tidak kerja tetapi kalau di rumah orang tua aku yakin tidak akan kelaparan. Walaupun orang tuaku pas-pasan mereka tidak akan bersikap ketus padaku karena aku pengangguran.

Suami dan mertuaku tidak mengerti kalau demo-demo yang aku dan teman-temanku lakukan adalah untuk memperjuangkan hak kami. Kadang memang muncul perasaan menyesal terlibat demo. Tapi sisi lain dari batinku meyakinkan bahwa harus ada perubahan kondisi kerja. Semua itu aku sampaikan kepada suami dan mertua. Pabrik yang selama ini mempekerjakan istri dan mantunya tidak manusiawi. Tapi mereka hanya menginginkan uang dari keringatku.

Aku berusaha meyakinkan mereka bahwa selama bekerja betul-betul merasa tertekan. Setiap hari dikejar target. Target pekerjaan membuat kami sulit ke kamar mandi. Seandainya kami ke kamar mandi pekerjaan akan menumpuk dan caci maki akan keluar dari mulut atasan. Waktu salah Magrib tiba istirahat hanya diberikan waktu 30 menit. Mana cukup untuk istirahat. Di saat bekerja pun caci maki bahkan hukuman fisik pernah aku rasakan. Itu-lah yang suami dan mertuaku tidak pernah rasakan. Mereka hanya perhatian dengan pendapatanku.

Ketika aku terlibat dalam demonstrasi, mereka hanya ingin tahu hasilnya apa. “Apa hasil demo? Gaji udah dibayar belum?” Kalau aku bilang tidak ada maka terjadi pertengkaran.

Terkadang aku berbohong kalau upah akan dibayar dalam waktu dekat. Itu aku lakukan agar tidak terus terjadi pertengkaran. Aku juga tidak mau setiap pertengkaran dihadiahi pukulan. Tapi rupanya kebohonganku terus ditagih suamiku. Hampir setiap hari kalau setelah pertemuan atau demo selalu ada pertanyaan “Udah dibayar upah? Kapan pesangon cair?”

Hari itu, sekitar Desember April 2012. Aku izin suami dan ibuku, mau aksi massa ke Jakarta ke kantor Jamsostek. Entah aksi yang ke berapa puluh kali karena aku tidak pernah menghitung dan tidak selalu ikut aksi.

Menurut pengurus organisasiku, agar Jamsostek cair harus demo ke kantor pusatnya. Jamsostek[1] di cabang tidak berani mengambil keputusan. Aku berangkat sekitar pukul 07.00 pagi. Tentu saja diantar suamiku ke tempat kami ngumpul. Ada sekitar lima bus yang berangkat aksi massa hari itu.

Setelah aksi massa di Kemenaker, kami menuju kantor Jamsostek. Setelah melakukan orasi dan sebagainya perwakilan organisasi berunding dengan Jamsostek. Setelah perundingan ketua menyampaikan, “Minggu depan akan diadakan pertemuan antara Jamsostek pusat, cabang dan kami dari buruh, untuk membahas pencairan JHT tanpa paklaring”.

Waktu itu aku berpikir ada setitik harapan hasil dari aksi massa. Semoga JHT bisa cair. Kalau diibaratkan, uang JHT (Jaminan Hari Tua) seperti penyambung nyawa agar kami bisa hidup. Aksi massa pun berakhir. Kami pulang.

Sepanjang perjalanan pulang, di bus diputarkan lagu dangdut. Tubuh dan pikiran kami lelah. Tapi berusaha menegarkan diri: ada harapan baru pencairan JHT. Sekitar pukul 8 malam aku tiba rumah. Nisa sudah tidur di kamar bersama ibuku. Apip, kata ibuku, sedang main di rumah adiku.

Suamiku belum pulang dari rumah ibunya. Sejak kami pindah ke rumah orangtuaku suamiku jarang di rumah. Pagi berangkat dan malam sekitar pukul 10 malam atau 11 malam baru pulang. Aku tidak pernah menanyakannya darimana.

Kadang semalaman dia tidak pulang. Sebelumya dia tidak pernah tidak pulang tanpa kabar. Kali ini ketidakpulangannya membuatku tidak bisa tidur semalaman. Selesai mencuci sekitar pukul 10 pagi aku mendengar suara motornya.  Rumah sedang sepi. Bapak sedang melaut. Ibuku bersama Nisa dan Apip sedang di rumah adiku momong keponakanku.

Melihat kedatangan suamiku, kekhawatiranku hilang. Tapi rasa penasaran mendesakku bertanya terus menerus tanpa melihat kondisi suamiku.

“Bang kenapa  semalaman tidak pulang?”

“Tidur di mana?”

“Tidur dirumah emak? Kenapa tidak ngasi kabar?”

“Apa hasil demo kemarin? Mana uang Jamsostek? Udah bisa cair belum?” Suamiku tidak menjawab pertanyaanku. Malah berbalik menanyakan hasil demo.

“Belum Bang. Cairin Jamsostek tanpa paklaring ‘kan ngak gampang, Bang,” jelasku.

“Demo-demo! terus apa hasilnya?! Cuma ngabisin duit aja. Ngapain demo kalau nggak ada hasil apa-apa,” teriaknya sambil membanting kaos yang tadi dia pakai.

“Gara-gara kamu demo, Abang nggak bisa bantu si Yani nyicil motor. Tahu nggak motor si Yani udah mau ditarik dah tiga bulan nggak bayar cicilan?!”

Mendengar jawaban suamiku, darahku mendidih.

“Terus aja mikirin adik kamu, orangtua kamu, kapan kamu mikirin aku dan anakmu!”

Aku berhenti berkata-kata ketika tangan kanan suamiku mendarat di pipi, “Plaaak!”

Ia mengangkat tangannya lagi. Aku mengelak. Aku balik mendorongnya. Ini seperti adegan dalam film silat. Tapi aku kalah langkah. Ia lebih cergas.

Lagi-lagi tangannya mimpir di pipiku. Setelah itu bertubi-tubi tangannya melayang. Aku tidak ingat kata-kata apa yang keluar dari mulutku. Tetiba aku sadar kepalan tangannya menghujam mata kananku. Kaki kanannya yang tidak pernah dipergunakan bekerja, dengan penuh tenaga mengenai ulu hatiku. Aku merasakan mual tak terperi. 

Tetiba aku sadar dipelukan ibuku. Ibuku menangis sesak, seperti merasakan kesakitan yang mendalam. Aku pun ikut menangis. Kami menangis berdua. Aku tidak berkata sekalimat pun.

Tak lama setelah kejadian itu, otakku berputar: ‘Aku harus pergi dari rumah. Aku tidak mau kalau suamiku pulang kami bertengkar lagi dan aku dipukul lagi. Aku tidak mau bapak menyaksikan pertengkaran kami. Aku tidak bisa bayangkan bagaimana sedihnya bapak melihat anaknya dipukuli suaminya. Aku tidak mau ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi baik terhadap bapak maupun suamiku.’

Setelah berembug dengan ibu aku memutuskan pergi. Aku dengan membawa Apip. Nisa aku tinggalkan bersama ibu. Keluar dari rumah aku tidak terpikir mau kemana. Kakiku melangkah menuju ke sekretariat tempat kami ngumpul. Aku yakin di sekretariat[2] aku akan dapat petunjuk apa yang harus aku lakukan. Saat itu aku tidak bisa berpikir panjang. Aku betul-betul shock dengan perlakuan suamiku.

“Ya Allah Ipah ada apa? Mata kamu kenapa?” Yanti, salah seorang pengurus yang tinggal di Sekre menyambut kedatanganku.

“Ketua, ketua! Nih lihat anggotanya kenapa,” teriak Yanti sambil berjalan ke dekat tangga.

Astagfirullah, kamu kenapa Ipah?” Bertubi-tubi pertanyaan ditujukan padaku. Tidak satu pun aku jawab. Aku tak mampu menahan tangisan yang terus keluar, walaupun berusaha aku hentikan.

Apip hanya diam. Lagi-lagi aku melihat matanya tidak ada ekspresi apapun.

“Udah kamu istirahat dulu aja sana,” pinta ketua serikat buruhku.

“Yan, bawa Ipah ke kamar biar dia istirahat dulu. Gua ke Alfa dulu beli makanan buat anaknya Ipah.” Dewi, perempuan yang biasa kami panggil ketua, seakan memahami kalau aku belum bisa ditanya apapun.

Tiba di kamar, Apip langsung tidur. Aku, walapun merasa lelah tidak bisa tidur. Pikiranku kosong. Aku belum mampu mencerna kejadian yang menimpaku. Hampir dua jam Apip tidur. Mungkin karena lapar dia terbangun. Aku baru sadar kalau sejak pagi tidak ada makanan yang masuk ke perutku. Aku tidak tahu apakah Apip sudah makan atau belum.

Sayur lodeh, ikan asin, goreng tempe dan sambal menu yang cocok kalau kondisiku tidak seperti sekarang mungkin aku bisa makan dua piring tapi saat ini hilang selera makanku. Hanya teh manis panas yang masuk ke perutku. Selesai makan akhirnya aku menceritakan kejadian yang menimpaku. Sepanjang bercerita aku melihat kemarahan di wajah Yanti dan Dewi.

“Teh bilang suaminya, kalau kita tuh demo bukan  jual diri. Kalau demo gak bakalan dapat duit-lah. Masa pulang demo minta duit. Aneh punya suami,” ujar Yanti  sambil menghisap rokoknya.

“Teh Ipah sekarang mau bagaimana. Apa rencana teh Ipah sekarang?” Tanya Dewi sambil mengelus punggungku.

“Saya tidak tahu, Teh. Saya bingung. Saya harus bagaimana. Badan saya sakit tapi hati saya sakit banget, Teh!” Lagi-lagi aku tidak bisa menahan tangisanku. Kami terdiam. Hanya suara isak tangisku yang terdengar. Sementara Apip asyik di luar bersama makanannya.

“Teh yang suami Teteh lakukan itu namanya KDRT atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Teteh adalah korban. Kalau dilaporkan suami Teh Ipah bisa kena pasal nih. Ada hukumannya 10 sampai 15 tahun penjara buat pelaku KDRT. Ada undang-undang yang melindungi korban KDRT seperti Teteh ini. Kalau mau, ayo kita laporkan. Saya anter Teteh buat lapor. Tapi sebelumnya harus visum dulu agar ada bukti. Gimana?” Panjang lebar Dewi membujukku.

“Kalau saya punya suami, terus mukulin habis dah. Gw pasti bikin busuk di penjara,” terdengar suara Dewi entah ucapannya ditujukan pada siapa.

“Iya, biar kapok. Tuman laki kayak gitu dibiarkan ntar ngulang lagi,” timpal Yanti.

Aku masih terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa. Ketika mendengar kata penjara sejujurnya hatiku ciut. Ada kekhawatiran di hatiku.

“Jadi gimana Teh Ipah; mau lapor atau Teh Ipah mau coba tenangkan diri dulu di sini? Tapi kalau mau tenangkan diri dulu sebaiknya kita visum dulu buat bukti. Mau dipakai atau enggak gimana nanti. Atau difoto dulu aja matanya yang biru gitu buat dokumentasi,” suara Dewi terdengar lagi setelah hampir 10 menit kami semua tidak ada ada yang bersuara.

“Saya bingung, Teh. Belum bisa berpikir mau gimana?”

“Ya udah kalau gitu. Teh Ipah nginap aja malam ini di sini. Buat keamanan. Takutnya kalau pulang digebukin lagi. Yan, gimana kalo gitu?” Tawar Dewi sambil mengarahkan matanya ke Yanti.

Terbayang wajah Anisa. Seharian ini aku belum mengendongnya. Terbayang wajah suamiku. Kedua mertuaku pasti akan menyalahkan aku kalau sampai aku lapor polisi. Terbayang wajah Apip yang pasti akan menanyakan, ‘Bu, ayah kemana?’ Terbayang ocehan tetangga yang pasti akan menggunjingkan aku istri yang kejam karena memenjarakan suamiku.

“Bu kita pulangkan,” suara Apip membuyarkan lamunanku.

“Iya, kita pulang. Kasihan Nisa nanti nyariin ibu,” jawabku

“Bu kalau nanti bapak mukul ibu, nanti Apip colok mata bapak pake kail pancing.” Kata-kata Apip mengejutkanku. Matanya masih tanpa ekspresi ketika mengatakan kalimat tadi. Ada rasa khawatir seusia Apip sudah menyaksikan kekerasan dalam hidupnya.

Aku pun pamit ke Teh Dewi dan Yanti. Aku lihat ekspresi kecewa di wajah mereka. Mereka gagal membujukku.

Langit mulai gelap. Lampu jalanan mengantikan tugas matahari menerangi jalanan. Masih kupegang erat uang Rp50 ribu pemberian Dewi untuk ongkos pulang. Apip, asyik dengan Pizza Yuppy-nya. Ia seperti tidak mengalami apapun.

Di luar langit semakin gelap. Isi kepalaku ramai. Aku menaiki Angkot menuju rumah. Kehidupan masih berjalan seperti biasa. Sopir Angkot semangat mengendarai mobil mendengarkan lantunan lagu dangdut Jhony Iskandar. Tetiba muncul wajah Makmun, lelaki yang pernah membuatku merasa berarti. Lelaki yang ketika nanti bertemu ingin kutanyakan apakah artinya aku buatmu: tulang rusuk atau tulang punggung?!

Bagaimana aku akan betah di rumah
Tiap makan dan tidur selalu sendiri
Jangankan menemani dengan kemesraanmu
Bicara saja seakan tak mau
Ho-oh, ho-oh, ha-ah

Ku pulang malam karena tak tahan
Mencari hiburan di luar rumah

Salahkah aku, dosakah aku
Bila diriku tak lagi setia
Semua kulakukan untuk pelarian
Agar engkau sadar istriku, sayang

-Tamat-

**

Lihat juga cerita sebelumnya:

Tulang Rusuk (Bagian 1)

Tulang Rusuk (Bagian 2)


[1] PT Jamsostek beroperasi hingga 2014. Setelah itu diganti dengan BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan.

[2] Sekretariat adalah nama lain untuk kantor serikat buruh. Selain untuk kegiatan pendidikan dan advokasi, berfungsi pula sebagai tempat tinggal para pengurus.