MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

‘Upah Piece-rate’, Kolonialisme Data dan Pemiskinan Ojol

Pengantar

Artikel ini akan mendiskusikan bahwa hubungan pengemudi Ojol dan aplikator merupakan hubungan perburuhan. Bukan kemitraan, seperti dinarasikan aplikator, diamini oleh Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Perhubungan dan dilegitimasi oleh sebagian pengamat hukum doktrinal.

Akun pengemudi Ojek dan taksi online adalah alat produksi (alat kerja dan sasaran kerja). Melalui akun, driver online menerima dan menjalankan pesanan, sekaligus menerima penghargaan dan hukuman. Para pengemudi berupaya menjaga akun agar memiliki rating yang baik dan performa paripurna. Dalam beberapa kasus, akun dapat diperjualbelikan. Sepeda motor atau mobil dan handphone merupakan atribut yang melekat pada tubuh untuk melakukan aktivitas kerja.

Bisnis penyedia transportasi online, sebagaimana Gig Economy lainnya, dalam bentuk crowd-work dan work on-demand atawa pekerjaan berdasarkan permintaan merupakan gejala global. Gig economy bukan bentuk baru dalam bisnis tapi perluasan hubungan kerja kasual dan informalisasi hubungan kerja untuk menghindar dari standar umum perburuhan (Stefano, 2015). Tujuan utamanya: mengurangi biaya operasional, memastikan pekerjaan selesai tepat waktu dengan hasil yang berkualitas, mengalihkan risiko bisnis ke pengemudi, tidak repot menyediakan training dan terhindar dari kewajiban memenuhi hak-hak dasar manusia yang menjadi driver.

Istilah mitra aplikator diberikan dan ditanam oleh aplikator kepada para pengemudi. Istilah tersebut dirawat melalui mekanisme algoritme, Satgas, grup media sosial yang dibuat aplikator, Kopdar dan notifikasi individual. Sebutan mitra kepada pengemudi terjadi pula di aplikator Uber di Amerika Serikat dan Deliveroo di Inggris. Seperti istilah budak, jongos, babu dan monyet yang diberikan oleh kelas bangsawan kepada manusia yang mengabdi kepada mereka.

Dari kota miskin Cleveland Amerika Serikat hingga kecamatan padat penduduk di Pagarsih Bandung, Gig Economy memproduksi wacana yang sama: entrepreneurship atawa kewirausahaan, partnership alias kemitraan, sharing economy atau ekonomi berbagi, independent contractor alias kontrak mandiri, pekerja mandiri, freelancer atau pekerja lepas. Jenis pekerjaan yang fleksibel dan dianggap sesuai passion kaum muda modern yang menyukai kebebasan dan kemandirian.

Penyedia layanan transportasi daring menyematkan istilah mitra dengan berlindung di balik narasi: para pengemudi bebas menentukan waktu dan tempat kerja. Para pengemudi dapat mengatur waktu kapan saja dan di mana pun untuk mengemudikan kendaraannya serta mengatur pendapatan sesuai kebutuhan. Kerja kapan pun dan di mana pun adalah mitos. Karena aplikator mengembangkan mekanisme hukuman tersembunyi.

Istilah mitra rupanya diyakini pula oleh para driver. Setidaknya dari tigapuluh orang yang saya temui secara terpisah di Jabodetabek. Uniknya, mereka mengungkapkan narasi yang sama dengan aplikator: pengemudi dapat mengatur waktu dan tempat kerja dengan bebas. “Kalau driver beda dengan pabrik yang waktunya sudah ditentukan. Kalau salah dimarahi supervisor,” kata seorang driver yang pernah menjadi buruh pabrik.

Beberapa ahli hukum menyebut relasi aplikator dan pengemudi online bukan hubungan kerja ketenagakerjaan. Ciri hubungan kerja dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 tidak terpenuhi. Unsur perintah, upah dan pekerjaan bukan dari aplikator tapi dari konsumen (Wibowo, 2015; Sonhaji, 2018). Hubungan kemitraan pengemudi dan aplikator mengambil bentuk bagi  hasil, sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Halilintarsyah, 2021).  Landasan untuk menegaskan hubungan kemitraan dalam ojek dan taksi online adalah putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 841 Tahun 2009 dan putusan MA Nomor 276 Tahun 2013. Para ahli hukum itu tidak mengerti cara kerja algoritme dan membayangkan Gig Economy seperti hubungan kerja manufaktur. Dengan menyebut diri bisnis start-up para pebisnis digital transportasi tengah menghidupkan kembali pekerjaan buruk dan tanpa perlindungan. Buruh  Ojek dan taksi online bekerja 12 jam hingga 16 jam per hari, tanpa jaminan sosial dan tidak memiliki berunding dan mogok. Anehnya, Presiden Joko Widodo menyebut para pengemudi Ojek Online (Ojol) sebagai pahlawan transportasi, bahkan mengangkat salah satu bos Gojek sebagai menteri yang menduduki posisi strategis dalam negara: Menteri Pendidikan!

[nextpage title=”Bisnis ‘start up’: dikira ‘cupu’, ternyata ‘suhu’“]

Dua tahun setelah krisis ekonomi global, narasi bisnis start up dan revolusi industri 4.0 mengemuka sebagai masa depan pekerjaan dan mengancam pekerjaan tradisional.

Terdapat dua tipe pekerjaan Gig Economy: berbasis web dan berbasis lokasi (Bershidsky, 2018). Dapat berbentuk crowd work atau work on demand, di mana jenis pekerjaan berdasarkan permintaan dan penawaran secara online atau melalui aplikasi seluler (Stefano, 2015). Beberapa contoh dari pekerjaan tersebut adalah desain grafis, fotografer, jurnalis media online, layanan transportasi dan pengantar barang online.

Berbeda dengan buruh serabutan di manufaktur yang didominasi pendidikan dasar dan menengah, buruh Gig Economy berlatar pendidikan relatif tinggi dan terinformasi. Namun, di hadapan Gig Economy, semua kemewahan latar belakang pendidikan dan keterampilan khusus kelas menengah mengalami nasib serupa: dibayar per pekerjaan tanpa perlindungan sosial.

Kita akan mendiskusikan karakteristik Gig Economy berbasis lokasi penyedia layanan transportasi online. Komponen utama layanan transportasi online melibatkan tiga aspek. Upah dibayarkan per trip, konsumen yang membutuhkan layanan tertentu dan aplikasi yang menghubungkan konsumen ke pengemudi untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan.

Bentuk pekerjaan sektor transportasi berdasar permintaan melalui aplikasi di telepon pintar, tumbuh dari perkembangan teknologi informasi. Menemukan landasannya dalam sistem transportasi publik yang dipertahankan selalu buruk, kualitas kondisi kerja formal yang terus menurun, tingkat pengangguran melonjak, kekalahan serikat buruh dan menguatnya aristokrasi serikat buruh. Serikat buruh warisan Soeharto menolak mengorganisasikan jenis buruh serabutan konvensional maupun  yang tumbuh dari Gig Economy (Arifin, 2022).

Platform transportasi online berada di puncak seluruh bisnis manufaktur dan keuangan. Menggabungkan ketersediaan  manufaktur elektronik, otomotif, pakaian dan sepatu, listrik, telekomunikasi, di bawah kepemimpinan kapital keuangan.

Gojek, Grab, Maxim dan InDriver memulai usahanya dari penyediaan layanan transportasi. Kini, keempat perusahaan tersebut menjadi perusahaan teknologi informasi penyedia transportasi yang tidak memiliki armada transportasi dan dapat diakses di berbagai negara. Di balik perusahaan rintisan tersebut adalah para pemain lama di industri manufaktur, jaringan dotcom, pertambangan, perkebunan dan keuangan internasional (Masdian, 2022). Beberapa di antaranya adalah Google, JD.com, Tencent, Astra International, Softbank, Mitsubishi, Grup Djarum, Sinarmas, General Catalyst, Elang Mahkota Teknologi alias Emtek Corporation hingga Provident Capital. Bisnis transportasi online merupakan melibatkan tiga aktor negara: kementerian perhubungan, kementerian komunikasi dan informasi serta kementerian keuangan, sebagai ceruk bisnis baru. Sementara entitas bisnisnya diterima, kehadiran ojek dan taksi daring tidak menjadi perhatian untuk mendapat perlindungan negara. Buruh ojek dan taksi daring hanya bermakna ketika perhelatan Pemilu dan Pilkada.

[nextpage title=”Upah per trip, kerja gratisan dan penjinakan“]

Di Indonesia, kemunculan penyedia layanan transportasi online sedang menggusur bisnis juragan Angkot, pebisnis taksi konvensional, mengancam pemberi izin trayek, pengatur tarif serta penguasa wilayah ojek pangkalan. Tak jarang jual-beli izin trayek angkutan melibatkan orang kuat lokal. Jenis-jenis bisnis yang menguntungkan; dan pengemudinya  dipertahankan rentan sejak 1970-an.

Jadi, meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) menolak pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) untuk menjadikan sepeda motor sebagai angkutan umum dan Dirjen Perhubungan Darat Budi Setyadi menyebut, sepeda motor rawan terhadap kecelakaan, tidak menyurutkan Kemenhub, Kemkominfo dan Kemenkeu mengatur bisnis transportasi online.

Peran Kementerian Perhubungan mengatur tarif ojek dan taksi online tidak sekadar mendamaikan perseteruan Angkot dan taksi konvensional dengan transportasi online. Begitu pula kehadiran Kakanwil Inkoppol Divisi Pedagangan dan Pergudangan Igun Wicaksono sebagai  Ketua Presidium Garda (Gabungan Aksi Roda Dua) cum Ketua Umum PPT JDI (Perkumpulan Pengemudi Transportasi dan Jasa Daring Indonesia) dalam berbagai aksi massa ojek dan taksi online, tak dapat dipisahkan dari perebutan lapak yang akan digusur oleh layanan transportasi online. Perhatikan pengaturan tarif batas bawah dan atas berdasarkan zonasi oleh Kementerian Perhubungan. Tarif tersebut ditetapkan berdasarkan jarak pengangkutan, melegitimasi pemotongan otomatis oleh aplikator dan menghargai murah kerja-kerja pengemudi berdasarkan geolokasi. Komponen biaya jasa sepeda motor yang ditetapkan Kementerian Perhubungan mengabaikan jumlah kebutuhan konsumsi dan kalori para pengemudi yang dibutuhkan setiap detik. Dari sepuluh komponen perhitungan tarif semuanya mengatur kendaraan dan handphone. Ini adalah jenis legitimasi pengalihan modal dari aplikator ke pengemudi, yang mesti ditanggung konsumen. Dengan komponen demikian, pendapatan Ojol per bulan tidak lebih dari Rp2,9 juta. Padahal pengeluaran terbesar adalah makan dan bahan bakar kendaraan (Hakim, 2022).

Komponen Biaya Jasa Pengguna Sepeda Motor

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 564 Tahun 2022

***

1. Diikat melalui akun

Karakteristik akun pengemudi dan konsumen Ojol berbeda. Aplikasinya pun berbeda. Pengemudi dapat menjadi konsumen Ojol. Tidak sebaliknya. Pengguna atau konsumen mesti memenuhi berbagai syarat untuk menjadi pengemudi. Konsumen menyediakan informasi dan data kepada aplikator namun tidak terikat untuk menghasilkan informasi baru sebagai komoditas.

Ketika mendaftar, konsumen dapat menggunakan nama palsu, tapi mesti ada yang bisa diverifikasi e-mail atau nomor telepon. Setelah aktif, aplikator akan meminta izin mengakses lokasi, nomor telepon dan sebagainya. Pendaftaran akun konsumen relatif sederhana. Pembuatan akun konsumen dipermudah karena tujuan utamanya adalah mengeruk informasi. Dengan teknologi GPS, Artificial Intelligence dan komputasi awan, aplikator menyerap dan mengolah data informasi rute, penggunaan pembayaran dan tujuan konsumen. Ini adalah langkah awal pencaplokan informasi sebagai bahan baku menyiapkan komoditas. Bagi aplikator, informasi diri, tujuan perjalanan, pilihan pembayaran, dan informasi spesifik lainnya, adalah barang dagangan.

Ketika mengaktifkan aplikasi, pengguna dengan sukarela menyediakan informasi sebagai bahan baku komoditas, sekaligus target penerima iklan produk. Semakin tinggi penggunaan aplikasi, kian banyak informasi yang diserahkan kepada aplikator. Gawai adalah papan iklan yang menyasar konsumen secara langsung dan terpilih. Bisnis transportasi online telah mendorong penciptaan komoditas, sirkulasi dan finansialisasi. 

Setelah memasang aplikasi sebagai mitra, pengemudi menyerahkan nomor telepon yang terverifikasi dan e-mail. Kemudian menyertakan nama asli, nomor telepon darurat, tempat mendaftar, foto profil, KTP (kartu tanda penduduk) asli, SIM (surat izin mengendara) masih berlaku, STNK (surat tanda nomor kendaraan) berlaku, SKCK, rekening bank dan mengisi saldo minimal. Syarat lain yang harus dipenuhi adalah usia minimum 18 tahun dan maksimum 65 tahun, maksimal umur kendaraan 8 tahun terhitung sejak pendaftaran, CC tidak boleh lebih dari 250 CC, kendaraan 4 tak, bukan motor trail, sport dan touring.

Sifat penyediaan informasi konsumen Ojol tidak terikat. Meskipun mungkin saja pengakses aplikasi terisolasi secara sosial tapi tidak bersifat aktif (Dyer-Witheford, 2015). Akun pengemudi terikat. Keterikatan pengemudi dilakukan melalui mekanisme pengawasan algoritme, hukuman dan verifikasi muka. Dalam konteks tersebut akun pengemudi melakukan kerja ganda. Pengemudi menciptakan nilai yang dipertukarkan untuk dirinya serta menyumbang tenaga dan informasi gratisan untuk keuntungan aplikator.

Kelengkapan data di atas dapat dibungkus dengan kalimat: ‘demi keselamatan pengemudi dan penumpang’. Maksudnya, jika terjadi kecelakaan jangan meminta tanggung jawab aplikator tapi ke pengemudi. Berbagai kecelakan lalu lintas, Ojol menjadi pihak yang paling bertanggung jawab karena mereka lalai mengendarai sepeda motor.

Syarat lainnya adalah smartphone. Di awal 2014-an, karena kesulitan mendapatkan order beberapa pengemudi mengganti handphone jenis baru dan kartu SIM dengan jaringan yang lebih baik. Karena ketahanan baterai handphone terbatas maka pengemudi tidak akan jauh dari pengisi daya. Menyiasati hal ini para pengemudi kerap nongkrong di tempat yang memiliki jaringan listrik, membeli power bank atau memodifikasi sepeda motornya sebagai pengisi daya.

Ketika Grab dan Gojek beroperasi pertama kali dengan jumlah pengemudi dan konsumen terbatas, aplikator membagikan sejumlah promosi dan lencana kepada pengguna dan pengemudi agar mereka merasa istimewa dan dihargai. Ojol tampil memukau. Mereka ramah, bersih dan wangi. Pelanggan pun menikmati harga promo di kisaran Rp1000. Sedangkan pengemudi mendapat insentif dan bonus.  Semua itu, tentu saja agar mereka tetap bertahan sebagai penyedia informasi aplikator.

Kebijakan privasi Gojek mengatakan, setelah memasang aplikasi seluruh informasi akan secara otomatis dikumpulkan. Aplikasi pun dapat membaca alamat IP, halaman web yang pernah dikunjungi, browser internet yang dipergunakan, termasuk durasi membuka sebuah halaman.

Kebijakan privasi di poin selanjutnya disebutkan:

  • Ketika anda menggunakan Aplikasi untuk menemukan suatu layanan, anda memberikan informasi pada kami, yaitu lokasi dan tujuan anda. Anda juga memberikan informasi kepada kami mengenai barang yang anda kirim/antar dan/atau beli dan biaya pembelanjaan anda ketika anda menggunakan layanan kurir instan atau pembelanjaan pribadi. Ketika anda menggunakan Aplikasi kami, kami juga akan memproses data teknis anda seperti alamat IP, Identitas (ID) Perangkat atau alamat MAC, dan informasi mengenai pabrikan, model, dan sistem operasi dari perangkat bergerak/mobile device anda.

Informasi lain yang dikumpulkan adalah nomor telepon dan bank yang dipergunakan

  • Ketika Anda mengisi ulang (TOP UP) GO-JEK Credit anda, kami akan mengumpulkan informasi seperti nama bank dimana rekening anda dibuka, nama pemegang rekening, dan jumlah yang anda transfer untuk pengisian ulang (TOP UP).
  • Ketika anda menggunakan Aplikasi melalui perangkat bergerak/mobile device anda, kami akan melacak dan mengumpulkan informasi geo-location secara real-time.
  • Kami juga melacak dan mengumpulkan informasi geo-location Penyedia Layanan. Ini berarti bahwa kami juga mengumpulkan informasi ketika anda bepergian dengan Penyedia Layanan.

**

2. Upah per trip sebagai satuan hasil

Setelah mendaftar pengemudi akan mendapat upah yang ditentukan berdasarkan dari jarak pengantaran: per trip. Upah diterima setelah pengantaran diselesaikan. Sampai di sini, aplikator telah mengumpulkan informasi dari pengguna dan pengemudi dan mendapat biaya jasa aplikasi. Sedangkan pengemudi sekadar menerima upah dari jarak pengantaran.

Di bidang manufaktur, upah per trip sama dengan upah satuan hasil. Tak jarang model pengupahan tersebut dipadukan dengan upah borongan. Pengemudi diberi ilusi bahwa mereka mendapat hasil dari pekerjaannya. Pengemudi mengantarkan dua jenis barang ke titik yang berbeda dari dua pengguna yang berbeda dengan harga yang sama. Menolak orderan memiliki konsekuensi terhadap penerimaan order berikutnya.

Aplikator tidak memperhitungkan jarak dari titik keberangkatan ke penjemputan (Hakim, 2022). Setelah berhasil mengantarkan penumpang, pengemudi akan semakin bergantung ke orderan baru. Sebagai contoh, pengemudi A menjemput konsumen B dengan jarak 500 meter. Pengantaran konsumen B ke tujuan dengan jarak 4 kilometer seharga Rp13.ooo. Jika dihitung secara total, pengemudi menempuh jarak 5 kilometer yang tidak dihitung. Pilihan bagi pengemudi adalah mendapat order baru ke tempat tujuan awal atau makin jauh dari titik berangkat.

Aplikator akan berkilah, pengemudi diberikan pilihan untuk mengatur aplikasi agar mendapat pesanan sesuai tujuan. Ini adalah tipuan selanjutnya. Mengarahkan pesanan sesuai arah adalah waktu tunggu yang tidak diperhitungkan sebagai upah. Sementara aplikator telah menyerap informasi baru. Konsekuensi lain adalah menolak order karena tidak sesuai arah. Driver bisa saja meminta konsumen yang menolak. Tapi di sistem rating konsumen tersedia tombol ‘driver meminta di-cancel’, yang pada akhirnya menurunkan performa akun pengemudi.

Upah per trip mendatangkan imajinas, ‘jika semakin banyak order pendapatan makin banyak’. Dalam bahasa driver Ojol, ‘Kerja Ojol tergantung kita.’ Pada akhirnya, pengemudi memperpanjang hari kerja, menurunkan kualitas hidup dan kendaraannya, yang secara otomatis meningkatkan keuntungan aplikator.

Dengan harga trip tersebut aplikator menggondol biaya sewa aplikasi dari konsumen, biaya jasa aplikasi dari pengemudi dan informasi baru sepanjang 9 kilometer dari pengemudi dan konsumen. Pengemudi menyediakan kerja-kerja gratis untuk aplikator. Semakin banyak order yang masuk dan semakin jauh perjalanan pengemudi berarti semakin banyak biaya sewa, potongan dan kumpulan informasi yang siap diolah menjadi data baru.

Kapital adalah kerja mati, yang, seperti vampir, hanya hidup dengan menghisap kerja hidup, dan semakin hidup, semakin banyak kerja yang dihisapnya. Waktu selama si buruh bekerja, adalah waktu di mana si kapitalis mengkonsumsi tenaga-kerja yang telah dia beli darinya.

(Marx, 1999)

Aplikator mengeruk informasi dari pengemudi melalui GPS (Global Positioning System) pengemudi dan konsumen. Informasi dikumpulkan dari pengemudi sejak keberangkatan, penjemputan, pengantaran hingga kembali ke tempat asal sebagai kerja-kerja gratis. Dalam hal ini, fungsi driver ibarat alat konfirmasi informasi yang disediakan oleh konsumen. Inilah makna kerja produktif digital dari ojek dan taksi daring.

Dalam kamus Ojol dikenal istilah order fiktif (Opik) dan ‘Tuyul’ (fake GPS). Untuk membasmi ‘Tuyul’ dan ‘Opik’ aplikator bekerjasama dengan kepolisian. Jadi kita bisa membayangkan, sebuah perusahaan yang jenis usahanya tidak memiliki dasar hukum, lapor ke kepolisian untuk memberantas ‘Opik’ dan ‘Tuyul’ sebagai pihak yang terzalimi. Polisinya pun bersedia.

Tapi apa makna pemberantasan ‘Opik’ dan ‘Tuyul’ itu? Karena ‘Opik’ dan ‘Tuyul’ muncul di masa promosi, tentu saja aplikator merasa di-porotin. Para pengemudi merasa heran dengan pembasmian ‘Tuyul’ dan ‘Opik’. Dalam kasus ‘Tuyul’ mereka tetap mengantarkan penumpang dan Aplikator pun dapat untung. Dalam kasus ‘Opik’ aplikator dapat untung dari sewa dan biaya jasa aplikasi. Sebenarnya, fake GPS alias ‘aplikasi tuyul’ mengganggu kerja-kerja algoritme menyerap dan mengolah informasi.

**

3. Pengawasan sebagai penjinakan

Setelah pengantaran, konsumen diberikan kewenangan untuk menilai kualitas pekerjaan pengemudi. Aplikator menyediakan kategori untuk menilai kualitas pengemudi: bersih dan nyaman, fasilitasnya lengkap, tahu jalan banget, ngobrolnya seru, pengemudinya membantu, mobilnya keren, layanan mantap. Kemudian memberikan rating bintang satu hingga lima. Karena itu, pengemudi akan menjaga pengantaran dengan kesempurnaan paripurna demi memberikan hasil terbaik dan kebaikan rating dan performa.

Dengan upah satuan hasil para pengemudi seolah dibayar berdasarkan hasil pekerjaan dengan mengesampingkan besaran energi yang dicurahkan dengan hasil yang maksimal. Dengan melekatkan upah pada satuan trip dan penilaian kepada konsumen, aplikator dibebaskan dari pengeluaran biaya pengawasan. Upah satuan hasil merupakan metode yang paling efektif untuk mengumpulkan kekayaan dan metode paling licik dari kaum kapitalis (Marx, 1999)

Keuntungan lain dari upah satuan hasil adalah memicu persaingan sesama pengemudi. Dengan perubahan tarif di jam sibuk dan persaingan tanpa batas, setiap pengemudi saling bertaruh akan mendapat penghasilan yang lebih banyak.

Pengemudi Ojol dan taksi online mengeluh makin sulit mendapat order. Wajah mereka kusam. Jaket dan sepatu lusuh. Sementara handphone dan kendaraan makin tidak terawat. Penghasilan harian terus menurun bahkan nol dan terjerat pinjaman online. Beberapa di antaranya memilih berhenti, melakukan percobaan bunuh diri dan menyalahkan pengemudi lain yang menjadi Ojol. Ada pula yang menggeruduk costumer karena dianggap sebagai biang masalah penurunan rating, bahkan suspend. Para pengemudi menyalahkan diri sendiri karena kurang rajin atau menyalakan konsumen karena manja. Sementara pemilik aplikator telah menjadi menteri dan perusahaannya memiliki valuasi Rp141 triliun dengan peringkat Decacorn.

Pengawasan lain adalah melalui algoritme dan Satgas (Riyadi, 2022), GPS, verfikasi muka, notifikasi individual dari aplikator dan Kopdar bersama aplikator. Di antara fungsi algoritme adalah mengolah perintah, memunculkan harga dari setiap jarak tempuh dan memilih pengemudi yang layak mendapat order.

Salah satu Satgas aplikator di lapangan mengatakan, fungsi Kopdar adalah sosialisasi SOP (standard operating procedures), menerima keluhan pengemudi. Tentu saja beberapa keluhan harus dibantu dipecahkan untuk memperlihatkan kegunaan Satgas di komunitas Ojol. Namun yang lebih penting dari semuanya: menjaga disiplin kerja pengemudi dan menjaga narasi mitra di setiap kepala pengemudi. Ketika para pengemudi mengeluh kesulitan order, Satgas akan memberikan nasehat harus patuh pada peraturan, tidak boleh menolak order, selalu berangkat pada jam yang sama.

Anehnya, mekanisme rating dan jam kerja tersebut tidak berlaku bagi Satgas. Salah satu Satgas mengatakan, tidak mengaktifkan akunnya selama tiga bulan tapi tidak sulit mendapat order. Dengan demikian, algoritme dapat direkayasa sesuai kepentingan aplikator. Awal-awal Ojol beroperasi kasus poin dan bonus kerap muncul kasus. Pengemudi gagal memenuhi total poin karena tidak mendapat orderan terakhir. Mekanisme itu tidak berlaku pula bagi Ojol yang baru bergabung dan memiliki cicilan utang kepada aplikator.

Dua premis di atas: tidak boleh menolak order, patuh pada jam kerja dan mekanisme rating yang terpilih menyimpulkan kenyataan lain: narasi kerja kapan pun dan di mana pun adalah mitos!

Verifikasi muka bertujuan memeriksa kesesuaian akun dan pengemudi. Jawaban sederhana agar dimengerti umum: agar aplikator dapat memberikan perlindungan ketika terjadi kecelakaan. Tentu saja itu tipuan. Karena sejumlah kecelakaan dan kerugian di lapangan akan menjadi tanggung jawab pengemudi.

Barangkali aplikator dapat memaklumi ketidaksinkronan sepeda motor dengan pengemudi selama tidak memengaruhi pengumpulan data melalui GPS. Tapi akan memberlakukan hukuman putus mitra ketidaksesuaian akun dan pengemudi. Akun dan pengemudi adalah dua informasi yang memiliki nilai jual. Sekali lagi, setiap akun dan pengemudi adalah data baru yang memiliki nilai jual. Total informasi yang digondol aplikator dari pengemudi dan akun adalah real time dari lokasi keberangkatan pengemudi hingga tujuan dan demografi penumpang. 

Fungsi lain dari Vermuk adalah kontrol harian. Seperti finger print atau daftar presensi di pabrik. Tapi untuk apa Vermuk dilakukan? Bukankah cukup memastikan bahwa akun beroperasi dan potongan untuk aplikator berlangsung lancar? Jika sepuluh orang menggunakan satu akun secara bergantian, jumlah potongan dan informasi yang diberikan terlalu sedikit. Akan berbeda jika sepuluh orang memberikan informasi dan setiap orang dikenai potongan. Untuk mengatakan, ‘Sepuluh orang pengemudi di wilayah Cigondewah Hilir setiap hari mengantarkan penumpang ke toko emas.’ Informasi ini merupakan bekal untuk diajukan ke toko emas untuk memasang iklan.

Ketika pengguna tadi membuka aplikasi tadi maka akan datang iklan, ‘emas murah di toko kami’. Keuntungan aplikator adalah pembayaran iklan.

Pengemudi seringkali tidak mengerti bagaimana algoritme beroperasi sehingga sulit mendapatkan pesanan. Melalui Heat Map mereka diberitahu tentang lokasi-lokasi ramai dan banyak permintaan. Lokasi tersebut, sebenarnya, informasi terpilih yang telah dikumpulkan oleh para pengemudi. Inilah keterasingan pengemudi dengan hasil kerjanya. Ketika tiba di lokasi hanya menghabiskan waktu. Mereka frustasi dan merasa tertipu karena orderan tak kunjung datang.

Pengemudi bertahan. Daftar pembayarab kreditan handphone dan sepeda motor menanti. Beras dan minyak goreng harus dibeli. Mereka kian tergantung. Beberapa pengemudi mengatakan:

“Kalau kita lagi tidur dengar suara azan. Itu biasa aja. Tapi kalau dengar orderan masuk, akan cepat-cepat bangun.”

“Kawan saya diajak istrinya ke kondangan. Bilangnya mau istirahat karena cape habis ngojol. Tapi kalau dengar orderan masuk dia akan langsung berangkat. Hilang itu cape”

“Pernah ada kawan udah wudu, mau salat Jum’at. Dia udah masuk mesjid. Siap-siap salat. Tiba-tiba hapenya bunyi. Dia langsung pergi ambil orderan.”

Para pengemudi harus mencitrakan diri sebagai pengemudi yang ramah, suka menolong dan memiliki jiwa sosial tinggi seperti yang diperlihatkan dalam kegiatan-kegiatan amal. Keuntungan citra tidak dinikmati oleh pengemudi tapi melekat kepada aplikator karena mereka menggunakan atribut aplikator. Pendapatan para pengemudi tidak ditentukan oleh citra tersebut, tapi oleh mekanisme sewenang-wenang yang disebut dengan algoritme.

Algoritme tidak bebas nilai. Seperti diperlihatkan dalam kasus Satgas aplikator, cepu aplikator dan Ojol baru. Kemudahan mendapat order seringkali tidak memiliki korelasi dengan rating dan performa.

**

4. Pengalihan risiko bisnis

Menjaga hasil pekerjaan sebaik mungkin, biaya pemulihan tenaga dan perbaikan, pajak kendaraan serta handphone merupakan tanggung jawab pengemudi dan menjaga dompet digital tetap terisi. Ciri ini merupakan bentuk pengalihan risiko bisnis dan risiko pekerjaan.

Upah per trip telah mendorong jenis pekerjaan yang intensif, jam kerja panjang, pendapatan yang rendah, kontrol yang sangat kuat dan tidak adanya perlindungan. Risiko lain adalah kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang harus ditanggung oleh para pengemudi.

Setelah berjam-jam tidak mendapat order, menghabiskan waktu dengan nongkrong, bermain game, kadang disertai dengan judi online, aplikator merancang suara orderan masuk dengan bunyi yang khas. Suaranya begitu merdu seperti suara burung yang siap ditandingkan: Gacor!

Istilah Gacor meski sering dikaitkan dengan singkatan gampang cari order, lebih dikenal di komunitas pecinta burung. Jika akun terus menerus bunyi berarti orderan banyak. Wajah tersenyum. Kawan di sampingnya manyun karena akunnya sulit dapat order: anyep.

Untuk menyebut order yang ditunggu para pengemudi menyebutnya sebagai ‘pecah telor’. Setelah ‘pecah telor’ dengan harap-cemas tergambar masa depan cerah: sebentar lagi sangat mungkin orderan masuk. Masa depan gemilang di depan: banyak order, banyak duit. Tapi semua itu tak lebih dari khayalan.

Proses di atas; bunyi yang khas, harap-cemas menunggu order, ‘pecah telor’, merupakan manajemen judi online yang dipinjam dari psikologi behavioralisme. Mulanya, manajemen tersebut diadopsi di pabrik manufaktur kemudian diperluas ke platform transportasi online. Meski kerja pabrik menyakitkan, para buruh merasa senang karena akan ada upah di akhir bulan atau barangkali ada lemburan yang akan menjadikan penghasilan lebih besar (Dubal, 2020). Begitulah para pengemudi setiap detak jantungnya diwarnai harap cemas mendapat orderan anyar.

[nextpage title=”Menolak regulasionisme“]

August Spies bersama empat kawannya rela dihukum mati. Tiga kawan lainnya dihukum seumur hidup. Ketujuhnya difitnah sebagai penyebab kerusuhan dalam pemogokan massal 1886 di Chicago, yang menjadi cikal bakal peringatan Hari Buruh Internasional. Di Indonesia, Semaun dan kawan-kawannya ikhlas diusir dari kampung lahirnya. Semaun dan sahabat-sahabatnya melakukan mogok massal pada 1923. Semaun dibuang ke Belanda ketika istrinya sedang hamil tua.

August Spies dan Semaun tidak saling mengenal. Keduanya sama-sama menuntut pengurangan jam kerja, kondisi kerja dan upah layak sebagai hak buruh. Kala itu, rata-rata kerja-upahan tidak memiliki aturan: buruh bekerja 16 jam hingga 20 jam per hari tanpa hari libur, tanpa jaminan perlindungan dan pengupahan. Tindakan August Spies dan Semaun, bagi kaum regulasionis, terbilang bodoh dan ilegal. Bagaimana tidak, mereka menuntut sesuatu yang tidak memiliki dasar hukum! Tidak ada payung hukum! Tapi, justru tidak ada dasar hukumnya mereka melawan dan bertarung menuntut haknya sebagai manusia, sebagai buruh.

Pengakuan delapan kerja per hari ditetapkan, 33 tahun setelah pemogokan August Spies dan karibnya. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO/International Labour Organisation) menetapkan delapan jam kerja per hari di industri melalui Konvensi Nomor 1, pada 1919. Duapuluh lima tahun setelah pemogokan kereta api, cita-cita Semaun dan kawan-kawan terwujud. Undang-Undang Kerdja Nomor 12 Tahun 1948 disahkan. UU tersebut mengatur waktu kerja 7 jam sehari, 40 jam seminggu, pengakuan libur kerja istirahat termasuk hak libur karena haid.

Pengakuan terhadap martabat kemanusiaan, termasuk hak-hak dasar buruh tidak didefinisikan oleh hukum dan ditetapkan di ruang-ruang pengadilan. Bukan ditetapkan oleh hukum dan ahli hukum. Pengakuan terhadap hak-hak perburuhan diperjuangkan dengan pemogokan.