MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

MAYDAY PERTAMAKU

Ilustrasi. Demonstrasi Komite Aksi Satu Mei 2001 di Jakarta

“Hari ini, bersama ribuan kawan kami, kami bergerak mengacungkan kepal tangan kami.  Tidak mewakili siapapun, tetapi mewakili diri kami. Kami tidak akan pernah tunduk dengan siapapun termasuk juga kalian.

Kepada kalian,  pemodal yang angkuh, Kami hanya butuh menyatakan: kami tak akan berhenti melawan kalian. Kemarin, hari ini, dan esok!”

(Orasi Ahmad Rospeli, Pengurus SPSI PT Pindo Deli Karawang – dalam aksi May Day 2001 di depan Menara BII, pusat kekuasaan Sinar Mas Group)

Aku  masih mengingat dengan jelas orasi itu. Dilantangkan dari kerongkongan kecil seorang buruh pabrik kertas Pindo Deli Karawang. Waktu itu, kami bersepuluh, dari Karawang. Naik bus pagi-pagi dengan ongkos hasil patungan.

Sejak memutuskan mogok kerja pada 26 Januari 2001 Pukul 3 sore, saat itulah perlawanan berlangsung. Mogok dengan melibatkan sekitar 11.000 orang itu berlangsung selama 19 hari. Kami menuntut upah. Pemogokan secara resmi dinyatakan selesai 13 Februari 2001.

Pemogokan penuh makna. Setahuku, pemogokan itu merupakan yang terbesar dan terlama di Karawang. Selain itu, kalau boleh narsis, pemogokan itu berhenti sehari ulang tahunku.

Setelah mogok selesai, kesepakatan pun ditandatangani. Tapi ironis, meski telah ada penandatanganan kesepakatan, kami para pengurus kemudian dilarang masuk pabrik. Sekitar 700 orang dipecat (PHK/pemutusan hubungan kerja). Sebagian besar dengan alasan efisiensi. Sekitar 10 persen dianggap bermasalah karena absensi dan lain-lain. Tapi ada juga ‘penumpang gratis’, yang mendesak-desak untuk mogok. Para ‘penumpang gratis’ ini biasanya menyengajakan diri untuk dipecat bukan berjuang untuk bekerja. Mungkin mereka mengira, jika aktif demo, harganya (pesangon) akan naik. Perilaku ‘penumpang gratis’ tersebut sampai hari ini masih aku temui di pabrik-pabrik. Mungkin dengan alasan yang sama, mungkin pula karena tak tahan dengan kekuasaan pabrik. Entahlah. Tapi aku rasa itu sebuah ironi. Namun, perlu dicatat, pemecatan itu telah menghilangkan 80 persen kader-kader terbaik serikat.

Sejak dilarang masuk pabrik, kami terus melakukan perlawanan. Oleh Kawan Saut Manalu (sekarang hakim PHI Jakarta), pendidik di Labour Education Center Bandung kami diperkenalkan dengan kawan-kawan LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta. Dari LBH Jakarta, sekira Maret–April 2001, disela-sela mendiskusikan kasus PHK, kami berkenalan dengan kawan-kawan yang sedang mempersiapkan rencana aksi. Kami tidak tahu aksi apa itu. Tapi, di situlah, pertama kali aku mengenal Asfinawati, seorang asisten pengacara publik di LBH Jakarta. Beberapa tahun kemudian Asfinawati menjadi DirekturLBH Jakarta.

Karena alasan jarak dan juga ongkos, kami tidak mengikuti rapat mingguan di LBH Jakarta untuk membicarakan aksi. Kepada kawan-kawan di LBH Jakarta, kami mencatatkan diri untuk terlibat aksi yang akan dilaksanakan pada 1 Mei 2001. Waktu itu, kami mencatatkan sebagai Serikat Pekerja PT Pindo Deli.

Seminggu sesudahnya kami mendapati nama Serikat Pekerja PT Pindo Deli muncul di poster, sebagai bagian dari organisasi yang akan terlibat dalam aksi. Aku bangga sekali. Sampai sekarang, poster bersejarah itu masih tersimpan di kamar anakku, Lintang. Lintang juga yang membingkai poster tersebut sehingga tampak indah dan menarik.

Sebenarnya, kala itu, serikat kami adalah SPSI, tapi  tidak dicatatkan sebagai SPSI PT Pindo Deli dalam aksi.  Alasan kami sangat sederhana.  Sejak kami mogok, bahkan ketika di-PHK karena mogok, kami tidak pernah merasakan bantuan apapun dari induk organisasi kami. Berbulan-bulan kami berjuang. Menghadapi intimidasi dan mengatasi kelelahan batin. Justru, kawan-kawan yang baru kami temui yang mengulurkan solidaritas dan empati. Karenanya, pencantuman nama tanpa menyebutkan induk organisasi, menurut saya, sudah tepat.

Saya kemudian mengetahui aksi tanggal 1 Mei itu disebut May Day, alias peringatan Hari Buruh Internasional. Itu aksi yang dijadikan momentum untuk memperingati keberhasilan revolusi perubahan jam kerja dari 12 bahkan 16 jam kerja menjadi 8 jam kerja per hari. Tetapi, aku juga bingung,  karena pabrik garmen di Karawang sampai sekarang masih mempekerjakan buruhnya 12  jam per hari, tanpa dihitung lembur. Jam kerja yang panjang itu dirangkai dengan berbagai alasan. Di antaranya, sebagai hukuman akibat tidak tercapainya target kerja.  

***

1 Mei 2001. Pukul 6 pagi. Kami sudah berkumpul menunggu bus menuju Jakarta. Pukul 8 kami sudah sampai di Tugu Monas. Turun dari bus, aku melihat spanduk. Tulisannya, “JURNALIS JUGA BURUH” dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Sampai hari ini, 13 tahun kemudian, aku masih mendengar cerita dari kawan-kawan AJI bahwa tulisan di spanduk itu masih menemukan relevansiya. Pasalnya, hanya sedikit jurnalis yang bersedia mengakui dirinya sebagai buruh. Kebanyakan mengaku bukan buruh. Barangkali itulah yang menjelaskan perdebatan tentang organisasi buruh dan organisasi profesi di kalangan jurnalis masih riuh sampai sekarang.

Cukup lelah kami menunggu, baru sekitar pukul 11 massa berdatangan dari berbagai kota. Dari Bandung, Tangerang, Bogor, Depok, dan Bekasi. Massa terbanyak, seingatku dari Tangerang. Yang paling meriah, seingatku, Serikat  Buruh Jabotabek (SBJ). Mereka menyewa drum band dari sebuah sekolah Madrasah Tsanawiyah. Ramai sekali. Dengan lantang, orang-orang bergantian berorasi.

Tepat pukul 12, seorang perempuan naik ke atas mobil truk dengan susah payah dibantu teman-temannya. Dengan menggunakan sweater coklat muda mungkin juga abu-abu, tak begitu jelas. Sweater itu bergambarkan Mickey Mouse. Perempuan itu kemudian memegang microphone dan mengajak massa aksi mengangkat tangan kiri. Seperti terhipnotis, dengan serempak massa aksi pun turut mengangkat tangan kiri.

“Kenapa tangan kiri?” batinku. Di kemudian hari baru diketahui, mengangkat tangan kiri merupakan pertanda perlawanan.  

Dengan memegang microphone perempuan itu berkata setengah berteriak, “Selamat Siang Jakarta.  Selamat siang Tangerang, selamat siang Bogor dan selamat siang seluruh buruh Indonesia! Hari ini, merupakan momentum bagi kita untuk menunjukkan sikap kita.” Aku sempat terkagum-kagum dengan keberanian perempuan itu.  

“Betapa perlakuan diskriminasi terhadap buruh masih terus berlangsung. Ratusan bahkan ribuan kawan kita tertahan tidak bisa memasuki Jakarta untuk aksi ke Jakarta. Sungguh, ini sikap yang arogan dari aparat kepolisian……!” teriaknya.

Berbekal kamera saku kelas murahan, aku mengabadikan momentum itu. Tepat di sebelah kiri perempuan tersebut, ada poster bertuliskan “TOLAK SISTEM KERJA KONTRAK!”  Perlu diketahui, penolakan terhadap sistem kerja kontrak telah berlangsung lama. Bahkan, kata orang, penolakan terhadap Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997,  salah satunya didasari oleh pembolehan penggunaan sistem kerja kontrak. Kemudian, pasal-pasal kontrak kembali menyusup dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.

Baru kemudian aku ketahui, perempuan itu bernama Dita Indah Sari. Sekarang, hari ini, ketika May Day 2013 diperingati dan dirayakan oleh hampir seluruh serikat buruh, dugaanku perempuan itu pasti berada di kantor Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Gatot Subroto. Bukan dalam rangka aksi menggugat Menakertrans, tetapi duduk di sebelah Pak Menteri atau sibuk mondar-mandir menghubungi pimpinan serikat yang aksi. Barangkali dengan sedikit janji ‘Nanti, Pak Menteri akan menemui kawan-kawan, tapi pimpinannya saja yang masuk ya, yang lain menunggu di luar pagar.’ Entahlah. Itu hanya prasangkaku.  Sekarang, perempuan itu menjadi staff khusus Menakertrans RI. Setahuku, di kantornya juga ada tulisan yang sama TOLAK SISTEM KERJA KONTRAK. Tulisan itu, kini ditujukan untuk dia.

Aku masih menyimpan foto itu di album. Kelak, suatu saat aku mau mencetak foto itu dalam ukuran A3 dan aku akan datang ke Kantor Menakertrans RI untuk bertemu dengannya. Aku akan meminta tanda tangannya. Sebab, tahun 2001, aku gagal berkenalan dan meminta tanda tangannya.

Duh,  May Day, 1 Mei 2001. Itulah May Day pertamaku bersama Komite Aksi Satu Mei (KASM), yang setahun berikutnya berubah menjadi Komite Anti Penindasan Buruh (KAPB) dan menjadi tonggak perjalananku belajar berserikat. Sampai hari ini pun, rasanya tak berhenti aku menyatakan diriku belajar. Tidak tahu sampai kapan. Itulah kenapa orang menganggap praktik berserikatku masih belum maju. Tapi, tidak apa, sebab masih belajar.  Aku akan terus belajar, dan baru berhenti ketika mati nanti.

1 Mei 2001, May Day pertamaku. Sebuah momen penting dalam pendidikan hidupku berserikat. Sungguh sangat berkesan. Bagaimana dengan May Day pertamamu? Apakah hari ini adalah May Day pertamamu? Jadikan dia tonggak belajar. Jangan lupa, abadikan beberapa foto, dan unduh ke facebook.

Viva May Day!

Selamat Hari Buruh Internasional !

Buruh Sedunia, Bersatulah!

Belajar, Berjuang, Berlawan. Sehebat-hebatnya!

Ditulis di Ragunan, 1 Mei 2013 jam 09 : 43.

(Mengenang teman May Day pertamaku: Sagiyo, FX Dwi Hendro, Ahmad Rospeli dan beberapa yang aku tidak mengingatnya. Juga Saut Manalu dan Asfinawati.)