MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Upah Minimum, Produktivitas Siapa, dan Nikmat Manalagi yang Hendak Kau Dustakan?!

Kartun Benny: Hari Buruh 2016. Sumber: http://tamtomo.blogspot.co.id/2016/05/Benny0516.html

Pada 15 Oktober 2015, serikat-serikat buruh berdemonstrasi di pusat-pusat pemerintahan menolak Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengupahan. Di antara alasan penolakannya, karena perumusan RPP Pengupahan tanpa melibatkan dan menyerap aspirasi serikat buruh. Lebih jauh dikatakan bahwa RPP Pengupahan akan membuat upah buruh diombang-ambing oleh mekanisme pasar.
Melalui RPP Pengupahan, pemerintah memperkenalkan formula kenaikan upah minimum. Formula baru upah minimum dirangkum dalam kata, PAS. Pasti naik, Adil bagi buruh dan pengusaha, dan Sederhana dalam menghitung dan melaksanakannya. Pemerintah hakul yaqin, RPP Pengupahan akan memberikan kepastian bagi semua pihak.
RPP Pengupahan merupakan salah satu amanat dari Pasal 97 Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.[1] Selama ini, RPP Pengupahan tidak berhasil dirumuskan karena selalu berhadapan dengan protes serikat buruh.[2]
RPP Pengupahan, terutama berkenaan dengan upah minimum berangkat dari dua pengandaian. Pertama, kenaikan upah minimum sulit dikendalikan dan tidak dapat diprediksi. Fakta yang dikemukakan biasanya kenaikan upah minimum 2013 yang mencapai 40 persen di Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi. Padahal  tahun sebelumnya, kenaikan upah minimum di kisaran 10 persen. Pada ada 1969 hingga 2000, upah minimum naik dua tahun sekali, tanpa protes buruh.[3] Bagi para pebisnis, kenaikan upah minimum yang tidak terprediksi membuat rencana keuangan perusahaan amburadul dan menyalahi kerangka keuangan perusahaan didasarkan pada perencanaan yang matang.
Kedua, besaran kenaikan upah minimum membuat marjin keuntungan perusahaan semakin rendah. Lebih dari sekadar kata menguntungkan atau tidak menguntungkan, tapi marjin keuntungannya terlalu kecil. Marjin keuntungan adalah ungkapan bahwa keuntungan hari ini harus lebih besar dari hari kemarin. Jika marjin keuntungan terlalu kecil investor mesti mencari wilayah yang marjin keuntungan yang lebih besar.
Ketiga, tekanan massa menuntut kenaikan upah minimum membuat pasar terganggu. Apalagi jika tekanan massa itu diawali dengan pemogokan. Bukan hanya pasar barang dagangan yang terganggu, tapi proses produksi terhenti. Beberapa kejadian fenomenal yang berkaitan dengan hal tersebut adalah demonstrasi menolak gugatan SK UMP DKI Jakarta pada awal 2002, pemogokan di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung pada 2010, blokade jalan Tol-Jakarta Cikampek pada 2012, dan blokade jalan tol Ciujung Serang Banten pada 2013, dan lain sebagainya.
Para pecinta investor besar menilai, mestinya upah minimum dirumuskan oleh pertimbangan yang rasional, ilmiah dan dilakukan oleh lembaga yang representatif serta dijauhkan dari kepentingan politik praktis untuk mendulang suara. Kenaikan upah minimum tidak boleh didasarkan pada tekanan massa, tapi kepentingan semua unsur, yang disebut dengan stakeholders.
Di media massa, pesan orang-orang terpelajar, serta tajuk rencana dan opini di media massa cukup jelas: serikat buruh harus memaksimalkan dialog agar tidak memanfaatkan jalanan demi kenaikan upah minimum. Namun, sayang sekali, seperti diperhatikan dalam kasus penetapan UMP DKI Jakarta 2002 dan UMK Bekasi 2012, Apindo memilih walk out dari sarana hubungan hubungan industrial tanpa menghormati dialog dan hasil rapat pengupahan. Sampai di sini, ajakan memaksimalkan dialog sosial sepertinya lebih cocok untuk pengusaha. Merekalah yang semestinya membuka ruang keterbukaan dan mematuhi aturan hukum sehingga tidak perlu menunggu ancaman mogok dari buruh.
 ***
Menurut John Ingleson, gagasan upah minimum telah disuarakan oleh serikat-serikat buruh di Indonesia sejak 1920-an hingga 1930-an. Tuntutan serikat buruh bukan tanpa dasar. Saat itu, Gubernur Jenderal Van Limburg Strium mengumumkan “Janji November” pada 1918. “Janji November” adalah salah satu respons untuk mengendalikan peningkatan demonstrasi buruh menuntut kenaikan upah. Tahun berikutnya, Gubernur Jenderal membentuk komisi untuk menyelidiki kemungkinan ditetapkannya upah minimum di Pulau Jawa. Artinya, di masa Hindia Belanda berlaku upah fleksibel atau dikenal dengan upah produktivitas.
Komisi tersebut mengeluarkan dua laporan yang berbeda. Laporan pertama menyarankan perhitungan upah minimum berdasarkan perbedaan jenis kelamin, umur, dan kondisi perekonomian. Laporan kedua menyarankan dasar perhitungan upah minimum berdasarkan kebutuhan dasar keluarga. Inti dari dua laporan tersebut menyatakan agar Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan tentang upah minimum.
Upah minimum pernah dilaksanakan beberapa kota pada 1930-an, ketika orang-orang Indonesia menduduki kursi mayoritas di dewan-dewan kota. Namun, sebagai sebuah kebijakan negara, upah minimum tidak dibuat, bahkan laporan komisi penyelidikan tidak pernah diakui. Gubernur Jenderal Hindia Belanda tidak bersedia menerapkan kebijakan upah minimum karena ditolak keras oleh para pengusaha perkebunan, investor industri gula, asosiasi pengusaha serta para pejabat Eropa di Hindia Belanda.
Saat itu, ada tiga alasan penolakan kebijakan upah minimum oleh penjajah Belanda. Pertama, perekonomian saat itu dianggap tidak siap jika menerapkan upah minimum. Kedua, jika upah minimum dilegalkan para investor akan hengkang dari Hindia Belanda. Ketiga, buruh Indonesia tidak produktif dan akan bermalas-malasan, jika mendapatkan upah minimum (Ingleson, 2015: 51-52). Alasan tersebut memang mirip dengan ungkapan-ungkapan sekarang.

Para pejabat Eropa di Hindia Belanda memang menilai buruk alias memiliki stereotype rasial terhadap buruh Indonesia. Pada 1883, Gubernur Jenderal J. van den Bosch mengatakan, jika orang-orang Indonesia mendapatkan upah yang lebih tinggi, akan bekerja lebih sedikit daripada yang diperintahkan (Ingleson, 2015: 24).
Salah satu laporan resmi pemerintah pada 1920 menyebutkan,

“Bahkan dalam situasi kemiskinan yang paling dalam, peningkatan tak seimbang dalam pendapatan akan dibelanjakan bukan untuk kebutuhan makan dan tempat tinggal dan sebagainya, tetapi akan berujung pada membolos, mabuk-mabukan, perjudian, foya-foya lainnya.” (dalam Ingleson, 2015: 49. Penekanan dari penulis)  

***

Lebih dari seabad pandangan J. van den Bosch mengenai tuduhan mentalitas foya-foya buruh Indonesia dan hampir seabad penolakan terhadap pelaksanaan upah minimum, suara minus menolak kenaikan upah minimum direproduksi dibangku sekolahan, dalam laporan penelitian, serta oleh para pengusaha dan pejabat Indonesia.
Di media sosial, ketika serikat buruh demonstrasi dan menuntut kenaikan upah, komentar netizen lebih pedes. Buruh dianggap sebagai pihak yang tidak tahu terima kasih, tidak tahu diri, pembuat onar dan bodoh.

Gambar: Diskusi mengenai kenaikan upah minimum di http://kaskus.co.id/

Di bangku-bangku sekolah, prasangka buruk terhadap buruh dibahasakan dengan, etos kerja yang rendah, tidak memiliki keterampilan, pendidikan seadanya dan budaya yang konsumtif.
Teori-teori demikian, terus menerus dipelajari dan dihafal di luar kepala.  Bagaimana jika kebanyakan orang Indonesia, berangkat ke pasar pukul 3 pagi dan baru bisa istirahat sekitar jam 2 siang? Bagaimana, jika buruh-buruh Indonesia sudah bersiap kerja di pukul 3 pagi, dan 10 orang buruh di satu line produksi dalam semenit dapat menghasilkan 200 pasang sepatu? Bagaimana, jika terdapat cerita yang mengungkapkan, buruh-buruh Indonesia bekerja lebih dari 8 jam kerja sehari, jika telat masuk kerja barang semenit akan dikenai hukuman yang tidak masuk akal? Fakta-fakta tersebut harus dikembalikan pada teori awal: buruh Indonesia tidak produktif, pemalas, dan jika punya uang akan foya-foya. Begitulah selubuh ideologis antiorang miskin ditanamkan di kepala para pelajar.
Salah satu penelitian yang mendukung ketidaknaikan upah dilakukan oleh SMERU, pada 2001. Penelitian bertajuk, “Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah Perkotaan Indonesia” didanai USAID. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan ekonometrik dan wawancara dengan 200 orang di Jabodetabek dan Bandung. Kesimpulan penelitian tersebut menyebutkan, kenaikan upah minimum merugikan buruh di level operator dan semakin mempersempit lapangan kerja.

“… Hasil studi ini menunjukkan bahwa upah minimum telah menguntungkan sebagian pekerja tetapi merugikan sebagian lainnya. … Pekerja kerah putih jelas merasakan manfaat besar dari penegakan kebijakan upah minimum. Namun, mereka yang kehilangan pekerjaan sebagai akibat meningkatnya upah minimum adalah mereka yang dirugikan oleh kebijakan upah minimum.”

Penelitian tersebut memberikan gambaran statistik, setiap sepuluh persen kenaikan upah minimum akan mengurangi satu persen kesempatan kerja. Hasil penelitian tersebut berkeyakinan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan secara otomatis mendorong kenaikan upah minimum dan perluasan kesempatan kerja. Dengan kata lain, undang dan permudahlah investasi di Indonesia agar upah naik dan pekerjaan bertambah. Ideologi secara otomatis atau trickle down effect inilah yang menolak kenaikan upah upah minimum.
Alasan penolakan upah minimum dilontarkan secara berulang-ulang oleh juru bicara para pengusaha. Seperti kutipan di bawah ini:
Liputan media massa harian Tempo (Rabu, 07 November 2012) menyebutkan, para pengusaha tidak mampu menaikan upah karena modal pengusaha tergerus biaya infrastruktur, logistik, bunga bank, dan pungutan liar di daerah. “Buruh kita banyak menuntut, tapi tidak diimbangi dengan peningkatan produktivitas,” kata Sofyan Wanandi dilansir cnnindonesia.com (02/05/2015).
Ada dua tekanan alasan yang menonjol untuk menolak kenaikan upah minimum, yakni periode sebelum 2012 dan periode setelahnya. Sebelum 2012, melalui juru bicaranya, Apindo mengeluh tidak mampu menaikan upah minimum karena persoalan infrastruktur yang buruk dan pungutan liar.
Sejak 2012, ketika pemerintah berkomitmen membangun infrastruktur dalam Masterplan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yakni ketika jalan tol, pelabuhan, pergudangan diperbaiki, serta kawasan industri terus menerus dibuka dan diperluas, Apindo mengeluh kembali. Kenaikan upah minimum terlalu tinggi, tidak terprediksi dan selalu diikuti demonstrasi. Nanti, jika demonstrasi dan kenaikan upah mampu dikendalikan, produktivitas buruh akan dipersoalkan.
Produktivitas buruh adalah istilah yang diperlakukan sewenang-wenang untuk menuduh buruh pemalas. Pada 19 Januari 2012, saat blokade jalan tol Jakarta-Cikampek, jumlah keuntungan yang hilang di PT Mulia Industrindo Cikarang sebanyak Rp 7 miliar. Pada mogok nasional 3 Oktober 2012 keuntungan di perusahaan-perusahaan di Kabupaten Bekasi menguapkan sekitar Rp 3 triliun. Karena mesin pabrik beroperasi 24 jam, diperkirakan jumlah keuntungan tersebut lebih dari yang disebutkan. Fakta ini semestinya bisa dibalik: buruhlah yang menciptakan keuntungan tersebut. Karena mesin-mesin dan bahan baku tidak digerakan oleh jin dan dedemit.

***
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia minimum diartikan dengan; paling sedikit, paling kecil, sekurang-kurangnya, atau sedikit-dikitnya. Upah dalam peraturan perundangan diartikan dengan imbalan atas suatu pekerjaan yang dinyatakan dalam bentuk uang. Berarti, orang yang telah bekerja akan mendapatkan imbalan minimal atau sekurang-kurangnya sejumlah uang, yang telah ditetapkan pemerintah. Dalam hubungan kerja demikian, imbalan kerja bukan ditukar dengan ucapan terima kasih.
Dengan pengertian di atas, peraturan perundangan memberi indikasi, hak upah timbul karena adanya ikatan pekerjaan. Tuntutan agar buruh dapat bekerja dengan sehat, segar-bugar, bekerja dengan gesit, dan menghasilkan barang yang berkualitas, tidak dikonversikan dalam bentuk upah selayaknya manusia dapat bekerja. Upah minimum hanya menutupi setengah dari kebutuhan untuk memulihkan energi.
Masalah lainya, dalam perencanaan keuangan, upah buruh termasuk dalam daftar biaya produksi; sejajar dengan pembelian mesin dan bahan baku. Jelas sekali, upah buruh dialokasikan bukan dari keuntungan. Sementara, upah buruh dibayar setelah buruh bekerja. Cara pembayarannya ada yang harian, borongan mingguan atau bulanan. Di sinilah kontradiksinya. Melemahnya harga barang dagangan di pasar seringkali dipergunakan untuk menekan upah buruh. Sementara membaiknya harga barang dagangan di pasar tidak dipertimbangkan untuk kenaikan upah.
Para buruh mesti berjuang lebih keras lagi agar situasi penuh kontradiksi di atas segera berakhir. Para pengagum Soeharto, termasuk yang berharap rezim semisal Soeharto datang kembali, mesti mengetahui hal berikut ini. Konsep perlindungan buruh mulai dijungkirbalikkan ketika Soeharto berkuasa. Kita bisa melihat kebijakan pengupahan. Pada 1956, tripartit nasional dan ahli gizi merumuskan perhitungan upah minimum berdasarkan kebutuhan lajang hingga keluarga anak tiga. Jumlah komponennya sebanyak 38, yang disebut dengan Kebutuhan Fisik Minimum (KFM). Pada 1995 rezim Soeharto mengubah dasar perhitungan upah minimum menjadi sekadar lajang dengan nama Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). Jumlahnya komponennya memang naik dari 38 jadi 43. Tapi kenaikan tersebut tidak memiliki arti apapun jika buruh dianggap sebagai individu tunggal bukan sebagai entitas sosial yang memiliki tanggungan. Parahnya, kebijakan upah minimum baru diterapkan lebih dari sepuluh tahun sejak modal asing dibiarkan merajalela pada 1967.
Tulisan ini mesti diakhiri dengan kutipan Sam Ratu Langie, salah satu anggota Volksraad, , “… Ia (Pasal 161 bis) melarang buruh menggunakan menggunakan senjata mogok dengan alasan mengganggu ekonomi. … Cukup jelas bagi saya bahwa menurut undang-undang Hindia, pihak majikan yang mengganggu tatanan ekonomi dengan menutup kegiatan produksi mereka dan merumahkan para pekerja tidak pernah dapat dihukum. (Ingleson, 2015: 55)
Tulisan ini pernah terbit di Islam Bergerak, 22 Oktober 2015, dengan beberapa perubahan redaksi.
__________________
[1] Sekjen OPSI: Material RPP Pengupahan Mempunyai Masalah. http://infopublik.id/read/132758/sekjen-opsi-material-rpp-pengupahan-mempunyai-masalah-.html
[2] Setelah Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) Nomor 13 Tahun 2003 disahkan, Pemerintah berupaya mendorong kebijakan fleksibilisasi lebih luas. Misalnya, perubahan tentang pesangon dan revisi UUK 13 Tahun 2003. Upaya tersebut gagal karena ditolak oleh serikat buruh.
[3] Perusahaan-perusahaan raksasa mulai masuk Indonesia sejak 1967. Kebijakan upah minimum mulai keluar di awal 1980-an. Nilai upah minimum tersebut merujuk pada jumlah komponen yang dibuat pada 1956, yang disebut dengan Kebutuhan Fisik Minimum (KFM). Lebih mengerikan lagi, karena nilai yang ditetapkan lebih rendah dari KFM dan hanya berlaku di enam provinsi. Jadi tigabelas tahun Soeharto berkuasa tidak ada upah minimum.