Namaku Lami, bahasa Jawanya lama. Kata ibuku, aku diberi nama Lami karena lahirannya lama. Kalau kata kakekku arti nama Lami karena lama ditinggal bapaknya.
Aku enam bersaudara, dari satu ibu lain bapak. Aku anak pertama. Ketika umurku tiga bulan, bapakku meninggal. Aku umur satu tahun ibuku dinikahkan oleh kakekku dengan bujang tetangga. Sejak itu aku mulai diasuh nenekku. Untuk bertahan hidup, sejak umur tiga tahun aku sudah ikut nenekku jadi buruh petik kapas di ladang orang. Masih ingat di benakku saat terik matahari aku disuruh berteduh di bawah pohon sukun, saat lapar makan sukun bakar.
Saat aku mulai mengerti, aku mulai membantu nenekku. Aku dan adikku bermain di air kedung[1] sambil petik kangkung liar di sawah, untuk dijual buat sangu sekolah. Itu aku lakukan saat tugas mengambil air di sumur dan menuhin semua tempayan. Jika satu tempayan lewat tak terisi, nenek bisa marah marah.
Waktu sekolah aku memakai tas plastik hitam yang bergambar garuda, sepatuku dari bahan karet yang penuh jahitan depan belakang. Sebelum berangkat sekolah aku jualan kue di pasar. Uang sakuku limapuluh perak yang tu aku dapatkan dari upah bantu-bantu panggang ikan sepulang sekolah. Dan aku nabung seratus perak. Waktu itu biaya Ebtanas dan lulusan SD dua puluh lima ribu, aku nabung dari kelas empat SD sampai kelas enam SD cuma terkumpul sepuluh ribu. Belum lagi perpisahan sekolah, murid-murid diharuskan bawa bucu panggang ayam[2] untuk wali murid. Waktu itu aku menangis, malu tidak bisa membawa ayam untuk acara perpisahan dengan teman dan guru. Karena aku dikasih oleh nenek pisang kematengan yang hampir busuk untuk dibawa ke sekolah, guruku protes kenapa tidak bawa kue yang aku jual di pasar setiap pagi.
Setelah lulus sekolah dasar, hari-hariku aku habiskan jadi buruh tani. Setiap pagi buta aku membawa bontotan[3] nasi jagung lauk sambal, pergi derep[4] kacang di Gunung Tugel. Bersama kawan lainnya,aku senang makan cilom, kacang tanah yang muda, karena rasanya manis. Tidak peduli tanah merah belepotan di mukaku. Kerjanya borongan, cabut sendiri, dipreteli sendiri segambreng[5]atau sekaleng cincau. Dari mandor diupah tujuh ratus perak, paling aku cuma dapat seribu, dari matahari terbit sampai tenggelam. Apa lagi kalau buah kacangnya jarang, kadang dicabut tinggal akarnya saja, dapat upahnya sedikit.
Tidak hanya jadi buruh tani, aku juga kerja jemur ikan karena kampungku tidak jauh dari pesisir. Selang seling aku bekerja, selama ada kesempatan. Apa saja aku kerjakan. Aku juga pernah menata jalan kampungku, ngangkutin batu dari truk lalu dihancukan pake palu. Kadang aku malu jika ketemu temanku yang bersepeda pulang sekolah.
Sepulang kerja dari pasar, aku jadi kuli angkut kumbung[6]. Di kampungku ada lokasi buat batu kumbung untuk tembok bangun rumah. Satu rit (seribu kotak batu kumbung) diupah tiga ribu. Aku sanggup angkat tiga kotak kumbung batu dari bawah lokasi naik ke atas. Kalau diukur satu kotak kumbung sama dengan lima bata.
Suatu waktu itu ada makelar cari pembantu, aku ikut saja dengannya ke daerah dekat kota Tuban, untuk cari pengalaman. Nenekku nangis kelimpungan karena aku tinggal.. Sebulan bekerja aku diupah lima puluh ribu. Aku senang karena tidak pernah melihat uang lima puluh ribu. Majikanku baik tidak galak, rumahnya besar cuma kamarnya dua, buat dia, anaknya. Aku diberi tempat tidur di gudang. Kalo majikanku pergi, aku dikunci dari luar, tidak boleh kemana mana. Waktu nenekku nekad mencari aku, ia datang menemuiku. Senang sekali aku. Aku ambil kesempatan, ikut pulang sama nenek dan kembali ke kampung.
Setelah sampai kampung, aku kembali menjadi buruh tani dan kerja jemur ikan. Lalu ada tawaran dari teman untuk kerja di Jepara sebagai buruh amplas funiture. Sebagai buruh amplas funiture kerjaanya tidak menentu, sistemnya borongan dan sering rebutan barang sesama kawan. Akhirnya aku keluar dan jadi pelayan warung.
Setelah dari Jepara aku dari kembali ke kampung bekerja mengasuh bayi, ketika anaknya sudah bisa jalan, aku bekerja bantu di toko.
***
Tahun 1999 umurku 14 tahun, awal aku ikut bibi ke Jakarta. Bibi dan keluarganya tinggal di Gang Haji Gandun, Pondok Labu, Jakarta Selatan. Beberapa bulan aku tidak mendapatkan pekerjaan. Aku keliling ke perumahan Bona Indah, dari pintu ke pintu menawarkan jasa jadi pembantu, tapi tidak ada yang terima, mungkin dianggap mencurigakan.
Teman bibiku menawarkan pekerjaan sebagai pembantu di Tangerang. Aku ambil tawaran itu. Di sana aku ngurus dua rumah dua anak sambil membuat kue untuk dijual. Satu bulan aku diupah seratus ribu. Hampir satu tahun aku bekerja disini, akhirnya aku keluar karena pekerjaannya menguras tenaga, setiap malam harus jagain kue di oven jangan sampi gosong. Lalu ada tawaran kerja di Vila Delima sebagai pembantu rumah tangga juga. Tapi aku tidak nyaman dengan ayah dari si nyonya rumah. Setiap nyonya pergi keluar rumah, ayahnya sering memaksa dan menyuruhku memijat bagian pribadinya. Akhirnya aku melarikan diri suatu malam.
Awal aku berkeinginan menjadi buruh pabrik adalah ketika aku menjenguk tetangga kampung yang tinggal di Sandratex. Waktu itu aku melihat banyak buruh-buruh textil pulang sore dan berseragam warna telur asin. Aku berpikir enak sekali kerja di pabrik, bisa pulang sore. Setelah pulang bisa bebas main kemana suka, tidak seperti pembantu yang tidak bebas kemana-mana, harus dikontrol majikan. Dari situlah aku ingin sekali mencoba menjadi buruh pabrik.
Tahun 2002 aku ke Jakarta lagi, ikut bibi dari pihak bapak. Satu bulan bantu bantu bibi di rumah, aku diajak oleh kerabat dari suami bibi untuk kerja di Kawasan Berikat Nusantara Cakung, di PT. Golden Continental. Kerabat dari suami bibi bekerja sebagai personalia di pabrik itu. Jadi ijazahku tidak dikoreksi lagi. Aku langsung masuk kerja dengan status kontrak.
Aku masuk ke bagian finishing, diajari cara molybag baju oleh seseorang, mungkin dia itu pengawasnya. Awal aku masuk kerja aku memakai rok warna coklat, baju putih lengan panjang, rambut diikat dengan sapu tangan, dan sandal jepit warna biru. Semua yang bekerja memakai slayer warna biru muda. Aku melihat mesin jahit yang berbeda dengan mesin jahit yang dikayuh kaki. Aku melihat banyak orang bekerja tanpa menengok kanan kiri, semua menunduk ke mesin jahit, dan ada orang asing yang mengawasi dan menjaga mereka bekerja. Bersama dengan kawan yang lain kami bekerja dengan berdiri. Tidak ada yang berbicara. Semua diam, fokus bekerja. Begitu juga aku, hanya keringat dingin mengucur. Bila aku dengar teriakan orang marah-marah di sebelah sana, kata yang lain “Itu Onny lagi ngamuk, karena tidak dapat target.”
Aku tetap membisu dan berkeringat dingin sekaligus haus. Mataku sedikit melirik dengan takut ketika aku melihat di hadapanku ada Onny yang berdiri mengawasi aku bekerja. Mungkin dia tahu aku anak baru. Setelah Onny pergi, aku ditawari minum oleh teman semeja di bagianku.
Jam 12 teng, semua berlari mengantri. Aku terbengong. Baru aku diajak yang lain untuk istirahat dan tahu cara beristirahat; semua mengantri, lalu dicek body sama security dan cari makan sendiri sendiri yaitu beli nasi sama pedagang dari balik jeruji pagar pabrik. Sebelum jam 1 siang harus sudah masuk ke pabrik, lalu dicek lagi supaya tidak ada yang bawa makanan ke dalam.
Hari pertama kerja aku dapat tawaran lembur. Jam 4 sore aku disuruh tanda tangan lembur sampai jam 9 malam. Jam 6 sore mengantri lagi untuk istirahat. Di depan pintu pabrik ada boks berisi nasi bungkusan dan semua berebut. Kadang ada yang tidak kebagian. Beruntung waktu itu aku dapat sebungkus, lalu aku buka isi bungkusan itu. Ada sayur kol dua lembar dan kepala bandeng yang dipotong dekat insangnya.
Jam 9 semua karyawan berseru untuk pulang, sebelum bel berbunyi ada yang menyempatkan memakai kaos kaki, jaket, minyak wangi. Akhirnya bel berbunyi. Semua berlarian tak beraturan, bagai kelereng tumpah dari dosnya, berebut untuk cepat pulang. Mobil jemputan menunggu depan pagar. Aku duduk di mobil jurusan Malaka, bersandar di jok paling belakang, mencoba membuang lelah di hari pertamaku kerja.
Pagi hari jam bekerku berteriak menegurku bangun. Kerja lagi, kerja lagi..! Aku sudah hampir tiga bulan bekerja di pabrik. Pagi itu di depan pagar pabrik aku dibagi selebaran, dan aku baca isinya ajakan bahwa hari ini akan ada demo dengan tuntutan pekerjakan kawan Sembiring yang dimutasi semena mena.
Yang terpikir olehku apa itu demo..? Aku melihat semua karyawan resah sambil memegang selebaran. Akhirnya semua karyawan masuk pabrik, aku bekerja seperti biasa. Aku tidak tahu kalau di sampingku itu yang bernama Sembiring, karena tadinya dia security lalu dipindah ke bagianku finishing. Aku melihat muka Sembiring yang merah padam. Jam 8 pagi aku dengar teriakan dari line, dan Sembiring yang berbadan besar itu menggebrak meja dan berteriak “Keluaaar…!!! tepat di hadapanku. Sontak aku menggigil ketakutan dan hampir terkencing-kencing, lalu mengumpet di kolong meja. Kata temanku “Ayo cepat keluar, kalau tidak keluar kamu akan ditelanjangi.” Langsung aku terbirit birit ikut temanku keluar halaman pabrik berkumpul dengan yang lain.
Pengalaman pertamaku ikut berdemonstrasi di depan pabrik, aku melihat Mister Korea dan Onny bertolak pinggang di depan pintu pabrik melihat kami berdemo, dan menunjuk-nunjuk jari ke arah kami yang lagi berseru demo. Aku hanya mengikuti dan menyimak apa yang dibicarakan dalam orasi, yang lain tepuk tangan aku ikut tepuk tangan, dan aku ikut berteriak “Hidup buruh..!
Itulah pertama kali aku ucapkan ‘hidup buruh’ dan aku ingin mencari tau, kenapa kita buruh? Kenapa harus “hidup buruh”? Ada semangat menggelora untuk mencari jawaban. Demo berakhir, yang lain ada yang masuk kerja, aku dan kawan-kawan lain ikut bertahan di luar pabrik. Aku sempat tidak enak dengan personalia yang kerabat dari suami bibiku, mungkin aku dianggap tidak tahu diri, sudah dikasih kerjaan banyak tingkah ikut-ikutan demo. Prasangka itu aku tepis karena banyak kenyataan yang dilanggar di pabrik yang aku ketahui setelah ikut aktif di serikat.
Aku terlibat di pendidikan dan demo di luar kawasan industri, seperti aksi di istana atau di bundaran Hotel Indonesia (HI). Walaupun keterlibatanku sempat dicurigai oleh kawan-kawan yang lain. Aku disangka mata-mata pabrik karena aku masuk kerja di pabrik dibawa oleh personalia. Tapi aku tunjukkan ke mereka bahwa aku ingin belajar dan mencari tahu tentang hal-hal yang belum pernah aku ketahui selama ini.
Hampir satu tahun lebih aku menjadi buruh kontrak. Sewaktu pembagian tunjangan hari raya (THR) pertama kali aku hanya menerima sepuluh ribu rupiah. Ketika aku pulang, ponakan dan bibi minta dibeliin sesuatu karena dianggap dapat THR gede, setelah aku cerita mereka semua tertawa.
Ketika personalianya ganti, aku dianggap habis kontrak padahal aku tidak pernah pegang surat perjanjian kontrak, dan aku diberikan upah dan sisa gaji. Mulai hari itu sudah bukan buruh PT Golden.
***
Setelah aku di-PHK dari PT Golden, aku mencoba melamar kerja di pabrik garmen dengan mengandalkan ijasah SD, sambil kursus menjahit. Sengsaranya melamar kerja di pabrik garmen. Aku selalu siapkan air putih sebelum berangkat melamar kerja karena tidak cukup uang untuk jajan. Panas terik keliling pabrik, berdesak-desakan di gerbang pabrik, sampai kejepit di pintu pabrik, terus di cek satu persatu surat lamaran sama security. Waktu itu surat lamaranku tidak diterima karena ijasahku SD. Aku cuma cuma bisa nggrundel[7] dalam hati. “Kan yang kerja tenaga bukan ijasah”, pikirku.
Pernah aku diterima kerja tanpa syarat membawa lamaran tapi sebagai karyawan borongan yaitu di PT Bestri. Seingatku, aku bekerja merajut mantel yang mana satu pieces dihargai 1500 perak. Tapi aku cuma bertahan seminggu di PT. Bestri, dan dapat gaji 50.000 ribu seminggu.
Bulek[8]ku punya tetangga yang bekerja di garmen PT Myungsung Indonesia sebagai security. Bulekku minta tolong untuk bantu memasukanku di tempat kerjanya, apa saja bagiannya yang penting kerja kata bulekku.
Pada tanggal 21 bulan juni 2004 aku datang melamar ke PT Myungsung terus ditemui oleh security yang juga tetangga bulekku. Waktu itu aku dibagi untuk kerja shift malam. Aku terima saja daripada kelamaan menganggur dan tidak enak numpang di bulik.
Saat aku masuk kerja di pabrik, aku melihat segunung tumpukan baju dan celana di tengah-tengah area bagian. Waktu itu aku bekerja di bagian finishing. Aku berdiri bersama kawan-kawan buruh yang lain di deretan meja panjang yang sudah dipenuhi baju untuk diselotip bersama. Kami saling menatap mata tanpa tegur sapa. Di pojok ruangan, laki-laki paruh baya, kepalanya botak, memukul-mukul obeng di tiang, dengan matanya jelalatan kemana-mana mengawasi kita kerja. Ternyata dia itu pengawas.
Selang tiga hari aku kerja, aku tanda tangan perjanjian kerja kontrak. Waktu itu statusnya kontrak dengan waktu tak tertentu. Pada hari Senin semua buruh upacara di pabrik menyanyikan lagu Indonesia Raya. Kalau ada yang terlambat akan disuruh nyanyi di halaman pabrik, tapi aku melihat mereka senang-senang saja.
Tak lama kemudian aku ditukar bekerja dari shift malam ke pagi. Aku seneng banget. Setelah dijalani ternyata kerjaanya gila gilaan, sering lembur malam sampai jam 12 malam, bahkan sampai longshift dari pagi ketemu pagi. Keadaan seperti ini bisa tiga kali dalam seminggu. Kalau lembur jam 9 malam kita anggap pulang sore. Aku dan kawan-kawan senang banget kalo tidak jadi longshift.
Suatu waktu, ketika sedang kerja, ADM[9] memberitahu kalo kita cuma kerja sampai jam 9 malam terus boleh pulang. Langsung kita loncat- loncat bersama bergembira. Tiba–tiba Mr Park turun dari tangga dan teriak “Aima aigo sakia a’ cepat cepat a’ expor sudah jam berapa… cepat sakiaa.’’
Akhirnya semua bubar dan pura-pura kerja cepat menutupi kegembiraan. Begitu juga aku. Tapi aku bertanya dalam hati dan pikiranku, “Siapa Sakia dan kenapa kita di panggil sakia..?” Aku jadi ingat judul lagu Sakia, tapi aku mencoba mencari jawaban.
Waktu itu Mister Park turun dan keluar dari mobilnya. Sambil menoleh ke arah pintu mobil, dengan mesra dia memanggil “Sakia…a’ ayo…” dicampur Bahasa Korea. Dalam hati kubilang “Lembut banget panggil Sakia.” Aku penasaran, kemudian hampir tercengang setelah tahu yang keluar dari dalam mobil ternyata anjing imut kesayangannya. Dari situ ada perasaan yang menyakitkan, harga diri yang tidak dianggap dan diinjak-injak. Apalagi kalo melihat tingkah laku menajer personalia terhadap buruh perempuan, tangannya jahil menggoda merayu. Saat longshift semua buruh terengah-engah menyusun karton dan melipat jaket-jaket besar supaya cepat selesai ekspor dan cepat pulang. Mereka justru asyik di ruang atas melampiaskan hasratnya bersama bos, dan buruh pilihan. Mereka tidak puas di ruang atas, lalu mereka beramai-ramai pergi ke cafe entah hotel untuk bersenang-senang.
Sedangkan kami dengan yang lain gedebag-gedebug kerja. Suami dan pacar menunggu di pagar pabrik sambil tertidur di atas motor. Ada juga yang tertidur di bangku kantin menunggu istri atau kekasih. Hampir pagi, menjelang suara azan subuh, tubuh kami lemas, rambut awut-awutan, mata cekung wajah pucat, tergeletak di kolong meja mesin, tidur di lantai beralaskan karton. Lalu terdengar pintu kontainer tertutup, barang ekspor siap berangkat.
Aku masih berhubungan dengan serikat tempat aku bekerja di PT Golden Continental. Aku mencoba melibatkan kawan-kawan di PT Myungsung ke dalam serikat. Waktu itu di Myungsung ada Serikat Pekerja Tingkat Pabrik (SPTP) yang didirikan kawan Yono, dan aku ikut terlibat dalam pertemuan-pertemuan dengan mereka. Aku juga mencoba melibatkan beberapa pengurus SPTP untuk ikut pendidikan di serikat-ku. Dan juga melibatkan mereka dalam demo-demo buruh. Di situlah aku belajar bersama mereka dan mengerti arti kata buruh.
Di tengah perjalanan aku berharap mereka bergabung dengan aku. Tapi kenyataanya mereka memilih bendera serikat masing-masing. Pada saat itu aku kecewa, tapi aku berusaha legowo karena itu pilihan mereka. Mereka mencoba mengajak aku bergabung dengan mereka, dan bilang, “Apapun pilihan kalian yang penting konsisten membela buruh dan aku akan tetap dukung.”
Aku ingin belajar dan berkembang. Di serikat buruh ada divisi seni budaya. Di divisi situlah aku bergabung. Waktu itu aku disuruh belajar buat puisi. Puisi pertamaku berjudul “upacara di pabrik” dan “Sakia”.
Selama aku jadi buruh garmen, aku merasa begitu banyak waktu, tenaga, dan pikiran yang disita, dicuri, dan dirampas oleh pabrik dan mereka yang punya modal. Kesadaran tentang ini tidak muncul begitu saja, dan tidak mudah aku dapatkan. Aku harus meluangkan waktuku yang sempit sepulang kerja untuk ikut diskusi, atau merelakan hari liburku untuk berorganisasi.
Mereka buruh-buruh garmen perempuan, yang menggantungkan penghidupannya dengan bekerja di pabrik, di setiap menit dan detiknya dipaksa mencapai target, dijejali makian dan omelan oleh pengawasnya, dianggap punya hutang jika tidak menuhi target, sampai rela tidak istirahat makan siang demi untuk bayar hutang target.
Waktu itu di bagian mesin kancing aku mendengar teriakan tiba-tiba. Baru kemudian aku tahu, ternyata telunjuk jari seorang buruh sudah menempel lengket di mesin kancing. Itu akibat mesin tak layak dipakai. Kehilangan anggota tubuh tanpa kompensasi, hanya diberi cuti dua hari tanpa ada ganti rugi. Dan di pojok toilet sana ibu-ibu menangis karena dianggap tidak produktif dan tidak sanggup kejar taget. Mereka dimutasi seenaknya dari bagian jahit ke bagian tukang sapu atau membersihkan toilet. Mereka dibuat tidak betah supaya mengundurkan diri, karena pabrik tidak mau bayar pensiun. Kerja kontrak dan PHK semena-mena, skors lembur yang tidak di bayar. Dan masih banyak lagi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan para pengusaha pabrik garmen.
Melihat kebutuhan hidup di Jakarta yang semuanya serba mahal dan serba uang, dengan upah yang tidak sesuai kebutuhan hidup, banyak kawan-kawan buruh yang terjerat hutang rentenir demi kebutuhan hidup. Hari gajian bukanlah hari yang menyenangkan tapi menjadi hari yang bingung membagi uang untuk membayar hutang. Jika tanggal gajiannya sore, semua rentenir berderet di pagar pabrik, mencegat, menyetop bahkan ada yang bawa preman untuk mengancam atau menakut-nakuti buruh yang punya sangkutan dengan mereka.
Aku bersama mereka di satu atap pabrik. Kepedihan dan kesukaran mereka sama dengan yang aku rasakan.
***
Masih menjadi buruh kontrak dan setiap hari dihantui PHK, aku memutuskan untuk menikah agar bisa berbagi dengan suamiku. Aku bekerja di pabrik dan suamiku kenek[10] mobil tangki minyak tanah. Penghasilanya sehari empat puluh ribu, belum ditambah ongkos angkutan dan makan. Empat puluh ribu adalah penghasilan kotornya. Hampir tiap hari suamiku niris minyak tanah dari tangki di bawa pulang buat isi kompor untuk masak.
Setahun berjalan menikah aku hamil. Aku tak lagi sanggup bantu emak di kampung, karena biaya yang aku keluarkan tambah banyak. Buat bayar sewa kamar dan makan sehari-hari sudah pas-pasan, juga kalo ada sisa itu habis buat ongkos lebaran pulang kampung.
Selama aku hamil, ketika minyak tanah diganti menjadi tabung gas[11], suamiku menganggur, dan itu artinya kami harus bisa mengatur uang gaji untuk bertahan hidup, setidaknya sampai aku melahirkan.
Ketika anakku berumur satu tahun, kami pindah ke kontrakan yang lebih kecil. Dulu kontrakan kami dua kamar karena waktu itu ada adikku. Setelah adikku pulang kampung, kami pindah ke kontrakan satu kamar. Harganya lebih murah sedikit yang jaraknya tidak jauh dari lokasi pabrik, bisa ditempuh dengan jalan kaki untuk menghemat ongkos transport.
Di situlah kami berbagi peran. Sementara aku bekerja di pabrik, suamiku di rumah mengurus anak dan rumah tangga. Aku merasa beruntung suamiku bisa mengerti kika dibandingkan dengan kawan-kawan buruh yang lain, yang harus menerima beban ganda karena dianggap kewajiban perempuan. Kami berbagi dalam hal apapun.
Kadang aku marah dan nangis saat pulang kerja karena tidak dapat lemburan. Kebutuhan kurang, suami pengangguran, upah cuma cukup bayar sewa, beli susu anak, dan makan seadanya. Aku takut terjerat utang rentenir. Kalo kebutuhan mendesak aku suka pinjam uang kepada teman dekat dan aku bisa gantian pinjam kalo temanku juga lagi butuh, nanti bayarnya kalau dapat gaji.
Dua minggu sekali aku dapat upah kurang lebih 800 ribu, bayar sewa rumah 350 ribu, susu anakku dua minggu 150 ribu, sabun dan kebutuhan lainnya, dan beli beras hanya dapat dua liter untuk dua minggu. Dua liter beras tidak cukup untuk kami selama dua minggu. Suamiku aku jatah 5000 perhari. Agar dapat bertahan selama dua minggu aku harus utang sama teman. Kadang kalo pulang kerja aku mampir ke kontrakan temanku, utang ikan hasil pancingan dari suaminya, nanti bayarnya hari gajian.
***
Waktu berlalu, hari demi hari, dari minggu, bulan ke tahun, kami buruh bertahan dalam peraturan yang semena-mena, dalam geram tak berdaya, dalam pemikiran masing-masing untuk bertahan hidup sedangkan pabrik beranak pinak. Nasib kami tak kunjung berubah.
Aku meyakini suatu hari nanti di tempat kerja kami akan ada yang muak dan berontak. Aku sendiri yang tadinya hanya diam dan geram kini mulai bangkit melawan. Dalam perjalanannya aku masuk dalam struktur serikat. Aku paling disorot perusahaan karena aku dianggap perempuan berani yang sok bersuara.
Kadang perusahaan tiba-tiba buat peraturan yang merugikan buruh tanpa ada perundingan dengan serikat. Aku dan kawan-kawan yang lain sebelum mengajukan berunding dengan perusahaan, keliling line produksi dan menyampaikan bahwa kita akan berunding masalah cuti lebaran yang tidak boleh di ambil semua, dan masalah hak-hak yang akan dihilangkan seperti uang transport, jam lembur, dan upah yang sering di undur.
Aku keliling untuk minta dukungan. Apabila perundingan yang ketiga kalinya gagal dan pengusaha berkeras hati, maka aku serukan ke mereka untuk mogok spontan dalam pabrik. Pada jam istirahat aku dan kawan-kawan pengurus serikat mengumpulkan semua anggota untuk menyampaikan hasil perundingan. Karena hasilnya menjengkelkan, kawan-kawan semua berteriak untuk demo berlanjut. Pada waktu itu aku mengusulkan besok paginya kita red day semua, buruh kompak memakai kostum merah sebagai ancaman ke perusahaan apabila tuntutan tidak dipenuhi. Lalu paginya kita masuk ke pabrik, bekerja seperti biasa.
Untuk menguji kekompakan kawan-kawan, ternyata semua buruh memakai baju merah, kecuali begundal-begundal pengusaha yang memakai kemeja berkerah. Lalu kami para pengurus naik ke ruang manajemen untuk berunding. Karena masih alot dan pengusaha menunjukkan sikap menantang, intruksi kami sampaikan lewat sms untuk mematikan mesin dan lampu. Instruksi itu cepat direspon melalui penanggung jawab di setiap bagian. Di situlah, ibarat waktunya bisul meletus darah, bercecer nanah yang selama ini kami pendam.
Semua buruh berteriak bersama-sama mematikan mesin, memukul-mukul mesin. Pihak manajemen mondar-mandir keranjingan. Akhirnya sore itu beberapa tuntutan disepakati perusahaan. Seberapapun berhasilnya, kecil atau besar merupakan adalah capaian untuk kita belajar berani, untuk berani merebut hak yang dirampas. Itu pengalaman pertamaku bersama kawan-kawan waktu mogok spontan. Dan selama berdirinya pabrik, red day selalu dijadikan tradisi sebagai ancaman bagi pengusaha.
Akhir Tahun 2011 sekiranya tanggal 24 Desember, kami melakukan mogok di luar pabrik dengan tuntutan bayarkan upah lembur dan upah perbulan sesuai peraturan yang ditangguhkan perusahaan. Aku dan kawan-kawan memimpin aksi, berorasi menyampaikan unek-unek terhadap peraturan perusahaan. Selama empat hari kami aksi sampai menginap di pabrik, namun hanya beberapa yang disepakati oleh perusahaan. Pada saat itu ada kekecewaan dengan pimpinan serikat yang berujung pada aku dan dua orang pengurus lain mengundurkan diri dari serikat, dan berniat untuk bangun organisasi yang lebih baik yang berpihak kepada buruh.
Awal tahun 2012 aku dan dua orang kawan merencanakan bangun serikat baru dengan bendera yang berbeda. Aku mulai menyisir dari bagian gudang dan finishing mengajak kawan-kawan begabung. Di awal baru terkumpul 25 anggota yang sudah mengisi formulir dan mengundurkan diri dari serikat yang lama. Dan pada waktu itu tanggal gajian diundur lima hari, kawan semua pada ngeluh, bayar susu, bayar sewa, bayar utang piutang. Pada suatu hari, sebelum jam istrahat aku, dengan beberapa kawan merencanakan untuk mogok spontan sehabis istrahat. Sebelum gaji ditransfer kami sepakat tidak mau bekerja.
Perusahaan tidak juga membayar upah dengan alasan belum dapat kiriman uang dari Korea. Ada salah satu pengawas yang memaksa ngajak anak buahnya untuk masuk bekerja, kita tunggu sampai mereka keluar. Aku dan kawan-kawan yang lain menaiki pagar halaman untuk mencegah mereka pulang dan ikut bergabung. Pagi harinya gaji sudah di transfer.
Rencanaku membentuk organisasi baru mulai diendus manajemen. Aku mulai didekati personalia diajak bicara dan ditawarkan segala posisi yang aku inginkan. Aku tolak mentah-mentah dan tidak akan pernah aku lakukan. Buatku posisi istimewa apapun itu tidak akan membuatku bahagia di atas penderitaan kaum buruh senasibku.
Pada saat pemerintah menaikan BBM aku dan kawan-kawan ikut aksi di kawasan industri menolak kenaikan harga BBM. Besok paginya aku dan kawan-kawan dibantai pengusaha dengan teriakan dan makian. Akupun ikut berteriak membantah, kata personalia BBM naik bukan urusan buruh. Aku marah, karena semua mahal dan buruh juga ikut menanggungnya dengan upah murah. Kawan-kawan yang menjahit di line juga ikut bersorak dan berteriak ke personalia. Aku dan kawan-kawan digiring ke ruangan mister karena takut menganggu yang sedang bekerja.
Semenjak itu aku jadi incaran pengusaha karena dianggap provokator. Aku dimutasi, selalu diawasi dan tidak dikasih lembur. Aku melawan dengan cara mencoret toilet perusahaan pakai krayon hitam milik anaku dengan tulisan “pengawas penjilat pengusaha.”
Pada tanggal 12 Juni 2012, aku dan kawanku baru akan melakukan sholat dhuhur di ruangan detector, karena jam istrahat dikurangi setengah jam dan ruangan mushola sempit dan penuh. Saat itulah ada berdebatan sengit antara aku dan pimpinan direktur perusahaan karena kami dilarang sholat di ruangan ditektor. Aku dipaksa minta maaf oleh mister tapi aku menolak dengan keras. Buntutnya, gaji aku tidak dibayar. Lalu aku protes ke personalia jam dan bertanya mengapa gaji saya tidak ditransfer. Si personalia bilang alasannya lupa, lalu tak berapa lama aku dikasih gaji tunai dan dipaksa tanda tangan PHK, saya menolak. Esok paginya aku masuk kerja tapi ditahan oleh security. Petugas security mengambil kartu pengenalku. Aku masuk kerja dan diawasi terus.
Pada tanggal 24 Juni 2012 aku disodorkan surat putusan dinon-aktifkan dari pekerjaan. Aku melakukan perundingan sebanyak tiga kali tidak ada titik temu, tidak ada itikat baik perusahaan untuk memberikan hak bahkan THR-ku yang tidak dibayarkan. Sampai kasusku dingkat ke media massa, tidak pernah ada respon dari pemilik pabrik atau pemilik merek. Bahkan aku minta dukungan ke semua serikat dan demo bersama tapi belum ada penyelesaian sampai sekarang.
Untuk bertahan hidup, aku tinggal bersama organsasi dan kawan-kawan sambil jualan soto. Tetapi suamiku menyuruh aku menjaga anakku di kampung.
Pengalaman hidup belajar berorganisasi tak akan kulupa sampai mati.
Catatan
Tulisan ini sebelumnya dimuat di Buku ‘Buruh Menuliskan Perlawanannya’. Dimuat ulang agar dapat dibaca lebih banyak orang.
[1]Kedung adalah telaga kecil, yang sebenarnya merupakan sungai yang melebar dan membentuk semacam genangan. Biasanya dangkal jadi anak-anak sering mandi dan bermain air di situ.
[4]Derep berasal dari bahasa Jawa, artinya memanen biasanya digunakan hanya untuk memanen padi atau tanaman palawija tertentu seperti kacang tanah
[5] Ukuran yang dipakai khusus untuk kacang tanah, biasanya dengan ikatan beberapa batang tanaman kacang.
[6] Batu kumbung dikenal dengan batu bata putih. Batu ini ditambang seperti marmer, bukan dibuat seperti batu bata. Penambangnya biasanya memotong bongkahan batu besar menjadi kotak-kotak seukuran batu bata atau batu batako.
Selamat pagi kawan-kawan BWI yang saya cintai! Salam perjuangan! Perkenalkan, nama saya Sabri Bin Umar, buruh migran Indonesia dari Bone Sulawesi Selatan. Umur saya 30 tahun. Saya menempuh perjalanan 6.500 kilometer untuk hadir di sini[2], bertemu dengan anda semua. Melelahkan, tapi saya bahagia dan bersyukur. Saya masuk ke Tawau, Sabah, Malaysia ketika lulus sekolah dasar. […]
Pagi itu, Sabtu, 29 Juni 2024, betapa terkejutnya aku saat membaca pesan yang dikirimkan Bung Kiki melalui aplikasi Messenger yang terinstal di smartphone-ku. Bung Kiki mengabarkan, kamu (Triono) mengalami kecelakaan hingga meninggal dunia pada pukul 02.30 dini hari. Pesan itu dikirim satu jam lalu, setelah Bung Kiki berkali-kali gagal menghubungiku lewat panggilan telpon di Messenger-Facebook. Aku […]
Dirampas Perusahaan, Diabaikan Lembaga Negara Perlawanan berlangsung. Saya pun keluar dari penjara. Di tengah perjuangan itu, satu per satu kawan kami wafat. Ketika tulisan ini dibuat jumlah kawan yang meninggal mencapai empatpuluh tiga orang. Kawan kami gagal tertolong. Semuanya tidak dapat mengakses layanan kesehatan karena BPJS Kesehatan diblokir. Kami pun tidak memanfaatkan layanan kesehatan mandiri […]