MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Jurnalis juga Buruh: Selamat Berkongres Ke-3 FSP Media Independen


Sabtu yang hujan sejak pagi, saya ingin menuliskan beberapa catatan. Catatan ini berkaitan dengan kongres yang ke-3 FSP (Federasi Serikat Pekerja) Media Independen yang digelar di Jakarta hari ini, (29/10/2016).

Memulai tulisan ini, saya mengenang May Day pertama yang saya ikuti, sebuah May Day di Lapangan Monas tahun 2001. Bayangkan, seperti apa May Day kala itu sebab Dita Indah Sari, Staff Menteri Ketenagakerjaan hari ini adalah salah satu orator yang tegas menyatakan, Tolak Upah Murah! Sekarang, dia adalah bagian dari rezim upah murah. Kala itu, saya naik kereta dari Karawang dan sampai di lokasi kepagian. Bersama beberapa kawan dari Pindo Deli yang sedang mengadvokasi dirinya sendiri pasca pemogokan yang dipukul mundur, kami menunggu di sebuah pojokan. Berteduh di bawah pepohonan yang lumayan rindang.

Dari arah berlawanan, sekelompok massa aksi yang jauh dari kesan buruh pabrik merapat. Sebuah spanduk dibentangkan dengan kalimat mencolok, pilihan hurufnya bold : JURNALIS JUGA BURUH. Cukup lama bagi saya untuk mengetahui kedalaman makna tulisan itu. Tulisan itu kemudian saya pahami sebagai sebuah pilihan dan juga sikap. Di kala itu, jurnalis, wartawan dan pekerjaan sejenisnya rupanya enggan menyebut dirinya sebagai buruh. Mereka –para jurnalis itu— enggan dilabeli sebagai buruh. Mereka mengatakan bahwa wartawan, atau yang waktu itu didominasi “organisasi tunggal” bernama PWI menyebutkan bahwa PWI adalah wadah organisasi profesi. Profesional. Terpelajar dan label sejenisnya. Sementara buruh atau pekerja diasosiasikan sebagai mereka yang bekerja secara kasar, penuh tenaga, seragamnya kotor atau bahkan telanjang dada tanpa seragam, di pelabuhan, pabrik dan lain-lain. Beda kelas pokoknya!

Pilihan yang menyatakan bahwa Jurnalis Juga Buruh merupakan pilihan ideologis. Sebab, ini sebuah langkah kembalinya kepada khithah perjuangan yang menyadari dirinya sebagai sebuah kelas, kelas buruh yang definisinya sudah dihilangkan dalam kamus keseharian kaum buruh oleh rezim Orde Baru. Buruh adalah mereka yang bekerja, mengeluarkan tenaga, mendapatkan upah atas hasil kerjanya dan (kata kunci paling penting) tidak memiliki modal alias kapital. Kesadaran itu, kemudian dimaknai oleh kawan-kawan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam manifestasi nyata menyebut dirinya sebagai buruh. Wartawan atau jurnalis adalah buruh. Menulis, meliput, memotret, membuat berita dan sebagainya adalah rangkaian kerja, mengeluarkan tenaga, mendapatkan upah sebagai imbalan dan mereka tak punya modal alias kapital! Titik. Selesai. Demikian lugas pilihan politik itu.

Kongres ke-3 Federasi Serikat pekerja Media Independen

Pilihan kalimat Jurnalis Juga Buruh, seharusnya masih menjadi bagian penting dari proses pembangunan ideologisasi di tubuh FSP Media Independen. AJI merupakan orangtua kandung yang melahirkan FSP Media Independen. Sehingga sampai saat ini, beberapa kawan masih “kebingungan” membedakan apa itu AJI dan apa itu FSP Media Independen. Tapi bagi saya, mereka sama : wartawan yang berpikir lebih maju dan keluar dari belenggu rantai labelisasi model Orde Baru.

Ideologisasi, rupanya menjadi pilihan penting untuk menegaskan posisi organisasi ini sebab sampai saat ini, atau sudah 8 tahun sejak FSP Media Independen didirikan atas prakarsa AJI, kendalanya masih sama. Keengganan wartawan bergabung dengan serikat sebab menganggap dirinya berbeda, mereka tidak pantas masuk serikat tapi lebih enjoy gabung dalam “organisasi profesi” selayaknya dokter, perawat, dan lain-lain. Kalau ada yang berpikiran maju untuk membentuk serikat pekerja media, harus berhadapan dengan raksasa korporasi yang super gila. Dipecat, dikriminalisasi, diberangus seperti kasus jurnalis Metro TV, Luviana.

Ini, merupakan tantangan terbesar di samping hambatan lain berkaitan dengan status hubungan kerja. Ada yang permanen tapi jumlahnya makin minoritas. Pekerja kontrak dengan durasi pendek tapi berkali-kali. Ada kontributor satu koran atau televisi. Tugasnya menyambung nyawa mencari berita dengan honor Rp 200-250 ribu per berita, kalau dimuat.

Di bawah itu masih ada istilah ‘tuyul’. ‘Tuyul’, adalah sebutan bagi mereka yang tugasnya mencari berita, bahkan bisa sampai lokasi berbahaya di daerah konflik atau dalam hutan. Hasil jepretan, rekaman video, dan lain-lain kemudian dijual kepada wartawan dan nama mereka sama sekali tidak muncul dalam berita. Bayarannya seikhlasnya dan kalau mati, itulah risiko. Saya berharap, isu-isu penting itu masih menjadi bahasan utama selain isu seksi lain seperti pembangunan organisasi politik dan sebagainya. Semoga. Sebab Kongres ke-3 adalah tonggak penting bagi sebuah organisasi.

Kongres ke-3, adalah sebuah tapak, sebuah tahap, sebuah pilihan untuk menentukan langkah ke-4 berikutnya. Jurnalis Juga Buruh, semoga masih menjadi pilihan sikap. Rasanya tak berlebihan seandainya saya menyebutkan FSP Media adalah sekutu yang harus terus diajak, diyakinkan dan terus ditemani agar semakin tajam pisau bedahnya. Kelak, kita membayangkan mereka akan menuliskan berita seperti yang mereka lihat di lapangan aksi, bukan menuruti kemauan para dewan redaksi. Dahsyat bukan?

Akhir kata, saya ingin mengulang sekali ucapan selamat berkongres. Menemukan prioritas pengorganisasian, fokus pada pembangunan organisasi dan kemudian tak lagi ragu berada dalam tengah pusaran gerakan rakyat yang terus berproses maju ini. Selamat berkongres, Kawan!

Karawang, 29 Oktober 2016