MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Utamakan Sopan Santun, Lupakan Penghisapan

Spanduk untuk berlibur saat May Day dan undangan pelatihan membuat kue dari Kemnaker kepada serikat buruh

Beberapa hari belakangan, di media sosial beredar surat edaran tentang May Day 2017. Kepala surat bergambar Garuda, stempel Kementerian Ketenagakerjaan dan tanda tangan Hanif Dhakiri itu ditujukan kepada Gubernur se-Indonesia.
Melalui surat tersebut, Hanif Dhakiri berpesan bahwa kegiatan peringatan Hari Buruh Sedunia dilaksanakan dengan kegiatan positif berupa aksi sosial dan dialog, bukan aksi unjuk rasa. Kegiatan tersebut dilakukan oleh Lembaga Kerjasama Tripartit Daerah. Di surat tersebut juga dikatakan bahwa perlunya dialog dengan serikat buruh. Tema dialognya seputar ‘wawasan kebangsaan’, ‘nasionalisme’, ‘cinta tanah air’ serta ‘mengurai isu substantif yang diusung pada May Day’.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, ‘aksi sosial dan dialog’ wujudnya adalah panggung hiburan, penanaman pohon, doa bersama, upacara bendera dan sebagainya. Biasanya kegiatan tersebut diakhiri dengan bagi-bagi hadiah. Dalam kegiatan tersebut, para pejabat pemerintah, pengusaha dan petinggi serikat buruh bergandengan tangan. Seakan hendak mengatakan: sehari saja, lupakan penindasan dan penghisapan!
Tidak sedikit buruh yang tertarik dengan kegiatan karitatif demikian. Apalagi jika kegiatan tersebut diserukan oleh para elit serikat buruh.
Sebenarnya, istilah unjuk rasa ditanamkan semasa Soeharto. Tujuannya untuk memberikan kesan bahwa protes, demonstrasi, atau pemogokan sekadar persoalan ‘rasa puas’ dan ‘tidak puas’. Tidak ada sangkut pautnya dengan kebijakan perburuhan dan investasi (Razif, 1994). Kini istilah yang sudah dihaluskan itu pun sedang dicurigai tidak mendukung suasana kondusif dan dianggap bukan kegiatan positif.

Tidak ada yang salah dengan seruan aksi sosial dan dialog. Jika dan hanya jika, pilihan-pilihan bentuk aksi massa merupakan keputusan bersama anggota. Karena itu, tidak perlu mengajari serikat buruh bagaimana melaksanakan kegiatan sosial dan dialog. Tidak ada pula kebutuhan menggurui serikat buruh tentang makna nasionalisme.
Dalam lima tahun terakhir serikat-serikat buruh secara telaten melaksanakan kegiatan-kegiatan sosial, tugas yang semestinya dilaksanakan oleh negara. Ketika banjir melanda beberapa wilayah Indonesia dengan sigap anggota-anggota serikat buruh menggalang doa dan dana bagi korban bencana alam. Tidak hanya itu, beberapa serikat buruh pun berupaya membuka kelas-kelas belajar membaca, menulis dan berhitung bagi anak-anak buruh. Dalam kegiatan pendidikan pun, para pengurus serikat buruh tidak bosan-bosannya menjelaskan tentang peraturan perburuhan atau tentang hak dan kewajiban buruh. Sekali lagi, tugas-tugas demikian semestinya dilaksanakan oleh negara.

Tidak semestinya pula seruan dan nasehat ‘mengedepankan dialog’ hanya ditujukan kepada serikat buruh. Sudah bukan rahasia lagi jika para pemilik perusahaan akan bersedia berdialog jika serikat buruh mengancam mogok. Begitu pula dengan dinas tenaga kerja. Jika tidak ada pelaporan dan paksaan dari serikat buruh, jarang bersedia turun tangan.
Masalah perburuhan dalam lima tahun terakhir tidak jauh dari persoalan normatif, seperti jam kerja yang dimanipulasi, upah lembur tidak sesuai aturan, perjanjian kerja kontrak yang tidak sesuai aturan, dan tidak sedikit buruh yang bekerja di perusahaan besar menerima upah di bawah upah minimum. Di Tangerang Banten, terdapat persoalan perburuhan yang sudah lima tahun tidak diselesaikan. Cerita-cerita pelanggaran hak buruh tersebar luas di berbagai kota dan kabupaten. Keadaan tersebut tidak akan mampu diselesaikan dengan kegiatan penanaman pohon, kerja bakti, penggung hiburan dan pembagian door prize.
Inilah satu perkara di antara beraneka masalah perburuhan: peranan dan kompetensi dinas ketenagakerjaan untuk melaksanakan peraturan perundangan. Dinas tenaga kerja di berbagai daerah selalu punya alasan untuk berkelit melaksanakan peraturan perburuhan. Alasan yang paling sering muncul adalah kekurangan jumlah tenaga pengawas, kemudian kekurangan dana. Sementara dana yang tersedia digelontorkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur demi kenyamanan investasi. Pembangunan infrastruktur tersebut dipastikan disertai dengan perampasan ruang hidup dan penyingkiran kaum tani dari lahannya.

Di Kabupaten Sukabumi, hanya terdapat lima orang petugas untuk mengawasi lebih dari 1200 unit perusahaan (Sukabumiupdate, 8/8/2016). Pemda Sukabumi beralasan tidak memiliki dana untuk menambah jumlah dan meningkatkan kompetensi pengawas. Sementara itu, jumlah konversi lahan pertanian menjadi pabrik dan sarana pendukungnya terus menerus dilakukan.
*
Di periode awal Kemerdekaan, peringatan 1 Mei didukung penuh oleh negara. Misalnya peringatan 1 Mei 1946. Peringatannya meriah dan heroik. Di kesempatan teresbut Kementerian Sosial Maria Ulfah mengeluarkan maklumat bahwa pada 1 Mei setiap orang khususnya buruh mesti merayakan hari buruh tanpa dipotong upah. Melalui maklumat itu pula Maria Ulfah mempersilakan serikat buruh mengibarkan benderanya di samping bendera Republik Indonesia.
Berbeda dengan kisah 1946, surat yang dikeluarkan Menaker Hanif Dhakiri menguatkan anggapan, Kemnaker antiburuh, antiprotes buruh dan memunggungi sejarah. Sejarah memperlihatkan bahwa serikat buruh merupakan elemen penting yang memerdekakan Indonesia dari Kolonialisme. Ketika Proklamasi dikumandangkan di Jakarta, melalui jejaring transportasi kereta api para aktivis buruh dengan cergas membawa berita Kemerdekaan ke seluruh pelosok tanah air dan membongkar segel-segel radio yang disensor Jepang. Jika tidak ada upaya tersebut, tidak mungkin berita Proklamasi tersebar dan diterima rakyat Indonesia. Melalui serikat buruh pula, kumandang nasionalisasi perusahaan asing, pada 1950-an, dapat dilaksanakan sehingga Indonesia memiliki badan usaha milik negara hingga sekarang. Jangan lupa, BUMN-BUMN hasil pendudukan buruh itu sedang dijual kepada pemodal asing.
Namun, selembar kertas Kemnaker di atas dipastikan segera ditindaklanjuti. Aparat keamanan negara akan berupaya membujuk serikat buruh agar tidak memperingati 1 Mei dengan membuka persoalan perburuhan melalui metode protes terbuka yang melibatkan massa buruh. Spanduk-spanduk nasehat dengan logo kepolisian dan terkadang disertai logo perusahaan akan mewarnai kawasan industri.

Berita tersebut terkonfirmasi. Salah satu satu serikat buruh di Karawang dibujuk oleh aparat keamanan agar tidak melaksanakan peringatan May Day ke Jakarta dalam bentuk protes. Katanya, serikat buruh cukup melaksanakan kegiatan May Day di daerah, toh Bupati sudah menyiapkan panggung hiburan. Dengan cerdas pengurus serikat buruh itu mengatakan, “Abaikan saja ajakan intelijen negara itu. Karena 1 Mei adalah miliknya kaum buruh.”
Judul tulisan ini terinspirasi dari diskusi bersama Hendro Sangkoyo.

Penulis

Tim Redaksi
Latest entries