MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Kebijakan Buruh Murah bertajuk “Deklarasi Pemagangan Nasional Menuju Indonesia Kompeten”

Peserta aksi 1 Mei 2017, membawa papan tuntutan menolak outsorching dan sistem kontrak

Peserta aksi 1 Mei 2017, membawa papan tuntutan menolak outsorching dan sistem kontrak

Hampir dua dekade runtuhnya rezim otoritarian Soeharto nampak belum membawa kesejahteraan bagi rakyat, khususnya kelas buruh. Lepas dari kontrol represif kapitalis-birokrat, kroni Soeharto masuk dalam bulan-bulanan alam berbahaya neoliberalisme. Di bawah neoliberalisme, negara menyediakan instrumen dalam bentuk kebijakan serta alat-alatnya untuk menjamin akumulasi kapital berjalan mulus. Sektor yang paling menjadi sorotan yaitu penyediaan iklim pasar tenaga kerja fleksibel.
Pasar kerja fleksibel mensyarakan interaksi bebas antar pengguna tenaga kerja dengan tenaga kerja, dianggap mampu menciptakan iklim produksi yang efisien. Pengguna tenaga kerja bebas mencari tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan rasional pengguna, sedangkan pekerja bebas menentukan pilihan pengguna tenaga kerja sesuai dengan pilihan rasional pekerja (Purdy, 1988). Pemerintah menyediakan instrumen dalam bentuk kebijakan sistem kerja yang temporer, tercantum dalam UU 13 2003 tentang ketenagakerjaan yaitu sistem kerja kontrak, alihdaya (outsourcing), harian lepas, borongan, rumahan, serta sistem kerja magang.
Walaupun ada perbedaan pengertian satu dengan lain namun yang menjadi poin kuncinya yaitu membebaskan perusahaan secara lentur untuk menambah dan mengurangi tenaga kerja. Kebijakan tersebut juga dipercaya pendukungnya dapat menekan jumlah pengangguran (Livingstone, 1998). Namun bagaimanapun banyak studi yang membuktikan penerapannya sulit ditemui di lapangan. Banyak tulisan yang telah memblejeti sistem kerja kontrak dan outsourcing, Juliawan (2010) dan Celia Mather (2004) telah menjelaskan dengan baik dampak merusak dari sistem kontrak dan outsourcing, namun masih sedikit yang membahas terkait sistem kerja magang. Tulisan singkat ini berfokus pada membongkar ilusi dibalik kebijakan pemerintah dalam sistem magang.
Sistem magang: apa dan untuk siapa?
Jumat 13 Desember 2016 Presiden Jokowi mendeklarasikan sistem pemagangan di Kawasan Industri International City (KIIC) Karawang. Acara bertajuk “Deklarasi Pemagangan Nasional Menuju Indonesia Kompeten” dikomandoi oleh Kementerian Ketenagakerjaan, bersama Kamar Dagang dan Industri (KADIN) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). Mereka berkomitmen untuk menyelenggarakan program tersebut mulai tahun 2017. Pada agenda itu diluncurkan program pemagangan dengan melibatkan 5.000 calon pekerja magang di 500 perusahaan industri yang ada di Karawang. Pemilik modal menyambut dengan antusias. Menurut Ketum KADIN, sedikitnya sudah ada 2.000 perusahaan di Jawa Barat yang siap menampung program pemagangan. Sontak hal itu menjadi polemik di kalangan pegiat perburuhan.
Sejak 2009 hingga November 2016 program pemagangan dalam negeri sudah diikuti oleh 169.317 ribu peserta (Kemenakertrans 2017). Rinciannya yaitu, 13.053 pemagang di tahun 2009, 14.006 pemagang di tahun 2010, 21.088 pemagang di tahun 2011, 23.071 pemagang di tahun 2012, 24.709 pemagang di tahun 2013, 26.367 pemagang di tahun 2014, 26.437 pemagang di tahun 2015, dan 20.586 pemagang hingga November 2016. Sementara untuk program pemagangan nasional yang dimulai tahun 2017 akan diikuti oleh sekitar 163.000 pemagang.
Kawasan Industri Bekasi tidak luput dari “sasaran” sistem magang. April 2017, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi membuka program pemagangan nasional.Tercatat, ada sebanyak 1.019 siwa lulusan SMK/SMA yang mengikuti program ini. Dari data kasar tersebut dapat diperkirakan ada sekitar 400.000 buruh dengan status magang di Indonesia.
Pertanyaannya, apakah upaya massif yang dilakukan pemerintah untuk menggenjot sistem pemagangan merupakan “niat baik” yang menguntungkan kelas buruh atau hanya menguntungkan pemilik modal? Untuk menjawab pertanyaan tersebut terlebih dahulu kita lihat alasan munculnya sistem magang. Kemudian kita analisis lebih lanjut secara historis serta praktik yang terjadi dalam sistem magang.
Menyalahkan Buruh: Pendidikan Rendah dan Legitimasi Sistem Pemagangan
Angka pengangguran yang masih tinggi di Indonesia (7,03 juta orang, BPS 2016), isu masuknya tenaga kerja asing, serta rendahnya tenaga kerja Indonesia dalam menghadapi persaingan goblal, menurut pemerintah merupakan salah dari buruh. Pendidikan buruh rendah! Mantra tersebut nampaknya ampuh dan selalu digunakan dalam segala permasalahan perburuhan. Pendidikan rendah dianggap berpengaruh signifikan terhadap produktivias rendah. Dalih tersebut juga digunakan dalam melegitimasi praktik magang, seperti yang diungkapkan Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri kepada media tirto.id (1/5/217). Logika pemerintah tersebut dilegitimasi oleh ekonom-ekonom liberal dari beberapa Universitas seperti Emil Salim dari UI dan Guru Besar Ekonomi UGM Sri Adiningsih.
Tidak hanya Indonesia, Negara (borjuis) lain juga menyalahkan pendidikan buruh rendah penyebab pengangguran dan produktivitas rendah. Kanada misalnya, statemen dari Human Resources Development Canada menyatakan bahwa lulusan sekolah tidak memiliki skill yang dibutuhkan perusahaan, serta ada ketidaksesuaian antara pengajaran sekolah dengan kebutuhan dunia industri. Maka solusi yang ditawarkan pemerintah sama, dengan menggalakkan sistem pemagangan.
Penggalakan sistem pemagangan setidaknya ada dua dasar obyektif, (i) agar angkatan kerja mampu bersaing secara global dan menurunkan tingkat pengangguran, (ii) untuk menjembatani antara lulusan sekolah yang belum memiliki skill yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan (lihat lebih lanjut Buechtemann, Schupp and Soloff 1994).
Memang data BPS (2015) menyebutkan tingkat pendidikan buruh Indonesia adalah 70% lulusan Sekolah Menengah Pertama kebawah. Namun hanya berdasarkan tingkat pendidikan dengan mudah menilai produktivitas buruh rendah terlalu prematur dan problematis. Pasalnya jika dianalisis lebih jauh, dalam industri manufaktur tingkat pendidikan (gelar akademik) sebenarnya tidak terlalu berpengaruh, karena yang paling dibutuhkan adalah keuletan dalam proses produksi. Jadi gelar lulusan SD maupun S3 saat bekerja dipabrik akan ditarget dengan jumlah produksi yang sama.
Muryanti salah satu buruh di pabrik sepatu, pada diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM (Selasa, 29/11/2016) menceritakan dalam sehari ditarget menghasilkan 50 pasang sepatu. Otomatis buruh akan menjadi terbiasa dan terampil bahkan jika dilihat bisa seperti robot. Jadi gelar akademik menjadi tidak relevan jika digunakan untuk menjustifikasi produktivitas buruh. Dina Septi dari LIPS mengatakan hal serupa, apapun gelarnya dan pendidikannya jika sudah bekerja di pabrik pasti terbiasa dan cekatan, apalagi sektor terbesar yang menyerap magang adalah sektor manufaktur. Hal tersebut diperkuat dengan laporan ILO 2015 yang berjudul Indonesia: Trends in wages and productivity menunjukkan bahwa produktivitas buruh tiap tahun mengalami peningkatan. Kontribusi industri sektor non-migas setiap tahun selalu menyumbang sekitar 20% dari PDB.
Singkatnya pemerintah dengan sengaja menyediakan kebijakan yang memberikan buruh murah pada pemilik modal. Meminjam istilah Harvey (2010), dalam neoliberalisme negara harus campur tangan dalam menciptakan iklim yang ramah pada akumulasi kapital.
Problematis dan Rawan Pelanggaran
Jumlah buruh magang dari data resmi pemerintah menunjukkan angka yang cukup besar mencapai hampir 400.000 orang. Artinya praktik sistem magang berbeda dari imaji umum selama ini. Banyak yang membayangkan sistem magang seperti yang dilakukan oleh mahasiswa sebagai salah satu syarat wajib yang harus dilalui. Biasanya mahasiswa magang beberapa bulan di perusahaan atau instansi yang relevan dengan jurusannya agar mendapatkan pengalaman praktik kerja langsung. Namun praktik sistem magang pada sektor industri (yang menjadi program nasional pemerintah) nampaknya jauh berbeda. Penerapannya jauh panggang dari api. Jika dilihat praktiknya nampaknya tujuan semu yang ingin dicapai pemerintah yaitu meningkatkan skill angkatan kerja dapat dikatakan hanya sebagai motif eksploitasi.
Sistem magang di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Caranya, menurut Permenaker No.PER.22/MEN/IX/2009 pekerja magang harus mendapatkan maksimal 25% teori dan 75% minimal praktik secara langsung. Waktu pemagangan maksimal 1 tahun kerja melalui kerjasama terpadu antara lembaga pelatihan kerja (LPK) dengan perusahaan tempat bekerja.
Celah penyalahgunaan aturan pemagangan di lapangan sangat besar. Mengingat jumlah pengawas di Disnaker daerah tidak akan mampu mengawasi kawasan dengan jumlah pabrik yang mencapai ribuan.
Pertama, buruh magang sesuai aturan harus mendapatkan teori dan praktik. Namun pada penerapannya mulai hari pertama buruh magang bekerja seperti buruh yang lain, tidak ada bedanya. Sebagai contoh yang telah terjadi di PT NPI kawasan industri Bekasi. Hasil wawancara penulis dengan beberapa buruh magang di PT tersebut (20/10/2016) menyatakan dari hari pertama mereka bekerja seperti buruh yang lain. Jumlah buruh magang sebanyak 50 orang dan silih berganti pertiga bulan. Buruh menjadi rentan karena tidak memiliki jaminan kepastian kerja (Stunding, 2011).
Kedua, waktu pemagangan maksimal 1 tahun, namun beberapa kasus menunjukkan buruh magang bisa bekerja melebihi batas waktu yang ditentukan bahkan ikut lembur. Kerja lembur diperhalus bahasanya menjadi “penambahan jam magang”. Seperti kasus yang terjadi di Karawang, dilansir oleh media solidaritas.net (10 Juni 2016), PT Sankhosa Indonesia mempekerjakan buruh magang lebih dari dua tahun.
Ketiga, sistem ini memunculkan aktor-aktor yang ikut mengais remah-remah dari buruh magang. Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) yang menyalurkan tenaga buruh untuk perusahaan tempat bekerja. Seperti kesaksian KA (perempuan, buruh magang PT NPI Bekasi) pada media solidaritas.net, dengan mekanisme yang berbelit-belit, mendaftar melalui  BKK Sekolah SMK ITI dan diterima di LPK MS namun secara keseluruhan harus membayar sampai Rp 1,3 juta.
Keempat, relasi industrial yang terbangun menjadi tidak jelas. LPK yang merupakan pihak penyalur dan perusahaan tempat bekerja bisa lempar tanggung jawab jika ada permasalahan terhadap buruh magang. Secara normatif buruh magang menjadi tanggung jawab dari LPK, namun jika ada permasalahan bisa dengan mudah cuci tangan dengan dalih hal tersebut merupakan urusan dari perusahaan tempat bekerja. Pelanggaran yang dijelaskan diatas baru dari segi normatif dan ekonomis. Dari segi politis buruh magang tidak bisa berserikat karena waktu magang yang singkat dan tidak ada kepastian kerja setelah waktu selesai.B uruh magang juga tidak mempuanyai kuasa dan posisi tawar di hadapan pemilik modal.
Namun mengapa sistem yang banyak terjadi pelanggaran tersebut malah digenjot oleh pemerintah?
Bisa kita lihat poin krusial (selain permasalahan di atas) dari sistem magang yang menjadi jalan tersedianya buruh murah. Dalam pemagangan tidak mengenal upah atau gaji. Bahasa yang digunakan dalam membeli tenaga kerja buruh magang yaitu uang saku. Dengan menggunakan “uang saku” maka buruh seakan bekerja secara sukarela dan imbalan yang didapatkannya tergantung dari kebaikan pengusaha. Pemilik modal tidak wajib mengikuti aturan upah minimum yang berlaku dalam memberikan “uang saku” kepada buruh magang. Sebagai contoh di PT NBI buruh magang diberi uang saku Rp 2.144.000,- padahal UMK Kab. Bekasi 2016 sebesar Rp 3.261.375,-. Artinya, dengan produktivitas yang sama dengan buruh tetap perusahaan bisa saving Rp 1.117.375,- perbulanperburuh. Jika ada 50 buruh magang dengan jangka waktu 1 tahun maka perusahaan efisien Rp 670.425.000,. Setelah selesai setahun (batas maksimal kegiatan magang) perusahaan tinggal meminta LPK untuk mencarikan buruh magang yang baru. Sedangkan buruh hanya mendapatkan selembar kertas sertifikat kelulusan magang yang belum jelas kegunaannya. Sehingga yang terjadi, meminjam istilah Benny Juliawan (2010), extracting labor from it’s owner. Baru pada akhir 2016 keluar Permenakertrans Nomor 36 yang mengatur uang saku antara 60-80% dari UMK. Namun tetap saja terjadi perbedaan yang jauh antara gaji buruh tetap dengan buruh magang padahal beban kerja sama.
Selain masalah gaji, sistem magang (dan sistem kerja temporer lainnya) membentuk lingkaran cadangan tentara pekerja. Terjadi rolling antara pengangguran dengan pekerja temporer sehingga jumlah surplus populasi relatif tetap terjaga. Beberapa kasus menunjukkan setelah waktu magang habis dan tidak diangkat menjadi buruh tetap maka buruh magang kemudian terpaksa menjadi buruh sektor informal, atau informal proletariat (Habibi, 2016), di sekitar kawasan Industri. Informal proletariat tersebut jika dibutuhkan sewaktu-waktu dapat ditarik lagi dalam rantai produksi kapitalis.
Respons gerakan buruh?
Proyek nasional pemagangan tidak hanya berbahaya bagi buruh magang saja, namun buruh tetap maupun serikat buruh juga terancam dampak negatifnya. Massifnya upaya penggunaan buruh magang berpotensi menggantikan buruh tetap dengan buruh fleksibel. Jika buruh magang dalam suatu perusahaan jumlahnya banyak maka akan memudahkan pengusaha mengontrol -gerakan- buruh. Pasalnya, jika ada buruh yang melawan kebijakan perusahaan maka dengan mudah dapat diancam digantikan dengan buruh magang. Semakin marak digunakan sistem magang maka semakin besar posisi pemilik modal untuk melakukan union busting. Maka sudah menjadi tugas seluruh kelas buruh tanpa memandang status kerja untuk berjuang bersama. Jika buruh terpecah oleh status kerja maka kelas buruh tidak akan mampu berjuang mendesakkan kepentingannya sebagai kelompok (Hadiz, 1998; 2002, Tornquist, 2004, Juliawan, 2002). Dari segi kebijakan praktik kerja kontrak outsourcing, kemudian belum selesai dengan masalah PP 78/2015, buruh kembali disuguhi proyek neoliberal program nasional pemagangan. Selain itu aparat beserta alat-alat pemilik modal semakin represif terhadap gerakan buruh. Sudah saatnya buruh bersatu melawan segala bentuk penghisapan.
Penulis : Alih Aji Nugroho, (pegiat MAP Corner-Klub MKP UGM)
Referensi :
Buechtemann, C.F, J. Schupp and D. Soloff. 1994. “From School to Work: Patterns in Germany and the United States,” in Labour Market Dynamics in Present Day Germany, ed. J. Schwarze, F. Buttler and G.G. Wagner. Frankfurt: Campus Verlag, pp. 112-41.
Human Resources Development Canada (HRDC). 1998. High School May Not Be Enough: An Analysis of Re- sults from the School Leavers Follow-Up Survey, 1995. Hull: Human Resource Development Canada.
Habibi, Muhtar. 2016. Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran, Relasi Kelas, Akumulasi dan Proletariat Informal di Indonesia sejak 1980an. Marjin Kiri.
Harvey, David. 2010. Neoliberalisme dan Restorasi kelas Kapitalis. Yogyakarta : Resist. Book.
Hadiz, V. R .1997.Workers and the State in New Order Indonesia. London: Routledge.
__________. 2000. Retrieving the Past for the Future? Indonesia and the New Order Legacy. Southeast Asian Journal of Social Science, Vol. 28, No. 2, Special Focus: A ChangingIndonesia (2000), pp. 11-33. Brill
Juliawan, Benny Hari .2010.Extracting Labor From Its Owner.Critical Asian Studies. Vol: 42:1,25-55
________________. 2009.  “Menakar Ulang Fragmentasi Buruh”, dalam Basis No. 9-18, Tahun ke 58,  September-Oktober 2009, 14. Yogyakarta: Kanisius.
Livingstone, D.W. 1998. The Education-Jobs Gap: Un- deremployment or Economic Democracy. Boulder: Westview Press.
Marx, Karl dan Engels, Friedrich. 2010. Manifesto Partai Komunis. Jakarta: Yayasan Pembaruan.
Mather, Celia. 2004. Contract/Agent Labour: A Threat to Our Social Standards. Brussels: ICEM
Stunding, Guy. 2011. The Precariat: The New Dangerous Class. London: Bloomsburry.
Tornquist, O. 2004.‘‘Labour and Democracy? Reflections on the Indonesian Impasse,’’ Journal of Contemporary Asia, 34, 3, pp. 377-99.
Internet :
http://www.solidaritas.net/2017/04/kesaksian-buruh-magang-disuruh-bayar.html diakses pada 30/4/2017
http://www.solidaritas.net/2016/06/pt-sankhosa-indonesia-gunakan-buruh-magang-lebih-dari-dua-tahun.html diakses pada 30/4/2017
https://tirto.id/yang-berpikir-soal-pemagangan-begini-begitu-itu-katrok-cnNk diakses pada 1/5/2017

Penulis

Tim Redaksi