“Cak, kita ini hidup dalam situasi yang gawat. Melawan rezim tentara. Hidup kita setiap saat terancam oleh peluru. Pertanyaannya, siapa yang akan lebih dulu mati?” kenang Mas Bianto, pegiat buruh dari Surabaya, menirukan obrolannya[1] dengan Cak Munir pada puncak kekuasaan Orde Baru, sekitar 1993.
Dengan berseloroh, Cak Munir menjawab, “Aku dhisik rapapa, Mas.” Artinya, ‘Aku duluan tidak apa-apa.’ Rasanya, selorohan itu menjadi sebuah penanda kesadaran bahwa semua punya risiko dibunuh. Entah siapa yang akan mengalami duluan. Sebelas tahun sesudah obrolan itu, Cak Munir pergi meninggalkan kita.
Dialog tersebut muncul di tengah advokasi akan kematian Marsinah pada 1993. Mas Bi, panggilan akrab Mas Bianto, adalah pengurus serikat buruh yang terlibat dalam pendampingan berbagai aktivitas penguatan dan pembelaan serikat buruh di Jawa Timur; salah satunya di PT Catur Putra Surya, tempat Marsinah bekerja. Mas Bi dan Cak Munir dipertemukan Komite Solidaritas untuk Marsinah (KSUM) dalam jalur perjuangan bersama. KSUM dibentuk oleh berbagai kalangan aktivis buruh di Jawa Timur sebagai upaya mengadvokasi dan melakukan investigasi kasus pembunuhan Marsinah oleh aparat militer.
Saat itu, situasi begitu mencekam; melawan Orde Baru pada saat kekuatannya sedang memuncak. Namun, bagi sebagian orang, menjalani liku kehidupan yang penuh bahaya seperti itu menjadi pilihan sebab tidak ada lagi pilihan yang lebih baik baginya.
7 September 2017. Indonesia mengenang 13 tahun kematian Munir. Peringatan itu menjadi penting sebagai refleksi untuk mengingat bahwa 13 tahun sesudah kematiannya, Indonesia masih diselimuti kabut gelap. Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di negeri ini laksana memasuki sebuah lorong yang gelap tanpa cahaya.
Percakapan Mas Bi dan Cak Munir tersebut terus mengiang akhir-akhir ini ketika kenangan akan Cak Munir semakin mendekat. Saya terakhir bertemu Mas Bi di Surabaya setahun lalu. Saya melihat pendiriannya tak ada yang berubah. Ia masih kokoh dalam prinsip. Prinsip hidupnya yang bersandar pada kesadaran untuk terus berjuang tak berkurang sedikit pun; bahkan semakin menebal dan menguat.
Mas Bi adalah pendamping yang melakukan pengorganisasian buruh di Jawa Timur dengan sabar dan ulet. Bagi saya, ia adalah kamus berjalan; tempat saya bertanya perihal kasus Marsinah. Keberanian dan kewaspadaan dalam berjuang merupakan dua hal penting yang saya catat sebagai pelajaran berharga dari kasus kematian Marsinah sesudah pemogokan di PT Catur Putra Surya pada 3 Mei 1993. Marsinah—buruh perempuan pemberani itu—menaikkan eskalasi pemogokan yang kala itu menuntut kenaikan upah pokok dari Rp1.700 per hari menjadi Rp2.250 per hari.[2]
Akan tetapi, menurut Mas Bi, bukan karena alasan itu dia dibunuh. Alasan pertama, keberaniannya mengkritik kepemimpinan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) di pabriknya yang tidak berfungsi dengan semestinya dalam membela anggotanya. Sebagai organisasi serikat buruh tunggal bikinan Orde Baru, SPSI dikritik hanya menjadi juru stempel bagi kebijakan perusahaan. Kebetulan, SPSI di Kabupaten Sidoarjo yang dia kritik diketuai seorang tentara aktif. Bisa dibayangkan, mengkritik keberadaan serikat tunggal kala itu sama saja sebagai menantang maut; mencari perkara.
Alasan kedua, menurut Mas Bi, memang ada “kecerobohan” dalam persiapan mogok. Sebagai pendamping, Mas Bi sudah mengingatkan agar semua dokumen dijaga sebaik-baiknya. Namun, entah kenapa, salah seorang dari mereka berlaku ceroboh dengan meminjam mesin tik milik Pak RT untuk menuliskan beberapa tuntutan pemogokan. Peristiwa itu akhirnya bocor ke tangan tentara. Sampai terjadinya pemogokan pada 3 Mei 1993, Marsinah hilang dan kemudian jenazahnya ditemukan di sebuah hutan pada 8 Mei 1993.
Cak Munir, Sang Pemberani
Menilik dari cerita Mas Bi, saya mendapatkan gambaran mengenai Cak Munir yang lebih utuh. Cak Munir adalah pribadi yang pemberani, jujur, blak-blakan, motivator andal, dan selalu bekerja melampaui pemikiran banyak orang. “Satu hal yang paling menonjol dari Cak Munir adalah keberaniannya yang selalu di atas rata-rata kawan lainnya,” kenang Mas Bi.
Keberanian itu-lah yang kemudian mengantarkannya bertarung dalam rimba raya penegakan HAM pada selingkaran reformasi 1998. Cak Munir berjuang demi aktivis hilang—entah diculik atau dibunuh, keluarga korban kekerasan, sampai kemudian mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Beberapa kawan memelesetkan KontraS dengan “Kontra Soeharto”. Ini tentu saja relevan dengan keberaniannya mengkritik Soeharto dan mendorong penghapusan dwi fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) agar tentara kembali ke barak. Dalam pemikiran Cak Munir, tentara tidak boleh berbisnis, tidak boleh berpolitik, dan harus bekerja secara profesional menjaga kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Asfinawati,[3] Ketua Umum Badan Pengurus Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) pernah menceritakan bagaimana Cak Munir sangat berani menyampaikan kritik kepada Adnan Buyung Nasution sebagai pendiri YLBHI. “Kritik yang tajam, lugas, mengena, tapi disampaikan dengan tertata dan tidak keluar jalur,” ujar Asfin mengenang. Ini cukup menunjukkan bahwa Cak Munir memang kenyang dengan dinamika. Bukan saja dalam perdebatan dengan pihak luar yang ia anggap berseberangan seperti tentara, tetapi juga dengan teman-teman dalam satu lembaganya. Lebih jauh, Asfinawati menceritakan bahwa di YLBHI, Cak Munir adalah teladan hidup bagi penerusnya. Semasa hidupnya, Cak Munir meneladankan kesederhanaan, konsistensi dalam berjuang, dan keberanian.
Keberaniannya menyampaikan kritik, memimpin perlawanan bersama para korban, dan konsisten berdiri di barisan terdepan telah membuatnya berada dalam risiko terbesar menghadapi ancaman. Rintangan tak menyurutkan langkahnya untuk berjuang sampai kemudian maut menjemputnya di pesawat dalam perjalanan menuju Belanda untuk menempuh pendidikan. Kita meyakini, Cak Munir dibunuh karena dianggap berbahaya. Tentu saja oleh penguasa.
Merefleksi 13 Tahun Kematian Cak Munir
7 September 2017, bertepatan dengan aksi kamisan ke 505, kepala ditundukkan untuk mengenang tahun ke-13 kematian Cak Munir. Kita harus menguatkan kembali nilai-nilai yang menjadi dasar perjuangan Cak Munir selama hidupnya. Nilai-nilai itu diyakini akan hidup melebihi usia siapa pun berupa kecintaan pada kemanusiaan dan perdamaian. Kita memimpikan dunia yang damai tanpa kekerasan dan pembunuhan atas nama apa pun.
Namun, tentu saja, peringatan 13 tahun kematian Cak Munir menyisakan pertanyaan panjang. Tak mudah dijawab sebab berkaitan dengan kasus kematiannya yang masih diselimuti kabut sangat tebal bernama kekuasaan. Menyingkap kasus kematian Cak Munir pasti menyangkut kekuasaan dan tentara yang sekarang mendapatkan kembali posisi Ring 1 kekuasaan. Kita sudah menduga, pada tahun-tahun mendatang akan semakin banyak “teror” mewarnai perjuangan.
Bagi para pimpinan serikat buruh, gelagat teror militer di wajah pemerintahan sipil Jokowi mulai muncul pada Hari Buruh 1 Mei 2016. Ratusan tentara berjaga di dekat Bundaran Hotel Indonesia (HI). Itu merupakan jumlah tentara terbanyak dalam aksi May Day pasca-Soeharto lengser. Mereka yang terlatih bertempur itu bertugas memastikan barisan unjuk rasa buruh tidak terkonsentrasi di Bundaran HI. Seperti Orde Baru, konsentrasi ribuan buruh yang protes pada pemerintah mungkin tampak terlalu mengerikan bagi Presiden Joko Widodo.
Gelagat tersebut semakin menguat ketika Luhut Binsar Panjaitan— ketika itu bertugas sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan—menyerukan untuk “libas” mereka yang membuat “gaduh ekonomi Indonesia” tanpa pandang bulu. Ungkapan itu disampaikan mantan Jenderal Orde Baru di hadapan pertemuan dengan para petinggi Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) pada September 2015, bulan-bulan ketika persoalan upah minimum mulai dibahas.
Menjelang persoalan upah, Luhut mungkin ingin menyampaikan pesan tersebut kepada serikat buruh secara langsung. Pimpinan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Ilhamsyah mendapat undangan untuk berbicara di Kantor Menteri Koordinator Keamanan setelah mengumumkan hendak melakukan mogok nasional ketiga menolak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Ilhamsyah dan para pimpinan serikat buruh menolak menghadiri undangan itu.
KPBI memberikan gambaran mengenai penggunaan kekuatan polisi dan tentara dalam menghadapi aksi buruh dengan merujuk pada peristiwa bentrokan buruh dengan aparat di depan Istana Presiden pada 30 Oktober 2015.[4] Pada hari itu, pemerintah tidak lagi ragu menunjukkan wajah militeristiknya di hadapan buruh. Lebih 20 ribu buruh berunjuk rasa di depan Istana menolak PP Pengupahan.[5] PP itu diyakini semakin memiskinkan buruh dengan menurunkan penyesuaian upah minimum—yang hanya naik 11 persen (2016) menjadi 8 persen (2017).[6]
Seperti halnya Orde Baru, pemerintahan Jokowi mengeluarkan peraturan represif dan bertindak brutal untuk mengamankan modal. Pemerintah menjawab protes tersebut dengan kebrutalan pasukan Turn Back Crime yang memukuli, menyeret, dan mempidanakan 23 buruh, 2 pengacara LBH Jakarta, dan seorang mahasiswa.
Beruntung, hakim masih punya nurani dan memvonis bebas mereka. Ketika Presiden Joko Widodo pada Mei 2017 memerintahkan “gebuk!,”[7] buruh sudah semakin yakin militer memang kuat bercokol di pemerintahan, seperti halnya zaman Orde Baru. Terlebih, baru-baru ini, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu meluncurkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Ormas [8] yang mengancam kebebasan berserikat, termasuk bagi buruh. Produk hukum itu menjadikan pemerintah bertangan besi untuk membubarkan siapa pun yang mengkritik dan bisa mempidanakan pengurus atau anggota organisasi seumur hidup karena dianggap “menimbulkan kebencian terhadap setiap orang termasuk kepada penyelenggara negara.”
Berulang kali, Mas Bi memberikan catatan penting bahwa Orde Baru tidak akan pernah hilang sebab akarnya sudah menggurita sedemikian kuat. Semua sendi kehidupan kita sudah dikuasai Orde Baru dengan wajah baru yang seolah baik dan bersahabat. Reformasi hanya kejutan sejenak untuk kemudian membuat kekuatan politik pro-Orde Baru kembali berkonsolidasi.
Lalu, apa yang mesti kita lakukan? Mas Bi menyebutkan kebutuhan akan alat perjuangan yang serius dan tidak setengah-setengah. “Reformasi 1998 memberikan kesempatan kepemimpinan kepada mahasiswa dan dengan berat harus kita mengatakan mereka sudah gagal. Mereka—yang terlibat dalam pertarungan 1998—sekarang sebagian besar sudah menjadi bagian dari kekuasaan. Tentu berat berharap pada mereka,” ujar Mas Bi. Menurutnya, kekuatan yang masih bisa diharapkan adalah kepemimpinan kelas buruh yang maju dengan keyakinan ideologi dan perspektif politik yang lebih maju. “Kekuatan Serikat buruh yang maju, tidak terkotak, dan tidak tunduk pada hegemoni para elitnya adalah modal kita saat ini,” ungkap Mas Bi.
Ini memang situasi yang sulit, meskipun kita tidak boleh menyerah. Suciwati, istri almarhum Cak Munir, menjelaskan perspektif maju yang harus dibangun terus-menerus. Menurutnya, memang butuh kesabaran bertahun untuk membangun kembali kekuatan setelah berkali-kali dipukul oleh rezim.
Semangat Cak Munir seharusnya mampu menginspirasi perlawanan ke depan. “Cak Munir sangat mempercayai kekuatan kolektif yang terbangun atas kesamaan ide, pandangan, dan keyakinan pada tujuan besar perjuangan kita,” ujar Suciwati dalam kesempatan di Jakarta.[9] Tentu saja, pandangan itu didasarkan pada kenyataan bahwa pergantian kekuasaan berkali-kali di negeri ini tak cukup mampu mengubah keadaan. Semua sama saja; hanya penuh janji dan retorika.
Kini, kita sepertinya sudah harus sampai pada penghujung simpul, sudah sampai pada batas akhir menyandarkan harapan pada orang lain. Sudah waktunya kita berdiri kembali, menghadapkan kepala dengan tegak pada kekuasaan, entah siapapun nama Presidennya. Berkaca pada cara Cak Munir yang memberdayakan para korban, kita harus segera kembali membangun kekuatan para korban. Bukankah sebagian besar rakyat sudah menjadi korban kekuasaan hari ini? Pilihan itu semakin menemukan kebenarannya hari ini.
Perjuangan memang sudah sangat panjang, tetapi kita tak boleh lelah dan berhenti. Cara terbaik untuk mewujudkan cita-cita Cak Munir adalah dengan terus berjuang dan memastikan bahwa Indonesia yang kita cintai ini akan terbebas dari ketakutan terhadap kekerasan dan pembunuhan atas nama apa pun. Menurut Suciwati[10], kondisi tersebut tentu butuh perjuangan yang lebih besar sebab negara ini masih dalam cengkeraman yang represif. “Negara ini dikuasai para maling dan pembunuh. Hari ini, kita tidak bisa hanya diam. Perlawanan adalah ruang kosong di mana keadilan harus kita dorong kepada negara karena kita mencintainya,” kata Suciwati dalam pidatonya.
Suciwati juga menegaskan bahwa anak muda akan menjadi garda penting untuk mewujudkan semua mimpi Cak Munir tersebut. “Saya bahagia karena hari ini hadir anak-anak muda. Keyakinan ini menegaskan bahwa kita ada dan berlipat ganda. Bersama anak-anak muda, kita akan berjuang. Di sana, kita akan bersuara sekeras-kerasnya,” tegas Suciwati.
Bersuaralah dengan sekeras-kerasnya, tidak boleh hanya diam!
* Tulisan ini pernah terbit dalam kumpulan tulisan Menulis Munir, Merawat Ingatan, 2017. Dimuat ulang untuk tujuan pendidikan dengan seizin penulis.
Khamid Istakhori, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Buruh Kerakyatan (SERBUK) Indonesia, dan Ketua Departemen Pengembangan Organisasi Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI).
_______________________
[1] Wawancara dengan Mas Bianto melalui telepon pada 2 September 2017.
[2] Resolusi Pengajuan Marsinah Sebagai Pahlawan Buruh Nasional kepada Menteri Tenaga Kerja RI
oleh Solidaritas Nasional untuk Marsinah, 20 Juni 2011.
[3] Ucapan Asifanawati pada Diskusi dan Refleksi Perjuangan Serikat Buruh di Karawang, 16 April
2006.
[4] Dokumentasi dan kronologi kejadian aksi buruh menolak PP 78 tahun 2015 yang dibuat oleh
Tim Advokasi Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) bersama dengan LBH Jakarta, 30
Proses penangkapan ikan di Kepulauan Aru dilakukan oleh nelayan tradisional, nelayan lokal, dan kapal-kapal penangkap ikan industrial. Hulu dari proses produksi perikanan di Kepulauan Aru adalah kapal-kapal nelayan tradisional dengan mesin speed yang memiliki kemampuan berlayar lebih dari 12 mil, bahkan hingga mencapai batas negara Indonesia–Australia. Nelayan-nelayan ini beroperasi selama satu hari dan hasil tangkapan […]
Minggu pertama Agustus 2024, saya mengunjungi salah satu perkebunan sawit ternama di Kalimantan Barat. Perusahaan sawit ini memiliki nama prestisius karena dipandang lebih baik dalam aspek penyediaan fasilitas dan pemenuhan hak normatif, ketimbang perusahaan sawit lainnya di Kalimantan Barat. Ya, setidaknya begitulah pandangan buruh-buruh yang bekerja di perusahaan tersebut. Di perkebunan sawit ini, beberapa kebutuhan […]
Gerakan massa ‘Peringatan Darurat’ berhasil membatalkan revisi RUU Pilkada. Demonstrasi ‘Peringatan Darurat’ mengingatkan kembali mengenai pentingnya aksi massa, kampanye kreatif, pengorganisasian yang luwes dan pendidikan yang telaten. KAMIS 22 AGUSTUS 2024, Pukul 19.15. Lelaki kurus usia 60-an berkaos oranye-biru belel. Ia menggerakkan kakinya yang dibungkus sepatu bot dengan cepat. Lelaki itu menghampiri dan berbisik kepada […]