MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Tidak Ada Hak Berunding di Zaman Soeharto!

Sumber, https://www.pinterest.com/pin/158751955589822506/


Sumber, https://www.pinterest.com/pin/158751955589822506/

Jasad Marsinah tergeletak tak bernyawa di sebuah gubuk pinggir sawah di Dusun Jegong, sekitar 100 meter dari kontrakannya di Desa Siring, Sidoarjo, Jawa Timur. Ini terjadi pada Mei 1993.

Lima hari sebelumnya, Marsinah dan kawan-kawannya mogok di tempat kerjanya, PT Catur Putra Surya. Mereka bukan meminta saham, apalagi menguasai pabrik. Tapi menuntut kenaikan upah minimum, cuti haid, cuti hamil, dan hak-hak yang telah diatur dalam peraturan perundangan. Tuntutan Marsinah dan kawan-kawannya dibalas dengan pemecatan di kantor Kodim, bukan oleh lembaga yang berwenang memutus hubungan kerja.

Di Medan, pada April 1994, kejadian serupa berlangsung. Ribuan buruh mogok menuntut tunjangan hari raya, kenaikan upah dan kebebasan berserikat. Pemogokan itu dijawab dengan pembubaran paksa oleh ABRI. Mereka yang dituduh dalang pemogokan, dipecat. Para organisator buruh ditangkap dan dipenjara.

Mundur jauh sebelum kedua kasus tersebut, pada 1980-an di Bogor, para buruh PT Fairchild melakukan dan menerima hal yang sama: berdemonstrasi menuntut kenaikan upah dan kebebasan berorganisasi, sementara parat keamanan bertindak tegas. Mereka yang dianggap sebagai pemimpin demonstrasi diseret ke penjara dengan undang-undang subversi.

***

Pada Oktober 1967, Federasi Serikat Buruh Dunia (World Federation Trade Union-WFTU) melaporkan tindakan pelanggaran HAM Pemerintah Indonesia kepada ILO (Organisasi Perburuhan Internasional). Laporan menyebutkan, sebanyak 55 ribu anggota SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) dipenjara tanpa diadili. Ketua SOBSI dan Sekjen WFTU, Nyono, dihukum mati tanpa penyelidikan pengadilan. Sudarno Heru dari Komite Administrasi Serikat Buruh Konstruksi, Perkayuan dan Material Bangunan, dihilangkan. Karena Pemerintah Indonesia menolak memberikan informasi memadai, laporan kasus tersebut ditutup pada 1971.

Generasi milenial barangkai mengernyitkan dahi, atau bengong mendengar cerita dari masa kegelapan zaman Soeharto tersebut. Buruh berunding dengan tentara di kantor Kodim, ditangkap, dipaksa mengundurkan diri dari perusahaan, dan hilangkan nyawanya. Serangkaian fase sejarah yang tidak perlu diulang!

Di era Soeharto, berlaku peraturan kebebasan berorganisasi dan berunding, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1956 sebagai ratifikasi Konvensi ILO Nomor 98. Ada juga Undang-Undang Pokok-Pokok Tenaga Nomor 14 Tahun 1969, yang mengatur dasar-dasar berorganisasi, hak-hak buruh dan sebagainya. Tentu saja semuanya cuma di atas kertas. Tidak mudah bagi buruh mendirikan serikat di luar Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), mengorganisasikan pemogokan, apalagi mengkritik pemerintah. Membangun jaringan internasional akan dituduh macam-macam: ditumpangi kepentingan luar dan agen asing, hingga menjual kemiskinan kepada orang lain.

Soeharto dijungkalkan pada 1998. Pelanjutnya, Habibie, meratifikasi ILO Nomor 87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi melalui Keputusan Nomor 83. Setelah itu, serikat buruh di luar SPSI tumbuh, serikat buruh yang berjuang di masa Soeharto diakui, bahkan serikat buruh yang bermimpi dapat mengembalikan kejayaan Soeharto pun leluasa berkeliaran. Serikat buruh dapat membangun jaringan internasional tanpa khawatir diawasi pemerintah. Itulah berkah perjuangan demokratik, walaupun masih harus disempurnakan.

Dari Kodim ke Mekanisme Pasar

Dengan munculnya rumus upah minimum di Peraturan Pemerintah Nomor 78 (PP 78) Tahun 2015, kesempatan merundingkan kenaikan upah minimum di dewan pengupahan menjadi terbatas. PP 78 hanya menjawab kebutuhan pengusaha: rencana keuangan perusahaan terkendali karena dapat memprediksi jumlah kenaikan upah minimum.

Formula yang diatur dalam PP 78 tersebut mencantumkan pertumbuhan ekonomi, inflasi dan upah minimum yang berjalan sebagai variabel penetap upah minimum kota, kabupaten, dan provinsi. Dengan hitungan demikian, kenaikan upah minimum pertahun dapat diprediksi: tidak akan lebih dari dari 8 persen.

Kemungkinan lain adalah perundingan upah minimum dengan nilai yang lebih rendah dari formula yang telah ditentukan. Ini yang terjadi dalam perundingan penetapan upah padat karya tahun 2017 di empat kota di Jawa Barat, yang mana nilainya jauh di bawah upah minimum.

Dengan maraknya buruh kontrak dan pembenaran memberikan upah minimum sebagai upah maksimum, kenaikan tahunan upah minimum menjadi satu-satunya harapan penambahan pendapatan buruh. Itu mengapa menjelaskan setiap kali putusan kenaikan upah minimum selalu disertai demonstrasi di berbagai kota.

PP 78 memang menyulitkan serikat buruh memenangkan perundingan kenaikan upah. Tapi, sebenarnya, ada hal baru dalam PP 78, yaitu peninjauan jumlah dan jenis kebutuhan hidup layak (KHL) lima tahun sekali. Tugas peninjauan ini dilakukan oleh menteri atas saran dewan pengupahan nasional (Pasal 43). Jika tidak ada kekuatan pemaksa yang lebih besar untuk mengubah peraturan pengupahan, peluang yang tersedia adalah menagih tugas dan tanggung jawab dewan pengupahan nasional (Depenas) dari unsur perwakilan buruh.

Sebenarnya Depenas bukan lembaga baru. Sebelumnya lembaga ini bernama DPPN (Dewan Penelitian Pengupahan Nasional), dibentuk dengan Keputusan Presiden dengan Nomor 58 Tahun 1969. Kemudian diperbarui pada 2004 dengan Keputusan Presiden Nomor 107. Struktur maupun fungsinya tidak berbeda yang ada di tingkat nasional dan daerah, serta memberikan pertimbangan kebijakan pengupahan sesuai dengan tingkatannya.

Perbedaan dewan pengupahan dulu dan setelahnya terletak pada jumlah komposisi serta fungsi pengambil keputusan. Di zaman Soeharto, upah minimum diputuskan dua tahun sekali oleh menteri berdasarkan saran dewan pengupahan di berbagai tingkatan. Serikat buruh yang dizinkan terlibat hanya SPSI. Itu pun dengan tugas pemberi saran, jika diperlukan.

Bagaimana perundingan upah di zaman Soeharto berlangsung? Sulit didapat informasinya. Proses perundingan dilakukan tertutup. Survei harga dilakukan oleh komisi penelitian pengupahan daerah yang dari perwakilan pemerintah. Meskipun DPPN sudah terbentuk pada 1969, peraturan pengupahan baru keluar pada 1980, dan peraturan upah minimum keluar pada 1989. Survei barang-barang kebutuhan pun berpatokan pada buruh lajang dan mengacu pada kebutuhan fisik minimum (KFM) tahun 1956. Bayangkan saja, di tahun 1990-an, survei harga penerangan dan tempat tidur indikatornya adalah lampu teplok dan tikar!

Perbedaan lain adalah jumlah komposisi dewan pengupahan. Dulu, komposisi terbanyak berasal dari perwakilan pemerintah dari berbagai departemen. Setelah 2004, dewan pengupahan komposisinya berimbang. Serikat buruh mana pun memiliki kesempatan terlibat dalam dewan pengupahan dengan syarat memenuhi kuota yang ditentukan, bahkan dapat terlibat dalam survei-survei harga pasar. Namun, lagi-lagi, melalui PP 78, peran dan fungsi serikat buruh di dewan pengupahan pun dipenjara dalam indikator mekanisme pasar: inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Saat PP 78 masih menjadi draf, Kemnaker mengiming-imingi serikat buruh dengan struktur skala upah.  Memang ada yang terbujuk. Peraturan struktur skala upah diterbitkan akhir 2017. Isinya mengatakan bahwa pihak yang berwenang menetapkan struktur skala upah adalah pimpinan perusahaan. Struktur skala upah yang sudah dibuat pimpinan perusahaan diberitahukan secara perorangan kepada buruh. Dengan demikian, peraturan struktur skala upah dengan jitu memangkas peranan dan fungsi serikat buruh di tingkat perusahaan.

PP 78 merupakan bagian dari program strategis nasional yang dirumuskan dalam Paket Kebijakan Ekonomi IV. Dengan kebijakan tersebut, sistem pengupahan dipusatkan dan diselaraskan dengan paket-paket kebijakan ekonomi lainnya, seperti percepatan infrastruktur, program privatisasi badan usaha milik negara, pemasaran tanah dan kebijakan-kebijakan yang ramah investasi.

Sebelum era PP 78, setiap kenaikan upah minimum kerap diikuti dengan demonstrasi buruh di berbagai kota dan kabupaten. Tidak hanya itu, di bulan-bulan tersebut, aktivitas serikat buruh padat: melaksanakan pendidikan, membangun aliansi, rapat persiapan demonstrasi dan melakukan riset upah. Di situlah keunikannya. Untuk mengajukan kenaikan upah minimum serikat buruh melakukan riset dengan metode survei. Ada yang melakukan survei kebutuhan buruh berdasarkan pengeluaran harian, ada pula yang melakukan survei berdasarkan komponen kebutuhan hidup yang telah ditetapkan pemerintah. Kemajuan-kemajuan tersebutlah yang coba dibabat oleh PP 78.

Riset upah yang dilakukan serikat buruh sebenarnya merupakan kritik langsung terhadap metodologi dan hasil survei yang dilakukan dewan pengupahan. Namun, perlu ditegaskan: riset, ide tandingan, kritik terbuka secara langsung, hanya dapat disaksikan dan dilakukan setelah Soeharto ditumbangkan.

Salah satu kemenangan gerakan massa menggulingkan Soeharto adalah mengusir tentara dari urusan sipil dan yang turut campur dalam urusan perburuhan. Kemudian pengakuan hak berserikat, berunding, upah layak dan syarat kerja yang manusiawi. Berkah demokrasi saat ini dapat dinikmati oleh pihak yang tidak pernah terlibat dalam perjuangan demokratik, bahkan menolak demokrasi. Jadi pertanyaan rezim mana yang lebih baik; “Soeharto atau Jokowi?”, merupakan pertanyaan yang tidak berguna.

Saat ini, para pejabat sipil mengundang kembali para tentara menangani urusan perburuhan. Di awali dengan kesepakatan antara Kementerian Ketenagakerjaan dan Kepolisian Republik Indonesia, untuk mengamankan persoalan ketenagakerjaan yang diteken pada 29 Desember 2018. Berlanjut dengan Kesepakatan Kepolisian Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia pada 2 Februari 2018. Kesepakatan Kepolisian dan TNI lebih lugas, yakni pelibatan tentara menghadapi pemogokan, unjuk rasa dan kegiatan-kegiatan yang didefinisikan berpotensi memunculkan konflik sosial.

Nyatanya, sejak dulu, kebebasan berserikat dan berunding serta kesejahteraan sebagai bagian hak demokratis buruh, harus diperjuangan dan harus diperluas.