Pada 24 Juni 2019, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menggulirkan perlunya amandemen Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) Nomor 13 Tahun 2003. Hanif Dhakiri menganalogikan beleid ketenagakerjaan dengan ‘kanebo kering’ dalam artian sama-sama kaku dalam merespons perkembangan ekonomi.
Upaya merevisi UUK tahun ini merupakan percobaan yang kelima. Percobaan pertama dilakukan pada 2006. Kala itu, revisi UUK melibatkan lima universitas ternama di Indonesia. Upaya kedua dilakukan pada 2010, kemudian 2017 dan 2018.
Dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengawas Ketenagakerjaan 2017, Kepala Biro Hukum Kemnaker menegaskan, telah membentuk tim pembahasan perubahan untuk menyusun naskah draf akademis UUK 13 dan bidang pengawasan. Belum diketahui sejauh mana naskah akademis dan rancangan undang-undang yang diajukan pemerintah. Selaras dengan gagasan merevisi UUK 13, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM telah mengeluarkan laporan dan analisis hukum ketenagakerjaan 2018. Isinya menegaskan bahwa UUK 13 harus diganti dengan mengusulkan pencabutan upah minimum sektoral, penghilangan hak cuti haid, membatasi hak mogok, memasukan kembali pasal-pasal kesalahan berat, menghilangkan uang penghargaan masa kerja dalam pemutusan hubungan kerja dan menetapkan jumlah uang pesangoan dalam undang-undang sebagai jumlah maksimum.
Pastinya, amandamen UUK 13 masuk dalam Prolegnas 2015-2019 bersama Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Pengupahan dan RUU tentang Pengawasan Ketenagakerjaan, RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, dan RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri. Keempatnya tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas maupun Kumulatif.
Argumen amandemen UUK tahun ini tidak berbeda dengan tahun sebelumnya. Revisi UUK diharapkan dapat menarik investasi lebih besar dan menciptakan peluang kerja lebih luas. Alasan yang relatif baru dikemukakannya alasan bahwa beberapa pasal-pasal dalam UUK telah di-judicial reviewdan tidak merespons perkembangan ekonomi digital. Secara khusus, Apindo mengusulkan meninjau ulang pasal-pasal yang berkaitan nilai pesangon dan perhitungan upah berdasarkan produktivitas.
Menggunting kesempatan kerja
Pasar kerja fleksibel diartikan sebagai kebijakan yang memberikan kemudahan bagi pengusaha untuk merekrut dan memberhentikan pekerja sesuai kebutuhan produksi. Sehingga memungkinkan kapital dapat dilipatgandakan dalam kondisi krisis sekalipun. Artinya, biarkan pemodal beroperasi sesukanya. Semua campur tangan negara terhadap pasar tenaga kerja harus dikurangi bahkan ditiadakan. Konsepsi pasar kerja fleksibel dipromosikan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional kepada negara-negara berkembang sebagai resep pembangunan sosial ekonomi.
Konsep pasar kerja fleksibel ditawarkan oleh IMF (International Monetery Fund) dan Bank Dunia kepada Pemerintah Indonesia melalui berbagai kesepakatan sebagai syarat pencairan utang. Pada 2004, Pemerintah Indonesia mengintegrasikan konsep pasar kerja fleksibel dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengan Nasional) 2004-2009.
Secara umum, pasar kerja fleksibel mencakup fleksibilisasi eksternal dan internal (Eiler, 2000). Fleksibilisasi eksternal berkaitan dengan mekanisme perekrutan dan pemecatan. Konsep operasionalnya adalah ketersediaan dan kemudahan merekrut tenaga kerja, penyesuaian penggunaan tenaga kerja, dan pemutusan hubungan kerja. Perekrutan dan pemutusan hubungan kerja yang melibatkan lembaga negara dianggap gangguan terhadap fleksibilitas. Praktiknya dapat model pemborongan pekerjaan ke pihak ketiga, pekerja rumahan, penyaluran tenaga kerja oleh lembaga swasta dan perekrutan tenaga kerja sementara alias buruh kontrak.
Fleksibilisasi internal berkaitan dengan jam kerja fleksibel, upah fleksibel, dan fungsi fleksibel alias pekerja yang dapat menangani berbagai jenis keterampilan dan pekerjaan. Praktik fleksibilisasi internal dapat ditemukan dalam berbagai model kerja, seperti seorang buruh yang menangani berbagai pekerjaan (multi-tasking), pengaturan upah yang disesuaikan dengan inflasi atau satuan hasil, penambahan target pekerjaan yang harus dicapai dalam waktu tertentu (intensifikasi kerja).
Dapat pula ditambahkan tentang kebijakan pemagangan. Tentu saja sangat tidak mungkin mengubah usia minimum kerja 18 tahun menjadi lebih rendah, seperti pernah diujicobakan pada revisi UUK 2006, karena akan mengundang respons negatif dunia internasional. Karena itu, kebijakan pemagangan dapat dilihat sebagai bagian dari penciptaan pasar angkatan kerja dengan menyasar calon pekerja muda dengan usia kerja yang lebih rendah dari ketentuan peraturan perundangan. Juga menciptakan tenaga kerja terampil siap pakai. Batas usia kerja (18 tahun) yang merupakan salah satu capaian gerakan buruh, sedang dipreteli melalui kebijakan pemagangan.
Aspek-aspek fleksibilitas tenaga kerja seperti yang telah disebutkan di atas, telah menjadi bagian dari UUK 13. Namun, menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) (2004), peraturan perundangan ketenagakerjaan masih kurang fleksibel. Bappenas menyarankan perluasan pekerja kontrak untuk semua jenis pekerjaan, penetapan upah minimum menjadi upah bipartit dan individual, kemudahan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja dengan nilai pesangon lebih rendah, dan penghilangan perlindungan di tempat kerja. Sejak itu, laporan-laporan pemerintah tentang pembangunan ekonomi selalu mengulang kalimat yang sama: UUK tidak ramah investasi. Terakhir, per 2018, Bank Dunia dan IMF, mengusulkan agar negara-negara berkembang memperluas fleksibilisasi tenaga kerja demi mendatangkan para investor.
Karena menimbulkan kontroversi, mungkin saja rencana revisi UUK diurungkan. Kemudian akan muncul dalam Prolegnas di periode mendatang. Namun, yang perlu diperhatikan adalah keluarnya kebijakan pesangon dari arah lain dengan menukarnya dengan kebijakan yang dianggap mengakomodasi tuntutan sebagian serikat buruh. Seperti diketahui, Apindo menanggap bahwa kebijakan pesangon terlalu mahal serta tumpang tindih dengan jaminan hari tua dan jaminan pensiun. Apindo mengusulkan mengganti kebijakan pesangon dengan skema jaminan hari tua dan jaminan sosial yang dikelola secara swasta, dengan sumber keuangan dari negara, pengusaha dan iuran buruh (Apindo, 2015). Hal tersebut tecermin dari munculnya gagasan tentang asuransi pengangguran. Beberapa serikat buruh tingkat nasional telah memberikan komentar positif tentang rencana memperbesar skema jaminan pensiun dan skema tunjangan pengangguran bagi korban PHK dalam bentuk Unemployment Benefit (UB) dan Skill Development Fund (SDF).
Perhatikan pula bahwa pasal tentang pesangon merupakan bagian dari kebijakan pengupahan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015. Meskipun Pemerintah memberikan sinyal akan segera merevisi PP 78, sulit dipastika bahwa kebijakan pesangon tidak akan dikeluarkan melalui peraturan tersebut. Hanif Dhakiri mengabarkan bahwa revisi PP 78 sedang dalam proses konsultasi dan memastikan tidak akan mengubah tentang formula upah minimum.
Berkaca dari pengesahan draf UU Ketenagakerjaan 13 Tahun 2003 dan UU Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) Tahun 2004. Tanpa naskah akademis dan tanpa menunggu persetujuan seluruh serikat buruh, dua undang-undang tersebut disahkan. Kala itu, Kemenakertrans Jacob Nuwa Wea berhasil mengonsolidasikan para pimpinan serikat buruh dan membentuk ‘tim kecil’. Tim kecil tersebut dilibatan dalam perumusan UUK dan UU PPHI. Pengalaman yang mirip diperlihatkan dalam pengesahan PP 78, yang disahkan meski ditolak oleh hampir seluruh serikat buruh. Lagi pula, dalam lima tahun terakhir, seperti diperlihatkan dalam ‘kegiatan selfie’ menjelang May Day, Hanif Dhakiri selalu berhasil mengonsolidasikan pimpinan-pimpinan serikat buruh tingkat nasional.
Saat ini, serikat-serikat buruh tingkat nasional telah mengambil ancang-ancang akan menolak rencana revisi pasal-pasal tentang pesangon dalam UUK 13. ‘Pasal pesangon’ merupakan salah satu daya tarik gelombang aksi massa penolakan revisi UUK 13 di tahun-tahun sebelumnya. Tentu saja hal tersebut berlaku bagi serikat buruh dengan mayoritas anggotanya buruh tetap. Sayangnya, dalam sepuluh tahun terakhir proporsi jumlah buruh tetap di seluruh sektor industri terus menurun. Di berbagai sektor industri, jumlah buruh kontrak bisa mencapai 90 persen dari total pekerja. Artinya, dalam melawan rencana revisi UUK 2013, terlebih perluasan fleksibilisasi tenaga kerja, para pengurus serikat buruh perlu berpikir keras menyapa dan mengajak buruh dan calon buruh yang menjadi santapan kebijakan pasar kerja fleksibel. Fleksibilisasi tenaga kerja merupakan kata kunci untuk memahami pemburukan keadaan perburuhan, namun perlu dibahasakan dalam kehidupan sehari-hari para buruh.
SELEPAS HUJAN. Langit mulai menghitam. Sisa air menggenang di jalanan. Pohon dan daun seperti menggigil. Setelah menghabiskan secangkir teh dan beberapa gorengan di warung kopi, saya menyalakan kembali sepeda motor. Mengendarainya dari pusaran Kota Bogor menuju pinggiran Bogor.
Ba’da magrib, secara rutin Mang Ato nyebor (menyiram) kebun jagung yang letaknya di belakang rumah saya. Akibat langkanya air, lahan sehektar itu baru terlihat basah menjelang subuh. Sekitar pukul 7 pagi, dia baru bisa istirahat, ngobrol dan ngopi di warung saya. Dia tampak lelah karena sepanjang malam dalam waktu dua bulan matanya tak pernah terpejam. […]
Better Work Indonesia (BWI) pertama kali dikenal di lingkungan perusahaan dua tahun yang lalu. Kala itu kami mengetahui bahwa audit, yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, tidak lagi dilakukan langsung oleh H&M selaku customer utama di perusahaan tempat kami bekerja. Hanya sedikit informasi yang diketahui oleh para buruh di perusahaan mengenai BWI. Melalui informasi dari manajemen tentunya, […]