MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Sebuah Teori Baru tentang Aksi Mogok

Demonstrasi Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2020. Jakarta. Foto: LIPS/Oza


Mass Strikes and Social Movements in Brazil and India: Popular Mobilisation in the Long Depression
Penulis: Jörg Nowak
Penerbit: Palgrave MacMillan
Tahun terbit: 2019


Gagasan tentang pemogokan massal melawan sistem kapitalisme yang eksploitatif merupakan ide paling kuat dalam tradisi pemikiran Marxis. Dengan ide aksi mogok ini, Karl Marx (1818-1883) mengajukan perubahan pemikiran di kelas buruh, agar “para buruh menyadari bahwa mereka, secara kolektif, merupakan ‘aktor penting dalam produksi’, dan bahwa jika mereka serentak berhenti bekerja, maka aktivitas produksi pun akan terhenti.”

Beragam model pemogokan massal telah dilakukan di banyak tempat dengan beberapa penyesuaian dari model Eropa Barat, tempat pertama kali mogok massal dilakukan. Terdapat juga perdebatan tentang bagaimana seharusnya kelas buruh merespon perubahan dan perkembangan sistem kapitalisme saat ini.

Terbitnya buku Mass Strikes and Social Movements in Brazil and India: Popular Mobilisation in the Long Depression (Pemogokan Massal dan Gerakan Sosial di Brazil dan India: Mobilisasi Rakyat saat Krisis Panjang), karya Jörg Nowak, secara menarik membantah pendekatan yang selama ini sering digunakan dalam menjelaskan konflik-konflik perburuhan, yang menurutnya terlampau mengekor ke Eropa (Eurosentris).

Dalam melihat peristiwa pemogokan saat ini Nowak menganggap bahwa kita perlu melihat dalam perspektif (pandangan) yang lebih luas, tidak memandang buruh dalam hal hubungan industrialnya saja, juga mencakup hubungan sosial mereka di luar tempat kerja. Peristiwa mogok, dengan demikian, bukan hanya soal hubungan dan perjuangan kelas buruh di pabrik. Juga, soal hubungan-hubungan sosial mereka yang ada di luar tembok pabrik.

Nowak menjelaskan bahwa aspek-aspek lain yang harus diperhitungkan dalam mengurai aksi pemogokan buruh ialah: (1) aktor-aktor yang terlibat selain buruh; (2) organisasi dan komunitas yang mendukung; (3) bagaimana komunitas dan organisasi sosial lain bersolidaritas; dan (4) bagaimana aksi mogok tersebut dilakukan. Poin yang terakhir ini juga penting dianalisis untuk melihat pentingnya pengalaman-pengalaman aksi bersama sebelumnya (collective repertoire) yang turut mempengaruhi pilihan bentuk dan strategi aksi mogok.

Dari temuan penelitiannya di dua negara, India dan Brazil, Nowak menyebutkan konflik dan kasus-kasus perburuhan seringkali ditangani oleh organisasi dan komunitas lain tanpa bantuan, serta peran berarti, dari serikat buruh. Ada pula kasus-kasus yang menimpa buruh dan masyarakat ditangani oleh aliansi buruh yang lebih cair dan terbuka, yang berjejaring dengan gerakan sosial. Seperti ditunjukkan dalam beberapa pengalaman mogok massal buruh di industri otomotif India dan komunitas yang terdampak oleh proyek pembangunan bendungan di Brazil, serikat buruh di lokasi tersebut bukanlah aktor yang efektif dan berperan penting. Bahkan cenderung tidak atau enggan terlibat.

Untuk itu, Nowak mengajukan analisis teoretis tentang aksi mogok dan protes buruh yang tidak melihat pabrik dan serikat buruh sebagai aspek penting untuk dianalisis, melainkan aspek-aspek lain di luar keduanya: bentuk-bentuk organisasi dan sumber-sumber mobilisasi dalam aksi mogok buruh. Amat penting bagi kita untuk mencari model alternatif dari politik pengorganisasian buruh yang baru. Pendek kata, kita sesungguhnya membutuhkan satu teori baru tentang aksi mogok.

Dengan teori baru tentang aksi mogok, Nowak berpendapat bahwa kita “harus merespons dan memahami keadaan aktual kelas buruh dan bagaimana kondisi tersebut ditanggapi sesuai dengan kebutuhan mereka, baik dalam hal tindakan maupun bentuk organisasi yang sesuai dengan situasi dan konteks”.

Teori baru tentang perlawanan buruh harus menganalisis bagaimana proses sosial, politik, dan ekonomi yang mereproduksi kelas buruh. Karenanya, kelas buruh juga harus didefinisikan secara luas, terdiri dari mereka yang “tidak hanya yang bekerja sebagai buruh formal, tapi juga yang di sektor informal, yang berwirausaha, buruh harian lepas, mereka yang tidak diupah, buruh yang terikat hutang dengan majikan, hingga yang bisa dikategorikan sebagai budak.” Semua kategori buruh tersebut memiliki kesamaan, yaitu sebagai objek “komodifikasi, pemaksaan, dan pemerasan atas tenaga mereka”.

Sebenarnya ide-ide yang ditawarkan Nowak dalam bukunya itu bukanlah sesuatu yang baru. Pandangan dan pengalaman ini telah didiskusikan oleh para aktivis buruh dalam beberapa dekade terakhir, misalnya perdebatan tentang strategi pengorganisasian buruh yang berbasis komunitas, bukan hanya berdasarkan tempat kerja mereka.

Terlepas dari kesulitan dan tantangan dalam menerapkan ide pengorganisasian berbasis komunitas tersebut, strategi pengorganisasian buruh yang lebih luas dari tempat kerja, yang mencakup komunitas tempat mereka tinggal sudah banyak dijelajahi, setidaknya di banyak negara di Asia. Untuk menyebutkan beberapa, pengalaman ini sudah bergulir lama. Contohnya adalah cerita terbaru tentang inisiatif-inisiatif pengorganisasian di beberapa negara di Asia dalam situasi yang berubah, termasuk cerita-cerita perlawanan dari Indonesia.

Dalam suatu analisisnya yang menarik, Chang Dae-oup secara kritis menilai peran gerakan buruh melawan pergerakan kapital di Asia — yang merupakan ‘benua buruh’ — dan mendorong agar buruh serta organisasinya memainkan peran sentral. Peran sentral ini bukan berarti buruh adalah ‘kelompok yang eksklusif’, tetapi karena mereka adalah faktor paling penting dari alasan mengapa pergerakan kapital terjadi. Chang menganggap bahwa buruh bukanlah satu komponen atau sektor sosial yang terkait dengan pergerakan kapital, melainkan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari adanya kapital itu sendiri. Dengan kata lain, gerakan buruh dan gerakan sosial harus merespons gerak kapital ini.

Gerak kapital tidak hanya berarti pergerakan uang secara geografis, melainkan juga konsekuensinya yang menimbulkan perubahan hubungan sosial di mana relasi kerja dan relasi sosial yang kapitalistik diperkenalkan secara paksa pada masyarakat.

Untuk itu, karena kapital dan segala logikanya masuk ke dalam segala bentuk relasi sosial, masuk ke segala penjuru kegiatan ekonomi masyarakat dari kota hingga perkampungan, maka penting bagi kita untuk memasukkan segala bentuk perjuangan dan gerakan sosial ke dalam definisi perjuangan kelas buruh.

Dalam hal ini, alih-alih mendefinisikan gerakan sosial, komunitas, dan berbagai jenis kelompok yang terlibat dalam pemogokan massa sebagai non-kelas, seperti yang ditunjukkan Nowak di buku ini, saya berpendapat bahwa mereka harus dianggap sebagai aliansi dan juga sebagai bagian dari perjuangan kelas. Mereka adalah bagian dari pekerja yang terus-menerus direproduksi oleh proses sosial, politik dan ekonomi sistem kapitalisme. Oleh karena itu, definisi kelas harus bersifat inklusif (terbuka) untuk merangkul berbagai bagian masyarakat yang merupakan objek dari “komodifikasi, pemaksaan, dan pemerasan atas tenaga dan keringat mereka”.

Tentu saja, teori baru aksi mogok oleh Nowak di buku barunya ini memperkaya perdebatan panjang tentang masa depan gerakan buruh, karena hasil penelitiannya memberikan bukti yang cukup rinci dari lapangan serta analisis menyeluruh dari literatur sekunder tentang pemogokan massal.

Menurut saya, sudah saatnya kita merefleksikan arah baru bagi gerakan buruh yang mengakui masyarakat secara lebih luas, tidak lagi hanya yang terkait dengan buruh dan pabrik sebagai tempat di mana pengorganisasian sosial diasah untuk melawan kapital. Ini bukan karena komunitas adalah tempat di mana buruh tinggal, tetapi karena pergerakan kapital yang meningkat telah menggabungkan secara paksa semua aspek masyarakat, di semua tempat, ke dalam logika akumulasi dan ekstraksi yang eksploitatif.

Itu berarti bahwa kerja-kerja pengorganisasian buruh harus diperluas menyebrang tembok pabrik, menjadi pengorganisasian sosial yang merangkul semua kategori buruh: formal dan non-formal, produktif dan non-produktif, buruh upahan dan yang tak dibayar, buruh pabrik dan buruh rumahan, pekerja swasta dan mereka yang wirausaha, pekerja paksa dan buruh terlilit hutang, pedagang asongan, pengamen, buruh tani dan petani tanpa tanah, dan sebagainya. Ini semua adalah kelas pekerja, kaum proletar, kelompok ‘subaltern’ dan revolusioner, yang bekerja di perkotaan, pedesaan, industri, pertanian, dan banyak lokasi lainnya. Di atas pijakan mereka lah mobilisasi dan pemogokan massal dimungkinkan terjadi.


Versi bahasa Inggris artikel:

Buku dapat diunduh di:

http://ppesydney.net/a-new-theory-of-strikes-for-a-new-labour-movement/


Penulis

Fahmi Panimbang