MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Landasan Sesat dan Menyesatkan dalam Naskah Akademis Revisi Undang-Undang Serikat Buruh/Serikat Pekerja

Beberapa waktu belakangan muncul wacana mengenai revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (UU Serikat Buruh). Merujuk pada naskah akademik yang beredar -bertanggal 11 Maret 2022, menurunnya jumlah keanggotaan serikat buruh (union density) menjadi salah satu alasan dari revisi ini.

Penyusun naskah akademik kemudian berusaha mengaitkan hal ini dengan karakteristik serikat buruh di Indonesia, antara lain:
Serikat buruh mudah mengalami fragmentasi atau perpecahan;
Pengelompokan serikat buruh tidak didasari pada orientasi atau ideologi gerakan; dan
Serikat buruh kental dengan eksklusivisme, baik dengan kelompok masyarakat lainnya maupun antar sesama serikat buruh

Ketiga karakteristik di atas, oleh penyusun naskah akademik, dinilai sebagai imbas dari kelemahan UU Serikat Buruh, khususnya mengenai kemudahan pendirian serikat buruh dan kepentingan para pimpinan serikat. Argumen tersebut dilegitimasi dengan mengutip beberapa hasil penelitian tanpa mengurai problem struktural yang melandasi kesimpulan-kesimpulan dalam penelitian tersebut. Namun, penyusun naskah akademik dengan berdasarkan pada “aspirasi masyarakat” juga menuliskan bahwa jaminan hak berserikat bagi buruh kerap dihalangi oleh pengusaha.

Permasalahan ini kemudian dikorelasikan juga oleh penyusun naskah akademik dengan UU Serikat Buruh yang berparadigma konflik, alih-alih kemitraan antara buruh dan pengusa. Namun, tidak ada uraian mengenai alasan mengapa UU Serikat Buruh disebut berparadigma konflik.

Di samping itu, terdapat alasan lain mengenai urgensi revisi ini, yaitu bermunculannya pekerja informal sebagai dampak dari perkembangan tekonologi. Dalam hal ini, UU Serikat Buruh dinilai belum mampu menjamin hak berserikat dari para pekerja informal, khususnya yang bekerja pada platform digital.

Untuk itu, secara garis besar, penyusun naskah akademik mengusulkan perubahan-perubahan sebagai berikut:

  • Beberapa perubahan substansi pasal sehingga dapat menjangkau hak berserikat bagi pekerja digital
  • Penambahan jumlah minimal buruh untuk pembentukan serikat buruh dan perubahan syarat pembentukan federasi serta konfederasi serikat buruh
  • Jaminan hak terhadap pekerja asing untuk ikut berserikat
  • Tentang mekanisme pengawasan keaktifan serikat untut menentukan the most representative unions dalam agenda-agenda perundingan
  • Sanksi bagi manager yang menjadi pengurus serikat buruh
  • Pemberian mandat untuk pembuatan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) penegakan hukum terhadap tindak pidana union busting
  • Ketentuan lain mengenai aspek-aspek keadministrasian serikat buruh dan beberapa perubahan yang tidak substansial
  • Setelah melihat secara garis besar isi dari naskah akademik ini, lalu apa masalahnya?

Tentang Menurunnya Anggota serta Syarat Pendirian Serikat Buruh
Sebagaimana ditulis dalam naskah akademik, jumlah anggota serikat buruh pada 2008 adalah sekitar 3,9 juta. Sementara, pada 2015 hanya terdapat 1,5 juta buruh yang berserikat. Mengaitkan hal ini dengan fragmentasi serikat buruh, yang juga dinilai para penyusun naskah akademik berkelindan dengan kemudahan pendirian serikat, tentunya merupkan simplifikasi -jika bukan sebuah kesesatan.

Sebagaimana ditulis dalam bagian latar belakang naskah akademik, bahwa praktik kerja kontrak dan outsourcing telah berkontribusi pada pembatasan hak berorganisasi. Namun, permasalahan ini hanya dituliskan pada bagian latar belakang tanpa dianalisis dalam bagian pembahasan. Tentu saja hal ini layak menjadi perhatian.

Penerapan hubungan kerja yang fleksibel (kontrak dan outsourcing) diiringi dengan kemudahan relokasi industri menjadi problem mendasar mengenai permasalahan tersebut. Fleksibilisasi telah mengakibatkan hilangnya job security sehingga menimbulkan kecemasan bagi buruh untuk berserikat. Pada akhirnya, akan memperberat kerja pengorganisiran yang dilakukan oleh serikat buruh.

Proses pendirian serikat maupun perluasan anggota seringkali harus dilakukan dengan menyiapkan tim advokasi karena tingginya potensi PHK. Sementara, advokasi PHK memakan waktu yang cukup lama. Padahal, jika waktu serta energi untuk advokasi PHK digunakan oleh serikat butuh melakukan pengorganisasian serta pendidikan, tentu saja serikat buruh akan menjadi lebih kuat. Meskipun telah secara hukum PHK yang berkaitan terhadap aktvitias serikat buruh adalah tindak pidana, namun penyelenggara negara agaknya tidak memiliki syahwat dalam melakukan penegakan hukum. Ke depan, tentu permasalahan ini akan semakin pelik mengingat produk hukum inkonstitusional bernama Undang-Undang Cipta Kerja -namun secara ajaib tetap berlaku- semakin merestui fleksibilisasi. Permasalahan substansial ini sama sekali tidak dibahas, atau mungkin sengaja dihindari untuk dibahas, oleh penyusun naskah akademik.

Di tengah keterbatasan tersebut, usulan dari penyusun naskah akademik yang berkorelasi dengan permasalahan pengorganisasian adalah adanya penyesuaian syarat untuk pencatatan serikat buruh. Hal ini diklaim akan dapat mengurangi fragmentasi serikat buruh. Berdasarkan Tabel Sandingan UU Serikat Buruh (yang saat ini berlaku) dan Revisi, penyusun mengusulkan agar adanya peningkatan dari minimal 10 orang menjadi 20 orang buruh untuk mendirikan serikat buruh.

Mengenai permasalahan jumlah minimal anggota sebagai syarat pembentukan serikat buruh, memang bersumber dari keputusan Committee on Freedom of Association (Komite Kebebasan Berserikat) ILO. Dalam Digest of Decisions and Principles of the Freedom of Association Committee edisi kelima (2006) nomor 292 disebutkan bahwa, “The legal requirement that there be a minimum number of 20 members to form a union does not seem excessive and, therefore, does not in itself constitute an obstacle to the formation of a trade union”. Batasan minimal 20 orang untuk pendirian serikat dinilai ILO tidak terlalu berlebihan.

Berdebat mengenai angka-angka memang menyulitkan. Kenapa minimal 20 buruh, bukan 19 atau 21 misalnya. Namun, melihat kecenderungan fleksibilisasi yang terjadi, agaknya penambahan jumlah minimal ini akan menjadi kontra-produktif terhadap jaminan hak berserikat. Untuk sekedar “mengajak” buruh-buruh berserikat di tengah tantangan fleksibilisasi, dengan syarat minimal 10 orang buruh saja merupakan tantangan cukup besar bagi buruh. Dengan kecenderungan rezim saat ini, memperberat syarat pencatatan serikat patut dilihat sebagai rangkaian upaya dalam melemahkan kekuatan serikat buruh.

Disamping itu, jika dilihat mengenai syarat pendirian hingga konfederasi serikat buruh, sebenarnya jumlah minimal pendirian serikat yang diusulkan di dalam draft revisi UU Serikat Buruh tidak terlalu berbeda jauh. Berikut perbandingannya:

UU Serikat BuruhDraft Revisi (Tabel Sandingan)
Serikat Buruh (Tingkat Basis)Min. 10 orangMin. 20 orang
Federasi Serikat BuruhMin. 5 Serikat tk. Basis (50 orang)Min. 3 Serikat tk. Basis (60 orang)
Konfederasi Serikat BuruhMin. 3 Federasi Serikat Buruh (150 orang)Min. 3 Federasi Serikat Buruh (180 orang)

Dengan melihat perbandingan ini, dapat dilihat bahwa hingga tingkat konfederasi, jumlah minimal kenggotaan tidak terlalu berbeda. Hanya selisih 30 orang pada tingkat konfederasi. Artinya, peningkatakan persyaratan terhadap pencatatan serikat buruh ini memang lebih ditujukan untuk menyasar serikat buruh di tingkat basis yang menjadi “tulang punggung” bagi eksistensi serikat buruh.


Tendensi (untuk Kembali) ke Arah Hubungan Industrial Pancasila

Dalam Tabel Sandingan UU Serikat Buruh (yang saat ini berlaku) dan Revisi, tendensi untuk memperlemah kekuatan serikat buruh yang bernuansa Hubungan Industrial Pancasila semakin terlihat pada penambahan norma-norma yang mengarahkan pada harmonisasi dalam relasi antara buruh dengan pengusaha. Misalnya, meskipun tidak diatur sebagai kewajiban, namun “meningkatkan produktivitas buruh” diusulkan sebagai sebagai hak serikat buruh. Tanpa adanya kajian mengenai produktivitas buruh di dalam naskah akademik, hal ini secara mendadak muncul sebagai usulan.

Berdasarkan praktik yang terjadi selama ini, dengan narasi bahwa produktivitas buruh Indonesia rendah, aturan-aturan yang memperburuk jaminan hak buruh disahkan. Dalam sektor garmen misalnya, 40 jam kerja dalam seminggu sudah semakin menjadi mitos. Lembur yang semestinya bersifat sukarela, dijadikan sebagai kewajiban atas nama “target”. Para bos juga tidak pernah jatuh miskin karena problem produktivitas. Di sisi lain, dalam tinjauan yang lebih moderat, pemerintah telah menyediakan balai-balai latihan kerja di berbagai daerah. Tentu hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah balai latihan kerja tersebut tidak berfungsi sehingga masih dibutuhkan peran serikat buruh untuk meningkatkan produktivitas?

Dikaitkan dengan rencana penambahan syarat minimal bagi pendirian serikat buruh, kiranya agenda untuk mewujudkan “kondusivitas” hubungan industrial yang menjadi jantung hubungan industrial Pancasila dapat terlihat lebih jelas. Menambah persyaratan minimal keanggotaan tentu saja berarti menyulitkan serikat buruh yang agenda utamanya adalah “melawan” penindasan. Di sisi lain, hal ini akan memudahkan pendirian serikat buruh yang memiliki agenda “kongkow mesra” dengan pengusaha. Serikat buruh yang berniat bermesraan dengan pengusaha tentu saja relatif tidak memiliki tantangan mengenai jumlah minimal buruh untuk pendirian serikat. Seluruh buruh dalam satu pabrik-pun dapat dengan mudah dijadikan anggota. Tentu saja, usulan ini dapat dikorelasikan dengan argumen di dalam naskah akademik bahwa UU Serikat Buruh saat ini berparadigma konflik dan harus diarahkan pada kemitraan.

Selain itu, ada satu hal yang cukup mengundang tawa dalam Tabel Sandingan UU Serikat Buruh (yang saat ini berlaku) dan Revisi. Ke depan, akan diatur mengenai kewajiban pemerintah untuk, “melakukan pembinaan terhadap SB/SP mengenai keberadaan organisasinya dalam bentuk ketaatan dalam menjalankan konstitusi organisasi, peningkatan kesejahteraan anggota, pembelaan anggota, pendidikan dan pelatihan terhadap pengurus”. Namun, bagaimana mungkin pegawai-pegawai Disnaker harus membina serikat buruh sementara banyak catatan negatif atas kinerja mereka?

Setiap mengajukan pengaduan kepada pengawas ketenagakerjaan saja misalnya, para pengawas kerap kali mengeluhkan bahwa jumlah pengawas sangat minim, sehingga menjadi alasan pembenar untuk bekerja lambat atau bahkan tidak menindaklanjuti aduan. Bahkan, tak jarang, serikat buruh harus “membina” para pegawai Disnaker agar bekerja sesuai mandat yang mereka terima.

Jika ingin membuat Disnaker lebih berfungsi, Kemnaker dapat memperkuat pengawasan dan “pembinaan” terhadap kinerja pegawai Disnaker dalam melaksanakan kewenangan yang ada. Jika mereka bekerja sesuai tupoksinya, itu sudah sedikit lebih baik bagi perlindungan hak buruh.

Tentang Poin Usulan Revisi yang Perlu tapi Tidak Perlu

Setidaknya, terdapat dua poin usulan revisi UU Serikat buruh yang “perlu” untuk melindungi hak berserikat tapi “tidak perlu” dilakukan melalui revisi undang-undang. Hal ini dikarenakan poin usulan ini dapat dilakukan dengan membentuk aturan turunan yang secara proses -dan tentu saja biaya- lebih menguntungkan.

Pertama, untuk mengakomodasi hak berserikat bagi pekerja platform digital, penyusun naskah akademik mengusulkan untuk mengubah definisi perusahaan karena definisi yang ada di dalam UU Serikat Buruh dinilai belum memadai. Namun, dalam Tabel Sandingan UU Serikat Buruh (yang saat ini berlaku) dan Revisi, tidak dapat perubahan substansial yang diusulkan.

Jika dibaca dengan cermat, definisi perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 8 UU Serikat Buruh terlihat telah memadai dalam hal jaminan kebebasan berserikat terhadap pekerja platform digital.

“Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan memberi upah atau imbalan dalam bentuk lain.”

Sehingga, jika ingin memberikan jaminan hak berserikat terhadap pekerja platform digital, dapat dilakukan dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan. Hal ini dikarenakan tidak ada penambahan aturan yang akan dilakukan, melainkan hanya berkaitan dengan pelaksanaan peraturan. Peraturan Menteri ini, hanya berfungsi untuk memastikan agar para pegawai Dinas Tenaga Kerja tidak menolak pencatatan serikat yang diajukan oleh pekerja platform digital.

Kedua, penyusun naskah akademik mengusulkan bahwa revisi UU Serikat Buruh harus memuat pasal yang mengamanatkan kepolisian dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) membentuk Juklak dan Juknis dalam melakukan penegakan hukum terhadap union busting. Alih-alih merupakan kendala legislasi, hal ini sebenarnya lebih merupakan persoalan kemauan dari kedua insititusi tersebut. Sudah menjadi konsekuensi logis, saat kedua insititusi tersebut diberikan kewenangan (dan yang lebih utama: kewajiban) untuk melakukan penegakan hukum terhadap union busting, maka insitusi-institusi tersebut merumuskan perihal teknis pelaksanaannya. Dalam tataran yang lebih abstrak, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) agaknya sudah cukup untuk menjelaskan prosedur yang dapat diambil.

Lalu Apa?

Dari naskah akademik maupun perubahan norma UU Serikat Buruh yang diusulkan oleh penyusun, arah revisi UU Serikat Buruh agaknya lebih ditujukan untuk melakukan pelemahan terhadap serikat buruh. Apalagi, di luar rencana revisi ini, masih terdapat permasalahan struktural lainnya yang harus dihadapi oleh buruh. Argumen-argumen dalam rencana revisi ini, tak ubahnya merupakan victim blaming, bahwa buruh difitnah lemah karena kesalahannya sendiri.

Penyusun naskah mengusulkan sejumlah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh (serikat) buruh tanpa adanya kejelasan mengenai komitmen terhadap perlindungan kebebasan berserikat. Karena itu, melakukan evaluasi kinerja penyelenggara negara sebagai faktor utama dibalik menurunnya jumlah anggota serikat buruh kiranya merupakan langkah yang masuk akal.

Jika pemerintah memang benar-benar ingin memperkuat serikat buruh, alih-alih ingin “membina” buruh sedemikian rupa, cukup berikan keleluasaan dalam pengembangan gagasan. Membiarkan ide-ide pro buruh berkembang -alih-aih mengontrol, menggunakan buzzer, apalagi melakukan kriminalisasi- tentu saja akan memperkuat serikat. Selain itu, kalau memang berani, berikan sanksi tegas bagi perusahaan pelanggar hak buruh. Tentu saja, yang terakhir dapat dilakukan tanpa perlu repot-repot merevisi UU Serikat Buruh.

Di samping keganjilan demi keganjilan, ada hal menarik yang dituliskan oleh penyusun naskah akademik. Sebagaimana dituliskan pada bagian awal, penyusun menyatakan bahwa salah satu karakteristik serikat buruh di Indonesia adalah “pengelompokan serikat buruh di Indonesia tidak mencerminkan pengelompokan orientasi dan ideologi gerakan”. Untuk menjelaskan hal ini, penyusun naskah akademik menulis, “Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Indonesia umumnya menganut sistem unitaris dan tripartisme serta dapat dikategorikan sebagai economic/business unionism yang membatasi gerakan pada tuntutan kesejahteraan anggota dalam kerangka hubungan kerja”. Berbekal kondisi ini, sepertinya, penyusun naskah akademik memandang perlu untuk menentukan the most representative unions dalam agenda-agenda perundingan (ditulis pada bagian awal tulisan).

Di samping kemungkinan bahwa model tripartisme ditolak atau setidaknya diterima secara bersyarat oleh sebagian kecil serikat, barangkali apa yang tertulis di naskah akademik perlu menjadi refleksi bersama. Apakah karakteristik tripartisme cocok dan cukup efektif untuk memperjuangkan hak-hak buruh? Jika dikaitkan dengan konteks upah misalnya, tentu saja tripartisme semestinya sudah tidak relevan mengingat “tangan-tangan gaib” dapat bermain dalam angka-angka terbitan BPS. Dalam konteks lain, barangkali jawabannya bisa ya dan tidak. Namun, mengingat kemenangan demi kemenangan yang diraih oleh para pemodal, dapatkah kita berasumsi bahwa tripartisme adalah sumber dari kemenanganan para pemodal tersebut?

Penulis

Rizky Putra Edry
Staff LBH Semarang