MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Akan Dibawa Ke Mana Revisi Undang-Undang Serikat Buruh?

Pembentukan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 (UU No. 21 Tahun 2000) tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh merupakan amanat konstitusi. Kususnya Pasal 28 UUD 1945, yang menyatakan bahwa “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.

Ketentuan tersebut mengakui adanya kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk berserikat sebagai sarana untuk memperjuangkan kepentingannya, melalui pikiran-pikiran yang disampaikan baik secara lisan maupun tulisan.

Lahirnya UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh juga dilatari oleh kesadaran politik dan sejarah atas pengalaman saat rezim orde baru berkuasa selama 32 tahun cenderung represif, otoriter dan membatasi kebebasan masyarakt sipil.

Secara kuantitatif, lahirnya UU No. 21 Tahun 2000 telah mendorong lahirnya banyak organisasi serikat pekerja atau serikat buruh. Baik serikat pekerja atau serikat buruh di perusahaan, maupun serikat pekerja dalam bentuk federasi dan konfederasi.

Setelah 5 tahun paska disahkannya UU tersebut, tercatat ada 3 konfederasi, 86 federasi, dan 11.852 unit serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB) di tingkat perusahaan atau pabrik.

Hasil verifikasi Kementerian Tenaga Kerja pada 2015, terdapat 14 Konfederasi, 120 Federasi, dan 12.302 unit SP/SB di tingkat pabrik. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus bertambah mengingat begitu mudahnya syarat pendirian Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Indonesia, termasuk pendirian di tingkat konfederasi, federasi maupun serikat independen (non-afiliasi).

Sayangnya, penambahan jumlah signifikan serikat pekerja/serikat buruh dalam bentuk federasi dan konfederasi tersebut, tidak paralel dengan tingkat partisipasi pekerja atau buruh dalam keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh itu sendiri.

Sejak diberlakukannya UU No. 21 Tahun 2000 jumlah anggota serikat pekerja/serikat buruh tren-nya justru terus mengalami penurunan yang signifikan. Data dari Kementrian Tenaga Kerja (Kemenaker) Republik Indonesia menunjukkan jumlah keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2008, berjumlah sekitar 3,9 juta pekerja/buruh. Setelah tahun 2008, jumlah pekerja yang terdaftar sebagai anggota serikat terus mengalami penurunan dan mencapai hanya 1, 6 juta pada 2015.

Tren penurunan tersebut bukan hanya pada pekerja/buruh yang berserikat, tapi juga penurunan pada jumlah serikat pekerja/serikat buruh di tingkat perusahaan atau pabrik.

Data Kemenaker menunjukkan, jumlah serikat pekerja/serikat buruh di tingkat perusahaan atau pabrik mengalami penurunan pada 2017. Dari total 230.000 perusahaan pada 2017, hanya ada 7000 perusahaan yang memiliki serikat pekerja/buruh. Angka ini menurun tajam selama 10 tahun sebelumnya, yang mencapai angka 14.000 perusahaan pada 2007.

Data Terakhir yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021. Hanya ada 12,04% atau kira-kira 12 dari 100 pekerja/buruh dengan status buruh/pekerja bebas yang telah bergabung dengan serikat pekerja pada tahun 2021.

Berdasarkan data-data di atas, kemudahan syarat mendirikan serikat pekerja atau serikat buruh yang diatur dalam UU No. 21 Tahun 2000 bukanlah menjadi jaminan semakin meningkatnya jumlah dan kesadaran pekerja atau buruh untuk berserikat.

Sehingga pandangan sebagian anggota senat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dan beberpa ahli yang menjadikan kemudahan pembentukan serikat pekerja/serikat buruh dalam UU No. 21 Tahun 2000 sebagai salah satu alasan pembenar untuk melakukan revisi UU No. 21 Tahun 2000 justeru menunjukkan fakta yang berbeda dan berbanding terbalik dengan tingkat partisipasi pekerja/buruh dalam keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh.

Terkait adanya anggapan atau pandangan dari sebagian pihak dalam Naskah Akademik Rencana Revisi UU No. 21 Tahun 2000 yang memandang bahwa UU tersebut masih berparadigma konflik, bukan berparadigma kemitraan, tentu kita mempertanyakan kesahihan data dan argumen serta kerangka yuridis yang digunakan. Pada bagian mana, bab mana, pasal berapa, ayat berapa atau bahkan frase mana dalam UU No. 21 Tahun 2000 yang menyebutkan bahwa UU tersebut dianggap masih menggunakan paradigma konflik bukan kemitraan?

Dalam ketentuan Pasal 4 ayat 2 huruf c UU No. 21 Tahun 2000 sangat jelas ditegaskan bahwa salah satu fungsi serikat pekerja atau serikat buruh itu adalah sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan di atas cukup jelas untuk menegaskan paradigma kemitraan yang dibangun dalam UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Persoalannya kemudian dilapangan banyak terjadi konflik antara pekerja atau buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha atau pemilik modal itu adalah persoalan lain. Konflik tersebut bisa saja disebabkan oleh sebab lain. Misalnya, terlalu dominannya peran pemilik modal dan semakin memudarnya peran negara untuk menjadi penengah atau wasit serta tidak atau kurang maksimalnya fungsi – fungsi pengawasan yang seharusnya menjadi tanggungjawab pemerintah, dan lemahnya profesionalisme aparat birokrasi di bidang ketenagakerjaan sebagai dampak dari diberlakukannya Otonomi Daerah. Sehingga, banyak aparat birokrasi yang tidak punya pengalaman untuk mengelola bidang perburuhan tapi karena alasan otonomi daerah dipaksa untuk mengelola bidang perburuhan.

Dari sisi ruang lingkup konflik, yang terjadi lebih didominasi oleh tuntutan hak dasar buruh, bukan oleh persoalan lain. Sehingga ketika penyebab semakin melebarnya ruang konflik antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena disebabkan diabaikannya atau dikurangkannya hak–hak normatif pekerja/buruh, maka titik pangkalnya bukan di UU No. 21 Tahun 2000 tapi pada undang – undang lain tentang perburuhan dan pada komitmen serta political will pemerintah sendiri terhadap perlindungan kaum pekerja atau kaum buruh.

Fakta menunjukkan, bahwa komitment atau political will pemerintah atau negara terhadap perlindungan dan kesejahteraan pekerja/buruh semakin melemah dan tergerus atau terkalahkan oleh kepentingan investasi dan kaum pemilik modal. Sebagai bukti kongkritnya adalah lahirnya UU Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan yang cenderung dipaksakan pemberlakuannya oleh pemerintah. Padahal, sangat merugikan kaum pekerja/buruh, dan itu demi kepentingan investasi dan para pemilik modal.

Begitu juga terhadap pendapat sebagaimana tercantum dalam Naskah Akademik yang disampaikan DPD RI, yang menganggap bahwa keberadaan UU No. 21 Tahun 2000 kurang mengakomodir dan dianggap menghambat para pekerja pada platform digital dan pekerja mandiri untuk berserikat karena kekuranglengkapan definisi tentang perusahaan. Tentu ini terlalu berlebihan dan kurang beralasan.

Padahal, definisi serikat pekerja atau serikat buruh dalam Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 21 Tahun 2000 sangat jelas diatur bahwa: Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.

Dengan demikian, definisi di perusahaan dan diluar perusahaan, sebenarnya sudah cukup untuk mengakomodir kepentingan para pekerja pada perusahaan platform digital atau bahkan pekerja mandiri sekalipun dapat membentuk atau mendirikan serikat pekerja atau serikat buruh.

Begitu juga terkait perlunya syarat pembentukan konfederasi atau federasi sesuai cakupan wilayahnya, syarat pendaftaran serikat pekerja/serikat buruh, perlunya pengawasan terhadap serikat pekerja atau serikat buruh yang tidak aktif dan beberapa hal lainnya yang dibahas dalam Naskah Akademik DPD RI tidak cukup menjadi alasan untuk melakukan revisi terhadap UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh.

Pertanyaannya kemudian, apakah UU No. 21 Tahun 2000 dianggap sudah sempurna? Jawabnnya tentu masih belum sempurna. Tapi kekurangsempurnaan tersebut tidak selalu menjadikan revisi sebagai jawabannnya. Hal yang bisa dilakukan adalah penguatan melalui peraturan turunannya. Baik melalui Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri atau peraturan teknis lainnya.

Pendapat diatas tentu tidak berarti kita anti revisi atau anti terhadap perubahan, tapi rencana revisi yang digulirkan oleh DPD RI itu harus dibahas dan dibuka secara transparan ke publik, disikapi secara hati – hati agar terhindar dari kecurigaan publik tentang adanya titipan dalam rencana revisi UU tersebut.

Menculnya kecurigaan publik terkait adanya agenda terselubung dalam wacana revisi UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh itu sangat wajar. Karena dari beberapa kali pengalaman pembahasan rancangan undang–undang, terutama RUU Cipta Kerja, serikat pekerja atau serikat buruh cukup terkecoh dengan sikap pura–pura atau seolah–olah akomodatif dari pemerintah dan DPR terhadap masukan atau aspirasi pekerja/buruh, tapi pada akhirnya mengabaikan suara dan aspirasi dari publik khususnya pekerja/buruh.

Terlepas dari hal yang disampaikan di atas, wacana perubahan UU No. 21 Tahun 2000 yang digulirkan oleh DPD RI setidaknya menimbulkan beberapa pertanyaan diantaranya:

Pertama: Mempertanyakan tugas dan wewenang DPD RI

Munculnya wacana perubahan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh oleh Dewan Perwakilan Daerah RI, menimbulkan pertanyaan yang menggelitik dari publik terhadap tugas dan kewenangan DPD RI itu sendiri. Apakah DPD RI mempunyai kewenangan untuk mengajukan Rancangan Undang–Undang atau RUU Perubahan UU Serikat Pekerja atau Serikat Buruh?

Dalam Ketentuan Pasal 22D Undang – Undang Dasar 1945, sangat jelas ditegaskan bahwa tugas dan wewenang DPD RI adalah :

  1. Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sum ber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
  2. Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
  3. Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang- undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 22D UUD 1945 di atas khususnya ayat 1, dalam bidang legislasi khususnya dalam pengajuan rancangan undang–undang, kewenangan DPD RI hanya dibatasi dalam pengajuan rancangan undang–undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Jika melihat ketentuan ayat 1 Pasal 22D UUD 1945 di atas sangat jelas bahwa DPD tidak punya kewenangan untuk pengajuan Rancangan Undang–Undang atau perubahan atas Undang–Undang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh.

Dengan demikian, atas dasar batasan kewenangan yang diatur dalam Ketentuan Pasal 22D UUD 1945 tersebut muncul pertanyaan, atas dasar dan pijakan hukum apa, DPD RI mengajukan RUU Perubahan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh?

Kedua: Momentum Bergulirnya Wacana Revisi UU No. 21 Tahun 2000

Sangat dipahami, munculnya wacana revisi UU No. 21 Tahun 2000 yang digulirkan oleh DPD RI beririsan dengan langkah pemerintah meng-gol-kan perubahan UU PPP (dan kini sudah disahkan DPR RI), sebagai pintu masuk untuk memuluskan upaya pemerintah untuk merevisi UU Cipta Kerja sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI.

Sehingga munculnya wacana perubahan atau revisi UU No. 21 Tahun 2000 oleh DPD RI tersebut sangat wajar ketika memunculkan dugaan sebagai bagian dari upaya rezim melalui tangan DPD RI untuk semakin memuluskan UU Cipta Kerja dengan tambahan perluasan pengaturan tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh.

Ada beberapa alasan yang memperkuat dugaan wacana perubahan UU No. 21 Tahun 2000 sebagai bagian untuk memperkuat perbaikan UU Cipta Kerja berdasarkan selera rezim diantaranya :

  1. Narasi yang dibangun oleh DPD RI ataupun para pendukung yang menyetujui perubahan atau revisi UU No. 21 tahun 2000 lebih banyak didominasi baik secara eksplisit maupun implisit oleh basis pemikiran untuk penguatan rekonsolidasi kekuasaan, dengan menertibkan kelompok sipil khususnya organisasi serikat pekerja atau serikat buruh.
  2. Alasan yang disampaikan dalam Naskah Akademik DPD RI tidak cukup menjadi alasan untuk pengajuan rancangan perubahan UU No. 21 Tahun 2000.
  3. Menjamurnya serikat pekerja atau serikat buruh sebagai akibat dari dimudahkannya syarat pembentukan serikat pekerja atau serikat buruh bukan alasan untuk merubah UU No. 21 Tahun 2000.
  4. Alasan atau tinjauan yang dipaparkan dalam naskah akademik yang disampaikan oleh DPD RI lebih didominasi memaparkan hal-hal teknis yang sebenarnya bisa diselesaikan oleh peraturan turunannya bukan melalui Revisi UU No. 21 Tahun 2000, dan beberapa hal lainnya.

Ketiga: Revisi UU No. 21 Tahun 2000, Untuk Kepentingan Siapa?

Karena keberadaan Dewan Perwakilan Daerah merupakan lembaga perwakilan, maka tentu rancangan undang-undang yang diusulkannya bukan mewakili dirinya atau kepentingan sendiri, tapi harus mewakili atau berdasarkan aspirasi dan kepentingan publik.

Atas dasar hal tersebut, menyangkut dengan wacana revisi UU No. 21 Tahun 2000 yang digulirkan DPD RI, tentu serikat pekerja/serikat buruh yang akan terdampak dari perubahan UU tersebut berhak mempertanyakan. Sebenarnya revisi UU tersebut atas usulan siapa? sehingga kita bisa melakukan pemetaan dan profiling terhadap kelompok pengusul, dan kepentingan yang mengikutinya.[]