MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

‘Upah Piece-rate’, Kolonialisme Data dan Pemiskinan Ojol

Pengantar

Artikel ini akan mendiskusikan bahwa hubungan pengemudi Ojol dan aplikator merupakan hubungan perburuhan. Bukan kemitraan, seperti dinarasikan aplikator, diamini oleh Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Perhubungan dan dilegitimasi oleh sebagian pengamat hukum doktrinal.

Akun pengemudi Ojek dan taksi online adalah alat produksi (alat kerja dan sasaran kerja). Melalui akun, driver online menerima dan menjalankan pesanan, sekaligus menerima penghargaan dan hukuman. Para pengemudi berupaya menjaga akun agar memiliki rating yang baik dan performa paripurna. Dalam beberapa kasus, akun dapat diperjualbelikan. Sepeda motor atau mobil dan handphone merupakan atribut yang melekat pada tubuh untuk melakukan aktivitas kerja.

Bisnis penyedia transportasi online, sebagaimana Gig Economy lainnya, dalam bentuk crowd-work dan work on-demand atawa pekerjaan berdasarkan permintaan merupakan gejala global. Gig economy bukan bentuk baru dalam bisnis tapi perluasan hubungan kerja kasual dan informalisasi hubungan kerja untuk menghindar dari standar umum perburuhan (Stefano, 2015). Tujuan utamanya: mengurangi biaya operasional, memastikan pekerjaan selesai tepat waktu dengan hasil yang berkualitas, mengalihkan risiko bisnis ke pengemudi, tidak repot menyediakan training dan terhindar dari kewajiban memenuhi hak-hak dasar manusia yang menjadi driver.

Istilah mitra aplikator diberikan dan ditanam oleh aplikator kepada para pengemudi. Istilah tersebut dirawat melalui mekanisme algoritme, Satgas, grup media sosial yang dibuat aplikator, Kopdar dan notifikasi individual. Sebutan mitra kepada pengemudi terjadi pula di aplikator Uber di Amerika Serikat dan Deliveroo di Inggris. Seperti istilah budak, jongos, babu dan monyet yang diberikan oleh kelas bangsawan kepada manusia yang mengabdi kepada mereka.

Dari kota miskin Cleveland Amerika Serikat hingga kecamatan padat penduduk di Pagarsih Bandung, Gig Economy memproduksi wacana yang sama: entrepreneurship atawa kewirausahaan, partnership alias kemitraan, sharing economy atau ekonomi berbagi, independent contractor alias kontrak mandiri, pekerja mandiri, freelancer atau pekerja lepas. Jenis pekerjaan yang fleksibel dan dianggap sesuai passion kaum muda modern yang menyukai kebebasan dan kemandirian.

Penyedia layanan transportasi daring menyematkan istilah mitra dengan berlindung di balik narasi: para pengemudi bebas menentukan waktu dan tempat kerja. Para pengemudi dapat mengatur waktu kapan saja dan di mana pun untuk mengemudikan kendaraannya serta mengatur pendapatan sesuai kebutuhan. Kerja kapan pun dan di mana pun adalah mitos. Karena aplikator mengembangkan mekanisme hukuman tersembunyi.

Istilah mitra rupanya diyakini pula oleh para driver. Setidaknya dari tigapuluh orang yang saya temui secara terpisah di Jabodetabek. Uniknya, mereka mengungkapkan narasi yang sama dengan aplikator: pengemudi dapat mengatur waktu dan tempat kerja dengan bebas. “Kalau driver beda dengan pabrik yang waktunya sudah ditentukan. Kalau salah dimarahi supervisor,” kata seorang driver yang pernah menjadi buruh pabrik.

Beberapa ahli hukum menyebut relasi aplikator dan pengemudi online bukan hubungan kerja ketenagakerjaan. Ciri hubungan kerja dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 tidak terpenuhi. Unsur perintah, upah dan pekerjaan bukan dari aplikator tapi dari konsumen (Wibowo, 2015; Sonhaji, 2018). Hubungan kemitraan pengemudi dan aplikator mengambil bentuk bagi  hasil, sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Halilintarsyah, 2021).  Landasan untuk menegaskan hubungan kemitraan dalam ojek dan taksi online adalah putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 841 Tahun 2009 dan putusan MA Nomor 276 Tahun 2013. Para ahli hukum itu tidak mengerti cara kerja algoritme dan membayangkan Gig Economy seperti hubungan kerja manufaktur. Dengan menyebut diri bisnis start-up para pebisnis digital transportasi tengah menghidupkan kembali pekerjaan buruk dan tanpa perlindungan. Buruh  Ojek dan taksi online bekerja 12 jam hingga 16 jam per hari, tanpa jaminan sosial dan tidak memiliki berunding dan mogok. Anehnya, Presiden Joko Widodo menyebut para pengemudi Ojek Online (Ojol) sebagai pahlawan transportasi, bahkan mengangkat salah satu bos Gojek sebagai menteri yang menduduki posisi strategis dalam negara: Menteri Pendidikan!