MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Budi Pego, Kriminalisasi dan Perlawanan

Ramadan 2019, ba’da Asar. Itulah perjumpaan pertama saya dengan Budi Pego. Waktu itu, belum genap setahun ia keluar dari tahanan karena menolak tambang emas di Gunung Tumpang Pitu. Tuduhan hukumnya aneh: dianggap menyebarkan paham komunis. Secara ajaib bendera palu arit terbentang pada peristiwa aksi tolak tambang yang dipimpinnya. Tuduhan itu tetap dipertahankan aparat hukum, meski barang bukti tak pernah berhasil ditunjukkan selama persidangan.

Budi Pego, petani tulen sekaligus muslim yang taat. Di tengah para musafir termasuk saya, hari itu berkumpul di rumahnya, yang terpaksa berbuka puasa sebelum matahari terbenam, Budi Pego tidak tergoda.

Begitu pun dengan lanskap tempat tinggalnya, Sumber Agung dan desa-desa sekitarnya di Kabupaten Banyuwangi. Lanskap yang memperlihatkan perpaduan antara suburnya lahan pertanian, pesisir dan pegunungan yang menghidupi ribuan warga. Kondisi yang tidak pernah terbayangkan dalam imajinasi jalan hidupnya untuk membongkar gunung demi investasi tambang, sekalipun itu emas.

Jalan mewujudkan cita-citanya sebagai petani tidak mudah. Kondisi lumrah sebagaimana dialami oleh jutaan petani lainnya di negara ini. Penuh onak dan duri.

Budi Pego pun mengorbankan masa mudanya selama sepuluh tahun menjadi buruh migran di Arab Saudi. Sebab menjadi kuli di negara sendiri dengan berbagai macam politik upah murahnya, mustahil mampu menabung, apalagi membeli sejumlah petakan tanah.  

Pada 2012, Budi Pego pulang ke kampung halaman. Tanah beberapa petak berhasil dibeli dan buah naga ditanam dengan penuh suka cita. Baru dua tahun hidup tenang, Budi Pego dan warga lainnya terusik. Sebabnya, per 2014, segelintir manusia rakus dalam PT DSI dan PT BSI mulai memongkar Gunung Tumpang Pitu demi emas. Akibatnya, Tumpang Pitu sebagai salah satu sumber air yang mengaliri lahan pertanian ribuan warga menjadi petaka. Terjadilah banjir lumpur yang merusak lahan pertanian. Kawasan pesisir pantai Pulau Merah dan sekitarnya mengenaskan.

Itulah daya rusak tambang. Selain telah mencemari lautan tempat nelayan menangkap ikan, serta banjir lumpur menjadikan lahan pertanian tidak produktif, juga menimbulkan kehancuran ekosistem sosial.

Jika kondisi tersebut dibiarkan, Budi Pego dan kawan-kawan, besar kemungkinan akan  menjadi buruh tani, petani tak bertanah, bahkan kembali menjadi buruh migran. Sebab, janji investasi melalui PT BSI dan PT DSI akan menyerap lapangan kerja bohong belaka. Merupakan bukti konkret jika investasi, apalagi pertambangan, telah merusak sendi-sendi penting kehidupan sementara para buruhnya hidup dalam kondisi miskin dan dimiskinkan.

***

Ba’da Isa, setelah salat tarawih tahun itu. Saya diajak Bugi Pego berkeliling di kebun buah naga. Budi Pego bangga dengan hasil jerih payahnya. Budi Pego dan jutaan kaum muda lainnya sedang menempuh cita-cita luhur: menjadi petani. Mereka harus berhadapan dengan kekejaman rezim yang mengidolakan investasi dan bertarung dengan narasi perbudakan modern di kota sebagai freelancer dan Youtuber.

Masih di bulan suci yang penuh rahmat dan ampunan, beberapa hari lalu saya menerima kabar, Budi Pego kembali ditangkap setelah lima tahun kasusnya ‘dipetieskan’. Ia pun mendekam di Lapas Banyuwangi. Kita pun akan mendesak agar Budi Pego dibebaskan.

Dari pelosok Sumber Agung Banyuwangi Budi Pego, dikriminalisasi hanya karena mempertahankan ruang hidup. Tapi kawan-kawan Budi Pego masih berjuang. Begitu pula di Mauk Tangerang, Rancaekek Bandung dan di Bahodopi Morowali ribuan buruh sedang mempertahankan kehidupan. Mereka sedang berjuang mempertahankan kehidupan. Marhaban Ya Ramadan, bulan perlawanan.

Kembali saya teringat kebun buah naga kebanggaan Budi Pego. Mungkin kita dapat bersolidaritas dengan membeli hasil kebunnya. Supaya keluarganya tetap terjaga dan Budi Pego tetap tenang menjalankan cita-citanya.

Bandung, 29 Maret 2023