MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Bukan Kebaikhatian Negara, Tapi Gerakan Massa: Refleksi Perjuangan Upah Minimum di Banten

SELASA, 6 Desember 2022, aku sudah menyiapkan baju tidur, baju ganti, alat mandi dan perlengkapan make up, seadanya. Tapi untuk skin care tidak bisa di-skip dan tidak boleh seadanya. Harus full.

Hari itu ada agenda rapat rutin di ‘Seknas’. Tidak seperti biasanya, rapat kali ini akan berlangsung dua hari penuh. Makanya, aku bersiap-siap lahir dan batin. Biasanya, rapat berlangsung dua sampai empat jam dan aku bisa bolak-balik Tangerang-Jakarta. Kali ini, demi menghemat ongkos dan waktu aku memutuskan menginap di ‘Seknas’ atau biasa disebut ‘Sekre’, istilah sehari-hari kami untuk menyebut kantor serikat buruh tingkat pusat.

Malam itu di sekre, aku menghabiskan malam dengan berdiskusi. Kami berdiskusi tentang upah minimum nasional hingga larut malam, sekira pukul 12.00 malam. Aku melepas malam dengan mandi dan membersihkan muka. Sembari menunggu datangnya kantuk, aku membuka pesan Whatsapp. Aku melihat dan membaca pesan status di Whatsapp.

“Alhamdulillah. Akhirnya perjuangan kita berhasil. 7,2% hasil perjuangan dan aku terlibat dalam perjuangan ini”.

“Walaupun badan gak keruan. Tapi alhamdulilah perjuangan kita ada hasilnya”.

“Jam 01.25 wib akhirnya gubernur tanda tangan SK”

Demikian, tiga status Whatsapp yang dibuat oleh kawan-kawan yang ada di kontakku. Malam itu, mereka sedang berdemonstrasi di Kantor Gubernur Banten. Mereka berhasil mendesak kenaikan upah minimum 2023 sebesar 7,2 persen. Walaupun kenaikan tersebut masih jauh dari tuntutan tapi aku ikut mensyukuri nilai itu. Angka kenaikan yang lumayan di tengah harga-harga kebutuhan pokok yang melambung.

Seperti telepati, tidak lama muncul notifikasi pesan dari seorang kawan pimpinan salah satu serikat buruh di Kabupaten Tangerang,

“Teh, belum tidur? Mau ngabarin, anaknya dari PT X kesurupan. Tapi udah aman kok, udah dibawa pulang”. ‘Anak’ adalah istilah untuk teman sekerja. Aku tidak tahu entah sejak kapan istilah ‘anak’ dipergunakan untuk menyebut kawan sesama buruh.

Pesan tersebut seakan mengusir kantuk yang sedang menghampiriku. Aku segera menelepon kawan-kawan pimpinan serikat buruh yang sedang terlibat ikut dalam aksi massa kenaikan upah minimum. Dari tiga pimpinan yang aku hubungi hanya satu orang yang mengangkat telepon genggam.
“Iya, Teh. Maaf lagi di motor dalam perjalanan pulang,” jawabnya setengah berteriak mencoba menyaingi suara kendaraan sepeda motor yang dinaikinya dan di sekelilingnya.

Malam itu berlalu cepat.

Pagi hari aku sudah terbangun dan segera mengirim pesan broadcast ke sebuah grup serikat buruh di Kabupaten Tangerang.

“Bagaimana kabar kawan-kawan, sehat-sehatkah? Selamat, yah. Walaupun nilai 7,2% jauh dari tuntutan tapi kita sudah berhasil melawan gerombolan KOGA, dkk”. KOGA alias Korea Garment Association, sebuah perkumpulan pengusaha Korea Selatan.

Aku agak lega dengan kenaikan upah minimum 2023, meskipun nilainya tidak terlalu memuaskan. Rupanya pemerintah tidak mengikuti apa yang diminta KOGA dan kawan-kawan.

Seperti diketahui, per 22 Oktober 2022 lima organisasi pengusaha yang terdiri dari KOGA, KOFA, API, APRISINDO dan APINDO mengirimkan sura kepada Kementerian Ketenagakerjaan. Mereka meminta Kemnaker mengeluarkan aturan mengenai fleksibilitas jam kerja dengan alasan menghindari pemutusan hubungan kerja karena resesi ekonomi global. Untuk mencapai tujuannya tersebut, aliansi para pengusaha tersebut melakukan lobi ke dewan perwakilan rakyat, melakukan siaran pers dan mendatangi kantor-kantor redaksi surat kabar.

Sejujurnya, surat dari grup pengusaha tersebut menjadi salah satu pangkal kekhawatiranku dan kawan-kawan lain. Apalagi sepanjang Oktober-November media massa gencar memberitakan tentang pemutusan hubungan kerja dengan dalih resesi global. Rupanya Kemnaker tidak mengabulkan tuntutan para pengusaha. Dan, kenaikan upah tahun 2023 sedikit lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. Kenaikan upah tersebut merupakan kemenangan yang patut diapresiasi. Tentu saja yang diapresiasi adalah gerakan massa menuntut kenaikan upah bukan jajaran Kemnaker.

Beberapa kawan membalas pesan broadcast-ku. Mereka menceritakan alasan bertahan hingga pukul 1.30 pagi. Sebenarnya, aksi massa dan bertahan hingga larut malam bukan hal yang pertama kali dalam perjuangan menuntut kenaikan upah minimum. Tahun sebelumnya aksi massa bertahan dan menunggu keputusan gubernur dilakukan hingga pukul 11 malam. Kejadian tersebut memicu ‘pendudukan’ kantor gubernur oleh beberapa buruh.

Tahun ini, massa aksi bertahan karena Pelaksana tugas (Plt) Gubernur Banten masih di perjalanan pada pukul 11.00 malam sekembali dari sebuah acara di Cianjur Jawa Barat. Para buruh kesal dengan informasi tersebut, sehingga memutuskan akan menginap di KP3B (Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten). Akhirnya, pukul 1.30 pagi Plt Gubernur menandatangani dan mengeluarkan Surat Keputusan UMK Banten 2023.

Di tengah penantian surat keputusan tersebut terdapat banyak kejadian yang sulit dilewatkan. Ada beberapa orang buruh yang kesurupan, ada yang berantem, ada yang membakar ban di tengah jalan, sementara disudut-sudut lain beberapa buruh menghabiskan waktu dengan tiduran di tempat-tempat yang tidak menentu. Hal-hal tersebut wajar terjadi karena rasa lelah, lapar dan marah semua menjadi satu.

[table id=2 /]

***

Obrolan kami dalam pesan Whatsapp masih berlanjut.

“Tapi kok aneh ya Teh. Sebelum SK keluar, temenku dari “Serikat Senior Sudah Tua Sekali” sudah posting duluan tuh SK,” herannya.

“Dah, yang kayak gitu ngak usah dibikin heran. ‘Kan udah terbiasa; mereka yang duduk manis di rumah tahu lebih dulu dibandingkan kita yang aksi. Bahkan dari sebelum keluar SK, juga biasanya begitu,” tandasku.

***

Empat tahun lalu bersama beberapa kawan aku mendeklarasikan satu aliansi buruh. Setelah itu aku terlibat penuh dalam perjuangan upah di Banten. Beberapa kegiatan itu adalah diskusi, menganalisis situasi dan kondisi, rapat-rapat dengan aliansi lain hingga persiapan rencana aksi massa. Dalam arti empat tahun belakangan itu aku tahu peliknya perjuangan upah minimum di Banten.

Biasanya aksi-aksi massa wilayah baik kota atau kabupaten dimulai sekitar Oktober. Istilah kawan-kawan adalah aksi massa pengawalan rapat dewan pengupahan. Untuk aksi massa pengawalan upah di wilayah kota atau kabupaten dilakukan antara empat sampai enam kali. Itu adalah kegiatan yang melelahkan. Aksi-aksi massa tersebut, sebenarnya, lebih memperlihatkan dukungan kepada perwakilan buruh di dewan pengupahan. Apakah perwakilan buruh di dewan pengupahan membawa aspirasi buruh? Di situlah masalahnya.

Akhirnya aku menemukan beberapa hal yang bisa membuat bad mood dalam perjuangan upah ini. Pertama, pemberitahuan adanya rapat dewan pengupahan selalu dadakan H-1 atau bahkan hari H. Kedua, acara rapat dewan pengupahan dapat berubah dengan tiba-tiba. Ketiga, ini faktor yang paling penting. Meskipun di dewan pengupahan terdapat perwakilan dari serikat buruh dan mereka dapat mengatasnamakan perwakilan buruh di Banten, ternyata sangat sulit sekali untuk bertemu atau mengudang, perwakilan serikat buruh di dewan pengupahan. Selain mengatasnamakan buruh mereka itu dibayar oleh APBD.

Untuk diketahui, dewan pengupahan merupakan lembaga tripartit nonstruktural yang dibentuk pada 2004 di kota dan kabupaten, provinsi hingga pusat. Dewan pengupahan berisi perwakilan pemerintah, akademisi, asosiasi pengusaha, serikat buruh, serta perguruan tinggi dan pakar dengan komposisi keanggotan berimbang. Tugasnya merumuskan dan merekomendasikan kebijakan pengupahan di tiap tingkatan.

Selain syarat pendidikan minimal Diploma 1 untuk dewan pengupahan kota dan kabupaten dan Sarjana untuk dewan pengupahan provinsi dan nasional, ada pula pula syarat jumlah keanggotaan di serikat buruh. Dengan syarat tersebut hanya serikat-serikat buruh besar yang memiliki kesempatan duduk di dewan pengupahan.

Meskipun hanya mewakili serikat buruh tertentu, perwakilan serikat buruh di dewan pengupahan dianggap mewakili seluruh serikat buruh, bahkan semua buruh. Anehnya, perwakilan serikat buruh di dewan pengupahan seperti tidak memiliki pertanggungjawaban terhadap konstituen yang diwakilinya, bahkan sangat sulit untuk diajak ‘duduk bersama’ dengan serikat buruh lain.

Persoalan lainnya adalah ketika memutuskan aksi-aksi massa mengawal dewan pengupahan kerap muncul perselisihan internal dari organisasi maupun di aliansi. Perselisihan-perselisihan tersebut biasanya berkenaan dengan pembagian kerja, penyediaan logistik, kedisiplinan, bahkan komitmen di saat melaksanakan pertemuan seperti diskusi dan rapat.

Di tengah beragam perselisihan internal tersebut, rangkaian perjuangan menuntut kenaikan upah minimum dilaksanakan. Di antara hal yang mempertemukan aliansi adalah: kami tidak rela jika kenaikan upah minimum ditetapkan semakin rendah. Apalagi setelah lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja, pandemi Covid-19 dan krisis global, keputusan-keputusan rezim semakin kejam terhadap buruh dan serikat buruh. Kami tidak dapat berpangku tangan dengan kebijakan-kebijakan tersebut.

Sejarah pernah mencatat gerakan perjuangan upah minimum di Banten selalu dahsyat. Sambil iseng aku membuat daftar kenaikan upah Kota Tangerang dari tahun 2012 hingga tahun 2023. Aku sengaja membuat daftar di bawah untuk mengingatkan bahwa perjuangan upah minimum di Banten pernah mendapatkan kemenangan besar sekitar tahun 2012.

[table id=10 /]

***

Aku mengingatkan kembali perjuangan upah minimum 2012. Kala itu, serikat-serikat buruh di Banten berjuang keras. Selain demonstrasi dan pawai massa, yang dilakukan berulang kali, serikat buruh pun memblokir jalan tol Bitung dan menduduki Kantor Gubernur Banten hingga larut malam. Tuntutan kami waktu itu: agar Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah merevisi Surat Keputusan (SK) Upah Minimum yang sudah dikeluarkan pada November. Aksi-aksi massa menuntut revisi berlangsung dari November hingga Januari. Hasilnya, Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah merevisi Surat Keputusan Upah Minimum dari Rp 1.381.000 menjadi Rp 1.529.150.

Berbeda dengan dua tahun belakangan ini, tahun 2012 kami tidak memiliki pikiran putus asa. Kami selalu bersandar pada kekuatan massa. Dua tahun ini pikiran kami selalu dihantui pesimisme. Berikut ungkapan-ungkapan pesimis tersebut: ‘Kalau pemerintah sudah memutuskan kita tidak dapat berbuat apa-apa’, ‘pemerintahnya tidak memiliki hak diskresi jadi mereka tidak mau menetapkan upah sesuai tuntutan’. Padahal sejak negara ini terbentuk, yang namanya pemerintah pasti harus dipaksa dengan aksi massa. Negara tidak akan sekonyong-konyong menjadi baik hati tanpa paksaan.

Mengenang perjuangan 2012 memang sekadar romantisme. Saat ini, situasi relatif berbeda. Aku seringkali berpikir apakah ancaman kemudahan pemecatan dan lembur semakin membuat buruh sulit terlibat dalam aksi-aksi massa? Tapi, menurutku, kemudahan dipecat dan buruh demen lembur sudah terjadi sejak dulu. Toh, para buruh tetap semangat terlibat aksi-aksi massa. Atau, jangan-jangan pengusaha semakin lihai mengontrol buruh sementara strategi perjuangan serikat buruh tidak berubah.

“Kita ngak akan pernah menang kalau anggota kita masih mengandalkan dispensasi,” keluh seorang pimpinan serikat buruh Wawan.

Saya menyetujui keluhan Wawan. Namun perjuangan upah yang dilakukan berulang kali di tengah kondisi sekarang terasa sangat berat. Pasalnya, antusiasme buruh terlibat dalam perjuangan massa semakin kendur karena berbenturan dengan kebutuhan sehari-hari.

“Bulan lalu aku dipotong sampe 500 ribu, Teh. Gara-gara aksi pake ITB (Ijin Tidak Dibayar). Aksi besok gentian dulu sama yang lain. Berat kalau dipotong sampe 700 ribu, Teh,” ungkap salah satu pimpinan serikat buruh yang bekerja di salah satu pabrik sepatu di Kota Tangerang Rahmi.

Rahmi dan kawan-kawannya baru membentuk serikat buruh pada 2019 kesulitan untuk mendapatkan dispensasi. Satu-satunya cara yang ia lakukan agar dapat terlibat dalam perjuangan upah adalah dengan izin tidak dibayar.

Di lain waktu, aku berkesempatan berbincang dengan pimpinan-pimpinan serikat buruh lain. Kata mereka, untuk melaksanakan aksi massa biayanya sangat besar.

“Kalau selesai aksi upah, pasti kas (serikat buruh) kosong, Mbak,” ujar salah satu pimpinan serikat buruh di Tangerang. Menurutnya satu kali demonstrasi dengan massa aksi sekitar 20 hingga 25 orang pengguna sepeda motor butuh biaya sebesar Rp3 juta hingga Rp5 juta. Jika 6 kali aksi massa maka butuh biaya Rp15 juta hingga Rp30 juta. Angkanya lumayan besar.

“Dilema, Mbak. Kalau keluarkan massa banyak kami terbentur dengan logistik, mungkin kalau untuk serikat buruh yang besar tidak terlalu persoalan. Tapi bagi kami serikat kecil persoalan logistik bisa jadi kendala dalam perjuangan,” ungkapnya. “Bukan tidak mau keluarkan massa sampai 100 orang tapi itu masalahnya: keuangan, Mbak”, lanjutnya.

****

Dari pengalamanku terlibat dalam perjuangan upah minimum ada beberapa hal yang aku catat. Di antaranya:

  • Aksi upah dilakukan berkali-kali dalam waktu yang panjang;
  • Kesiapan organisasi dalam menghadapi perjuangan upah terutama dalam hal keuangan;
  • Masih mengandalkan dispensasi dalam melakukan perjuangan upah;
  • Posisi dewan pengupahan di mana anggota dari dewan pengupahan masih memosisikan sebagai wakil dari serikatnya;
  • Dewan Pengupahan tidak melibatkan SP/SB dalam perjuangan upah; dan
  • Kemampuan dari personil dewan pengupahannya.

Selanjutnya ketika surat keputusan upah minimum keluar, biasanya tidak ada lagi konsolidasi-konsolidasi baik di internal maupun di aliansi. Nanti, memasuki bulan September akan ramai lagi dengan rapat-rapat dan diskusi-diskusi perjuangan upah.

Namun di tahun ini aku mendapatkan kritikan dari anggota. Kritikan tersebut, sebetulnya, persis seperti yang aku pikirkan.

“Teh, kenaikan upah ini jauh dari tuntutan kita. Terus kita mau ngapain setelah ini?,” kata seorang Korlap dari basis anggota bertanya dengan antusias.

“Setiap tahun begini, yah. Turun SK kita diam padahal nilainya jauh dari yang diharapkan,” timpal yang lain.

“Aku jadi males ikut aksi. Gini-gini aja tiap tahun. SB A aksi hari ini, SP B aksi hari lainnya padahal sama tuntutannya. Hari ini aksi ke Disnaker, besok aksi ke KP3B. Udah turun SK senyap,” tambah yang lainnya.

Saya tidak merespons pertanyaan dan pernyataan mereka. Saya setuju dengan apa yang mereka sampaikan. Setiap tahun metode aksi massa selalu sama, padahal pemerintah terus meng-upgrade model penindasannya terhadap buruh. Dan, menjadi pertanyaan bagiku adalah: ‘mau berapa kali lagi buruh kalah?’, ‘apakah setiap tahun akan terus dengan perjuangan upah dengan metode yang sama? fokus dengan besaran kenaikan upah minimum?’. Padahal kita sama-sama mengetahui dengan menggunakan rumus PP 36/2021 besaran upah minimum sudah diketahui besarannya tapi perjuangan buruh seakan berjalan di tempat.

Tanggal 16 Maret 2023, aku membaca berita bahwa Menaker mengeluarkan peraturan baru yaitu Permenaker Nomor 5 tahun 2023. Isi Permenaker menyebutkan bahwa pengusaha diperbolehkan memotong upah sebesar 25 persen untuk perusahaan padat karya yang berorientasi ekspor dengan alasan resesi global agar tidak terjadi PHK. Perasaanku campur aduk antara: marah, kecewa dan sedih. Meskipun area pekerjaanku tidak terdampak dengan kebijakan tersebut, Permenaker telah menghina perjuangan buruh. Perjuangan yang dilakukan dengan susah payah dan hanya naik 7 persen dengan mudah dipotong sebesar 25 persen. Nilai potong tersebut akan semakin menurunkan nilai upah ketika dipotong iuran BPJS sebesar 4 persen. Jadi total potongannya mencapai 29 persen. Berarti jumlah total upah buruh hanya Rp3 jutaan. Lagi-lagi buruh hanya berpikir keras mencukupi hidup dengan total upah sekecil itu.

Pada kesempatan lain, aku sempat terlibat bersama KASBI dalam audiensi dengan Kemnaker, pada 21 Maret 2023. Di kesempatan tersebut, Wakil Menteri dan Sekretaris Ditjen PHI JSK Surya Lukita menjelaskan tentang Permenaker No 5 Tahun 2023. Jajaran kementerian berdalih bahwa Permenaker dengan tujuan untuk kebaikan semua pihak, terutama agar tidak terjadi PHK. Mereka pun mengaku akan mengawasi dengan ketat praktik pemotongan 25 persen, seperti adanya kesepakatan dengan serikat buruh atau buruh ada di perusahaan. Selain itu, mereka pun berkelit bahwa peraturan tersebut hanya berlaku pada perusahaan yang ekspor ke Eropa dan Amerika.

“Ini tergantung dari kawan-kawan serikat buruh bagaimana nanti bernegosiasi, minta dokumen kepada pengusaha sebelum menyepakati, dan Permenker ini juga sudah disepakati oleh tripartit nasional,” ujarnya. Saya tidak habis pikir, kok bisa perwakilan serikat buruh di tripartit nasional menyetujui peraturan yang menindas buruh. Jangan-jangan lembaga-lembaga yang mengaku mewakili buruh itu diam-diam membawa aspirasi yang sama: membungkam gerakan buruh.