MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

“Teeetttt!”: Aku vs Lionel Messi*

Demi mencapai target dan dengan kualitas terbaik, buruh perempuan pembuat sepatu Adidas mengalami kekerasan fisik, verbal dan ekonomi.

***

November 2022

“Goollll”, “Aaahh”. Teriakan dan sahutan. Hampir tiap malam aku dengar, sejak Piala Dunia 2022 bergulir baik di rumah maupun di rumah tetangga. Yah! dimulai 18 November 2022 pecinta sepak bola dimanjakan dengan permainan lihai pesebapak bola kelas dunia di Piala Dunia 2022 yang diselenggarakan di Qatar. Dua di antara puluhan sponsornya adalah Adidas dan Coca Cola. Keduanya merupakan dua merek yang familiar di Indonesia. Terutama Adidas, adalah merek yang menorehkan cerita dalam hidupku.

Piala Dunia, bola, Lionel Messi pesebak bola sohor sudah dikabarkan akan menggunakan sepatu warna emas detail variasi biru dan putih mewakili bendera Argentina. Sepatu Messi dinamai Adidas X Speedportal Leyenda.

Piala Dunia 2022, membawa ingatanku pada cerita sepuluh tahun lalu.

***

Januari 2012

“Teeetttt!” Suara bel jam istirahat. Suaranya melengking tak bernada dan khas. Hanya dalam hitungan detik teman-temanku meninggalkan pekerjaan. Dengan langkah kaki cepat mereka berlomba memburu pintu keluar. Kulihat di belakang, tepatnya di meja Quality Control (QC), Bu Narti kepala bagianku sedang ngobrol dengan Teh Kiki bagian output di line-ku. Quality Control adalah bagian yang bertugas mengecek produk agar sesuai dengan standar perusahaan.

Aku celingak-celinguk memerhatikan sekeliling. Aku menarik napas agak panjang sambil memegang erat surat ajuan cuti yang dibungkus amplop putih. Surat itu sudah kusiapkan sejak kemarin. Sambil berjalan ke arah mereka berdua, hatiku berbisik, “Semoga output setengah hari ini sesuai target. Jika tidak, sudah bisa aku pastikan, selepas istirahat kami akan melihat wajah asam Bu Narti”.

Bu Narti perempuan tinggi kurus memiliki wajah khas Indonesia Timur dengan suara yang melengking. Bu Narti adalah pimpinan di gedung dua. Dia membawahi line: cutting, sewing dan assembling. Di setiap line dipimpin oleh seorang supervisor dan dibantu seorang mandor.

Semakin mendekati mereka, jantungku semakin tak karuan. Ketika tiba di samping meja QC, sekira setengah meter sembari menghela napas aku membuka mulut. “Bu, maaf ganggu,” ucapku setengah payah seolah merasa bersalah memotong obrolan mereka.

“Ada apa Ani?” Dengan wajar datar Bu Narti menolehku. Teh Kiki kulihat bergeser ke depan papan tulis yang berada di samping meja QC. Papan tulis memang disediakan di setiap line untuk mencatat hasil produksi setiap jam. Letaknya di bagian belakang sebelah meja QC.

“Bu.” Suaraku gemetar. “Saya minta izin.” Keberanianku tumbuh perlahan. Tanpa mengubah posisi badannya, dua bola mata Bu Narti masih memerhatikanku. “Minggu depan tanggal 12 saya mau cuti satu hari aja. Adik saya nikah, Bu.” Jelasku menyatakan tujuan. Bu Narti masih terdiam. Tanpa reaksi apapun. Aku melanjutkan kalimatku, “Ini surat pengajuannya, Bu.” Tambahku sambil menyodorkan amplop putih yang di dalamnya sudah ada surat pengajuan cuti.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun Bu Narti mengambil dan membuka amplop yang aku ajukan. Ia langsung membaca surat ajuan cutiku, “Enggak bisa!” Suara Bu Narti menggelegar seperti gledek di siang bolong. “Minggu depan ada ekspor. Kita belum lengkap.” Suaranya meninggi seperti ingin menarik perhatian orang lain. “Pan kamu tahu sendiri kita gak dapet-dapet target.” Kini suara Bu Narti seperti sedang menyalahkanku dan teman-temanku. Aku gagal mencapai target pekerjaan. Dalam satu hari target yang harus kami capai adalah 180 pasang per jam. Saat itu aku bekerja 8 jam berarti aku harus menyelesaikan target sekitar 1440 pasang.

“Tapi, Bu.” Suaraku makin merendah seperti membujuk. “Saya minta tolong.” Setengah merajuk, aku meyakinkan Bu Narti. “Ini kan nikahan adik. Masa saya gak hadir. Saya kan mpok satu-satunya.” Aku kira semua orang akan mengerti dengan alasan itu: saudara sedarah menikah sudah selayaknya aku hadir. Agamaku pun mengajarkan bahwa pernikahan merupakan salah satu ibadah yang harus dipersiapkan dengan matang. Tanpa menunggu Bu Narti menjawab, aku menambahkan kalimatku. “Lagian kan, Bu, selama ini saya tidak pernah cuti.”

Mendengar kalimat terakhirku, seketika Bu Narti mengubah posisi badannya dan memandang wajahku. Kedua bola matanya membulat mengarah padaku. “Kamu paham gak sih apa yang saya bilang?!” Dengan kedua urat leher yang menonjol suara Bu Narti seperti sedang memanggil orang dari jarak satu kilometer: keras sekali. “Minggu depan kita ekspor barangnya masih banyak. Lagian kalau kamu cuti yang balik busa siapa? Si Nia sendirian? Kamu tahu, dia gak biasa kerja di sana, ntar kalau Teh Yamah udah balik cuti, kamu silahkan cuti.” Suara Bu Narti agak pelan. Ia seperti sedang membujukku. Seolah sedang membutuhkanku, sekaligus menegaskan pernikahan adikku tidak lebih penting ketimbang memutar mesin produksi.

Dalam hitungan detik tangan Bu Narti memegang ujung amplop yang aku berikan. Mulutnya terbuka, “Sekarang gak ada cuti-cutian!” Kalimatnya diakhiri dengan merobek surat ajuan cutiku menjadi empat potong. Surat yang aku buat susah payah dengan penuh pertimbangan jadi sampah seketika. Aku melongo. Jantungku berdebar antara marah dan takut.

***

***

Namaku Nurani. Orang-orang memanggilku Ani. Aku ibu tiga anak yang bekerja di salah satu pabrik pembuat sepatu Adidas di Tangerang. Aku tinggal di wilayah utara Tangerang daerah pantai yang menjadi tujuan wisata dan belanja berbagai macam ikan laut.

Hampir satu jam perjalanan dari tempat tinggalku ke pabrik. Setiap hari aku berangkat sekitar pukul 5.00 pagi. Kembali ke rumah ketika masih sudah gelap. Hanya seminggu sekali aku bisa melihat matahari siang hari. Hampir lima tahun aku bekerja di pabrik X. Saat ini aku bekerja di bagian sewing tepatnya di bagian balik busa.

PT X adalah pabrik yang berlokasi di Banten yang memproduksi sepatu merek Adidas jumlah buruhnya sekitar 2000 dengan 85 persen adalah perempuan.

Bulan Juli 2012 sekitar 1500 buruh melakukan protes karena menutut perbaikan kondisi kerja, pembayaran kekurangan upah dan kebebasan berserikat. Protes tersebut diekspresikan dengan mogok kerja. Perusahaan membalas mogok kerja dengan memecat 1300 buruh dengan tuduhan mengundurkan diri sepihak.

Balik busa adalah pekerjaan manual menempel busa di antara collar lining dengan heel lalu dibalik kemudian ditonjok. Ditonjok adalah istilah membentuk ujung komponen di bagian collar lining agar membentuk dan tidak tinggi-rendah. Karena pekerjaan balik busa membutuhkan ketepatan maka hanya dapat dikerjakan oleh tangan, sulit digantikan mesin.

Pekerjaan balik busa termasuk pekerjaan yang vital. Minimal membutuhkan empat orang yang bekerja di bagian tersebut. Biasanya tidak sembarang orang yang ditempatkan di bagian ini. Aku biasanya bekerja dengan mbak Yamah. Tetapi sudah sekitar sebulan mbak Yamah cuti keguguran. Sebagai gantinya aku dipasangkan dengan Nia. Sebelumnya Nia bekerja di bagian pola. Saat itu, aku hamil sekitar enam bulan.

Aku paham alasan Bu Narti tidak memberiku cuti. Bagi Bu Narti pencapaian target produksi dengan kualitas terbaik adalah pekerjaannya. Mungkin pula tujuan hidupnya. Mungkin hanya dengan cara demikian, ia akan mendapat puja-puji atasannya yang patuh pada manajemen. Tapi aku aku tidak tahu, apakah hanya dengan menyepelekan kebutuhan keluarga para buruh, ia dapat menunaikan pekerjaannya. Tapi, bagaimana pun juga aku anak tertua. Lagi pula, orangtua kami sudah lama tiada. Sebagai anak perempuan tertua aku-lah yang harus mendampingi adik bungsuku di pernikahannya.

Selama lima tahun bekerja, aku tidak pernah mengambil cuti. Aku berusaha bekerja sesuai perintah manajemen perusahaan: patuh dan disiplin. Kalau jam istirahat walaupun aku sudah membawa bekal makan tapi kalau Bu Narti atau Bu Siti, mandor di line-ku meminta untuk membelikan makanan, aku tidak pernah menolak. Jadi pekerjaanku bukan hanya mengerjakan tugas-tugas sewing, tapi patuh pada keinginan atasanku.

Sekuat tenaga aku berusaha menjadi buruh yang patuh dan baik. Karena apa? Karena aku butuh pekerjaan. Dari pekerjaan itu aku mendapatkan uang untuk mempertahankan hidupku dan ketiga anaku. Suamiku bekerja serabutan; kadang menjadi tukang bangunan, dan kadang bantu-bantu nelayan. Upah bulanan yang aku terima merupakan topangan hidup kami.

Selain itu, aku mempunyai mimpi besar yang entah kapan bisa terwujud: memperbaiki rumah. Rumah kami tepat di pinggir pantai; rumah yang sangat sederhana dengan atap rumbia dan dinding bilik berlantai tanah. Kalau air laut pasang, rumah kami bisa terendam berhari-hari. Setelah banjir surut, dinding-dinding rumah lembab.            

Selain itu, rumah kami hanya punya satu kamar tidur. Kamar itulah yang biasa ditempati aku, suamiku dan anakku yang bungsu. Dua anakku biasa tidur di depan depan televisi. Kini, anak pertamaku menginjak remaja. Aku berharap bisa menabung untuk membuat kamar agar kedua anakku bisa tidur layak.

***

***

Sejujurnya perlakuan Bu Narti merobek surat ajuan cutiku membuatku kecewa dan sakit hati. Line tempatku bekerja adalah line andalah. Bu Narti merupakan atasan yang selalu mendapat pujian atasan. Line kami selalu menjadi percontohan karena dianggap selalu mencapai target dengan kualitas terbaik. Tapi kami anak buahnya tersiksa dengan perlakuan Bu Narti.

***

***

“Goyang!” Suaranya hampir mengisi seluruh isi ruangan. Seperti pembajak sawah yang sedang memecuti kerbau di sawah. Ribuan perempuan menundukkan kepala menekuni pekerjaannya. Ada yang berdiri. Ada pula yang duduk. Semuanya tak hirau dengan suara yang berulang kali menghalau. “Goyang! Ayo jangan lemot!”. Suaranya semakin keras. “Goyang! Ayo jangan lemot!”. Kami berusaha menambah kecepatan.

Begitulah teriakan Bu Narti setiap hari: dari pagi hingga sore. Kalau ada anak buahnya yang tidak masuk kerja atau merusak barang—istilah kami reject, kami harus siap dimaki-maki dengan suara sekeras-kerasnya di depan mejanya. Dan, jika Bu narti sudah memaki, seisi ruangan akan mengetahui bahwa ada salah satu buruh yang melakukan kesalahan. Jadi kami harus menghasilkan barang, tidak boleh ada yang cacat sedikit pun dan target tercapai.

Bu Narti juga tipe pimpinan yang tidak pernah puas dengan capaian pekerjaan kami. Kalau dalam waktu dua minggu kami mencapai target maka minggu ketiga target akan dinaikan lima atau sepuluh pasang. Misalnya, kalau dalam tiga minggu berturut-turut line kami bisa mencapai target 1450 pasang sehari maka minggu keempat target akan dinaikan jadi 1460 pasang sehari bahkan bisa mencapai 1500 pasang.

Karena cutiku ditolak aku harus memutar otak mencari cara agar aku bisa tidak masuk kerja. Sekilas terpikir membeli surat dokter. Tapi tidak mungkin karena Bu Narti sudah tahu kalau hari itu adikku menikah. Akhirnya, aku nekat bolos kerja.            

Kebetulan hari pernikahan itu bertepatan dengan hari Senin. Senin adalah hari yang sibuk. Karena di hari ini biasanya kami harus nyetok atau nabung hasil. Karena hasil sebelumnya sudah tutup buku di hari Sabtu. Maka, Senin selain mencapai target 180 pasang per jam kami juga harus menjahit lebih untuk stock sebagai tabungan apabila di hari lain tidak mencapai target.  Tapi hari ini adikku lebih butuh aku. Sebagai kakak tertua aku harus menjadi bagian di hari bahagia itu.

***

***

Selasa pagi. Januari 2012. Seperti biasa aku sarapan bersama Nia, mpok Tato, mba Atun dan Nila. Kami biasa sarapan di saung-saung yang sudah disediakan di halaman pabrik; atau kalau waktunya mepet kami sarapan di meja tempat kerja. Aku membawa kue-kue sisa hajatan adiku.

“Kemarin kamu dibantu siapa Nia?” Tanyaku di sela-sela sarapan.

“Orang line sebelah mpok. Kerjanya lelet tuh kita keteteran,” tunjuk Nia ke keranjang di bawah meja. Ada dua keranjang yang penuh dengan upper yang belum dibalik busa. Upper adalah bagian atas sepatu.

“Ani, siap-siap Lu dimakan Nenek Lampir,” sambar mbak Atun yang memperingatkanku. Ucapan mbak Atun memecah canda-gurau kami mengawali hari kerja. Nenek Lampir adalah sebutan kami untuk Bu Narti. Nenek Lampir atau Mak Lampir merupakan perempuan buruk rupa dan berperangai jahat dalam cerita legenda yang dipopulerkan oleh salah satu stasiun televisi swasta pada 2000-an.

Aku mengabaikan peringatan mbak Atun. Lagi pula aku sudah memperkirakan akan dimarahi oleh Bu Narti. Jadi aku sudah bersiap.

Sarapan selesai. Aku mengenakan celemek dan topi kerjaku. Lalu kami membersihkan meja tempat kami kerja. Sebenarnya, waktu kerja belum mulai. Tapi karena pekerjaan menumpuk kami sudah mulai bekerja.

“Teeetttt!” Suara melengking tanpa nada itu kembali berbunyi. Jam kerja sudah dimulai, pukul 7.00 pagi. Yayuk, anak bagian input menghampiri mejaku. Bagian input adalah bagian yang paling awal yang memberikan support material berdasarkan rencana kerja yang harus diproduksi setiap hari.  

“Mpok,” kata Yayuk datar. “Dipanggil ibu di mejanya.” Ibu adalah panggilan resmi untuk Bu Narti. “Mpok Tato, bantuin Nia dulu, yah,” perintah Yayuk seraya memanggil mpok Tato untuk menggantikan pekerjaanku.

Aku tidak bertanya mengenai pemanggilan itu. Aku pun sudah memperkirakan kejadian ini dan aku sudah siap dengan kemarahan Bu Narti. Dari jarak sepuluh langkah aku lihat Bu Narti tengah duduk di kursinya. Di depan mejanya ada Bu Siti, Teh Kiki, Yayuk dan mba Atik QC di line-ku. Aku mendekati meja Bu Narti. Karena Bu Siti masih ngobrol dengan mereka aku hanya berdiri di samping meja dengan jarak yang tidak begitu jauh.

Aku masih berdiri kaku, merapatkan kaki dengan kepala menunduk dan memegang tangan, seperti pesakitan. Waktu seperti berjalan lambat. Sekitar sepuluh menit mereka meninggalkan meja. Kini tersisa Bu Narti. Ketika aku melangkahkan kaki kananku menuju meja, Bu Narti hanya sedikit menggerakan kepalanya. Dua bola matanya membulat. “Kamu tunggu saya. Jangan ke tempatmu dulu!” Perintah Bu Narti setengah membentak. “Berdiri sana, saya mau meeting dulu”. Tanpa menunggu jawaban dariku, Bu Narti mengangkat badannya. Ia pergi begitu saja sembari menenteng buku tebal hijau. Aku masih berdiri, seperti anak SD yang dihukum karena tidak mengerjakan PR.

Gedung tempat kerjaku berada di lantai dua. Gedung yang berdiri di atas tanah sekitar 2,7 hektare. Semuanya terdapat tiga bangunan kokoh: bagian depan dan di belakang office terdapat gedung dua lantai yang merupakan area produksi. Gedung di bagian belakang adalah gudang.

Di dalam produksi terdapat empat line. Line menurut istilah manufaktur adalah stasiun kerja untuk memproduksi item tertentu.[1] Setiap line dipimpin oleh supervisor. Di depan line tepatnya di tengah-tengah ruang kerja terdapat meja masing-masing pimpinan dan papan tulis berukuran 100×200 sentimeter. Papan tulis itu berfungsi untuk mencatat yang berhubungan dengan order atau untuk menjelaskan tentang produksi apabila sedang breafing.

Lima menit berlalu. Sepuluh menit aku lewati. Ibarat menunggu bedug Magrib saat puasa, waktu terasa berjalan lambat. Aku masih berdiri. Aku menggerak-gerakkan kakiku. Tapi perlahan panas menjalar di kedua betisku. Aku merasa pegal. Ingin sekali duduk dan menyelonjorkan kaki. Tapi aku hanya berdiri, seperti patung. Sesekali aku mengelus perutku yang tampak membesar. Usia kehamilanku yang enam bulan menambah berat yang ditahan kakiku. Karena aku berdiri di depan line, semua orang yang lewat menontonku. Teman-teman line-ku hanya bisa menatap kasihan dari kejauhan. Mereka nyaris tidak berbuat apa-apa.  Aku lihat beberapa orang berbisik sesama temannya, seperti mewanti-wanti agar tidak ada kejadian yang sama kepada mereka. Di saat demikian, orang-orang seperti menyelamatkan diri. Mereka tampak lebih khusu’ bekerja.

Keringat dingin menghampiri badanku. Pikiranku berkecamuk antara malu dan marah. Hampir lima belas menit aku berdiri. Aku lihat pimpinan-pimpinan sudah berdatangan ke meja mereka. Rupanya meeting pimpinan sudah selesai. Begitu juga dengan Bu Narti dan Bu Siti. Keduanya sudah ada di meja.

Posisiku masih berdiri ketika Bu Siti menghampiriku, “Ani disuruh kemeja Ibu tuh!” Meskipun nadanya seperti suara robot, kalimat Bu Siti seperti menyelamatkan kepegalan kakiku. Tanpa berpikir panjang aku memburu meja Bu Narti.

Tanpa menunggu aku menarik napas, Bu Narti memberondong dengan pertanyaan yang bersifat menghakimi, “Saya tidak kasih kamu cuti, tapi kamu malah bolos kerja Ani? Maksud kamu apa? Kamu udah bosan kerja? Kalau sudah bosen keluar aja ngapain kamu masuk lagi?” Suara Bu Narti hampir memecahkan gemuruh mesin. Beberapa orang melirik ke meja Bu Narti. Kemudian mereka kembali ke pekerjaan mereka. Aku merasakan aliran darah menuju ke kepala dan seluruh tubuhku. Jantungku berdetak kencang. Sambil berdiri, aku tertunduk. Untuk kedua kalinya aku dipermalukan di depan umum. Ingin rasanya aku membantah semua kata-katanya, tapi bibirku kelu. Tak terasa air mata menetes di kedua pipiku.            

Sejak hari itu aku tidak lagi memandang sama terhadap atasan dan pekerjaanku. Aku mencatat baik-baik dalam hatiku atas perlakuan yang aku terima. Seperti goresan luka yang tak mungkin terobati. Jika aku mengingat lagi hari itu, aku pasti merasa marah, takut dan sedih. Orang-orang menyebutnya trauma.

***

***

Juli 2012 cuti melahirkanku berakhir. Aku dengar dari teman-teman kerja yang tinggalnya satu kampung bahwa pabrik sedang didemo. Kawan-kawanku menutut kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja. Menurut cerita tetanggaku, setelah kepergianku serikat buruh telah berdiri, tapi ketua dan sekretarisnya dipecat. Alasan pemecatannya pun tidak masuk akal. Aku juga mendengar kabar, pabrik tidak menjalankan upah minimum sesuai keputusan gubernur.

Upah yang kami terima Januari 2012 adalah sebesar Rp 1.381.000. Sedangkan Gubernur Banten sudah merevisi SK UMK (Surat Ketetapan Upah Minimum Kota) menjadi Rp 1.529.150. Baru di bulan Maret perusahaan membayar upah sesuai SK yang kedua. Atas dasar itu kami meminta perusahaan untuk membayar kekurangan pembayaran upah selama tiga bulan yang jumlahnya sebesar Rp.660.000.

Selain menutut pembayaran kekurangan upah juga menutut perbaikan kondisi kerja, di mana sejak dijalankannya system one piece flow buruh terkondisikan untuk terus-menerus melakukan pekerjaan sehingga sulit melakukan aktivitas lain. Bahkan, apabila ada buruh yang akan melaksanakan salat Asar, atasanku bilang, “Pulang kerja kamu kan bisa salat”. Waktu salat Asar bukan waktu istirahat. Jadi diharapkan dapat dilaksanakan setelah pekerjaan selesai. Sekali lagi, produksi lebih penting ketimbang salat. Dengan jarak dan berbagai kemacetan di perjalanan, tiba di rumah selepas Magrib. Praktis waktu salat Asar pun dilewatkan.

Sejak Februari 2012 mulai dijalankan system one piece flow atau tidak ada penumpukan. Dengan dijalankannya sistem ini buruh yang tadinya memegang satu proses diwajibkan memegang dua atau tiga proses. Jumlah buruh yang dianggap berlebihan digabungkan ke departemen surplus. Intinya, dengan one piece flow jenis pekerjaan yang ditanggung oleh buruh ditambah, kualitas produksi dijaga, jumlah produksi ditambah dan jumlah tenaga kerja kurangi.

Satu contoh adalah ketika dijalankannya sepatu Adidas tipe Predito yang dijalankan di cell 6 di bulan Januari sampai April. Jumlah tenaga kerja untuk sewing 40 orang dan assembling 48 orang dengan target 140 pasang per jam. Pada 15 Mei jumlah tenaga kerja di bagian sewing dipangkas menjadi 34 orang dan assembling menjadi 37 orang dengan target yang sama. Berarti pada Mei sebanyak 17 orang buruh telah dipecat.

Sebelum one piece flow, pabrik menjalankan lean system. Lean system adalah metode produksi yang bertujuan memaksimalkan hasil produksi dengan tenaga kerja yang tersedia. Dengan sistem kerja one piece flow maupun lean system kadang aku berpikir, apakah betul dengan banyaknya pabrik akan secara otomatis membuka lowongan kerja? Nyatanya, ketika beroperasi pabrik memiliki logika sendiri. Dengan berbagai ilmu manajemen, pabrik lebih suka mempekerjakan lebih sedikit orang dengan upah alakadarnya ketimbang merekrut lebih banyak tenaga kerja.

Sejak diberlakukan one piece flow bagianku yang tadinya empat orang dikurangi hanya berdua: aku dan mbak Yamah. Bukan bagianku saja, bagian pola pun ditambah pekerjaaan yaitu menempel komponen. Karena jenis pekerjaanku bertambah maka semua waktu dipergunakan untuk melakukan produksi. Keperluan pribadi dianggap membuang waktu.

One piece flow juga berakibat lain kepadaku. Sudah merupakan keadaan alamiah, jika perempuan hamil akan lebih banyak buang air kecil. Karena itu, aku yang dalam posisi hamil harus pinter-pinter nahan kencing agar tidak bolak balik ke toilet. Seandainya aku tidak berhasil menahan buang air kencing, harus siap-siap kena semprot atasan, “Kerja bolak balik ke toilet mulu. Kalau tau gak bisa nahan kencing pampers dong biar nggak repotin orang lain”.

***

***

Senin 16 Juli 2012 hari pertamaku kerja setelah tiga bulan di rumah menjalani cuti melahirkan.  Aku sudah bersiap dari rumah untuk bekerja. Ketika akan tiba di pabrik, dari jarak sekitar lima puluh meter aku lihat semua temanku berkumpul di depan pabrik. Di hadapan mereka sebuah mobil pick up yang dilengkapi pengeras suara. Di kemudian hari aku baru mengetahui kalau mobil itu disebut dengan mobil komando, yang disebut sebagai salah satu perangkat aksi massa.

Aku semakin mendekati mobil komando. Di atas mobil komando aku lihat Ayuk Leni dan Teh Eva, bergantian berpidato. Suara mereka lantang dan berani. Sembari memegang mic sesekali tangannya diacungkan dan digerak-gerakkan. Tapi gaya pidatonya tidak seperti pidato-pidato dalam acara keagamaan. Tidak ada ayat Qur’an atau hadis yang dikutip.  Dikemudian hari aku juga baru tahu bahwa jenis pidato dalam aksi massa disebut dengan orasi.

“Kawan-kawan semalam kami sudah berbicara dengan pihak brand Adidas dan hari ini kita akan kembali melakukan negosiasi dengan pihak pabrik.” Suara Teh Eva menggelegar disambut tepuk tangan kawan-kawan. “Harapan saya kawan-kawan tetap solid; jangan terpecah dan terprovokasi oleh pihak-pihak yang tidak suka dengan perjuangan kita,” wanti-wanti Teh Eva.

“Kita akan mendatangi Kemnaker. Kita juga akan mendatangi Adidas di Jakarta” tambah Teh Eva. Suara Teh Eva semakin melengking. Urat-urat lehernya menonjol nyaris keluar. “Kita akan menutut pihak-pihak itu agar ikut bertanggung jawab atas nasib kita. Kemnaker harus tegas atas pelanggaran yang dilakukan perusahaan. Adidas tidak bisa lepas tangan. Adidas harus memastikan PT X taat dengan Code of Conduct yang sudah ditetapkan.”

Mendengar untaian kalimat Teh Eva bulu kudukku berdiri. Jantungku berdebar. Air mataku menggenang. Seperti bensin yang disulut api, aku marah. “Iya, Teh. Bener itu!” Kata-kata itu spontan saja meluncur dari mulutku. Teman-temanku yang lain bergemuruh menyetujui kata-kata Teh Eva. “Betul itu!” “Betul itu!” Suara dari kerumunan bersahutan.

“Adidas tidak melakukan audit atas kondisi kerja. Karena Adidas hanya menginginkan kualitas dan on time saja. Kita sudah memberikan keuntungan besar kepada Adidas, kita akan terus menutut Adidas,” lanjut Teh Eva dengan penuh keberanian. Aku kagum melihat keberanian Teh Eva dan Ayuk Leni.

Aku membenarkan kata-kata Teh Eva dan Ayuk Leni. Ketika aku bekerja, seluruh waktu, tenaga dan pikiranku dihabiskan untuk menyelesaikan produk Adidas. Memang aku berhadapan dengan Bu Narti yang mirip Nenek Lampir. Tapi Bu Narti pun melakukan itu semua atas perintah manajemen. Manajemen melakukannya atas perintah Adidas. Manajemen pabrik dan Adidas bersekongkol mengeruk ludes semua tenaga kami.

Setelah mendengar orasi Teh Eva dan Ayuk Leni, dengan kesadaran penuh aku memutuskan terlibat dalam demonstrasi bersama kawan-kawan. Aku sepakat dengan apa yang menjadi tuntutan kawan-kawan bahwa selama ini kami sudah ditindas. Tenaga kami diperas tapi kami takut untuk melawan sendirian. Selama ini kami hanya bisa ngedumel di belakang. Ngedumel tidak akan menyelesaikan persoalan.

Sejak hari itu aku terlibat bersama kawan-kawan. Aku menjadi salah satu barisan demonstrasi berhari-hari. Pada suatu hari, entah di hari ke berapa dalam rangkaian demonstrasi, kami dinyatakan PHK tanpa pesangon oleh perusahaan. Aku adalah bagian dari seribu orang buruh perempuan pembuat sepatu Adidas, yang setiap hari dipaksa menyelesaikan produk Adidas agar berkualitas; dipecat begitu saja dengan tuduhan mangkir. Hatiku berbisik, “Beginikah orang-orang berkuasa dan berharta? Mereka hanya menginginkan tenaga tanpa memikirkan kebutuhan kami sebagai manusia”.

Aku dan teman-temanku dibuang begitu saja, seperti membuang korek kuping. Usia kami antara 30 hingga 40 tahunan, dengan latar belakang pendidikan sekolah dasar dan SMP dan sedikit yang lulusan SMA. Aku sedih dengan PHK ini tetapi ini adalah risiko yang harus aku dan kawan-kawan terima.

Hari demi hari aku lalui. Tak terasa enam tahun kami berjuang, melawan pengusaha dan pemilik brand. Dari sini aku paham betapa sombong perwakilan brand yang ada di Indonesia. Dari kejadian ini aku sadar ternyata berjuang untuk mendapatkan hak itu sangat sulit. Tidak terhitung berapa ratus kali kami aksi massa mendatangi kantor-kantor instansi pemerintah, kantor Adidas, Kedutaan Besar Negara Jerman sampai aksi di jalan-jalan protokol umum.

Sekali waktu kami berdemonstrasi di depan Kantor Perwakilan Adidas di Jakarta. Teh Eva dan beberapa pengurus diterima oleh perwakilan Adidas. Setelah audiensi dengan perwakilan Adidas, Teh Eva naik ke mobil komando. Rupanya tidak ada hasil yang menggembirakan. Kata Teh Eva, Perwakilan Adidas Indonesia menerima perwakilan buruh di tempat parkir. “Mereka mengelak bertanggung jawab. Mereka berdalih tidak memberikan order Adidas ke PT X, tapi ke induk perusahaannya.”

Mendengar informasi dari Teh Eva, darahku mendidih. Pikiranku melayang ke tempat kerja. Kembali terbayang Bu Narti yang tidak pernah berhenti membentak untuk menyelesaikan pekerjaan; terlihat jelas aku yang dihukum berdiri di depan line karena tidak kerja untuk menghadiri pernikahan adikku; kembali terbayang ruangan kerja yang penuh mesin dan bahan-bahan baku; ada bagian pola, cutting, moulding hingga wujud sepatu Adidas. Yang aku tahu di dinding-dinding pabrik tergantung dalam bingkai kaca tulisan “Code of Conduct Adidas” dengan penjelasannya. Yang aku tahu beberapa kali bule-bule Adidas itu datang, istilah kami “Audit Adidas”.

Aku akan beritahu. ‘Audit Adidas’ itu secara rutin dilakukan meskipun aku tidak terlalu ingat berapa kali dalam setahun. Jika ‘audit Adidas’ akan datang: kami akan diminta menggunakan baju dengan warna yang seragam, karena pabrik tidak pernah memberikan seragam kerja; kamar mandi yang tadinya bau berubah jadi bersih dan wangi; mesin penyedot bau lem yang selalu mati tiba-tiba nyala; di-line tiba-tiba ada petugas yang nyapu setiap waktu sehingga lantai terlihat bersih; dan atasan-atasan yang setiap detik membentak berubah menjadi ramah.

Tibalah waktunya ‘audit Adidas’ datang. Dengan tubuh tinggi, kulit putih dan rambut kekuningan mereka melemparkan pandangan ke ruangan produksi. Sesekali mereka tersenyum ke buruh. Kami menyebutnya bule. Bule-bule itu muter-muter di tempat kami kerja: melihat proses produksi dan hasil kerja. Suasana kerja begitu tenang. Biasanya bule-bule itu melihat-lihat tempat kerja kami tidak sampai tiga puluh menit. Setelah itu mereka pergi.

Hanya dalam hitungan detik setelah kepergian bule-bule itu, suasana kembali seperti semula. Kembali terdengar, “Ayo, Goyang! Jangan lemot!”, “Bego, Lu. Bisa kerja gak sih?!”, “Kalau gak bisa kerja pulang sana!”, “Gua tendang juga kaki, Lu!”, “Ke toilet mulu kapan kerjanya?!”.

***

***

“Gooool!!” Suara para penonton bola itu mengagetkanku yang setengah terlelap. Piala Dunia 2022 berakhir. Argentina menggondol kemenangan mengalahkan Prancis. Lionel Messi, yang selama bermain mengenakan sepatu berwarna emas merek Adidas, dinobatkan sebagai pemain terbaik. Lionel Messi dikontrak seumur hidup oleh Adidas dengan nilai kontrak Rp349 miliar per tahun. Aku mengintip langit melalui jendela, terlihat gelap. Semilir angin merambat pelan melalui bilik-bilik rumah. Aku melihat jam dinding, hari sudah larut. Batinku berbisik, “Semoga besok masih ada rezeki makan untuk anak-anakku dan ada uang bekal sekolah mereka”.[]

***


[*] Tulisan ini pemenang dalam Buruh Menulis yang diselenggarakan oleh Koalisi CCC Indonesia, pada April-Mei 2023. Tulisan ini pertama kali diterbitkan di http://www.marsinahfm.com/teeetttt-aku-vs-lionel-messi/, 11 Mei 2023. Tulisan ini merupakan pemenang

[1] Yuk! Kenali Istilah-Istilah Populer di Industri Manufaktur. Jurnal Kawasan. 5 Januari 2022. Tersedia: https://jurnalkawasan.com/id/berita/yuk-kenali-istilah-istilah-populer-di-industri-manufaktur, diakses pada 24 April 2023.