Sekitar dua puluh perempuan berusia di atas tiga puluh tahunan berkumpul di ruangan berukuran 6 x 6 meter. Di sekitar mereka adalah anak-anak usia satu tahun dan lima tahun berlarian. Anak-anak yang usianya sepuluh tahunan bercanda dengan seusianya. Sesak dan ramai. Dua kipas angin tak bosan memutarkan baling-balingnya. Beberapa dari perempuan itu mengambil potongan kardus minuman kemasan mengipasi badannya. Hawa panas betah menemani perempuan-perempuan asyik mengotak-atik telepon genggamnya.
Empat orang kawan saya bolak-balik melayani pertanyaan dan memandu. Berpindah dari satu peserta ke peserta lain. Suara bersahutan, tak karuan. Saling memanggil. Kadang tertawa. Kadang mengekspresikan keluhan.
“Iya bentar Teh, ya!”
“Tuh, sama Mbak A dulu, aku ajarin teh B”.
“Jeng tolong ajarin Mbak C”.
“Sebentar, ya”.
Saya dan perempuan-perempuan itu adalah korban PHK. Kami adalah perempuan kelahiran 1980-an dengan latar belakang pendidikan yang beragam. Paling tinggi lulusan sekolahnya menengah atas. Hari itu, kami sedang belajar menggunakan media sosial untuk mengampanyekan kasus agar masalah kami segera diatasi. Kami menyebut diri ‘Emak-emak PDK’. Inilah muasal kampanye media sosial yang dilaksanakan oleh ‘Emak-emak PDK’.
Hari itu, kami nyaris kewalahan. Lima orang harus menemani lebih dari 20 orang perempuan, yang tidak berhenti bertanya dan meminta ditemani. Hari itu Minggu siang. Sekitar minggu pertama di bulan Maret 2016. Di sebuah rumah yang difungsikan untuk kegiatan serikat buruh yang disebut dengan sekretariat.
Sekarang kita koneksi internet yang disebut 4G di smartphone. Beralih dengan cepat dari satu media sosial ke media sosial lain dengan satu usapan jempol: Facebook, Twitter, Whatsapp, Instagram, TikTok dan media sosial lainnya, bahkan ke aplikasi belanja online. Tujuh tahun lalu. Peralatan telepon genggam dengan basis android dan koneksi internet tidak seluas sekarang. Di zaman itu, ada istilah buffer, untuk menyebut pemutaran video YouTube yang melambat. Media sosial pun masih dominan menggunakan Facebook.
Emak-emak PDK itu sedang belajar. Belajar dari nol merancang dan melaksanakan kampanye di media sosial. Beberapa dari peserta pelatihan itu pun ada yang masih menggunakan telepon polyponic. Ada pula peserta yang sudah menggunakan android tapi memori teleponnya tidak memadai untuk meng-install aplikasi.
Karena belajar dari nol, kami harus menjelaskan dengan sabar cara melakukan install aplikasi, membuat alamat email, cara memposting, dan hal-hal teknis lain, yang membuat sakit kepala. Zaman itu memang belum populer istilah influencer, sebagai salah satu sosok yang berpengaruh di media sosial. Dan, kalau pun ada influencer di zaman itu, kami tidak akan berpikir untuk menyewa mereka mengampanyekan kasus kami. Kampanye media sosial adalah bagian dari pengorganisasian untuk menguatkan anggota.
Pada 2012, kami bekerja di salah satu pabrik yang memproduksi alas kaki olahraga merek Adidas dan Mizuno. Kemudian dipecat dengan sewenang-wenang. Keuangan kami porak-poranda. Rencana masa depan keluarga kami berantakan.
Mengapa kami dipecat? Ceritanya begini. Per Juli 2012, sekitar 2000 buruh melakukan protes massal dengan cara mogok spontan. Kami menuntut agar pemilik pabrik memperbaiki kondisi kerja, pembayaran upah rapelan dan kebebasan menjalankan serikat buruh. Pengusaha membalas protes kami pemecatan. Sebanyak 1300 buruh kehilangan pekerjaan tanpa kompensasi. Dari 1300 buruh yang dipecat sekitar 90 persen adalah perempuan.
Setelah pemecatan tersebut, kami melakukan serangkaian protes dengan demonstrasi di berbagai tempat, seperti di depan pabrik, Kantor Kementarian Ketenagakerjaan, Istana Presiden, Kantor Adidas Indonesia, Kedutaan Besar Jerman, Kedutaan Jepang, Bundaran Hotel Indonesia dan di jalan-jalan protokol Kota Tangerang. Dari 2012 hingga 2016 lebih dari 200 kali aksi massa dilaksanakan.
Di periode 2012 pun kami mencoba menggunakan petisi online, change.org, untuk mendesak pemerintah, pemilik brand dan pengusaha menyelesaikan di pabrik tersebut. Namun tidak membuahkan hasil sesuai harapan. Di tahun-tahun tersebut, petisi online, merupakan salah satu media yang dianggap efektif untuk mengampanyekan kasus. Sayangnya, klaim efektivitas change.org tidak berlaku untuk kasus kami.
Tidak hanya aksi massa, kami pun melakukan audiensi dan hearing dengan pejabat berwenang. Memobilisasi pesan singkat melalui aplikasi Whatsapp, mengirimkan 1000 surat kepada Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Waktu itu, pemimpin negara adalah SBY, yang terpilih kedua kalinya (2009-2014). Menempelkan spanduk dan leaflet di sepanjang jalan protokol Tangerang, mengadukan kasus ke Komnasham, ke ILO, NCP OECD dan sebagainya. Hingga 2014, enam rekomendasi dari instansi yang berwenang dikantongi. Lembaga tersebut menyebutkan bahwa hak kami harus segera dipulihkan. Pengusaha dan pemilik brand bergeming.
Tahun 2016 adalah tahun keempat kasus kami. Saat itu, dari 1300 jumlah anggota telah berkurang sekitar 500 orang. Pengurangan anggota dalam kampanye kasus merupakan pukulan mental untuk kami. Sepanjang tahun ini bukan hal mudah mempertahankan anggota memiliki semangat dan rela bertahan untuk berjuang. Kami terus-menerus mencari cara agar kami dapat saling menyemangati.
Di tahun itu energi mulai menurun. Brand dan pengusaha keras kepala. Anggota pun semakin sulit untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan organisasi. “Mbak kapan kasusnya selesai?”, “Ini kasus mau dibawa kemana?”, “Mau berapa lama berjuang?” dan pertanyaan-pertanyaan gugatan lainnya. Kata-kata tersebut merupakan kata yang dijujur diungkapkan anggota. Dan, terus terang saja, mendapat pertanyaan tersebut mental saya down. Saya mengerti betul dengan kondisi kawan-kawan. Kami bukan aktivis bangkotan yang telah malang melintang dalam dunia pergerakan. Mereka adalah perempuan yang memiliki kesibukan; mengurus anak, suami atau keluarga lain, yang belajar berorganisasi dan mempertahankan haknya.
Menurut saya, hal tersebut disebabkan beberapa faktor, seperti:
- Keuangan
- Sudah banyak anggota yang bekerja dan pulang kampung
- Kehabisan cara melawan
Di awal 2016 hampir dua bulan organisasi tidak memiliki aktivitas. Mati gaya. Entah apa yang mesti diperbuat. Sebenarnya, di bulan-bulan sebelumnya kami memilki kebiasaan melaksanakan konsolidasi wilayah. Nah, di awal tahun itu sama sekali tidak dilaksanakan. Di tengah kekosongan aktivitas tersebut pimpinan organisasi tampak kebingunan, termasuk saya. Kami hanya ngobrol sambil lalu. Isinya hanya curhatan, kekesalan dan kemarahan. “Ini kasus bagaimana?” “Apa kita nyerah aja?”
Saya kasih tahu. Anggota kami diorganisasikan per wilayah tempat tinggal. Jadi, ketika kasus berlangsung anggota tetap memiliki kegiatan diskusi di wilayah masing-masing. Serikat buruh kami memang agak berbeda dengan serikat buruh umumnya. Umumnya serikat buruh diorganisasikan di tempat kerja. Ketika buruh dipecat atau perusahaan tutup kegiatan perburuhan dipusatkan di sekretariat cabang. Tidak sedikit kasusnya pun diserahkan ke pengurus tingkat cabang untuk diselesaikan di pengadilan. Nah, kami tidak menempuh cara demikian. Kami pun tidak memutuskan untuk menyelesaikan kasus di pengadilan. Kata orang metode yang kami gunakan adalah nonlitigasi.
Nah, awal tahun itu, dengan kehabisan cara untuk melawan, tetiba seorang kawan mengirim pesan melalui Whatsapp. Isinya poster. Tertulis: “Adidas! I Love You Full, Bayar Upah Kami!”.
Seperti api yang mendapat siraman bensin. Poster tersebut memicu munculnya ide kampanye media sosial. Semangat yang sudah hampir mati perlahan tumbuh kembali.
Akhirnya, saya menghubungi kawan-kawan pimpinan untuk melaksanakan rapat. Saya menawarkan ide untuk melakukan kampanye media sosial. Kawan-kawan pun menerima ide tersebut. Akhirnya kami memutuskan untuk belajar “apa dan bagaimana kampanye media sosial”. Setelah itu, kami pun mendiskusikan tentang bahan kampanyenya.
Di antara kami tidak mengerti teknik membuat poster. Beruntung banyak orang baik yang peduli dengan kasus 1300 buruh PDK. Persoalan poster pun teratasi dengan bantuan orang-orang baik itu. Selain membuat poster, ternyata foto-foto aksi yang tersimpan di komputer pun bisa digunakan sebagai bahan untuk kampanye. Dari foto dan video aksi itulah kami membuat bahan kampanye.
Ide pertama kampanye media sosial yang dipergunakan untuk kampanye adalah Facebook. Sebenarnya, waktu itu, belum ada strategi khusus untuk berkampanye. Yang ada dalam pikiran kami adalah setiap hari harus mengampanyekan kasus 1300 buruh PDK. Tujuannya, agar massa luas mengetahui bahwa pergantian rezim dan perubahan kebijakan tidak mengubah realitas kami. Memang, waktu itu Presiden dan Kemnaker sudah berganti. Tapi nasib kami tidak berubah.
Ketika melaksanakan kampanye media sosial biasanya saya meng-upload foto, sekaligus video. Jumlahnya pun bisa lebih dari satu buah foto dan video. Lagi-lagi saya beruntung di sekeliling orang-orang baik. Mereka dengan senang hati membantu dan meluangkan waktu memandu kampanye media sosial yang kami laksanakan. Saya masih ingat ketika seorang kawan mengingatkan, “Ingat banyak teman-teman kita yang fakir kuota. Kalau posting banyak foto dan video nanti gak bisa di-download dan tidak dilihat. Posting satu foto saja”. Menurut saya, itu adalah nasihat yang bermanfaat. Kawan saya itu mengingatkan, kalau ingin melakukan kampanye harus berusaha memahami keadaan penerima pesan.
Di tahun itu pun di media sosial sedang ramai gerakan #MeToo. Beruntung sekali, saya pun dihubungkan dengan salah satu campaigner #MeToo. Kami berdiskusi mengenai pengalaman melaksanakan kampanye media sosial. Lagi-lagi saya mendapat pelajaran baru. Kawan baru saya dari negeri seberang itu berpesan kepada kami, jika melakukan kampanye media sosial harus memerhatikan sasaran, waktu dan kebiasaan. Dia menyebutkan, sangat penting melihat jenis media sosial yang sering dipergunakan dan waktu penggunaannya. Kami pun mengubah strategi kampanye.
Saya dan kawan-kawan mengatur ulang pelaksanaan kampanye media sosial. Berikat beberapa langkah yang ditempuh:
Pertama: Identifikasi platform yang digunakan anggota dan orang lain. Saat itu kami memutuskan kampanye mengunakan Facebook, Twitter dan Instagram. Dari ketiga platform itu yang utama adalah Facebook. Pertimbangannya, penguna FB banyak dari kalangan buruh pabrik. Selanjutnya, Twitter. Sedangkan untuk Instagram tidak prioritas. Saat itu menggunakan Instagram memboroskan kuota dan pengguna IG kebanyakan kalangan remaja, anak muda dan artis. Postingan kami akan bersaing dengan akun-akun artis yang pasti lebih menarik.
Kedua: Karena tidak semua pimpinan memahami mengenai kampanye media sosial maka dibuat sesi belajar mengenai “Apa itu kampanye media sosial dan caranya”.
Ketiga: Menentukan waktu kampanye. Di periode awal kampanye tidak menentukan waktu, media dan sasaran kampanye. Kami mulai menetapkan cara dan waktu kampanye. Kampanye dilakukan serentak di waktu yang telah ditentukan yang dilakukan secara teratur. Untuk hal tersebut, kami menginvestigasi kebiasaan orang menggunakan aplikasi media sosial. Kami menetapkan waktu kampanye setiap pukul 16.00 WIB hingga 21.00 WIB. Kami mengasumsikan di jam-jam tersebut kalangan buruh, terutama buruh pabrik, pulang kerja, bersantai dan akan membuka media sosial.
Keempat: Kami menetapkan setiap hari sebanyak 100 orang melakukan kampanye. Apakah jumlah itu tercapai? Tentu saja tercapai di event-event tertentu. Siapakah mereka? Ya anggota kami. Bukan buzzer. Bukan pula bot media sosial. Bukan influencer.
Kelima: Membuat agenda training “kampanye media sosial”. Ketika kami melaksanakan training media sosial, ternyata kami belajar pula tentang penggunaan smartphone dan pembuatan poster.
Keenam: Mendata anggota yang memiliki akun media sosial. Sesuai perkiraan mengingat anggota PDK adalah emak-emak berusia di atas 30-an, kelahiran 1980-an, tingkat pendidikan paling tinggi SMA dan tidak bergaul dengan Medsos. Dari 500-an anggota yang punya akun media sosial tidak sampai 20 persen. Itu pun Facebook.
Ketujuh: Meminta dan memandu seluruh anggota untuk membuat tiga akun media sosial di atas. Kami juga membuat akun organisasi, sebagai akun utama untuk kampanye.
Delapan: Menentukan cara kampanye dan membuat tagar. Karena kawan-kawan memiliki kelemahan dalam membuat narasi kampanye maka agar memudahkan kawan-kawan diminta untuk membagikan status dari akun organisasi atau akun saya atau kolektif yang bertugas kampanye di hari itu. Kawan-kawan hanya membagikan dan menuliskan tagar serta menandai akun-akun yang menjadi target kampanye seperti Adidas, Mizuno, Messi dan lain-lain.
Sembilan: Bentuk kampanye lainnya adalah membuat ‘komen sampah’. ‘Komen sampah’ adalah membuat komentar di akun media sosial Adidas dan Mizuno. Anggota diminta untuk memberikan komentar dipostingan iklan Adidas atau Mizuno. Ternyata metode ‘komen sampah’ cukup menarik perhatian netizen. Para netizen pun secara tidak langsung turut mengampanyekan tuntutan kami. Metode ini cukup berisiko. Akun kami berkali-kali diblokir akun Adidas dan Mizuno sehingga kami tidak dapat berkomentar lagi di dua akun terebut.
Begitulah kampanye media sosial yang kami laksanakan. Saya kira, langkah-langkah di atas dapat ditiru, dimodifikasi dan dilengkapi oleh-oleh kawan-kawan lain dan disesuaikan dengan kampanye yang sedang dilaksanakan. Kita tidak perlu menyewa spesialis campaigner untuk berlatih media sosial. Anggota kita adalah followers real untuk melaksanakan kampanye media sosial. Saya ingin mengingatkan bahwa kampanye media sosial tidak sekadar menyusun kalimat, membuat gambar atau video yang bagus dan membuat tagar. Tapi tentang keterlibatan anggota dan konsistensi dalam melaksanakan kampanye media sosial.
Pengalaman kampanye media sosial kami dimulai dari nol. Nol banget. Rasanya kami sudah melakukan semua langkah. Namun tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. Dulu saya selalu berusaha menyemangati kawan-kawan, “Tugas kita berusaha. Hasil akhir nomor sekian. Yang penting kita jalani saja dulu”. Sejujurnya setelah melihat dan mempelajari situasi dan kondisi yang ada, saya tidak memiliki harapan yang besar.
Ternyata ide baru melakukan kampanye media sosial dengan melibatkan anggota membawa dampak besar bagi anggota. Setelah beberapa waktu tidak turun ke jalan kami pun memutuskan untuk kembali melakukan aksi massa dengan sasaran Pemerintah Kota Tangerang. Aksi massa dimulai pada 1 Mei 2016. Setelah itu, kami memutuskan akan merutinkan melaksanakan aksi massa di event Car Free Day (CFD) di Kota Tangerang. Salah satu aksi massa kami yang mendapat perhatian luas saat CFD adalah insiden penamparan salah satu peserta aksi massa oleh Kasat Intel Polresta Tangerang AKBP Danu. Isu itu mendapat solidaritas luas dari kawan-kawan dari berbagai serikat buruh dan nonserikat buruh. Saya senang sekali begitu banyak kawan. Menghadapi lawan yang begitu kuat, kita butuh lebih banyak kawan.[]
Penulis
-
Nonon Cemplon
-
Labour story teller