MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Siasat Mengabaikan THR Keagamaan Tanpa Melanggar Aturan

THR (Tunjangan Hari Raya) telah menjadi kebiasaan masyarakat. Peraturan perundangan pun mengakui THR sebagai hak buruh di perusahaan swasta sekaligus kewajiban pengusaha; dan hak aparatur sipil negara sekaligus kewajiban pemerintah.

Bagi buruh swasta, THR keagamaan dikategorikan sebagai pendapatan nonupah, dibayarkan dalam bentuk uang rupiah, tidak boleh dicicil, dan diterima oleh buruh paling lambat tujuh hari sebelum hari raya keagamaan. Hari raya keagamaan yang dimaksud mengacu pada agama yang dianut oleh setiap buruh, seperti Idulfitri, Natal, Nyepi, Waisak, atau Imlek.

Karena bersifat wajib maka pengusaha yang lalai atau berleha-leha tidak membayar THR keagamaan akan mendapatkan sanksi. Jenis sanksinya, dari sanksi administratif berupa teguran tertulis atau pembatasan kegiatan usaha hingga denda sebesar 5 persen dari total THR keagamaan.

Namun, jangan lupa, besaran THR keagaaman yang diterima oleh buruh merupakan objek pajak yang menjadi salah satu sumber penghasilan negara. Dengan begitu, melalui THR keagamaan buruh menjadi penyumbang anggaran negara.

Demikian keadaannya. Para pejabat negara memang tidak memiliki kehendak untuk memastikan bahwa buruh mendapat hak THR dan pengusaha  bersiasat mengemplang THR. Tapi, kalau mengenai potongan, mereka gercep. Kelas-kelas parasit tersebut memang agak mirip dengan segelintir pengisi jagat media sosial yang rajin menghardik aksi massa buruh menuntut kenaikan upah, kemudian merasa bangga karena menerima upah sesuai upah minimum. Saking bangganya, mereka menyebut upah minimum dengan UMR, istilah jadul yang dipergunakan pada 1980-an. 

Meski telah menjadi kebiasaan umum masyarakat dan bagian dari hukum positif, selalu ada siasat untuk tidak membayarkan THR keagamaan buruh. Menurut data resmi pemerintah, jumlah pelanggaran terhadap hukum THR, cenderung meningkat setiap tahun dengan persoalan yang tidak jauh berbeda. Pertama, THR dibayar dengan dicicil. Kedua, THR dibayarkan dalam bentuk barang. Ketiga, besaran THR lebih rendah atau tidak sesuai peraturan perundangan. Keempat, THR terlambat dibayarkan. Kelima, THR tidak dibayarkan.

Perlu ditegaskan, alasan mengemplang THR keagamaan biasanya berlindung pada kondisi keuangan perusahaan yang merugi. Tapi, kalau buruh menggugat THR, pengusaha yang mengaku rugi itu sanggup membayar pengacara mahal dalam jangka waktu lebih dari setahun. Contohnya, CV Sandang Sari yang mengaku tak sanggup membayar THR karena usahanya sedang lesu. Ketika buruh menggugat hak tersebut, perusahaan sanggup menyewa pengacara hingga lebih dari dua tahun untuk menguggat buruh.

Untuk itu, ketika perusahaan berdalih tak sanggup membayar THR karena pasar global atau kondisi keuangan perusahan tidak stabil, buruh maupun pengurus serikat buruh jangan memercayai alasan tersebut, apalagi malah ikut berkampanye dengan pengusaha, “Lindungi perusahaan karena perusahaan sawah ladang kita!” Dalih-dalih tersebut, jangan-jangan memang sekadar untuk merampas hak buruh.

Jumlah Kasus Pelanggaran THR

TahunJumlah Kasus/Perusahaan
2020183
20211.150
20222.935
20232.369
Diolah dari berbagai sumber

Dengan demikian, diabaikannya hak THR keagamaan buruh bukan semata persoalan ketidakmampuan keuangan perusahaan, bukan pula karena ‘perusahaan nakal’, bukan pula karena enggan patuh. Tapi kesengajaan pengusaha yang dibiarkan oleh pemerintah. Karena pengemplangan THR keagamaan bersifat struktural maka metode menagihnya tidak bisa lagi bersifat konvensional seperti dialog sosial. Tapi mesti menempuh metode-metode modern seperti aksi massa dan pemogokan.

Lalu, bagaimana pengusaha mengabaikan hak THR keagamaan buruh?

Pertama, tidak mengakui sebagai buruh tapi dianggap mitra atau keluarga.

Sebutan mitra dari pengusaha terjadi di sektor usaha transportasi daring, konvensional, buruh rumahan dan pekerja rumah tangga.

Sebenarnya, pemaksaan istilah mitra dalam hubungan perburuhan bukan perkara baru. Saat berkuasa, rezim jagal Soeharto berupaya menggantikan hubungan buruh-majikan dengan konsep kemitraan dan kekaryaan dalam kerangka hubungan industrial harmonis (Arifin, 2017).

Dalam konteks transportasi daring, tentu saja para pengemudi daring dikategorikan sebagai buruh karena mereka dikontrol melalui sistem verifikasi muka dan Satgas (Satuan Tugas) aplikator di lapangan, mendapatkan sanksi berupa pemecatan dan suspend, tarifnya diatur, mendapatkan perintah kerja dan pekerjaan melalui sistem algoritma.

Baru-baru ini, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (PHI-JSK) Kemnaker Indah Anggoro Putri, menyebutkan bahwa Ojol dan kurir masuk dalam jenis perjanjian waktu tertentu (PKWT) dan berhak mendapat THR (Detik.com, 19 Maret 2024). Esoknya, seperti ‘keseleo lidah’, Kemnaker segera mengubah pernyataannya. Dalam pernyataannya, Indah Anggoro menyebutkan bahwa THR untuk Ojol dan kurir sebatas imbauan serta bentuk dan mekanisme pembayaran THR diserahkan ke perusahaan aplikasi masing-masing (Antaranews.com, 20 Maret 2024).

Ketika Kemnaker menyebutkan Ojol dan kurir berhak mendapat THR, aplikator tidak tinggal diam. Melalui media massa, Grab, Gojek dan Maxim menolak membayar THR kepada Ojol dan kurir (Kompas.com, 22 Maret 2024). Upaya menolak hubungan kerja perburuhan dilakukan pula melalui video yang disebarkan melalui media sosial dan menugaskan Satgas menyebarkan ideologi kemitraan melalui pertemuan informal yang dibungkus dengan judul ‘Buka Puasa Bersama’.

Kedua, memecat buruh dalam bentuk PHK, putus kontrak dan jeda kontrak.

Kata kunci hak mendapat THR keagamaan adalah terjadinya hubungan kerja dan hubungan kerja yang terus-menerus. Untuk menyiasati dua kata tersebut maka pengusaha dapat melakukan pengakhiran hubungan kerja (PHK) sebelum Ramadan. Kemudian merekrut tenaga kerja baru maupun lama dengan hubungan kerja kontrak melalui jenis harian lepas atau borongan. Sedangkan untuk menghindari sifat kerja yang terus-menerus dapat melakukan putus kontrak atau jeda kontrak.

Contoh kasus PHK sebelum Ramadan terjadi di PT Sai Apparel Industries di Semarang sebanyak 8.000 buruh; PT Sinar Panca Jaya melakukan PHK 400 buruh, dan PT Pulau Mas Texindo yang mem-PHK 100 buruh (Harianjogja.com, 27 Maret 2024).

Informasi yang cukup heboh adalah pemecatan terhadap 1500 buruh di pabrik pembuat ban PT Hung A Bekasi Jawa Barat. Kala itu, tersiar kabar bahwa perusahaan akan merelokasi pabriknya ke Vietnam. Segelintir pegiat media sosial antiburuh menggunakan kesempatan tersebut untuk mengampanyekan bahwa penutupan PT Hung A akibat aksi buruh dan kenaikan upah minimum yang tinggi. Namun, per 4 Maret, ternyata PT Hung A telah beroperasi kembali dan merekrut tenaga kerja baru. Sehingga pemecatan massal di PT Hung A pada Januari lalu sekadar siasat untuk membuang buruh tetap dan menyambut Ramadan dengan buruh kontrak.

Pemantauan LIPS (Lembaga Informasi Perburuhan Sedane) terhadap 10 media massa daring nasional[1] menemukan bahwa selama Januari-Maret 2024 terjadi 8 kasus pemecatan dengan mengorbankan 19.953 buruh. Pemecatan terbanyak terjadi di sektor TSKS (Tekstil, Sandang, Kulit dan Sepatu), yang mencapai 50 persen, disusul LEM (Logam Elektronik dan Metal) yang mencapai 25 persen.

PemecatanJanuari-Maret 2024

Sumber: Diolah dari 10 Media Daring Nasional oleh LIPS

Dari pantauan media massa terungkap bahwa pengusaha melakukan pemecatan dengan alasan pasar internasional tidak stabil, munculnya teknologi AI dan impor barang garmen ke dalam negeri. Sementara itu, para aktivis menilai bahwa pemecatan terhadap buruh yang mendekati Ramadan memang dimaksudkan untuk menghindari pembayaran THR keagamaan.

Dibanding periode Januari-Maret 2023, korban pemecatan di tahun 2024 nyaris tidak jauh berbeda. Pada Januari-Maret 2023, di mana Ramadan terjadi di minggu kedua Maret, sebanyak 20.393 buruh dipecat. Dapat dikatakan bahwa pemecatan dengan bentuk pemutusan hubungan kerja, putus kontrak atau jeda kontrak merupakan pola terstruktur untuk menghindari pembayaran THR keagamaan.

Mendidik Buruh dengan Pergerakan

Diakuinya THR keagamaan sebagai bagian dari hukum positif merupakan hasil perjuangan buruh yang dilakukan bertahun-tahun. Perjuangan THR dimulai sejak 1914. Koran-koran di masa Pemerintahan Hindia Belanda, seperti Java-Bode, kerap memberitakan mengenai perlawanan buruh menuntut tunjangan lebaran. Di masa itu, istilah THR keagamaan sering disebut dengan lebaran-toeslag, atau lebaran gratificaties. Tentu saja, seperti zaman sekarang, di zaman Belanda atau Jepang pun tidak sedikit yang nyinyir dengan gerakan buruh menuntut THR.

Pada 1961, THR keagamaan diakui sebagai bagian dari hukum positif dan ditetapkan melalui Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 1 Tahun 1961. Itu pun bukan sebab kebaikan negara, tapi hasil dari pemogokan buruh yang berulang-ulang. Sekali lagi, hasil pemogokan!

Meskipun THR keagamaan diakui sebagai bagian dari hukum positif, pemilik modal maupun pemerintah berupaya mengemplang THR. Misalnya, Menteri Tenaga Kerja Mohamad Sadli pernah mengeluarkan surat edaran bahwa THR tidak bersifat wajib. Sebagai bagian dari grup Mafia Berkeley dan Ketua Komite PMA, Mohamad Sadli menyebutkan THR tidak ramah investasi. Baru, pada 1994, peraturan THR diakui kembali sebagai bagian dari hak buruh. Lagi-lagi, diakuinya THR sebagai bagian dari hukum Indonesia dilakukan melalui pemogokan di Surabaya, Jabodetabek, Medan dan kota-kota industri lainnya.[] 


[1] Sumber informasi kliping media massa: Tempo.co, Kompas.com, Katadata.co.id, CNNIndonesia.com, Pikiran-rakyat.com, BantenNews.co.id, Antara.com, JPNN.com, Detik.com dan CNBCIndonesia.com