MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Mengapa Pengorganisasian Serikat Buruh Penting?

Banyak sekali bahan bacaan yang mengulas terjadinya krisis ekonomi global dan bagaimana kelas pemilik modal berupaya keluar dari krisis tersebut dengan cara-cara yang bertentangan dengan kepentingan kelas buruh. Meskipun ada pemodal yang masih bersikap ‘lunak dan humanis’, namun mayoritas dari mereka gemar mendesak dan melobi pemerintah untuk melegitimasi tindakannya (pemilik modal) yang zalim terhadap buruh.

Kelas pemodal sangat menggantungkan nasibnya pada negara. Dalam pandangan Marxian, negara layaknya organisasi yang dikuasai oleh kelas pemodal untuk melindungi kepentingan mereka. Kongkalikong di antara pengusaha dan negara sudah terjalin sepanjang sejarah kekuasaan di negeri ini. Saat krisis melanda, mereka kerap ‘merengek’ agar kepentingannya terlindungi.

Lihat saja, ketika ekonomi dunia melemah sepanjang 2008-2014, pemerintah justru mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan. Kebijakan yang pernah ditentang dan tolak oleh para buruh dan serikat buruh ini, melegitimasi mekanisme kenaikan upah yang sepenuhnya ditentukan oleh pasar. Melalui PP ini, Dewan Pengupahan direduksi kewenangannya sedemikian rupa agar tak berfungsi lagi. Akibatnya kesejahteraan buruh makin merosot.

Di masa pandemi, ketika negara-negara di seluruh dunia mengalami pukulan karena mewabahnya Covid-19, Pemerintah Indonesia melalui Menteri Ketenagakerjaan justru menambah penderitaan buruh dengan diterbitkannya dua Surat Edaran (SE). Kedua SE tersebut menjadi pukulan telak bagi buruh karena melegitimasi praktik keji pengusaha memotong upah buruh. Terakhir, pukulan didaratkan penguasa melalui pengesahan Undang-undang (UU) nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan semua perubahan dan regulasi turunannya. Terbitnya UU Cipta Kerja membuat pasar kerja makin fleksibel.

Selain itu, pemerintah juga berkutat pada isu sensitif lainnya: radikalisme dan pasal-pasal karet sebagaimana yang tercantum dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Melalui UU tersebut, pemerintah bisa menjerat siapa pun yang kritis dan menentang kebijakan-kebijakan pemerintah. Sebagaimana kita ketahui, beberapa aktivis yang mengkritik pemerintah maupun pengusaha dikriminalisasi menggunakan UU ITE untuk membungkam suara-suara kritis.

Sebaliknya, serikat buruh (di) Indonesia berada dalam tekanan besar. Selain gempuran informalisasi hubungan kerja dan pemecatan yang makin brutal, suara serikat buruh makin tak didengar, bahkan semakin melemah –tak mampu menembus dinding pembatasnya. Tentu saja ini menjadi ‘pekerjaan rumah’ serikat buruh, yang tidak mudah untuk diselesaikan dan membutuhkan keseriusan dan komitmen bersama.

Serikat buruh terkurung dalam sangkar

Jika ditelisik kondisinya, serikat buruh dalam keterpojokan yang nyata. Fakta paling jelas adalah lemahnya suara buruh secara nasional. Dalam kasus Omnibus Law Cipta Kerja, terlihat jelas bagaimana kekuatan serikat buruh dilemahkan dan diabaikan negara. Selain tidak memiliki akses dalam proses penyusunannya, serikat buruh juga kerap terjebak dalam pusaran permainan penguasa.

Terbelahnya serikat-serikat buruh dalam ‘Tim Teknis’ bentukan pemerintah dan ‘Tim Perumus’ di DPR RI menunjukkan serikat buruh masuk dalam rute pelemahan gerakan buruh yang didesain oleh pemerintah. Mereka seolah kehilangan kesadaran bahwa sebenarnya ‘Tim Teknis’ dan ‘Tim Perumus’ adalah serupa. Peran keduanya mengilusi serikat buruh seolah-olah suaranya didengar. Padahal, itu hanya upaya pemerintah memanipulasi suara buruh. Ironis!

Di sisi lain, berbagai serikat buruh yang menolak RUU Cipta Kerja melalui aksi jalanan, belum mampu menggoyahkan rencana culas pemerintah. Pemandangan saling curiga-mencurigai, saling kritik, saling mendeligitimasi, terpotret jelas dalam lalu lintas postingan komentar di dunia maya. Berbagai hambatan untuk bertemu dan menyamakan ‘frekuensi’ perlawanan selalu dihadapkan dengan hambatan diantara gerakan.

Pemilik modal secara masif berada di balik penyusunan Omnibus Law. Sejak direncanakan, dirumuskan, dibahas, dan disahkan, kepentingan pengusaha selalu diakomodasi pemerintah. Di parlemen, suara yang mewakili kepentingan pemilik modal sangat signifikan. Sebanyak 262 dari 575 anggota DPR RI, atau sekitar 45,5% anggota DPR RI terafiliasi dengan pengusaha. Mereka mendominasi dari jajaran kabinet pemerintahan hingga ke penguasa-penguasa daerah. Meskipun sesekali mereka terlihat berbeda pendapat, namun ketika berhadap-hadapan dengan kelas buruh, mereka akan kompak dan bersatu.

Sementara itu, serikat buruh sangat jauh tertinggal. Selain tidak punya suara secara nasional, juga sering terlihat tidak mampu untuk menunjukkan rasa solidaritasnya. Dalam aksi-aksi besar seperti May Day, International Womens Day (IWD), dan aksi-aksi momentum lainnya, tak jarang mereka tersekat dalam mobil komando yang berbeda-beda; saling adu keras suara orasi dalam pengeras suara dan mengkavling area aksi di seberang Istana Kepresidenan.

Kalau saja kesadaran sejati di antara serikat buruh terbentuk, tentu kita akan sering melihat terciptanya momentum-momentum yang mempersatukan mereka. Momentum bukan sesuatu yang harus ditunggu, tapi dibangun dari kondisi material di lapangan, yaitu dimulai dari tempat kerja. Pilih saja isu yang bisa mempersatukan, bukankah hampir setiap hari kita mendengar ribuan buruh di satu kawasan dipecat? Bukankah di media sosial kita kerap menemukan fenomena buruh kontrak dan outsourcing tidak berdaya? Atau masalah Tunjangan Hari Raya (THR) yang dikemplang pengusaha? Jika masalah setiap pabrik sama harusnya aksi-aksi atas tuntutan tersebut, bisa menjadi momentum bersama dan bisa dimuarakan dalam aksi besar seperti May Day atau peringatan-peringatan lainnya. Bisa kita bayangkan, bagaimana jadinya jika buruh-buruh kontrak di satu kawasan –yang jumlahnya ribuan– melancarkan tuntutan bersama dalam waktu yang sama melalui pemogokan kawasan.

Pengorganisasian adalah kuncinya. Kecenderungan pola pengorganisasian serikat buruh di Indonesia –dan negara-negara Asia lainnya– cenderung semakin memperburuk kondisi tersebut. Jika kita bangdingkan dengan Eropa, pola pengorganisasiannya berbasis sektor industri sehingga persatuan dan soliditasnya lebih kuat. Sementara di Indonesia, pengorganisasian berbasis perusahaan telah menjadikan kekuatan serikat buruh semakin melemah.

Apalagi jika dikaitkan dengan UU No 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang memungkinkan terbentuknya serikat buruh hanya dengan 10 orang saja. Kemudahan pembentukan serikat buruh ini berpotensi pada semangat persaingan antar serikat, dan tentu saja potensi perpecahannya semakin kentara. Memikirkan ulang kondisi ini secara serius dan terus menerus, rasanya menjadi hal yang sangat krusial.

Serikat buruh di persimpangan jalan

Serikat buruh semakin terpinggirkan, bahkan di kalangan buruh sendiri. Banyak indikasi yang menunjukkan hal tersebut. Salah satu contohnya, dengan mengamati percakapan yang terjadi di lalu lintas dunia maya ketika mengomentari aksi-aksi buruh. Berbagai komentar miring selalu mengiringinya. Dan kita meyakini bahwa mereka (para netizen), sebenarnya juga buruh.

Fakta lain, misalnya: semakin berkurangnya keanggotaan serikat buruh di tempat kerja. Cukup sulit serikat buruh menjadi mayoritas di sebuah perusahaan. Selain karena kemudahaan pengusaha memecat buruh, juga karena buruh takut kehilangan pekerjaan atau takut kontraknya tidak diperpanjang ketika berserikat. Data yang diperoleh dari International Labour Organization (ILO) menunjukkan bahwa, hanya 3% dari seluruh buruh di Indonesia yang menjadi anggota serikat buruh.

Lemahnya posisi serikat buruh tentu saja berpengaruh terhadap posisi tawar kelas buruh di hadapan kelas pemodal. Sebagai contoh: anggap saja 3% buruh yang berserikat tersebut mengancam mogok kerja, para pemilik modal akan dengan santai menanggapainya. Kehilangan 3% buruh yang berserikat, bagi pengusaha akan dengan cepat dan mudah merekrut penggantinya. Bukankah itu juga terjadi di pabrik-pabrik? Ketika anggota serikat buruh sedang mogok kerja, dalam hitungan waktu yang tidak terlalu lama, perusahaan sudah berhasil merekrut buruh baru. Buruh-buruh baru tersebut berasal dari kelompok pengangguran yang jumlahnya berlimpah dan angkatan kerja baru yang tidak terlalu rewel dengan kesejahteraan.

Benar bahwa jumlah buruh yang berserikat mencapai 3%, tapi sebenarnya dari presentase buruh yang berserikat tersebut yang memberikan kontribusi ke serikat buruh jauh lebih kecil. Kontribusi tersebut dapat dilakukan dalam berbagai bentuknya, dari aktif mengikuti kegiatan serikat buruh, menjadi perwakilan anggota, dan membayar iuran. Minimnya kontribusi dan partisipasi anggota serikat buruh berdampak terhadap kekuatan serikat buruh. Sementara kekuatan serikat buruh berkorelasi dengan posisi tawar. Alhasil, jika serikat buruh lemah, posisi tawar buruh di hadapan pengusaha juga lemah, bahkan dianggap sepele.

Lalu, kenapa tingkat partisipasi buruh minim? Ada banyak penyebabnya. Pertama, serikat buruh terjebak hanya memberikan penyadaran akan hak normatif yang berkaitan dengan masalah di tempat kerja. Pendidikan terkait undang-undang dan pasal-pasal memang diperlukan, namun bagi saya yang lebih mendesak sebenarnya adalah pendidikan politik. Dengan pendidikan politik, buruh tidak hanya memahami undang-undang, tapi juga kritis terhadap kepentingan yang lebih besar di baliknya: bagaimana undang-undang tersebut dibuat, dan siapa yang diuntungkan. Kasus pembahasan dan pengesahan UU Cipta Kerja 11/2020 merupakan contoh paling baik untuk membongkar kesadaran politik buruh.

Kedua, adalah kekalahan demi kekalahan yang dialami oleh serikat buruh. Dalam kasus-kasus pemogokan di pabrik misalnya, kurangnya persiapan dan perhitungan kekuatan ketika melakukan mogok, seringkali berakhir dengan pemecatan terhadap pengurus serikat buruh. Peristiwa pemecatan dan kekalahan sesudah pemogokan, seringkali menciutkan mental buruh untuk berserikat dan pada akhirnya mendorong mereka untuk mencari posisi aman, tidak bergabung dengan serikat. Meskipun pilihan ini sebenarnya tidak sepenuhnya aman, tapi menjadi opsi yang tidak terelakkan.

Ketiga, praktik yang dicontohkan oleh pimpinan serikat buruh seringkali menjadikan anggota kehilangan kepercayaan, baik di tingkat pabrik maupun tingkat nasional. Kelakuan ‘buruk’ yang dilakukan pemimpin serikat buruh akan dilihat sebagai teladan yang buruk. Pertertemuan tertutup antara pengurus serikat buruh dengan pengusaha, lobi-lobi yang dilakukan di rumah makan bersama manajemen perusahaan, atau pimpinan yang tampak takzim dan berbinar-binar ketika berfoto bersama penguasa membekas dalam ingatan anggota sebagai potret kekalahan. Akumulasi atas hal-hal di atas, pada gilirannya membuat buruh tak lagi menaruh harapan pada serikat buruh. Jika ini terjadi, apalagi yang bisa diharapkan?

Serikat buruhisme dan perjuangan jangka pendek

Penyakit akut yang melanda pimpinan serikat buruh saat ini adalah ketiadaan tujuan jangka panjang. Mereka terjebak pada dilema berkepanjangan karena tidak memiliki perjuangan jangka panjang, serikat buruh mengalami kebingunan dan tidak paham, untuk apa mereka berserikat. Tak heran, jika kita melihat aktivitas berserikat akhirnya terjebak dalam ‘gerak mekanik’. Menemukan kontak, membentuk serikat, menyusun tuntutan, mengirimkannya ke kantor Disnaker, lalu menunggu, aktifitas yang monoton. Tuntutan yang diajukan juga hal-hal yang relatif sama seperti upah, status hubungan kerja, upah lembur, BPJS, dll.

Selain itu, serikat buruh saat ini, kerap puas dan berbesar hati apabila telah melewati sebuah kemenangan kecil di level pabrik. Padahal, semua itu sifatnya hanya sementara. Bisa saja, perubahan politik akan merampas semuanya. Sebagaimana yang telah kita alami ketika kenaikan upah dari hasil mogok nasional dilibas ketika pemerintah menerbitkan PP 78/2015 tentang Pengupahan atau ketika dua surat edaran Menteri Ketenagakerjaan diberlakukan untuk melegitimasi pemotongan upah. Dan anehnya, serikat buruh justru hanya berkutat pada masalah-masalah normatif saja. Berputar-putar dalam jebakan batman yang disiapkan pemerintah, misalnya mengandalkan pilihan PHI sebagai jalan utama. Sungguh, sangat normatif! Kering imajinasi dan tidak mampu memikirkan bagaimana perubahan 10, 15, atau 20 tahun ke depan.

Kekosongan pendidikan politik, akhirnya menjadikan serikat buruh kering imajinasi dan kesulitan dalam merencanakan cita-cita jangka panjangnya. Cita-cita jangka panjang tersebut, bukan berhenti pada masalah-masalah yang terjadi saat ini, tapi lebih pada upaya untuk membongkar akar masalah dan menemukan solusinya. Pelajaran berharga sebenarnya telah dicontohkan serikat buruh di belahan dunia lainnya, di Eropa, Australia, dan Amerika ketika mereka berhasil mendudukan kepentingan mereka dan memaksa pemerintah untuk memenuhi kepentingan kelas buruh yang lebih luas. Sebenarnya kita dapat memetik pelajaran penting dari serikat buruh di Eropa, Australia dan Amerika.

Muara dari semua masalah bukan hanya ada di pabrik atau satu kota, tapi semua diputuskan oleh pemerintah pusat dan kongkalikong dengan parlemen yang mengatur sedemikian rupa, sehingga menjadikan kelas buruh selalu kalah. Kesadaran yang harus dibangun adalah hanya dengan membangun alat politiknya lah yang akan mengantarkan serikat buruh pada jalan kemenangan, bukan ndompleng partainya kelas pemodal, seperti yang lazim dipertontonkan saat ini.

Keuangan organisasi, dari mana asalnya?

Coba anda bayangkan sistem kerja tubuh manusia. Apa yang terjadi jika darah yang mengaliri seluruh nadi dihentikan atau berjalan tersendat? Dapat dipastikan aliran darah akan terhambat dan menganggu sistem dalam tubuh. Kira-kira, demikian yang terjadi dengan serikat buruh tanpa iuran anggota. Hal ini adalah masalah yang sangat serius bagi serikat buruh. Banyak serikat buruh yang memutus mata rantai kesusahan ini dengan jalan pintas, mencari sumber pendanaan melalui sumber-sumber lain yang bukan dari iuran anggota.

Di berbagai kota, pada level DPC misalnya, pengurus-pengurus serikat buruh kerap bergabung dengan tim sukses dalam pemilu/pilkada. Dengan mendekati calon-calon anggota dewan atau kepala daerah. Kompensasinya, mendapatkan bantuan untuk sekedar menyewa sekretariat serikat atau pembiayaan kegiatan serikat buruh.

Selain cara di atas, yang lazim dilakukan serikat buruh dalam menggalang dana adalah bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau dari jaringan pendanaan/lembaga donor internasional. Resiko terbesarnya, apabila ini menjadi ketergantungan dalam jangka panjang, selain melemahkan serikat buruh juga akan menjadikan serikat buruh tersandera untuk sekedar menjalankan program-program yang sesuai dengan permintaan si pemberi dana. Ketergantungan ini akan menjadikan serikat memiliki ketergantungan politik dan mengikuti kemauan pemberi dana agar alirannya tetap lancar.

Mencari dana organisasi dari lembaga donor, apabila dijadikan sebagai sumber pendanaan  utama dan tidak segera diatasi dengan memastikan iuran serikat buruh berjalan, dapat dipastikan serikat buruh tersebut akan semakin melemah. Berbagai serikat buruh yang berafiliasi dengan federasi global, biasanya akan mendapakan dana solidaritas. Tetapi, dana solidaritas itu hanya diproyeksikan untuk menjembatani kemandirian serikat buruh sampai pada level tertentu.

Seharusnya, iuran yang dipotong langsung dari upah buruh menjadikan serikat buruh mandiri dan tidak tergantung dengan pihak lain di luar serikat buruh. Prinsip dasar bahwa serikat dibentuk dan dibangun dari, oleh, dan untuk buruh, semestinya dijadikan pengangan untuk tujuan kemandirian serikat buruh. Kesadaran untuk membiayai serikat buruh dari uang iuran anggota, sejatinya juga menjadi cara untuk memastikan “loyalitas” para pengurus dan organiser serikat buruh terhadap cita-cita serikat buruh.

Dalam banyak kasus, kita sering mendengar adanya pengurus serikat buruh atau organiser melakukan ‘kompromi’ dengan kelas pemodal untuk bertukar kepentingan ketika sedang mengadvokasi. Karena support keuangan dari serikat buruh yang hanya untuk (sekedar) bertahan  hidup tidak mencukupi, sementara tuntutan dari anggota besar, menjadi pembenaran bagi mereka untuk bertukar kepentingan tersebut. Jual beli kasus adalah salah satu contohnya.

Kewajiban membayar iuran dari anggota kepada serikat buruh, lalu ke federasi, hingga ke konfederasi, merupakan bentuk solidaritas yang tidak bisa ditunda. Menunda membayar iuran atau bahkan melalaikannya, akan menjadikan serikat buruh kehilangan daya tempurnya. Melemah dan tidak berdaya. Seperti tubuh manusia, kehabisan darah pasti mati!

Langkah ke depan serikat buruh

Dengan situasi kemerosotan serikat buruh, lalu kemana serikat buruh harus melangkah? Ada banyak gagasan yang bisa diajukan. Pertama, pembenahan kondisi internal serikat buruh menjadi langkah awal yang tidak bisa ditawar dan ditunda. Persoalan-persoalan umum yang dihadapi serikat buruh, bukan saja menjadi masalah bagi satu atau dua serikat, tapi sudah melanda mayoritas serikat buruh. Harus ada upaya kolektif untuk bersama-sama mencari solusinya atau akan gagal sama sekali.

Kedua, harus dicari upaya jitu untuk memacu partisipasi anggota. Paradigma ‘service union’ yang menjadikan serikat sebagai pelayan anggota harus diubah dengan paradigma baru yang lebih maju yakni ‘organising union’. Yaitu dengan menjadikan serikat sebagai basis pengorganisasian anggota dan calon anggota dengan mendemokratisasikan serikat buruh. Penentuan program, tuntutan, pemilihan pengurus, semua harus dijalankan dengan melibatkan penuh anggota. Tanpa terkecuali, anggota (pembayar iuran) harus mendapatkan akses yang sama. Pengurus tidak boleh hanya berkutat dalam rapat-rapat di sekretariat saja, tapi harus menemui anggota di line produksi, kontrakan dan rumah petak, hingga kantin-kantin dan tempat ibadah yang biasa jadi tempat berkumpulnya buruh. Pendidikan dan sirkulasi informasi tidak berhenti di kalangan pengurus.

Dalam tataran isu, kampanye, dan advokasi, serikat buruh harus berwawasan nasional dan global. Tidak boleh berpuas dengan aktivitas di level pabrik dan kota saja, serikat buruh harus ‘melek’ dengan isu nasional dan internasional. Cerita pemogokan buruh tambang batu bara di Muara Enim harus dapat menjadi bahan diskusi untuk buruh  otomotif di Karawang. Kasus pemecatan Ketua Serikat Buruh di Demak, semestinya memicu solidaritas buruh di Surakarta, dan seterusnya. Demikian juga dengan isu-isu internasional. Seruan solidaritas untuk mendukung pemogokan buruh di Philipina misalnya, harus disambut dengan aksi-aksi oleh buruh di Indonesia sebagai bentuk solidaritas antar serikat.

Ketiga, mandirikan serikat buruh iuran anggota. Bisa jadi, pada tahap awal ada dana-dana solidaritas dari pihak lain di luar serikat buruh, namun harus diputuskan melalui kesadaran penuh, berapa besarnya, berapa lama, dan tidak boleh menjadikan serikat buruh terjebak pada ‘program pesanan’ yang dapat menyandera serikat buruh pada sikap politik. Ini, menjadi bahaya yang nyata.

Keempat, penting bagi serikat buruh untuk menjalin kerja sama secara nasional dan internasional. Dalam kepentingan-kepentingan yang sifatnya taktis, bisa dilakukan melalui aliansi-aliansi taktis. Tetapi, dalam kepentingan jangka panjang yang lebih strategis, serikat buruh harus mulai membangun persatuan dengan serikat buruh, federasi, dan konfederasi global. Tentu saja, serikat buruh yang dipilih adalah serikat buruh yang aktif berlawan, bukan justru sebaliknya.

Serikat buruh yang bersikap ‘lunak’, seringkali meminta dan mendapatkan berbagai fasilitas atau dukungan dana dari pemerintah. Pelajaran pentingnya, bila kita hendak benar-benar membangun kesejahteraan buruh, kita harus mulai belajar dan berkawan dengan serikat-serikat buruh yang tegas dalam menjalankan prinsip organisasi, berani bersikap tegas, dan mampu menggalang pemogokan-pemogokan nasional menentang kebijakan pemerintah yang anti kelas buruh.

Berbagai pengalaman membangun kekuatan bersama secara kewilayahan, nasional, regional, dan global, dipercaya akan mengantarkan serikat buruh pada lompatan kesadaran yang lebih maju. Langkah-langkah ini, menjadi pra kondisi bagi pembangunan serikat buruh yang kuat. Serikat buruh yang memiliki cita-cita jangka panjang, dengan perspektif internasionalisme.

Amandla!

Penulis

Khamid Istakhori
Global Organizing Academy, Building & Wood Workers’ International