MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Dinamika Perburuhan 2024: Kriminalisasi dan Dendam Orang-orang Kuat

Pada 2024, tercatat lima kasus kriminalisasi yang terekam di media massa. Kami mendokumentasikan kasus-kasus kriminalisasi yang diberitakan oleh media massa daring. Pendokumentasian dilakukan melalui monitoring media digital, dengan mengumpulkan data berupa artikel, berita, atau informasi lainnya dari situs dengan mengonfirmasi kasus tersebut kepada pihak yang terlibat dalam mengadvokasi kasus tersebut.

Beberapa kasus yang terdokumentasi telah berlangsung sejak tahun 2023 dan mendapatkan putusan pengadilan pada 2024. Artinya, satu jenis kasus tidak selesai dalam setahun. Di luar kasus-kasus terekam di media massa umum, tentu saja terdapat kemungkinan kasus-kasus kriminalisasi lain yang tidak terekam oleh media massa.

Kasus kriminalisasi 2024 terjadi di lima sektor, yaitu perkebunan, pendidikan, food & beverage, keamanan, dan pelayanan sosial dengan total enam orang penyintas.

Tabel I Daftar Buruh yang Dikriminalisasi

Dari lima kasus di atas tergambar bahwa kriminalisasi terhadap buruh beriringan dengan upaya balas dendam penyelenggara negara dan/atau pemilik modal untuk menolak pengupahan yang adil, kepastian kerja dan penciptaan kondisi dunia kerja yang manusiawi. Kriminalisasi menjadi serangkaian tindakan aktor-aktor negara dan pemilik kapital untuk menyerang hak-hak demokratis, seperti kebebasan mengemukakan pendapat dan hak berserikat.

Gambaran kriminalisasi terhadap buruh seringkali mengabaikan pokok masalah yang diungkapkan oleh buruh, seperti pelanggaran hak-hak ketenagakerjaan. Pada akhirnya, dalam proses kriminalisasi buruh, para pembela hak asasi buruh mengerahkan seluruh energinya untuk membela penyintas.

***

Contoh kasus yang dialami oleh Mulyanto menggambarkan hal di atas. Mulyanto dan kawan-kawannya melakukan mogok kerja untuk menuntut hak-hak mereka, pada 19 Agustus 2023. Setelah pemogokan tersebut, Mulyanto dilaporkan oleh perusahaan dengan tuduhan melakukan provokasi berdasarkan bukti rekaman video yang beredar. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pontianak menjatuhkan vonis bersalah 9 bulan penjara kepada Mulyanto.

Jika Mulyanto dikriminalisasi karena melakukan mogok kerja, di sektor pertambangan, dua orang Satpam di PT Sentosa Kurnia Bahagia (SKB) Lubuklinggau, Sumatera Selatan, juga mengalami nasib serupa. Keduanya dikriminalisasi karena dituduh merintangi kegiatan usaha pertambangan PT Gorby Putra Utama. Ironisnya, dua buruh ini hanya menjalankan tugas sebagai petugas keamanan di perusahaan, namun mereka malah dikriminalisasi oleh perusahaan yang sedang bersengketa lahan dengan perusahaan tempat mereka bekerja.

Nasib sial juga menimpa Supriyani, seorang guru sekolah dasar di Konawe Selatan, Sulawesi Tengah, yang dilaporkan oleh orang tua murid karena dituduh melakukan kekerasan terhadap siswanya. Beberapa bulan setelah pelaporan tersebut, kasus Supriyani terus berlanjut di meja kepolisian hingga dinyatakan lengkap dan dilimpahkan ke kejaksaan (P21). Namun, pihak kepolisian tidak menahan Supriyani dengan alasan tertentu.

Dukungan terhadap Supriyani menguat ketika kasusnya viral di media sosial, dan kawan-kawan Supriyani menyatakan dukungan solidaritas dengan aksi massa. Dukungan terhadap Supriyani terus berdatangan, hingga akhirnya, pada November 2024, putusan pengadilan menjatuhkan vonis bebas dan menyatakan bahwa dakwaan terhadapnya tidak terbukti.

Supriyani tidak sendirian. Dwi, seorang buruh perempuan di Surabaya, juga mengalami kriminalisasi. Dwi bekerja di perusahaan PT Mentari Nawa Satria (Kowloon Palace International Club), yang bergerak di sektor food & beverage dan hiburan. Dwi dilaporkan oleh pihak perusahaan dengan tuduhan yang tidak berdasar, yakni memalsukan surat pengalaman kerja.

Dwi dilaporkan setelah ia melaporkan kondisi kerja yang buruk kepada Disnaker Surabaya, tetapi tidak ada tanggapan dari pihak Disnaker. Kemudian, Dwi melaporkan kondisi tempat kerjanya kepada Polda Jatim terkait upah di bawah UMK, ketidakdaftaran BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan, dan penahanan akta kelahiran. Namun, pihak kepolisian menghentikan kasus yang dilaporkan oleh Dwi.

Pada September 2024, Pengadilan Negeri Surabaya memutuskan bahwa Dwi tidak terbukti melakukan pemalsuan surat keterangan kerja, dan Dwi pun mendapatkan vonis bebas.

Kasus kriminalisasi lainnya dialami oleh buruh perempuan di Jakarta, Septia, yang bekerja di perusahaan PT Lima Sekawan Indonesia (Hive Five), milik seorang influencer bernama John LBF. Septia dilaporkan setelah cuitannya yang merespon treat di media sosial X yang berisi kritik terhadap pemilik tempat kerjanya, yang sering melakukan pemotongan upah tanpa alasan dan memecat buruh sesuka hati. Akibat kritik tersebut, ia dituntut dengan ancaman pidana satu tahun penjara berdasarkan dugaan pelanggaran UU ITE terkait unggahannya yang membahas upah di bawah UMK.

***

Dari kelima kasus di atas, hampir semuanya menggambarkan bagaimana kondisi perburuhan yang tidak pernah membaik. Para buruh menggunakan ruang demokrasi yang tersedia untuk memprotes pemburukan kondisi kerja tersebut. Mereka memprotes pemilik modal dengan demonstrasi atau sekadar mengeluh di media sosial. Mereka menuntut agar pemilik modal patuh pada hukum yang berlaku. Ketimbang memenuhi tuntutan buruh, pemilik modal menggunakan sarana hukum yang lain untuk membungkam protes buruh. Klausul hukum yang kerap dipergunakan di antaranya tentang pencemaran nama baik atau menyebabkan kerugian perusahaan. Hal ini mengindikasikan bahwa para pemilik modal enggan mematuhi peraturan perundang-undangang yang berlaku.

Dimensi kriminalisasi sebagai upaya pembungkaman hak menyampaikan pendapat memperlihatkan ketidakmampuan aparat kepolisian maupun dinas tenaga kerja dalam menyelidiki atau mengembangkan kasus dugaan pelanggaran pidana ketenagakerjaan yang menimpa buruh. Ketika buruh bersuara dan menuntut haknya kepada perusahaan, malah dianggap kriminal oleh perusahaan dan didukung oleh penegak hukum yang seharusnya bisa melihat konteks masalah perburuhan.

Dalam hal ini, kriminalisasi buruh tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga memperburuk keadaan buruh itu sendiri. Kisah-kisah di atas menunjukkan bahwa buruh hanya ingin mendapatkan keadilan yang seharusnya dilindungi oleh konstitusi, dan bukan sesuatu yang pantas dihukum atau dikecam. Di tengah upaya menarik modal asing sebesar-besarnya, jaminan hak demokrasi makin melemah. Ruang-ruang demokrasi makin menyempit dengan menguatnya aktor-aktor antidemokrasi.

Kriminalisasi bukanlah hal baru di era Reformasi. Pada tahun 2016, dua puluh tiga buruh, satu mahasiswa, dan dua pengabdi bantuan hukum LBH Jakarta ditangkap secara sewenang-wenang oleh Polda Metro Jaya saat melakukan aksi penolakan terhadap pengesahan PP Pengupahan Nomor 78 Tahun 2015 di Jakarta.

Vonis Bebas Bukan Kebaikan Negara

Dari lima kasus yang terdokumentasi semuanya telah berakhir dengan vonis bebas atau vonis hukuman sembilan bulan seperti yang dialami oleh Mulyanto. Beberapa kasus di atas tidak terbukti adanya pelanggaran, namun tidak berarti buruh yang divonis bersalah adalah kriminal seperti koruptor atau aparat keamanan yang membunuh rakyat. Mereka hanyalah buruh yang divonis bersalah karena memperjuangkan hak dan martabat mereka sebagai manusia.

Dalam proses kriminalisasi ini, kita patut mengapresiasi gerakan buruh dan mereka yang mendedikasikan waktu serta tenaga untuk bersolidaritas dan mendukung penuh perjuangan sesama rakyat yang sedang dikriminalisasi. Hampir semua kasus penolakan kriminalisasi melibatkan aksi massa dan kampanye media sosial. Solidaritas seperti ini perlu terus kita pertahankan, tidak melihat siapa yang dikriminalisasi, dan saling menguatkan bahwa kriminalisasi yang dilakukan oleh pengusaha, yang dibantu oleh negara, dapat dilawan.[]