Delapan tahun perjuangan dan kebohongan penyelesaian dalam trajektori PHK dan panggilan solidaritas
Delapan tahun telah berlalu sejak jeritan ribuan buruh di lingkungan PT Freeport Indonesia (PTFI) mengguncang tambang Grasberg, Papua, pada 1 Mei 2017. Aksi mogok kerja mereka adalah teriakan putus asa melawan kebijakan furlough, dirumahkan tanpa upah yang memadai dan manusiawi, yang memicu gelombang pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sistematis, khususnya dalam trajektori pemutusan hubungan kerja (PHK) yang tidak manusiawi. Hingga Mei 2025, PT Freeport belum menunjukkan itikad baik untuk melakukan uji tuntas prinsip bisnis dan HAM terkait ketenagakerjaan. Lebih menyakitkan, pada 21 Desember 2017, Freeport dan pemerintah mengklaim “masalah selesai” melalui nota kesepahaman (MoU) yang ternyata hanya kamuflase tidak mengikat hukum, sementara selama 120 hari, dan mengabaikan penderitaan buruh.
Ekstraktivisme, sebagaimana didefinisikan oleh para cendekiawan seperti Eduardo Gudynas, merujuk pada model pembangunan yang berfokus pada ekstraksi sumber daya alam (seperti emas dan tembaga di Grasberg) untuk ekspor, dengan dampak sosial, lingkungan, dan HAM yang merusak. Freeport adalah perwujudan ekstraktivisme: mengejar keuntungan maksimal melalui tambang raksasa, mengorbankan masyarakat adat, buruh, dan ekosistem Papua. Dalam lensa Shock Doctrine Naomi Klein, ekstraktivisme memanfaatkan krisis untuk memperkuat kontrol korporasi dan negara, melemahkan perlawanan melalui “kejutan” seperti PHK atau represi. PHK di Freeport adalah alat ekstraktivisme yang diperkuat oleh Shock Doctrine, menciptakan krisis untuk melemahkan buruh dan memastikan kelangsungan eksploitasi sumber daya.
Apa saja pelanggaran HAM dalam trajektori PHK ini? Mengapa keadilan masih jauh? Bagaimana pemerintah harus bertindak?
Trajektori PHK: Sistematika Pelanggaran HAM
PHK di Freeport bukan sekadar kebijakan ketenagakerjaan; itu adalah strategi sistematis yang dirancang untuk melemahkan buruh, meredam perlawanan, dan memuluskan kepentingan korporasi.
Berikut adalah ulasan sistemik trajektori PHK yang mencerminkan pelanggaran HAM:
Tahap Awal: Furlough dan dianggap mangkir sebagai pendahuluan PHK (Pelanggaran Hak atas Pekerjaan, Pasal 27 ayat (2) UUD 1945)
Pada awal 2017, Freeport menerapkan furlough terhadap 10% buruhnya termasuk tidak terbatas buruh outsourcing berujung mogok kerja dianggap mangkir.
Delapan tahun telah berlalu sejak jeritan ribuan buruh di lingkungan PT Freeport Indonesia (PTFI) mengguncang tambang Grasberg, Papua, pada 1 Mei 2017. Aksi mogok kerja mereka adalah teriakan putus asa melawan kebijakan awal furlough yang memicu gelombang pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sistematis, khususnya dalam trajektori pemutusan hubungan kerja (PHK) yang tidak manusiawi. Hingga Mei 2025, PT Freeport belum menunjukkan itikad baiknya untuk melakukan uji tuntas prinsip bisnis dan HAM terkait ketenagakerjaan. Lebih menyakitkan, pada 21 Desember 2017, Freeport dan pemerintah mengklaim “masalah selesai” melalui nota kesepahaman (MoU) yang ternyata hanya kamuflase, tidak mengikat hukum, sementara selama 120 hari, dan mengabaikan penderitaan buruh.
Kebijakan ini, mendorong buruh ke jurang kemiskinan. Laporan Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Tambang (SP-KEP) mencatat banyak buruh terpaksa menjual harta benda atau berutang untuk gali lubang tutup lubang, sementara anak-anak mereka putus sekolah, harapan masa depan suram. Furlough bukan sekadar “perumahan sementara”; itu adalah langkah awal untuk memaksa buruh keluar, melemahkan semangat perlawanan, dan membuka jalan bagi PHK massal.
Pencabutan BPJS Kesehatan: Membiarkan Kematian (Pelanggaran Hak atas Kesehatan, Pasal 28H UUD 1945)
Bersamaan dengan PHK sepihak atas mogok kerja dalam framing freeport pemerintahan saat itu. Freeport mencabut keikutsertaan buruh dalam BPJS Kesehatan, melanggar UU Nomor 24 Tahun 2011. Sekitar ratusan buruh belum termasuk istri dan anaknya meninggal dunia antara 2017-2024 karena tak mampu berobat, termasuk ibu hamil yang hampir kehilangan bayi dan anak-anak yang tak terselamatkan. Pencabutan ini terindikasi kesengajaan dilakukan untuk menekan buruh secara psikologis dan finansial, mempercepat keputusasaan mereka untuk menerima PHK atau “pemutusan sukarela.” Pelanggaran ini melanggar Deklarasi Universal HAM Pasal 25 tentang hak atas kesehatan.
Kriminalisasi dan Intimidasi Serikat Pekerja: Membungkam Perlawanan (Pelanggaran Pasal 28E UUD 1945)
Untuk mematahkan mogok kerja yang dijamin Pasal 137 UU Ketenagakerjaan, Freeport mengkriminalisasi pengurus SP-KEP. Lokataru Foundation mencatat kurang lebih 15 aktivis kolektif serikat buruh dilaporkan ke polisi dengan tuduhan “menghasut” atau “mengganggu operasional.” Ancaman pidana dan PHK, dan tekanan psikologis digunakan untuk memaksa buruh menghentikan perlawanan. Tindakan ini melanggar Konvensi ILO Nomor 87 tentang kebebasan berserikat, menciptakan iklim ketakutan yang memudahkan pelaksanaan PHK.
PHK Sepihak: Puncak Ketidakadilan (Pelanggaran Hak atas Keadilan Kerja)
Setelah mogok kerja, Freeport memecat ratusan buruh secara bertahap hingga ribuan tanpa prosedur sesuai UU Ketenagakerjaan penyampaian kementerian ketenagakerjaan pada saat RDP Bersama komisi 3 DPD RI pada tanggal 16 Oktober 2017. Sekitar ribuan buruh masih terkatung-katung tanpa status kerja, sementara lainnya terpaksa mengalami himpitan ekonomi keluarga menerima “pemutusan sukarela” dengan kompensasi sesuai pengunduran diri dengan nilai minim jauh di bawah standar pesangon UU Ketenagakerjaan/Perjanjian Kerja Bersama. PHK ini terkesan dirancang untuk membersihkan buruh yang dianggap “pemberontak,” menggantikan mereka dengan pekerja baru yang lebih patuh.
Diskriminasi terhadap Buruh Papua: Ketidakadilan Berbasis Identitas (Pelanggaran Hak atas Kesetaraan)
Buruh asli Papua, khususnya suku Amungme dan Kamoro, menjadi sasaran diskriminasi dalam proses PHK tanpa mempertimbangkan kearifan lokal dalam penanganan permasalahan ketenagakerjaan sebagai tertuang didalam Perjanjian Kerja Bersama yang berlaku sepanjang waktu, melanggar Pasal 6 UU Ketenagakerjaan. Diskriminasi ini memperparah marginalisasi masyarakat adat, yang seharusnya mendapat perlindungan khusus sebagai pemilik tanah ulayat.
Dampak Psikologis dan Sosial: Luka yang Tak Terlihat (Pelanggaran Pasal 28C UUD 1945)
Trajektori PHK dan PHK sepihak ini telah menciptakan trauma psikologis massal. Buruh menghadapi depresi, konflik keluarga, dan perceraian akibat tekanan finansial. Anak-anak kehilangan akses pendidikan, memperburuk siklus kemiskinan. Pelanggaran hak atas pengembangan diri ini menunjukkan bahwa PHK tidak hanya merampas pekerjaan, tetapi juga masa depan generasi berikutnya.
Kebohongan “Penyelesaian” 21 Desember 2017
Pada 21 Desember 2017, Freeport dan pemerintah di bawah Kementerian Ketenagakerjaan era Presiden Joko Widodo mengumumkan “penyelesaian” melalui MoU dengan sebagian perwakilan buruh. Narasi ini digaungkan untuk menenangkan publik dan menjaga citra investasi di tengah negosiasi divestasi saham 2018. Namun, MoU itu adalah kebohongan besar. Sifatnya tidak mengikat hukum, hanya berlaku 120 hari, dan tidak menyelesaikan akar masalah. MoU menjanjikan pengembalian status kerja dan BPJS khususnya Kesehatan. Ribuan buruh tetap terkatung-katung, dan pemerintah tidak melakukan pengawasan.
Bahwa MoU hanya menguntungkan segelintir buruh yang kembali bekerja dengan syarat ketat, seperti menandatangani perjanjian untuk tidak mogok lagi. Buruh yang menolak MoU diintimidasi atau dipaksa menerima PHK “sukarela.” Framing “masalah selesai” ini adalah manipulasi untuk mengalihkan perhatian dari pelanggaran HAM sistematis, seolah tangisan buruh bisa dibungkam dengan kertas tak berarti. MoU tersebut mencerminkan dugaan kolusi antara Freeport dan pemerintah, yang lebih mementingkan stabilitas ekonomi ketimbang keadilan.
Beberapa anggota kolektif pekerja PT Freeport Indonesia melakukan aksi dengan menginap Kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dan di depan Istana Merdeka untuk menuntut hak-hak mereka. Selama beberapa hari. Aksi ini terkait untuk menuntut pemerintah agar menegakkan aturan ketenagakerjaan yang mereka nilai telah dilanggar oleh PT Freeport.
Dalam framing awal seakan-akan keberpihakan kepada kasus di lingkungan Freeport Indonesia dibuktikan dengan KEPMEN Khusus penanganan buruh Freeport (Kepmen 43 tahun 2017), namun senyatanya sebatas di atas kertas tanpa adanya tindakan nyata bak macan tak punya taring. Hal ini berlanjut pada tahun 7 Agustus 2018, ratusan buruh PT Freeport juga melakukan aksi menginap di depan Kementerian Ketenagakerjaan. Namun sia-sia Pak Mentrinya tidak menemuinya seperti gaya menghadapi demo buruh meloncat pagar malah bermain musik.
Hal ini diperparah lagi pada Agustus 2018, Kemnaker mengunggah video 1 menit di Instagram dan Facebook (@kemnaker) dengan judul “Di Tahun Politik Jangan Bingung Soal Demo Eks Pekerja Freeport,” yang dianggap propaganda untuk Freeport dan memfitnah buruh. Artikel dari seputarpapua.com menyoroti kritik dari Lokataru, yang melalui Nurkholis Hidayat, menilai video ini tendensius, memfitnah buruh yang datang ke Jakarta mencari keadilan, dan mengaitkan protes mereka dengan motif politik menjelang Pilpres 2019. Kritik ini menunjukkan Kemnaker dianggap berpihak pada Freeport, bukan melindungi buruh, yang bertentangan dengan amanah konstitusional.
Mengapa Uji Tuntas HAM Masih “Ilusi”?
Prinsip Bisnis dan HAM (UN Guiding Principles dan Perpres Nomor 60 Tahun 2023) mewajibkan Freeport melakukan uji tuntas HAM untuk mengidentifikasi, mencegah, dan memitigasi pelanggaran. Namun, delapan tahun setelah mogok kerja, komitmen ini tetap ilusi.
Alasannya:
- Kekuatan Korporasi yang Menindas
Freeport memanfaatkan pengaruh finansial dan politiknya untuk menghindari tanggung jawab. Lokataru Foundation mengungkap lobi Freeport untuk melemahkan serikat buruh dan menggunakan PHK sebagai alat negosiasi dengan pemerintah, menjadikan HAM sebagai korban.
- Pemerintah yang Mengkhianati
Meski menguasai 51% saham Freeport sejak 2018, pemerintah memprioritaskan smelter Gresik dan pendapatan negara. Dugaan gratifikasi kepada pejabat Dinas Ketenagakerjaan Papua dan Mimika yang telah dilaporkan ke Kejati Papua dan Kejari Mimika Papua Tengah oleh anggota Moker baik di Jayapura dan Mimika, melemahkan pengawasan, memperpanjang derita buruh.
Komnas HAM hanya mengeluarkan rekomendasi tanpa tindakan nyata. Aduan buruh sejak 2017 tidak direspons dengan mediasi atau investigasi diperparah komisioner saat ini mengklaim telah menutup aduan dengan alasan tidak ditemukan pelanggaran HAM walaupun hal ini sudah dilaporkan ke tingkat pimpinan hingga saat ini belum ada solusi. Ini menunjukkan kelemahan institusi dalam menghadapi korporasi besar.
Kontribusi miliaran dolar Freeport bagi negara mengaburkan nasib buruh. Divestasi saham dan ekspansi bisnis menjadi prioritas, sementara ribuan buruh dibiarkan meratap. Eksploitasi buruh di tambang Grasberg, PT Freeport Indonesia, adalah tulang punggung operasi tembaga dan emas terbesar di dunia, bekerja di bawah ancaman maut setiap harinya
- Bukan Sekadar Sengketa Industrial
Dalam framing public, kasus buruh Freeport sering disederhanakan sebagai sengketa hubungan industrial yang dapat diselesaikan melalui perundingan bipartit, mediasi hingga peradilan PHI. Namun ini adalah kekeliruan fatal. Pelanggaran yang terjadi melampaui ranah privat, menyentuh dimensi publik yang melibatkan HAM dan dugaan tindak pidana ketenagakerjaan.
Seruan untuk Keadilan
Pemerintah, Komnas HAM, dan Kementerian Hukum dan HAM khususnya yang membidangi HAM harus menghentikan pembiaran ini.
📣 Kami memohon—angkat suara ini.
Bukan demi sensasi, tapi demi kemanusiaan.
Bukan demi rating, tapi demi hak hidup.
Buruh Papua juga layak diberi panggung, diberi ruang, dan diberi tempat dalam sejarah bangsa ini.
Mari bersama, jadikan solidaritas sebagai jembatan keadilan.
Langkah mendesak
- Komnas HAM: Bangkit untuk Buruh
Peninjauan kembali melalui Gelar Perkara segera antara Freeport dan buruh (UU Nomor 39 Tahun 1999). Bentuk tim investigasi independen untuk mengungkap pelanggaran HAM dalam waktu tertentu dan langkah sementara yang harus diambil, publikasikan hasilnya, dan awasi implementasi rekomendasi. Buruh adalah jiwa yang menanti keadilan.
- Kementerian Hukum dan HAM: Tegakkan Martabat
Paksa Freeport melakukan uji tuntas HAM (Perpres Nomor 60 Tahun 2023). Koordinasikan dengan Kementerian Ketenagakerjaan untuk mengembalikan BPJS khususnya kesehatan, upah, dan status kerja untuk tindakan sementara. Sanksi tegas baik pidana ketenagakerjaan, administrasi termasuk denda, dan terpahit paling terakhir mendesak hingga pencabutan izin harus dijatuhkan jika Freeport membangkang, namun hal ini mana mungkin terjadi tapi bagian bentuk ketegasan pemerintah. Beranikah?
- Pemerintah: Pilih Rakyat, Bukan Kebohongan
Presiden dan Gubernur Papua harus memimpin dialog multipartai dengan perwakilan buruh melalui kuasa hukumnya, Freeport, dan tokoh masyarakat adat. Bentuk tim audit independen untuk menyelidiki PHK dan gratifikasi. Hentikan narasi “masalah selesai” dan wujudkan keadilan sejati.
- Transparansi untuk Nurani
Publikasikan proses uji tuntas HAM Freeport. Libatkan masyarakat sipil, akademisi, dan media untuk mengawasi, agar dunia tahu Indonesia serius membela HAM.
Penutup
Delapan tahun trajektori PHK di Freeport adalah kisah kelam ketidakadilan sistematis.
Kasus buruh Freeport adalah perwujudan Shock Doctrine Naomi Klein: krisis (furlough, PHK, pencabutan BPJS Kesehatan) sengaja diciptakan untuk melemahkan buruh, memuluskan agenda neoliberal Freeport dan pemerintah. Bukan sengketa privat, ini adalah krisis publik pelanggaran HAM sistematis dan dugaan pidana ketenagakerjaan yang tak terpisahkan. MoU 21 Desember 2017 adalah narasi palsu untuk menutupi luka buruh. Pemerintah dan Freeport menari di atas luka buruh, sementara Komnas HAM terlelap. Dengar tangis anak-anak yang kelaparan, lihat air mata ibu yang patah hati, dan rasakan nyeri ayah yang kehilangan harapan. Keadilan untuk buruh Freeport adalah panggilan suci untuk mengakhiri tirani korporasi dan mengembalikan kemanusiaan yang dirampas. Kita hentikan tirani korporasi dan wujudkan keadilan untuk buruh Freeport!
Ingat 2011: solidaritas mengguncang ketidakadilan, saatnya bangkit melawan Shock Doctrine. Ketika buruh, SP/SB tanpa sekat pemisah keanggotaan, aktivis LSM, akademisi, masyarakat adat, dan rakyat bersatu, Freeport bertekuk lutut. Kini saatnya bangkit kembali. Dengar tangis anak-anak buruh yang kelaparan, pupus harapan atas pendidikan dan masa depan, lihat air mata ibu yang patah hati, dan rasakan nyeri ayah yang kehilangan harapan. Solidaritas adalah api yang akan membakar ketidakadilan. Bersatu, kita hentikan tirani ekstraktivisme dan wujudkan keadilan untuk buruh Freeport!
Penulis adalah bagian anggota kolektif mogok kerja, hati nurani yang tersentuh oleh jerit buruh Freeport, menyerukan keadilan di tengah kebohongan.