Selama 10 tahun terakhir gerakan buruh tingkat nasional nyaris tak berhasil membatalkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang merugikan buruh, atau gagal mendesakkan tuntutan kebijakan yang menguntungkan buruh. Sebagaimana aksi-aksi terhadap penolakan PP 78, Omnibus Law Cipta Kerja, dan terakhir penolakan PP turunan UU Cipta Kerja.
Padahal, jika melihat intensitasnya, aksi-aksi protes yang dilakukan serikat buruh semakin massif. Bahkan, para aktivis buruh semakin keras dan berani dalam memprotes kebijakan pemerintah. Namun tak satupun aksi protes tersebut didengar oleh pemerintah. Tentu saja ini menjadi pertanyaan untuk kita semua.
Apakah diabaikannya gerakan buruh tersebut disebabkan karena buruh kurang dekat dengan kekuasaan atau tidak adanya buruh yang duduk di parlemen?
Siapa bilang. Justeru dalam 10 tahun terakhir, banyak aktivis buruh yang dekat dan ‘mesra’ dengan kekuasaan. Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, banyak aktivis serikat pekerja atau serikat buruh yang masuk dalam lingkaran kekuasaan. Begitupun di parleman, beberapa aktivis buruh juga berhasil duduk di sana sebagai wakil rakyat. Dengan demikian, jika alasannya ‘kurang dekat dengan kekuasaan’, itu salah.
Dekat dengan kekuasaan bukan sesuatu yang dilarang atau diharamkan. Itu sah-sah saja. Namun, apakah gegara dekat dengan kekuasaan, gerakan buruh tidak lagi diperhitungkan? Jawabannya tentu tidak, atau tidak sepenuhnya benar.
Kekuasaan itu sebuah keniscayaan dan kedekatan dengan kekuasaan itu akan menjadi faktor manfaat yang menguntungkan bagi gerakan buruh sepanjang bisa menjadi komunikator atau penyampai pesan efektif dari buruh untuk para pemegang kebijakan. Khususnya yang ada di lingkaran istana.
Jadi, sepanjang dimanfaatkan secara baik, dekat atau punya akses atau bahkan masuk pada lingkaran kekuasaan itu bisa menguntungkan gerakan buruh. Sekali lagi kalimatnya: “sepanjang dimanfaatkan secara baik”.
Yang tidak boleh dan bisa merugikan gerakan buruh adalah ketika masuk atau dekat dengan lingkaran kekuasaan, menjadikan kekuatan atau gerakan buruh sebagai tumbalnya. Jika hal ini yang terjadi, maka gerakan buruh akan dianggap kekuasaan sebagai gimik dan hiburan saja, serta tak perlu didengar. Karna dianggap sudah selesai dengan kaki tangan di kekuasaan.
Seandainya kondisi ini terjadi, maka sangat membahayakan bagi gerakan buruh. Karena kekuatan buruh yang heterogen bisa dipersonifikasikan dengan satu, dua atau segelintir orang elit yang dianggap sebagai pemegang kapital dari gerakan buruh.
Okelah, kita tinggalkan sejenak bahasan soal kuasa-menguasai dalam gerakan buruh. Terlepas dari faktor kekuasaan elit, fakta yang kita hadapi hari ini adalah gerakan buruh semakin hari semakin tidak didengar oleh pemerintah.
Nampaknya ini juga dipengaruhi oleh faktor internal dari gerakan serikat buruh. Selain karena disebabkan tidak adanya persatuan yang utuh dalam gerakan buruh, juga karena munculnya fagmentasi, polarisasi dan faksionalisme dalam gerakan buruh. Hal ini ditandai dengan semakin menjamurnya federasi dan konfederasi serikat pekerja dan serikat buruh.
Hal lainnya, gerakan buruh semakin tidak fokus dan beberapa kasus tertentu apa yang disuarakan tidak sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan, di basis-basis produksi dan di akar rumput.
Salah satu contoh yang kadang mengelikan: Tolak omnibus law, tapi faktanya, sebelum omnibus law dibahas tidak sedikit perusahaan yang sudah menjalankan praktik omnibus law. Bahkan ada juga (jika tidak boleh dibilang banyak) serikat pekerja yang menyepakati praktik omnibus law di lapangan.
Begitu juga dengan isu-isu lainnya, seperti tolak upah murah, tolak kerja kontrak, tolak outsourcing, menjalankan upah di bawah upah minimum, bahkan bukan hanya menjalankan, indikasinya, tidak sedikit serikat pekerja yang menyepakati praktik-praktik tersebut. Dengan berbagai alasan ketidakberdayaan yang menyelimutinya.
Kondisi di atas, tentu saja akan dipotret oleh penguasa sebagai modal kepercayaan diri alias ke-pede-an penguasa untuk memberlakukan berbagai kebijakan, termasuk yang merugikan kaum buruh.
Rezim paham betul, bahwa gerakan buruh itu rapuh dan mudah difragmentasi. Pada level basis atau akar rumput, sudah dipotret oleh penguasa tidak memiliki kekuatan dan daya tahan yang cukup.
Begitu juga pada tingkat elit, rezim sudah terbiasa menghitung dengan jari siapa-siapa saja yang getol bersuara lantang, dan mungkin, dianggap sebagai bagian dari rezim atau bagian yang mudah ‘dijinakkan’ oleh rezim. sekali lagi mungkin.
Tentu pertanyaannya, apa yang bisa dilakukan di tengah situasi yang tidak menguntungkan tersebut?
Yang pasti, kita semua tidak bisa membiarkan situasi yang tidak menguntungkan buruh ini terus terjadi. Perlunya kesadaran kolektif yang lebih, untuk memperkuat dan membuat gerakan buruh menjadi didengar atau dianggap ada, bukan hanya sekedar ada.
Penguatan dan peningkatan kesadaran tidak cukup pada tingkat elit serikat pekerja atau serikat buruh saja. Tapi justeru membangun kapasitas dan daya tahan pada level bawah atau basis atau akar rumputlah menjadi pekerjaan rumah utama yang harus secara simultan dilakukan.
Penguatan dan peningkatan kesadaran itu tidak cukup dengan teriakan dan ancaman HIPERBOLA di mobil komando, sebagaimana yang sering kita dengar: “pantang pulang sebelum menang”, tapi gerimis saja bubar; atau “jika tuntutan tidak dikabulkan, kita akan mengerahkan massa lebih banyak lagi”, tapi faktanya, aksinya semakin mengecil. Tentu teriakan dan ancaman seperti itu, semakin sering didengar oleh rezim, dan rezim pun menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa.[]
***
*Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis. Bagi yang tidak sepakat, mari diskusi sehat.
Di Kota Semarang, terdapat beberapa perusahaan yang memproduksi berbagai furnitur berbahan dasar olahan kayu. Hasil produksinya dipasarkan ke berbagai kota di Indonesia, bahkan untuk ekspor ke luar negeri. Produk yang dihasilkan berupa meja, kursi, lemari dengan desain yang tampak mewah, baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun perkantoran. Namun, dibalik kemegahan produk furnitur yang memanjakan mata […]
Begitu banyak petani yang datang dari daerah, mengorbankan biaya dan tenaga sekeluarga demi perjuangan di ibukota. Entah kenapa harus di ibukota. Begitu sedikit dari mereka berorasi dari atas mobil komando, tahta bergerak para raja dan brahmana khas gerakan Nusantara. Dihantam hujan deras dan terik cahaya, datang dari ribuan kilometer jauhnya, hanya untuk berbaris dan duduk […]
Proses penangkapan ikan di Kepulauan Aru dilakukan oleh nelayan tradisional, nelayan lokal, dan kapal-kapal penangkap ikan industrial. Hulu dari proses produksi perikanan di Kepulauan Aru adalah kapal-kapal nelayan tradisional dengan mesin speed yang memiliki kemampuan berlayar lebih dari 12 mil, bahkan hingga mencapai batas negara Indonesia–Australia. Nelayan-nelayan ini beroperasi selama satu hari dan hasil tangkapan […]