Meski ditentang oleh serikat buruh, pemerintah tetap saja mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78, di Oktober 2015. Pemerintah berkeyakinan bahwa PP 78 diperlukan demi kepastian berusaha, kepastian hukum, dan menjauhkan politisasi upah minimum dalam pemilihan kepala daerah. Lebih jauh dikatakan bahwa peraturan tersebut dibahas selama dua belas tahun dengan melibatkan berbagai pihak.
Peraturan yang mengatur sebelas jenis pengupahan tersebut, melanjutkan proyek fleksibilisasi pasar kerja yang direncanakan sejak 1995, sebagai syarat pencairan utang kepada Dana Moneter Internasional (IMF). Dengan keluarnya PP 78, Indonesia menganut sistem upah fleksibel. Gaung fleksibilisasi pasar kerja menguat pada kurun 2000-an, yang menjelma menjadi sepaket peraturan perundangan ketenagakerjaan yang lebih ramah pasar. Fleksibilisasi pasar kerja kemudian disuarakan kembali pada 2006 dalam Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 mengenai Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi. Dengan demikian, istilah ‘bapak upah murah’ itu sebenarnya dimulai di masa Soeharto berkuasa.
Doktrin utama sistem pengupahan fleksibel mengutamakan kenaikan upah berdasarkan ‘kemampuan perusahaan’, ‘kondisi perekonomian’, dan ‘performa kerja’. Doktrin tersebut biasanya digambarkan dengan grafik mengenai elastisitas upah dan kesempatan kerja. Umumnya dikatakan, jika perekonomian membaik atau perusahaan sukses, para buruh akan secara otomatis mendapatkan keuntungannya.
Para pengamat ekonomi yang kritis meragukan doktrin liberal di atas. Dalam kenyataannya, ketika keuntungan perusahaan meningkat, para pemilik modal tidak membagi keuntungannya kepada buruh, tapi membeli mesin baru, bahkan dengan memecat para buruh. Juga, ketika situasi ekonomi goyah para pemilik modal mengalihkan modalnya ke sektor-sektor yang lebih produktif dengan meninggalkan buruhnya yang sedang bekerja (Todaro, 1994). Lebih jauh dapat dikatakan bahwa sebenarnya keuntungan perusahaan tidak diraih dengan selisih jual-beli di pasar tapi dari setiap unit barang yang diproduksi dalam satuan waktu. Karena itu, untung-ruginya perusahaan tidak berhubungan langsung dengan kenaikan upah buruh.
Sebenarnya agar menjadi pasar kerja fleksibel yang sempurna masih terdapat satu kelompok peraturan. Kelompok aturan tersebut dikategorikan infleksibel alias tidak ramah pasar, yaitu tentang aturan perlindungan di tempat kerja. Sejauh ini dengan dua langkah saja fleksibilisasi, pasar kerja di Indonesia semakin mengarah pada keadaan yang rentan (precarious). Situasi yang rentan tersebut tidak hanya menimpa kalangan buruh di berbagai lapisan, juga meluas kepada calon-calon tenaga kerja yang baru masuk ke dunia kerja. Pada intinya, fleksibilisasi pasar tenaga kerja telah menjadikan para buruh maupun calon buruh dalam situasi yang tidak memiliki masa depan. Mereka tidak memiliki kepastian kerja, pendapatan maupun perlindungan sosial.
Lima masalah pengupahan
Lima tahun sebelum keluar PP 78, sistem pengupahan sudah dikritik oleh berbagai kalangan. Para pegiat perburuhan mengaitkan problem pengupahan dengan tanggung jawab negara, karakter industri dan kelayakan upah buruh maupun calon buruh.
Masalah-masalah tersebut berkisar pada, pertama, upah minimum yang ditetapkan kerap jauh dari nilai riil kebutuhan hidup layak (KHL). Angka-angka statistik upah minimum di beberapa daerah memang memperlihatkan upah minimum setara atau lebih tinggi dari KHL. Namun, rumusan penetapan angka KHL sebenarnya merujuk pada sejumlah jenis barang yang ditetapkan pemerintah dan negosiasi di dewan pengupahan. Wajar jika dalam berbagai kesempatan para anggota serikat buruh mencibir komponen KHL karena tidak mencerminkan jenis dan kualitas barang yang dibeli sehari-hari. Seandainya upah minimum diberlakukan, upah yang diterima buruh hanya cukup menutup 60 persen kebutuhan hidup layak atau hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup selama dua minggu. Karena itu, pada kurun 2013 muncul tuntutan agar terjadi revisi komponen menjadi 80 hingga 122 komponen.
Setelah upah ditetapkan, di tingkat pabrik masih terjadi kemungkinan lain, yaitu penangguhan upah. Praktik penangguhan upah pun terkadang melenceng dari prosedur. Di industri garmen praktik penangguhan seringkali diwarnai intimidasi kepada buruh atau serikat buruh agar bersedia memberikan persetujuan. Ketika kenaikan upah minimum diberlakukan seringkali diikuti dengan penghilangan beberapa tunjangan yang telah diterima sebelumnya.
Kaum buruh menyadari betul situasi-situasi di atas. Mereka menyadari pula bahwa upah minimum pun menjadi tolak ukur perhitungan jenis-jenis upah lainnya, seperti upah lembur, pesangon, dan pembayaran tunjangan lainnya. Seyogyanya mereka berpartisipasi dalam hiruk-pikuk penentuan upah minimum.
Kedua, bagi buruh di bawah mandor atau supervisor, upah minimum seringkali menjadi upah maksimum. Upah minimum maupun jenis pengupahan lainnya sama-sama bergantung pada hasil negosiasi.Di sini terdapat dua persoalan, yakni masa kerja buruh yang tidak diperhitungkan sebagai upah. Misalnya, di beberapa perusahaan di Kabupaten Bekasi, buruh-buruh yang bekerja di bagian finishing di bawah operator tidak mendapatkan tunjangan masa kerja dan tunjangan jabatan meski masa kerjanya belasan tahun.
Persoalan lainnya, karena ikatan kerja buruh bersifat kontrak jangka pendek bertahun-tahun maka masa kerjanya selalu di bawah satu tahun. Karena cukup menguntungkan dalam membayar upah jenis hubungan kerja ini seolah dilanggengkan. Jenis-jenis hubungan kerja yang memangkas masa kerja ini semakin lumrah dipraktikkan di berbagai sektor dan jenis industri.
Dalam konteks hubungan kerja itu pula Keputusan Menteri Nomor 49 Tahun 2004 tentang Struktur Skala Upah sulit diterapkan.Kebersediaan perusahaan untuk membuka laporan keuangan, kemampuan negosiasi serikat buruh untuk mendorong struktur skala upah terasa sulit dibayangkan bagi buruh-buruh yang berada dalam hubungan kerja yang tidak menentu. Kebersediaan perusahaan untuk membuka laporan keuangan perusahaan dan bernegosiasi sangat bergantung pada daya paksa negara atau serikat buruh. Pujian berlebihan terhadap PP 78 Tahun 2015 dengan menawarkan struktur skala upah justru memperlihatkan lepasnya perlindungan negara untuk memastikan pendapatan buruh yang stabil.
Ketiga, beberapa negara di Asia mengaitkan upah minimum dengan tunjangan sosial maupun sistem pengendalian harga (Saget, 2006), di Indonesia upah minimum menjadi satu-satunya tumpuan pendapatan. Dengan upah minimum itulah berbagai keperluan hidup ditanggung. Para buruh harus berhemat dengan sejumlah komoditas yang mengalami kenaikan rutin sebanyak dua kali dalam setahun, yaitu di awal tahun dan menjelang hari raya Idul Fitri. Harga beberapa komoditas pun akan mengalami kenaikan menjelang libur dan masuk sekolah atau ketika terjadi kenaikan harga dasar listrik dan bahan bakar minyak.
Kelima, kebijakan pengupahan bersifat pukul rata kepada semua jenis usaha formal dengan modal negeri maupun luar negeri. Ketika upah minimum ditetapkan, seluruh usaha formal wajib menjalankan ketentuan tersebut. Ketentuan penangguhan upah minimum yang amat sulit dilaksanakan hanya dapat dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan formal besar. Berbeda dengan India yang mengatur sistem pengupahan untuk kategori jenis perusahaan yang berbeda, Indonesia menyamaratakan jenis-jenis industri agar patuh satu sistem pengupahan. Prinsip penyamarataan tersebut berlaku pula dalam soal bantuan permesinan dan modal untuk dunia usaha. Hasilnya adalah usaha-usaha dalam negeri dengan pasar lokal kian tergusur oleh perusahaan-perusahaan besar dengan modal asing.
Di luar kelima persoalan di atas, yang nyaris tidak dijawab oleh kebijakan pengupahan adalah tentang maksimalisasi peran dan fungsi dinas tenaga kerja di tiap daerah. Selama ini persoalan penegakan hukum berkisar antara para petugas yang tidak kompeten, jumlah pegawai dan anggaran yang tidak memadai. Bahkan, muncul anggapan, seandainya penegakan hukum dijalankan, para pemilik modal enggan berinvestasi lebih lama. Dengan kata lain, mandulnya penegakan hukum seolah dipelihara demi menarik investor.
Beberapa pilihan
Penelitian tentang pengupahan memperlihatkan bahwa upah yang diterima buruh hanya cukup bertahan hidup dan tetap bisa hadir di tempat kerja. Sekitar 70 persen upah dihabiskan untuk biaya makan, sewa tempat tinggal dan transportasi harian. Untuk membiaya kebutuhan hidup lainnya buruh mesti mengeluarkan tenaga lebih banyak dan waktu lebih lama, seperti lembur, bekerja sampingan, mengurangi gizi atau berhutang (Lihat, Herawati dan Tjandraningsih, 2010; Dahana, dkk, 2015).
Penjelasan utama untuk persoalan tersebut adalah meningkatnya biaya hidup karena minimnya pelayanan-pelayanan dasar dan lepas kendalinya negara untuk mengontrol harga-harga dasar barang dagangan. Pemusatan kepemilikan lahan dan peralihan tanah menjadi industri pun turut menambah kesulitan hidup. Nilai tawar tenaga kerja kian merosot karena jumlah pencari terus menerus bertambah akibat perampasan tanah.
Sebagaimana diketahui, perjuangan mendapatkan upah layak merupakan salah satu langkah mengurangi jumlah penghisapan terhadap buruh dan tidak menghilangkan kerangka penghisapannya.Dengan upah yang layak buruh dapat bekerja dalam waktu kerja yang manusiawi, tanpa mengorbankan waktu hidupnya. Langkah tersebut tidak mudah. Ketika tuntutan kenaikan upah mengemuka, buruh akan dihadapkan dengan ancaman relokasi perusahaan atau berlindung di balik ketidakmampuan perusahaan marjinal.
Pengalaman selama ini, selain difasilitasi oleh negara, kemampuan merelokasi perusahaan umumnya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dengan skala produksi besar dengan tujuan pasar internasional. Contoh yang paling mencolok adalah relokasi perusahaan-perusahaan pakaian jadi dan sepatu ke daerah-daerah industri baru yang menawarkan daya dukung industri yang lebih murah.
Penelitian-penelitian Asia Floor Wage Alliance (AFWA) menyebutkan, industri garmen dan sepatu menempatkan Asia sebagai wilayah produksi yang menawarkan lahan yang luas dan tenaga kerja yang berlimpah. Total biaya produksi yang dikeluarkan oleh para pemilik merek internasional sekitar 25 persen dengan alokasi untuk buruh sekitar 1 hingga 2 persen (Bhattacharjee and Roy, 2015).
Pada 2014, AFWA memutuskan bahwa persoalan upah tidak dapat dilepaskan dari persoalan kebebasan berserikat, kepastian kerja, dan bebas dari diskriminasi jender. Menyadari upah murah sebagai keunggulan komparatif negara-negara Asia, yang mempermudah relokasi, AFWA mengajukan tentang Upah Minimum Asia untuk industri garmen dan sepatu merek-merek internasional.
Upah Minimum Asia merupakan ambang batas pengupahan di luar tunjangan-tunjangan lainnya. Tuntutan AFWA diarahkan langsung kepada para pemilik merek agar mengalokasikan dana yang lebih besar kepada buruh. Langkah ini berbeda dengan model bargaining kode etik bisnis. Kode Etik Bisnis mengarahkan tuntutan kepada buyer untuk dilaksanakan oleh pabrik atau pemasok. Dalam model kode etik bisnis, buyer melepas tanggung jawabnya dan memperhadapkan buruh dengan pengelola pabrik.
Kasus-kasus yang berkaitan dengan buyer biasanya mentok ketika muncul ungkapan, ‘kami menghormati hukum nasional’ atau ‘kami tidak memiliki hubungan kerja dengan buruh’. Selalu ada jalan bagi para buyer menghindar tanggung jawab dari keuntungan yang diperoleh dari buruh-buruh pemasok. Dengan berlindung di kode etik bisnis (code of conduct) atau dana-dana sosial (corporate social responsibility), para pemilik merek hanya menekan pemasok agar mematuhi hukum nasional di setiap negara, sementara barang pesanan dapat dengan mudah dipindahkan ke pemasok lain.
Dalam kasus-kasus kecil dan dengan tekanan kuat dari para anggota buruh, biasanya para buyer bersedia bernegosiasi. Dari pengalaman tersebut, tetap relevan untuk memikirkan pembangunan jaringan kerja yang melintasi berbagai negara dalam sebuah rantai pasokan untuk menuntut negara menjamin upah dan pekerjaan yang layak.
* Versi awal tulisan ini pernah terbit di Lembur, Edisi 43 November 2016
Referensi
Bhattacharjee, Anannya dan Roy, Ashim. The Asia Floor Wage Strategy, dalam Towards An AsiaFloor Wage: A Global South Labour Initiative for Garment Workers In Asia. Book for Change. India. 2015
Dahana, Bambang. Dkk. Dari mana Pakaianmu Berasal?: Upah dan Kondisi Kerja Buruh Industri Garmen, Tekstil dan Sepatu di Indonesia. Bogor. LIPS dan TAB. 2016.
Herawati, Rina dan Tjandraningsih, Indrasari. Menuju Upah Layak: Survei Buruh Tekstil dan Garmen di Indonesia. Jakarta. FES, Akatiga, ITGWLF. 2010.
Saget, Catherine. Penentuan Besaran Upah Minimum di Negara Berkembang: Kegagalan dan Pemecahan Masalah. Jenewa. ILO. 2006
Todaro, Michael P. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jilid 2 edisi keempat. Bandung. Jakarta. Erlangga. 1994.
Penulis
-
Syarif Arifin
-
Lembaga Informasi Perburuhan Sedane
Jika Anda menikmati membaca cerita ini, maka kami akan senang jika Anda membagikannya!