MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Duka Ibunda, (janganlah) Sepanjang Zaman

Solidaritas FBPTI KPBI terhadap perjuangan warga Kendeng, di Jakarta (Maret, 2017). Kredit: FBTPI.

April Perlindungan
Karena ketidakadilan agraria, ribuan perempuan buruh migran dikirim ke luar negeri.
Akibat kehilangan tanah, perempuan buruh dipancung di Arab Saudi.
Karena ketimpangan penguasaan tanah, di pabrik-pabrik buruh perempuan diupah murah.
Karena tiada lahan, perempuan perkotaan sulit cari air bersih, sulit cari penghidupan.
Karena laut ditimbun, perempuan nelayan tak dapat ikan.
Karena kesehatan mahal, reproduksi perempuan terancam.
Jika perempuan belum bangkit melawan,
bertarung dalam dinamika gerakan sosial dan politik,
untuk merebut kekuasaan,
merebut ruang,
merebut sumber-sumber agraria,
maka perempuan akan selalu marjinal.
Rebutlah sumber-sumber agraria
Kelola
dengan batin perempuan,
dengan cara perempuan
dengan konsep perempuan
dengan penguasaan perempuan
Karena, penguasan sumber agraria oleh perempuan
adalah titik tolak bagi perempuan untuk meraih kedaulatan.
Sebab, perlindungan jangka panjang bagi buruh, bagi buruh migran,
adalah tanah.
Pemilikan tanah di tangan perempuan.
adalah perlawanan terhadap kuasa kapital global.
Solidaritas FBPTI KPBI terhadap perjuangan warga Kendeng, di Jakarta (Maret, 2017). Kredit: FBTPI. Solidaritas FBPTI KPBI terhadap perjuangan warga Kendeng, di Jakarta (Maret, 2017). Kredit: FBTPI.
***
Petang itu saya berada di angkutan kota (angkot) Bandung-Banjaran, sembari mendengarkan lagu karya Mukti-Mukti, “Duka Ibunda Duka Sepanjang Zaman.” Sesampai di Jalan Mohamad Toha, angkot melambat karena lalu-lintas semakin padat. Di tempat seperti ini, saya tak akan terkejut jika menjumpai wajah-wajah yang saya kenal. Pada perjalanan yang sebelumnya, saya sempat jumpa kawan lama di angkot yang sama. Kami ngobrol ngaler-ngidul, sembari angkot merayap di tengah kemacetan yang pelan-pelan terurai.
Pada petang seperti itu, bubar jam kerja, ribuan buruh pabrik memadati pinggir jalan. Kebanyakan mereka adalah perempuan. Mereka mengingatkan saya pada saudara-saudara perempuan, tetangga dan teman sekolah di kampung.
Sejak 1990-an mayoritas perempuan memilih migrasi ke kota-kota Industri. Mereka bertahan dengan upah rendah di pabrik-pabrik atau berdagang kecil-kecilan, karena di kampung tidak ada lagi sumber pencaharian.
Perempuan-perempuan itu terpaksa pergi ke pusat-pusat industri, karena di desa lahan semakin sempit. Selain soal lahan, ada soal yang lain. Di kampung, perempuan menanam padi, berladang dan beternak.  Itulah yang mereka lakukan sehari-hari. Namun, untuk urusan  menentukan jenis tanaman, tawar menawar harga hasil panen, dan merencanakan;  perempuan tidak pernah dilibatkan. Apalagi ketika lahan berpindah tangan (katanya sih, demi investasi dan pembangunan), perempuan lagi-lagi tak dilibatkan.  Sejak semua itu berlangsung, perempuan desa tak punya banyak pilihan, selain menjadi kaum melarat.
Ada banyak cerita, perempuan tak dilibatkan dalam merencanakan dan mengambil keputusan, dan sekedar dari pelaksana keputusan saja. Padahal, ketika ketika terjadi perampasan tanah, gagal panen, alih fungsi lahan, perempuanlah yang kena getahnya. Menanggung akibatnya. Ketika lahan tiada, beban ekonomi keluarga ditanggung di pundak mereka. Di kemudian hari mereka terpaksa bekerja di pabrik atau menjadi pekerja rumah tangga di luar negeri. Tidak mengherankan, jika kebanyakan perempuan buruh pabrik dan buruh migran berasal dari daerah dengan tingkat penguasaan/kepemilikan agraria yang timpang. Termasuk di kampung saya, pelosok selatan Kabupaten Garut, yang sebagian besar lahannya dikuasai  Perum Perhutani dan Perkebunan. Sejak 1990-an ketimpangan penguasaan agraria semakin parah, sehingga mendorong banyak perempuan meninggalkan kampung untuk mencari kerja upahan.
Dalam pandangan Priet-Caron(2010), perempuan yang masuk ke pasar kerja upahan, nasibnya tidak pernah membaik. Malah semakin termiskinkan, semakin terampas, semakin terperosok ke lapisan kelas-kelas buruh. Menurutnya, feminisasi di lapangan kerja selama beberapa dekade terakhir, telah menambah beban pada pundak buruh perempuan. Padahal mereka juga sudah dibebani peran tradisional, melakukan  kerja berat mendidik anak dan mengurus rumah tangga.
Dari banyak kejadian perampasan lahan, biang keladi  ketimpangan penguasaan agraria,  perempuanlah yang banyak kehilangan sumber pencaharian. Tak ada kerja di kampung, menimbulkan tingginya angkatan kerja perempuan. Selanjutnya, limpahan tenaga kerja perempuan inilah yang ditampung oleh politik upah murah dan kerja kontrak di pabrik-pabrik. Pengusaha semakin girang, karena banyaknya pasokan buruh murah. Manning (1980) pernah mengemukakan, salah satu keuntungan mempekerjakan perempuan adalah karena perempuan bersedia diupah murah. Jumlahnya melimpah ketimbang laki-laki.
Penghancuran Sumber Penghidupan dan Politik Upah Murah
“Bagian barat sudah lama hancur. Di timur banyak kekeringan. Kemiskinan terjadi, banyak perempuan bekerja ke luar negeri. Kita harus menyelamatkan ruang hidup”. Itu kata Mama Aleta Baund mengenai kampung halamannya di Tanah Mollo, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Dari tahun ke tahun Mama Aleta berpikir keras untuk mempertahankan ketersediaan lahan, supaya perempuan tetap bertahan hidup di kampungnya. Sementara di Kendeng, Ibu Giyem dan kawan-kawan mempertahankan lahan pertanian, dari ancaman pembangunan pabrik semen.
Dua perempuan tangguh di atas paham, jika terjadi perampasan lahan atau penghancuran alam, perempuan akan kehilangan posisi tawar, dan jadi akan menjadi korban yang menanggung akibatnya.  Karena perempuanlah yang  lebih lekat dengan sumber agraria. Mereka lebih memiliki kepekaan, kedekatan, dan memiliki cara pandang tersendiri atas tanah, air dan sumber agraria lainnya.
Banyak contoh yang terjadi di komunitas, bagaimana perempuan melakukan sebagian besar kegiatan pertanian dan  perkebunan. Mereka bertani, memelihara hutan dan mengambil hasil hutan.  Namun ketika tanah terancam akan diterkam perusahaan, perempuan tidak dilibatkan dalam negosiasi maupun pengambilan keputusan yang berkaitan dengan sumber penghidupannya. Ketika eksploitasi sumber agraria berlangsung, di situlah terjadi pemiskinan perempuan.  Terpaksalah mereka mencari cara lain untuk melanjutkan hidup, antara lain bekerja di kota dan di luar negeri. 
Semua hal itulah yang terus mengganggu pikiran Mama Aleta dan Bu Giyem. Kedua perempuan ini, dan banyak perempuan lain yang mempertahankan ruang hidupnya, sesungguhnya juga sedang berjuang  melawan politik upah murah.  Jika mereka bisa hidup di kampung, tak perlulah perempuan desa menjajakan tenaga di pabrik-pabrik dan di luar negeri. Di sinilah saya melihat bahwa upaya seperti yang dilakukan Mama Aleta, Ibu Giyem, dan yang lainnya, sungguh terkait erat dengan  upaya perempuan buruh  pabrik dan perempuan buruh migran, yang sedang berjuang  menuntut kenaikan upah, cuti (hamil, melahirkan, haid dan menyusui), perbaikan fasilitas kerja, penghapusan kerja kontrak, pengurangan jam kerja, perlindungan hukum dan lain-lain.
Pada berbagai perhelatan, saya menyaksikan tersambungnya gerakan buruh dengan gerakan tani.  Berbagai serikat buruh bersedia ikut bersusah mendukung mendukung perjuangan serikat tani dan organisasi lingkungan hidup. Pada peringatan Hari Perempuan Internasional kemarin, 8 Maret 2017, perempuan buruh migran, buruh pabrik, perempuan tani, dan pegiat hak-hak perempuan dari berbagai sektor, semua bergabung membangun solidaritas.  Semoga saja dari perjumpaan ini, akan tersambung titik temu antara gerakan perempuan buruh dan dengan gerakan perempuan tani. Semoga saja bisa berlangsung diskusi lebih mendalam tentang keberlanjutan alam, keadilan agraria dan keadilan di dunia perburuhan.
Saya percaya, jika kita berhasil melawan penghancuran bentang alam dan perusakan tata ruang,  manfaatnya akan dirasakan oleh kaum buruh. Ketika lahan tiada, ketika alam hancur maka nilai uang semakin merosot. Segala barang harus dibeli. Beras harus dibeli, cabai harus dibeli. Dengan begitu, korporasi semakin besar kepala, dan kapitalisme semakin panjang umur.
Pagi ini saya mendengar berita besar. Pejuang Kendeng kembali beraksi, mengecor kaki mereka sendiri dan duduk di depan Istana Presiden. Jangan biarkan mereka berjuang sendirian. Bergabunglah dan dukung mereka segera. Jangan sampai  “Duka Ibunda, (berlangsung) sepanjang zaman.” Jangan sampai duka itu ditanggung dari generasi ke generasi.
April Perlindungan, aktivis agraria.