Wabah bukanlah suatu fenomena yang murni biologis. Kemunculan dan perkembangannya banyak dipengaruhi oleh aktivitas sosial manusia, khususnya aktivitas ekonomi dan politik. Ini terlihat jelas jika kita menilik wabah-wabah yang pernah terjadi dalam sejarah manusia.
Misalnya adalah wabah Kematian Hitam (Black Death) yang terjadi pada pertengahan abad ke-14.[1] Wabah ini merupakan wabah pes atau sampar yang disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis. Bakteri ini berasal dari hewan pengerat, khususnya tikus, dan kutunya. Ketika seekor hewan pengerat yang terinfeksi mati, dan kutunya pindah ke manusia, maka manusia bisa terinfeksi.
Setelah menginfeksi manusia, penularan bisa terjadi melalui kutu yang berpindah dari manusia ke manusia. Jika penyakit pes sampai menyebabkan pneumonia, maka penularan melalui udara (tanpa perantara kutu) juga bisa terjadi. Namun, yang terakhir ini jarang terjadi. Cara penularan yang utama adalah dengan perantara kutu.
Wabah Kematian Hitam bermula pada 1338-1339 di sekitar Danau Issyk-Kul, di bagian selatan Rusia, dekat Krimea. Di daerah itu, kulit marmut dijual oleh para pemburu ke pedagang yang kemudian menjualnya lagi di tempat lain. Para pemburu senang jika menemukan marmut yang sakit atau sekarat, karena lebih mudah ditangkap daripada marmut yang sehat.
Pada masa itu, banyak kulit marmut berasal dari marmut yang sudah mati. Kulit marmut ini berisikan kutu-kutu yang kemudian melompat ke manusia dan menularkan bakteri Yersinia pestis. Kulit marmut beserta kutu-kutu ini dibawa oleh para pedagang melalui jalur karavan ke arah barat. Penyakit pes pun pada akhirnya sampai di Krimea.
Di Krimea, terdapat pelabuhan-pelabuhan yang digunakan oleh para pedagang Genoa dan Venesia yang saling bersaing. Sementara itu, daerah sebelah utara Krimea dikuasai bangsa Mongol. Masing-masing pedagang Genoa dan Venesia bersekutu dengan bangsawan Mongol yang berbeda dan saling bersaing juga.
Pada tahun 1340, para pedagang Venesia bersekutu dengan Pangeran Janiberg Khan yang menguasai daerah Kipchak Barat. Mereka lalu menggempur para pedagang Genoa dan sekutunya. Para pedagang Genoa pun terdesak dan bertahan di kota pelabuhan Kaffa (sekarang bernama Feodossia dan berada di bawah Ukraina).
Saat pengepungan kota Kaffa, pasukan Janiberg Khan terjangkiti penyakit pes. Sang pangeran tidak berhasil menduduki Kaffa, tapi ia sempat menggunakan mayat pasukannya yang terinfeksi sebagai “senjata biologi.” Mayat-mayat ini dilontarkan oleh katapel-katapel tempur ke dalam kota Kaffa.
Wabah pes pun berkecamuk di Kaffa. Kutu-kutu yang ada di mayat-mayat yang dikatapel tampaknya telah menulari penduduk kota. Penularan juga mungkin terjadi melalui tikus-tikus yang keluar-masuk kota Kaffa saat pengepungan. Pada 1347-1348, kota Kaffa ditinggalkan oleh para penduduknya yang masih hidup.
Para penyintas dari Kaffa ini pergi menggunakan kapal dan sampai di berbagai kota lain, seperti Konstantinopel (sekarang Istanbul di Turki), Marseille (Prancis), Genoa, Venesia, dan Messina (sekarang di bawah Italia). Dari sini, wabah menyebar ke Spanyol, Portugal, Bavaria (sekarang Jerman), Swiss, Inggris dan negara-negara Balkan.
Penyebaran lebih lanjut di Eropa banyak difasilitasi oleh aktivitas perdagangan yang menggunakan kapal. Misalnya, wabah sampai di Inggris pada 1348 dengan kapal yang membawa anggur merah dari Bordeaux. Kemudian, wabah sampai di Norwegia dengan kapal yang membawa kain wol dari London. Dari Norwegia, wabah juga menyebar ke negara-negara Skandinavia lainnya dengan kapal.
Wabah sampai di Polandia pada 1351, kemudian masuk ke pedalaman Rusia pada 1351 atau 1352. Kenyataan bahwa wabah ini tidak menyebar langsung dari bagian selatan Rusia―tempat asal usul wabah―ke pedalaman Rusia, tetapi memutar melalui Swedia dan Polandia, menunjukkan peran besar jalur perdagangan dalam penyebaran wabah Kematian Hitam.
Jika wabah sampai di Eropa melalui Krimea, wabah sampai di Timur Tengah melalui jalur yang berbeda. Wabah dibawa ke Bagdad dan Damaskus oleh karavan-karavan dagang dari Samarkand (sekarang di bawah Uzbekistan) melalui jalur sutra dan rempah di sebelah selatan Laut Kaspia. Pada 1347, wabah sudah sampai di Aleksandria (Mesir) dengan kapal-kapal yang membawa sutra, budak dan kulit. Dari Aleksandria, wabah menyebar ke Kairo, Gaza dan Beirut.
Selama 1348-1350, korban meninggal akibat wabah Kematian Hitam diperkirakan berjumlah 25 juta orang. Pada tahun 1350an, wabah Kematian Hitam mulai surut. Tapi, wabah pes yang bersifat terbatas masih sering muncul sampai dengan abad ke-19. Pada 1890an, wabah pes yang agak besar kembali terjadi, tetapi kondisi ilmu pengetahuan manusia sudah berbeda. Pada 1894, bakteri Yersinia pestis ditemukan, yang membuka jalan bagi penemuan vaksinnya.
Selain wabah Kematian Hitam, contoh lain yang memperlihatkan peran aktivitas ekonomi dan politik manusia dalam penyebaran wabah adalah wabah “Influenza Spanyol” atau “Flu Spanyol.” Wabah ini terjadi selama 1918-1920, di sekitar akhir Perang Dunia I, dan aktivitas perang ikut berperan dalam penyebaran wabah. Wabah influenza ini disebut “Flu Spanyol” bukan karena asalnya dari Spanyol, tetapi karena Spanyol adalah negara yang pertama kali memberitakan dampak wabah ini secara luas. Ini karena Spanyol tidak terlibat dalam perang dan tidak menerapkan sensor berita.
Ledakan wabah pertama yang tercatat muncul di Amerika Serikat (AS). Pada suatu hari di bulan Maret 1918, di pangkalan militer Fort Riley di Kansas, 107 orang mengalami sakit dengan gejala demam dan radang tenggorokan. Lima minggu kemudian, jumlah yang sakit menjadi 1.127 tentara dan 46 orang meninggal dunia. Yang sakit didiagnosa terkena influenza, sementara yang meninggal didiagnosa karena pneumonia yang disebabkan oleh bakteri.
Pada Mei 1918, Divisi 89 dan 92 yang menyelesaikan latihan mereka di Fort Riley dikirim ke Prancis. Tidak lama kemudian, muncul kasus-kasus orang sakit influenza di Prancis. Selanjutnya, penyakit Flu Spanyol muncul di Inggris, Jerman, India, dan negara-negara Asia serta Timur Jauh.
Sampai sekarang, masih ada perbedaan pendapat tentang asal-usul virus penyebab Flu Spanyol. Ada yang mengatakan dari babi, tapi ada juga yang mengatakan dari burung.[2] Yang cukup pasti, virus ini berasal dari hewan. Adapun setelah melompat ke manusia, virus ini menyebar dari manusia ke manusia melalui butiran ludah (droplet) yang keluar saat bersin atau batuk.
Gelombang utama Flu Spanyol menyurut setelah terjadi kesepakatan gencatan senjata antara sekutu dengan Jerman pada November 1918. Gelombang tambahan terjadi selama 1919-1920. Lebih dari 21 juta orang meninggal akibat wabah Flu Spanyol dan sebagian besar meninggal di 4 bulan sebelum gencatan senjata terjadi.[3]
Contoh terakhir yang penting untuk dibahas di sini karena merupakan “saudara tua” COVID-19 adalah wabah Severe Acute Respiratory Syndrome (Sindrom Pernapasan Akut Berat) yang disingkat SARS. Wabah SARS terjadi pada akhir 2002 sampai dengan 2003.
Kasus-kasus awal SARS muncul pada November 2002 di sekitar Kota Foshan, Provinsi Guangdong, Cina. Banyak dari mereka yang terkena ini adalah pekerja restoran yang pekerjaannya menyiapkan makanan dari hewan langka. Provinsi Guangdong memang terkenal dengan makanan eksotis yang menggunakan hewan segar yang baru dibunuh setelah dipilih oleh pembeli.
Pada Desember 2002, salah satu kasus awal ini―seorang penjual ular dan burung―meninggal dunia. Di sekitar waktu yang sama, seorang koki terkena SARS dan masuk ke Rumah Sakit Rakyat di Kota Heyuan, sebelah utara Foshan. Delapan dokter di RS itu pun tertular. Pada awal Januari 2003, kota Heyuan dan Zhongshan di Provinsi Guangdong melaporkan adanya sekumpulan kasus pneumonia yang tidak biasa.
Pada Februari 2003, seorang dokter spesialis paru dari Rumah Sakit Zhongshan, Dr. Liu Jianlun, pergi ke Hong Kong untuk menghadiri pernikahan keponakannya. Ia pergi dalam keadaan sakit demam. Ia tampaknya tidak menyadari bahwa penyakitnya itu adalah SARS―SARS memang baru diketahui dunia sebagai penyakit baru pada Maret 2003.
Saat di Hongkong, Dr. Liu Jianlun menginap di Hotel Metropole. Ia pun menularkan beberapa tamu lain di hotel itu. Diantaranya dua orang Kanada, seorang pebisnis Amerika yang hendak menuju Hanoi, tiga perempuan dari Singapura, dan seorang penduduk Hong Kong. Tidak lama kemudian, SARS menyebar di Hong Kong dan muncul di Hanoi, Singapura serta Toronto. Dr. Liu Jianlun sendiri pada akhirnya meninggal dunia di Hong Kong.
Patogen penyebab SARS adalah virus corona, tapi yang jenisnya berbeda dengan penyebab COVID-19. Para mikrobiolog dari Universitas Hong Kong menemukan virus ini di beberapa hewan yang dijual di pasar makanan di Guangdong, seperti musang bulan dan anjing rakun. Virus corona penyebab SARS tampaknya berasal dari hewan-hewan ini.
Penularan SARS dari manusia ke manusia terjadi melalui butiran ludah (droplet) yang keluar saat bersin atau batuk. Penyebarannya ke berbagai negara banyak difasilitasi oleh perjalanan wisata dan bisnis antar-negara dengan pesawat terbang. Secara global wabah SARS menginfeksi 8.098 orang dan yang meninggal berjumlah 774 orang.[4]
Berdasarkan pembahasan ketiga wabah di atas, kita bisa melihat bagaimana aktivitas ekonomi dan politik manusia memfasilitasi penyebaran wabah. Dalam kasus wabah Kematian Hitam, aktivitas perdagangan memfasilitasi penyebaran wabah. Dalam kasus Flu Spanyol, aktivitas perang memfasilitasi penyebaran wabah. Dalam kasus SARS, aktivitas wisata dan perjalanan bisnis antar-negara memfasilitasi penyebaran wabah.
Begitu pula, lompatan patogen penyebab wabah dari hewan ke manusia juga difasilitasi oleh aktivitas ekonomi manusia. Dalam kasus wabah Kematian Hitam, lompatan bakteri Yersinia pestis dari marmut ke manusia difasilitasi oleh aktivitas bisnis kulit marmut. Dalam kasus SARS, lompatan virus corona dari hewan ke manusia difasilitasi oleh aktivitas bisnis makanan dari hewan langka atau eksotis.
Catatan
[1] Pembahasan ketiga wabah―Kematian Hitam, Flu Spanyol dan SARS―yang menjadi ilustrasi untuk menunjukkan pengaruh aktivitas ekonomi-politik pada wabah, sebagian besar didasarkan pada Alfred Jay Bollet, M.D., Plagues and Poxes: The Impact of Human History on Epidemic Diseases, (New York: Demos Medical Publishing, 2004), 17-29, 103-115 dan 221-230.
[2] Alfred Jay Bollet dalam Plagues and Poxes menyatakan virus Flu Spanyol berasal dari babi. Tapi, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) AS mengatakan belum ada konsensus universal tentang asal-usul virus Flu Spanyol. Mereka juga mengatakan, virus Flu Spanyol memiliki gen yang berasal dari burung. Lihat “1918 Pandemic (H1N1 virus),” Centers for Disease Control and Prevention, 20 Maret 2019, https://www.cdc.gov/flu/pandemic-resources/1918-pandemic-h1n1.html.
[3] Ini merupakan estimasi Alfred Jay Bollet dalam Plagues and Poxes. Adapun CDC AS dalam “1918 Pandemic (H1N1 virus)” mengestimasi korban meninggal di seluruh dunia akibat Flu Spanyol berjumlah setidaknya 50 juta orang.
SELEPAS HUJAN. Langit mulai menghitam. Sisa air menggenang di jalanan. Pohon dan daun seperti menggigil. Setelah menghabiskan secangkir teh dan beberapa gorengan di warung kopi, saya menyalakan kembali sepeda motor. Mengendarainya dari pusaran Kota Bogor menuju pinggiran Bogor.
Ba’da magrib, secara rutin Mang Ato nyebor (menyiram) kebun jagung yang letaknya di belakang rumah saya. Akibat langkanya air, lahan sehektar itu baru terlihat basah menjelang subuh. Sekitar pukul 7 pagi, dia baru bisa istirahat, ngobrol dan ngopi di warung saya. Dia tampak lelah karena sepanjang malam dalam waktu dua bulan matanya tak pernah terpejam. […]
Better Work Indonesia (BWI) pertama kali dikenal di lingkungan perusahaan dua tahun yang lalu. Kala itu kami mengetahui bahwa audit, yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, tidak lagi dilakukan langsung oleh H&M selaku customer utama di perusahaan tempat kami bekerja. Hanya sedikit informasi yang diketahui oleh para buruh di perusahaan mengenai BWI. Melalui informasi dari manajemen tentunya, […]