Better Work Indonesia (BWI) dibentuk pada tahun 2011 sebagai kemitraan antara Organisasi Perburuhan Internasional PBB (ILO) dan Korporasi Keuangan Internasional (IFC) yang juga anggota Kelompok Bank Dunia. Kini, sudah 11 tahun program-program BWI berjalan di Indonesia.
Sebagaimana disebutkan pada website resminya, Program BWI melibatkan pekerja, pengusaha dan pemerintah. Sebagai program kemitraan, dimana pekerja dan serikat pekerja ada di dalamnya, semestinya ada keterbukaan terkait dengan program dan pencapaian yang sudah dilakukan. Tapi faktanya sampai saat ini, tidak pernah ada laporan hasil pencapaian sekaligus evaluasi yang disampaikan kepada serikat pekerja.
Bicara soal transparansi BWI, website atau portal yang disebut sebagai bagian dari transparansi BWI saja tak mencerminkan keterbukaan. Misalnya, dalam website BWI disebutkan ada 32 brand, 215 pabrik serta 385.580 buruh yang bermitra dengan BWI. Tapi ketika diklik tidak bisa dibuka datanya. Artinya tidak ada akses bagi public untuk mengetahui brand apa saja dan pabrik mana saja program BWI itu dijalankan.
Bukan saja publik secara umum yang tidak diberi akses, pekerja atau serikat pekerja pun tak punya akses terhadap data-data tersebut. Padahal serikat pekerja jelas-jelas sebagai bagian dari kemitraan BWI.
Sebagaimana Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit – Serikat Pekerja Seluruh Indoensia (FSP TSK SPSI) yang menempatkan perwakilan di BWI saja tidak pernah diberi akses atau diberikan laporan terkait dengan program dan evaluasinya serta di pabrik atau perusahaan mana saja program BWI dilakukan.
Oleh karenanya, program BWI terkesan sebagai program terselubung yang didukung IFC, dan negara-negara donor, serta para buyer dan para pemilik modal dari negara maju. Program yang seolah-olah mendorong kepatuhan pengusaha yang memproduksi brand-brand dari negara maju. Padahal jika melihat faktanya, kondisi buruh di pabrik-pabrik garmen dalam beberapa tahun terakhir justeru sebaliknya.
Kondisi kepatuhan di pabrik-pabrik tersebut malah semakin buruk. Terbukti banyak buruh yang diabaikan hak-hak normatifnya. Misalnya, banyak pabrik garmen yang tidak membayar upah buruh dengan benar, bekerja lebih panjang tanpa diberi upah lembur, dipecat tanpa pesangon dan lain sebagainya. Padahal, jika tingkat kepatuhan pabrik-pabrik garmen tersebut menurun, jelas akan merusak daya saing perusahaan atau industri garmen tersebut.
Dengan demikian, program Better Work Indonesia yang disebutkan untuk mendorong daya saing dan kepatuhan pada industri garmen justeru yang terjadi malah kondisi yang sebaliknya. Lalu dimana upaya BWI untuk membangun kepatuhan dan mendorong daya saing tersebut?
BWI hari ini justeru malah makin mirip dengan badan atau lembaga corong pemilik modal atau para pemilik brand dan cenderung mengabaikan kebutuhan program kepatuhan yang sebenarnya menjadi inti atau pokok dari program kemitraan tersebut. Hal ini terbukti dengan semakin banyak perusahaan-perusahaan pada industri garmen yang mengabaikan hak-hak normatif buruh. Dengan kondisi pencapaian program BWI yang justeru secara faktualnya saat ini kondisi kepatuhannnya semakin buruk, pertanyaannya kemudian, apakah Program Better Work Indonesia ini masih relevan untuk dijalankan di Indonesia?
Aku adalah ibu rumah tangga, sekaligus perempuan yang bekerja dengan memburuh demi mempertahankan hidup. Namaku Sumiyanti. Saat ini, usiaku 39 tahun. Jika ditotalkan sekitar sepuluh tahun aku bekerja di pabrik garmen. Sebagai buruh biasa, awalnya aku tidak terlalu antusias untuk berserikat. Aku hanya paham, buruh harus rajin bekerja jangan sampai alfa dari pekerjaan. Dengan cara […]
Kawasan industri Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), yang menjadi pusat pengolahan nikel di Sulawesi Tengah, telah melaksanakan audit Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) terhadap 25 perusahaan tenannya hingga Februari 2025. Audit ini menghasilkan penilaian yang baik, bahkan dua tenan memperoleh skor yang layak diganjar bendera emas. Namun, di balik pelaksanaan audit dan pencapaian […]
Di Desa Nagasari aku dibesarkan. Desa terpencil di sebuah Kecamatan Muara Kuang, Ogan Komering Ilir, Palembang Sumatera Selatan. Keluargaku miskin, aku hanya dapat menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD). Meskipun demikian, aku masih memiliki masa kecil yang menyenangkan. Aku sering bermain dengan alam seperti air sungai, kebun, hutan, serta semua isinya. Bisa digambarkan seperti kehidupan Si […]