Pada 2013, saya mengikuti perpindahan suami ke Sukabumi. Kepindahan itu mengantarkan saya kenal daerah berbudaya Sunda. Tinggal di tengah desa yang sehari-hari mengunakan bahasa Sunda dengan dialek Sukabumi. Perlahan saya beradaptasi meski masih susah berkomunikasi. Saya dikelilingi orang-orang Sunda baik itu di lingkungan rumah, di tempat kerja maupun di pengajian.
Di Sukabumi saya melihat pepohonan tumbuh rindang dan angin segar. Jika malam tiba, saya mendengar suara-suara hewan pengiring malam. Jauh berbeda dengan tempat tinggal saya sebelumnya, Tangerang: panas, berdebu dan hanya terdengar suara mesin kendaraan bermotor.
Saya perempuan asal Purworejo Jawa Tengah. Saat Jakarta ramai kerusuhan menuntut pemimpin negara lengser, saya memasuki Jakarta. Mengikuti paman saya di Jakarta Barat.
Pada 2001, saya pindah ke Tangerang mengikuti kepindahan kakak saya. Kala itu, saya memiliki kesibukan.
Di Jakarta maupun Tangerang, saya tidak terlalu sulit bertemu dengan orang berbahasa Jawa. Lagi pula, bahasa sehari-harinya pun bahasa Indonesia.
Menghindari Ajakan Kencan
Bulan-bulan pertama di Sukabumi saya merasa bosan dengan keseharian di rumah. Saya pun berpikir untuk mencari kesibukan dan dapat bertemu dengan orang banyak. Suatu hari saya menanyakan ke suami tempat yang dapat mempertemukan saya dengan orang banyak, selain pengajian. Suami saya menunjuk pabrik. Suami pun mengajak saya ke daerah Cibadak pada saat masuk kerja pagi. Betul saja, ternyata di pagi hari jalanan macet dan orang-orang berlalu-lalang.
Suatu hari tetangga memberikan informasi tentang lowongan kerja di sebuah pabrik elektronik. Mulanya saya tidak tertarik. Lagi pula saya belum memiliki pengalaman kerja di pabrik. Setelah dipikir berulang tebersit untuk mengajukan lamaran. Namun niat itu saya urungkan lagi.
Hampir satu tahun tinggal di Sukabumi saya tidak memiliki aktivitas. Setiap Sabtu dan Minggu saya pulang ke Tangerang. Sekali waktu saya mendapat telepon dari adik saya di Kampung. Adik saya mengabarkan kalau bapak terserang stroke. Artinya, saya harus bisa membantu pengobatan bapak.
Niat untuk melamar kerja pun kembali muncul. Akhirnya saya pun membulatkan niat untuk melamar kerja. Saya pun mencari informasi di internet tentang tata cara dan kendala-kendala dalam melamar kerja di pabrik. Saya benar-benar menyiapkan diri untuk bekerja di pabrik. Saya pun mendatangi tetangga yang menawarkan lowongan kerja tersebut. Beruntung, ternyata masih ada lowongan kerja.
Berbekal ijasah SMK dan keterangan domisili dari RT, saya melamar kerja.
Pagi itu saya menunggu di pos Satpam pabrik untuk melamar. Sebenarnya ada rasa cemas tidak diterima karena dokumen lamaran kerja saya tidak lengkap. Saya tidak membawa kartu kuning,1 SKCK2 dan KTP. KTP saya masih dalam proses pembuatan. Dalam keadaan cemas itu, pikiran saya ingat pesan dari guru ngaji, ‘Kalau kita dalam keadaan cemas bacalah surat Al-fatihah sebanyak-banyaknya’. Saya pun melakukannya. Hati saya pun tidak berhenti berdoa, semoga Allah memudahkan proses saya dalam melamar kerja.
Satu per satu pelamar lain datang. Akhirnya ada ratusan pelamar. Salah satu Satpam pun mengarahkan kami ke tempat pelamar kerja. Kami berkumpul di sebuah ruangan untuk mengikuti tes. Di antaranya tes matematika dan pengetahuan umum.
Setelah mengikuti tes, pelamar dipisahkan. Kebetulan saya berdua sama teman yang baru kenal. Kami berdua duduk berderet dibangku paling belakang dengan nomor urut 199. Itu adalah nomor terakhir. Ternyata dari semua pelamar ada mendapat dua jenis formulir, yaitu formulir yang diperuntukan bagi buruh yang pernah bekerja di pabrik tersebut; dan formulir yang diperuntukan bagi pelamar baru. Setelah selesai mengisi formulir, semuanya diminta menunggu.
Saya dan teman saya yang baru melamar sebenarnya tidak mendapat formulir. Jadi hanya duduk menunggu. Tiba-tiba seorang bapak datang dan duduk di pojok. Ia membawa secangkir kopi dan menyalakan rokok. Saya dan teman saya saling berbisik karena belum diberikan formulir. Tampaknya bapak tersebut memperhatikan kecemasan kami. Ia pun memanggil kami untuk duduk di depannya.
“Betul pengen bekerja di sini?” tanya bapak tersebut menggunakan bahasa Indonesia dengan dialek Sunda.
“Iya,” jawab saya lugas. Teman saya pun turut mengiyakan.
“Bawaan siapa?” Ia menanyakan sesuatu yang kami tidak mengerti. Di kemudian hari saya paham dengan pertanyaan tersebut. Pertanyaan itu menandakan kami disalurkan oleh tokoh masyarakat siapa.
Tiba-tiba bapak tersebut menawarkan jasanya. Dia meyakinkan, dirinya dapat memastikan kami dapat diterima bekerja.
“Tapi, mau ya jalan dulu ke Bogor?” desaknya. Ia pun meminta jawaban setelah istirahat jam kerja.
Tak berselang lama, saya mendengar suara sirine. Tandanya waktu istirahat tiba. Hari itu saya menyaksikan ribuan orang dengan seragam yang sama berlarian dan mengantri mengambil makanan katering. Kemudian mencari tempat duduk untuk makan.
Karena penasaran, saya pun menanyakan siapa bapak tersebut ke beberapa orang. Ternyata dia adalah bagian HRD.3 Pikiran saya makin kacau-balau dengan tawaran Bapak HRD tersebut. Berarti nasib saya berada di ujung tanduk. Jika menerima saya pasti berdosa; jika tidak menerima saya terancam tidak diterima bekerja.
Saya pergi ke toilet memutar kran dan menangis. Kebingungan saya dipecahkan dengan suara sirine tanda masuk. Semua buruh masuk kerja dan para pelamar kerja kembali ke ruangan. Di tengah kebingungan itulah muncul ilham dalam pikiran saya: yang penting sekarang diterima saja dulu bekerja. Soal ajakan Bapak HRD, nanti nyari cara lagi.
Saya lihat bapak HRD tersebut siap ditempat. Ia bertugas menyeleksi pelamar. Kini ia memanggil satu per satu pelamar. Hati saya dag-did-dug. Tibalah giliran saya.
“Bagaimana?” Mata genit Bapak HRD melihat saya.
“Oke. Saya mau,” jawab saya mencoba meyakinkan.
Keesokan harinya saya datang bersama buruh yang akan bekerja. Saya menunggu di tempat tes lamaran dilakukan. Sekitar pukul 11 siang kami dipanggil dan menerima pembagian kerja. Berarti saya telah diterima bekerja.
Saya ditempatkan di subline. Leader-nya masih muda. Leader memberikan pengarahan tentang proses kerja. Kebetulan saya duduk bersebelahan dengan perempuan lain. Setelah penerangan itu, saya mencoba berkenalan dengan teman di sebelah saya. Dengan memicingkan mata dan raut wajah tidak berubah, ia hanya menyodorkan tangan. Kejadian itu mengingatkan saya tentang persaingan rekan kerja di pabrik.
Sebenarnya, ketika mencari informasi di internet tentang kerja di pabrik saya diarahkan untuk sesegera mungkin mencari serikat buruh. Pengetahuan itu saya ingat betul. Di artikel itu, saya diberitahu agar menjadi anggota serikat buruh. Dengan berserikat saya akan mendapat perlindungan.
Esoknya, saya mencari serikat buruh di area pabrik. Dari jarak jauh saya melihat sebuah kantor. Di pintunya terdapat bendera biru dengan tulisan Serikat Buruh Metal Dan Elektronik Gabungan Serikat Buruh Independen (SBME GSBI). Saya pun memberanikan diri mengetuk pintu. Saya mengatakan maksud saya untuk menjadi anggota SBME GSBI. Saya pun diberikan formulir untuk diisi di rumah.
Dua minggu kemudian saya menyerahkan formulir tersebut ke kantor SBME GSBI. Saya pun resmi menjadi anggota serikat.
Setiap pagi sebelum masuk kerja, saya selalu menyempatkan membaca tulisan ataupun pengumuman di mading4 depan sekretariat. Dari mading itulah saya mengetahui jumlah kenaikan Upah Minimum Kabupaten Sukabumi, cara menghitung upah lembur, melihat foto-foto kegiatan serikat dan siapa ketua serikatnya.
Dalam hati, saya meyakinkan diri harus mencari informasi sendiri, karena kawan di-line pasti memasang muka dingin, seperti pengalaman saya berkenalan pertama. Saya pun memasang ancang-ancang jika suatu saat ada pembicaraan tentang kondisi kerja pabrik tidak terlalu tertinggal.
Selain itu juga saya mencoba mengimbangi kinerja para buruh yang telah lama bekerja. Lambat laun saya memiliki kemampuan setara dengan buruh lain, bahkan melebihi targetan mereka. Seandainya mereka mencela, saya bisa membalasnya baik itu tentang kerjaan ataupun isu di dalam pabrik. Keberanian saya pun bertambah.
Suatu hari di pagi hari handphone saya berdering. Saat itu, saya baru pulang kerja setelah mengikuti sif malam.5 Saya lihat nomor panggilan yang tidak saya kenal. Khawatir yang menelepon adalah keluarga dari kampung, saya mengangkat telepon.
“Selamat pagi,” suara seorang lelaki. Kalimatnya formal.
“Selamat pagi,” suara saya mencoba sopan. Pikiran saya masih mengira-ngira siapa penelepon di pagi itu.
“Betul saya bicara dengan Ibu Sudiyanti?”
“Oh, ini berarti Bapak HRD,” batin saya.
“Oh, maaf. Saya kakaknya,” saya cepat menyembunyikan diri untuk menghindari ajakan jalan-jalan yang pernah dia tawarkan.
Setelah telepon itu, jika muncul nomor Bapak tersebut saya selalu menghindar. Telepon saya angkat namun saya selalu menyebut bahwa yang mengangkat telepon bukan saya. Sementara waktu, saya dapat terhindar dari incaran Bapak HRD. Sebenarnya saya agak khawatir seandainya saya bertemu muka dengan Bapak HRD di pabrik, apalagi jika sif pagi.6
Ternyata kekhawatiran tersebut terjadi. Waktu itu, saya pulang kerja sif satu. Di tempat check body, saya melihat Bapak HRD. Dengan mata tajam dia melihat saya. Dia seperti sedang menahan marah. Selesai check body saya melintas di depan Bapak HRD. Saya pikir, dia tidak akan berani berbuat apapun karena hari itu banyak orang. Betul saja, saya lolos dari tatapan jelalatan laki-laki itu. Lega sekali hati saya.
Daftar Singkatan