Sekitar pukul 18.00 WIB, Sabtu (15/3/2025), beredar video di media sosial dan di media perpesanan yang memperlihatkan tiga aktivis Koalisi Masyarakat Sipil tengah melakukan aksi langsung di Hotel Fairmont untuk menerobos masuk ke ruang rapat Ruby, tempat berlangsungnya pembahasan RUU TNI oleh DPR RI. Sambil berteriak dan membawa poster, mereka menuntut agar pembahasan tersebut dihentikan.
Aksi protes langsung tersebut berlangsung singkat. Para petugas keamanan hotel menghadang upaya para aktivis untuk masuk ke ruangan rapat. Ketika para aktivis memaksa masuk, petugas keamanan mendorong salah satu aktivis tersebut hingga terjatuh. Setelah peristiwa penggerudukan tersebut, tersiar kabar bahwa tiga aktivis tersebut dilaporkan oleh petugas ke polisi dengan tuduhan mengganggu ketertiban.
Peristiwa tersebut menyebar cepat di media perpesanan dan media sosial. Para pengguna sosial saling berbalas komentar, “Mengapa pembahasan revisi UU TNI terkesan sembunyi-sembunyi?”, “Mengapa tidak ada partisipasi publik?”, “Revisi UU TNI akan mengembalikan dwifungsi TNI.”
Tak berselang lama, berbagai konsolidasi baik online maupun offline dilakukan. Konsolidasi membahas mengenai prosedur dan substansi RUU TNI. Setelah itu, seruan aksi massa dan poster menolak revisi RUU TNI bermunculan di media sosial.
Pada Rabu (19/3/2025) menjelang tengah malam beberapa orang menggelar aksi massa dengan membuka tenda dan berkemah di depan Gerbang Pancasila gedung MPR/DPR/DPD RI. Mereka memprotes rencana pengesahan RUU TNI yang akan dibahas dalam rapat paripurna, pada 20 Maret 2025.
Alasan Menolak Dwifungsi TNI
Bagi mereka yang lahir di akhir 1990-an, seperti saya, memang tidak mengalami langsung dampak dari operasionalisasi dwifungsi ABRI selama zaman Soeharto. Namun, literatur sejarah memperlihatkan dwifungsi ABRI merebut hak demokratis warga negara: protes rakyat dianggap sebagai gangguan keamanan kemudian direpresi. Beberapa bacaan bermanfaat seperti Marsinah: Campur Tangan Militer dan Politik Perburuhan (Supartono, 1999) dan Militerisme di Indonesia untuk Pemula (Tiwon, dkk., 1999) memberikan insight bagus mengenai sepak terjang dwifungsi ABRI.
Dalam literatur tersebut kita dapat menemukan bahwa ABRI merupakan aparatus kekerasan bersenjata yang terdiri dari kekuatan tentara dan polisi. Mereka memiliki keistimewaan yaitu jatah gratis di DPR dan MPR melalui fraksi ABRI. Fungsi pertahanan yang diemban oleh tentara, dan menjaga keamanan yang menjadi tugas polisi menjadi tumpang tindih. ABRI bukan sekadar alat pertahanan dan keamanan tapi alat kekerasan untuk meredam protes rakyat sekaligus kekuatan politik dan ekonomi yang dapat menentukan kebijakan negara. Inilah yang menjadi cikal-bakal militerisme, yakni paham yang mendominasi kehidupan sehari-hari selama 32 tahun.
Tahun 2000 ABRI memang dibubarkan dengan memisahkan tentara dan polisi tapi tidak tuntas hingga ke ‘akarnya’. Komando teritorial masih bercokol dari provinsi hingga desa. Tentara menguasai bisnis dari sektor hulu hingga hilir, dari urusan beras, pendidikan, pesawat dan pemasok Satpam. Misalnya, Yayasan Kartika Eka Paksi pemilik Universitas Jenderal Ahmad Yani (Unjani), Yayasan Dharma Putra Kostrad (TNI-AD) mengelola PT Mandala Airlines, PT Bandar Mandala Cargo, dan Rumah Sakit Dharma Medika, Yayasan Adi Upaya (TNI-AU), Yayasan Bhumyamca (TNI-AL), Yayasan Kesejahteraan Baret Merah, Yayasan Markas Besar Angkatan Bersenjata RI, serta Yayasan Kejuangan Panglima Besar (Indonesia Corruption Watch, 12 Maret 2005).
Sial! Kenapa saya harus mengalami militerisme seperti generasi 1980-an?! Undang-Undang TNI yang baru memberikan indikasi keterlibatan dan pelibatan tentara dalam kehidupan sipil, seperti penempatan 15 pos prajurit aktif di kementerian/lembaga, tugas tiga matra tentara, operasi militer selain perang dan penambahan jumlah batalyon teritorial. Lebih parahnya, TNI memiliki sistem peradilan sendiri. Jika tentara melakukan tindak pidana biasa mereka diadili di pengadilan militer. Kita masih ingat kasus empat anggota TNI AL yang membunuh pemilik rental mobil di Serang awal Januari 2025. Mereka diadili di pengadilan militer, bukan di pengadilan negeri (Tempo.co, 18 Maret 2025). Kita akan dibayang-bayangi seragam loreng yang berlalu-lalang di depan mata, di pos ronda, di pusat-pusat pendidikan dan pos-pos ronda. Agar lebih membayangkan situasi tersebut, coba dengarkan lagu Dapur, NKK/BKK dari Majelis Lidah Berduri.
Di kampung, kota, masyarakat adat bahkan di pabrik-pabrik, serikat buruh akan kehilangan kebebasan berserikat, berunding, dan akan lebih sulit mempertahankan kesejahteraan mereka yang bertahun-tahun telah diperjuangkan.
Intinya dwifungsi TNI bakal mempersulit hidup kita sehari-hari. Kita sedang memasuki zaman-zaman kegelapan. Ketika rakyat berhadapan dengan perusahaan atau negara akan berhadapan dengan aparatus kekerasan yang memiliki doktrin antidialog, bahkan akan mudah dicap mengganggu ketertiban umum bahkan disebut sebagai separatis atau komunis.
Semua pencapaian gerakan buruh selama ini akan hilang begitu saja. Dalam undang-undang TNI, pasal 7 terdapat poin pengamanan objek vital nasional dan membantu pemerintah daerah. Pasal tersebut kurang lebih menerangkan menangani masalah pemogokan atau demonstrasi buruh. Dengan adanya pasal-pasal problematik dan brengsek seperti ini serikat buruh pun terdampak secara langsung. Yang mungkin perlu kita ingat militer tidak diciptakan untuk berdiskusi dan bernegosiasi. Mereka hadir untuk berperang serta memburu dan membunuh lawan.
Gerakan Massa Kaum Muda
Di tengah-tengah perjalanan saya menuju konsentrasi aksi di depan gerbang DPR RI (20/3/2025), DPR RI telah mengesahkan RUU TNI menjadi Undang-Undang. Sembari menahan marah dan melanjutkan perjalanan, hati saya pun bergumam, “Tidak ada kata terlambat untuk memukul balik tentara ke barak.”
Sejak pagi, berbagai organisasi maupun individu telah melakukan aksi massa. Aliansi Perempuan Indonesia, misalnya, turun ke jalan sejak pagi dan bergabung dengan kawan-kawan yang membangun tenda pada malam sebelumnya. Menjelang siang, massa aksi terus bertambah hingga sore hari.
Dari pengamatan saya di lapangan, aksi massa menolak UU TNI didominasi oleh organisasi pelajar, mahasiswa dan perempuan dari Jabodetabek dan sekitarnya. Saya hanya melihat satu mokom dari serikat buruh KASBI yang aksi bersama Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK). Jumlah massa yang terlibat tidak lebih dari 300 orang.
Pukul 15.00 WIB, beberapa kelompok massa aksi terus bertambah. Beberapa dari mereka menggunakan jas almamater kampus. Seperti terjadi dalam aksi-aksi massa sebelumnya, dalam aksi massa besar kaum jas almamater selalu membuat batas dengan membentuk rantai manusia atau menggunakan tali rafia. Konon, batas tersebut untuk menghindari kerumunan massa dari provokasi pihak lain. Padahal dengan menggunakan jas almamater saja mereka sudah membedakan diri dengan massa lain. Saya agak heran, kenapa kaum jas almamater selalu membuat batas dengan massa aksi lain, padahal kerap mengatasnamakan rakyat. Tak jarang kaum jas almamater selalu mendengungkan mitos usang “mahasiswa sebagai agent social of change”.
Sore itu, halaman gedung DPR RI ramai. Di atas mobil komando para pimpinan aksi massa menyampaikan orasi atau berpuisi diiringi dengan pekikan kata revolusi yang diucapkan berulang seperti zikir setelah salat. Hari menjelang Magrib, orang-orang tampak bersiap untuk berbuka puasa. Memang aksi massa menolak RUU TNI ini berlangsung di pertengahan bulan Ramadan. Beberapa peserta aksi massa tampaknya menggunakan kesempatan demonstrasi tersebut sambil ngabuburit. Beberapa massa aksi mengekspresikan kemarahannya dengan merobohkan pagar DPR RI. Mereka berusaha merangsek masuk. Barisan massa aksi lainnya menumpahkan kekesalan dengan menulisi dinding pagar DPR RI dengan cat semprot.
Menjelang malam water canon telah disiapkan. Keadaan menegang. Para peserta aksi massa melemparkan batu ke arah aparat keamanan. Pukul 18.00 WIB massa aksi di sekitar mobil komando basah kuyup karena diguyur air oleh kendaraan water canon. Sementara yang di atas mokom tidak berhenti menyuruh massa aksi untuk terus membobol pagar dan terus menyulut kemarahan massa aksi. Lagi-lagi, ketika massa aksi merangsek masuk dan semakin marah, para orator itu pula yang berusaha menahan aksi massa. Mereka berteriak-teriak agar massa aksi satu komando dan mewanti-wanti agar tidak bertindak gegabah.
Saya mulai muak dengan pepatah dari oratos mobil komando: meminta massa agar patuh dan taat. Para pemimpin di atas mokom seperti mengilustrasikan kenyataan besar relasi senjang pimpinan dan anggota. Mereka meneriakkan mogok, menuntut demokrasi yang lebih luas dan kesejahteraan yang berkualitas namun dengan maksud ingin berpelukan dengan para pejabat negara dan pengusaha.
Pukul 19:00 WIB mokom serikat buruh berangsur pergi meninggalkan lokasi. Massa aksi terpecah bahkan mereka bersitegang sesama organisasinya. Namun, saya menyaksikan korban kekerasan aparat berjatuhan.
Tidak lama berselang pukul 20.00 WIB aparat keamanan mulai membariskan barikade. Massa aksi dipukul mundur dengan cara diserang dan di-sweeping. Massa aksi tunggang-langgang tak beraturan. Mereka langsung menghajar siapapun yang ada di depan halaman DPR RI terlebih individu yang mengenakan pakaian hitam.
Buka Puasa Bareng di Tengah Represi
Saya memberikan penghormatan kepada beberapa serikat-serikat buruh dan pimpinan serikat buruh yang terlibat di dalam aksi massa menolak RUU TNI. Namun saya pun merasa heran, dari 198 federasi serikat buruh tingkat nasional ternyata hanya segelintir yang menyatakan penolakan terhadap RUU TNI. Apakah betul kepentingan serikat buruh sekadar upah minimum? Apakah betul kebebasan berserikat dan berunding tidak terancam oleh militerisme? Bukankah dalam pengalaman sehari-hari bahkan selama bertahun-tahun serikat buruh mengalami penindasan dwifungsi ABRI? Ah, entahlah!
Malam itu saya meninggalkan halaman DPR RI dengan hati semrawut. Sepanjang perjalanan saya mendapat informasi beberapa kawan jurnalis dan peserta aksi massa mengalami kekerasan aparat. Tapi malam itu juga saya mendapat kabar akan terjadi aksi massa susulan dari kota-kota lain.
Betul saja, esoknya aksi massa dimulai dari Bandung Jawa Barat. Ribuan anak muda memenuhi jalanan di sekitar gedung sate di sore hari hingga menjelang pukul 3 pagi. Protes mereka mendapatkan represi keras dari aparat keamanan dan organisasi preman.
Aksi massa diikuti kota-kota lain. Aksi massa menolak UU TNI semakin meluas. Menurut pemantauan Koreksi.org, aksi massa menuntut pencabutan UU TNI terjadi dari 20 hingga 29 Maret di 72 titik dari Banda Aceh, pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi hingga Jayapura. Semua aksi massa tersebut berakhir dengan kekerasan aparat negara. Para peserta aksi massa pun mengalami kekerasan dengan direndahkan dan dituduh sebagai perusak fasilitas umum. Uniknya mereka tidak menggunakan mobil komando, seperti aksi massa di Jakarta. Ya, kadang saya bertanya-tanya, mengapa aksi massa kerap menggunakan mobil komando. Apakah betul dengan suara menggelegar dari mobil komando suara para orator didengar oleh para pejabat dan barisan aksi massa?
Saya ingin menyatakan bahwa aksi-aksi massa dipelopori oleh kaum muda baik sebagai pelajar, mahasiswa, buruh dan pengangguran. Mereka berasal dari berbagai organisasi dan komunitas. Hanya satu jenis organisasi yang tidak terlalu terlihat merespons UU TNI, yaitu serikat buruh.
Setahu saya para pimpinan buruh di tingkat federasi dan tingkat konfederasi, sebelum saya lahir mereka telah berjibaku membangun serikat buruh. Artinya, di zaman represif Soeharto mereka kerap berhadapan dengan militerisme. Tapi, tampak tidak tergerak untuk mengampanyekan atau terlibat dalam penolakan undang-undang TNI, yang sudah pasti akan membahayakan serikat buruh.
Saya mantengin website atau media sosial serikat buruh dan bertanya kepada mereka mengenai undang-undang TNI. Memang tidak ada dari mereka mengeluarkan seruan untuk menolak atau mengkampanyekan undang-undang yang akan menghajar mereka ini. Jawaban yang cukup mengagetkan terdapat salah satu pimpinan federasi tingkat nasional mengatakan, “Kami tidak aksi menolak UU TNI karena tidak ada sangkut pautnya.” Malahan saya melihat, akun-akun media serikat buruh sibuk melaksanakan kegiatan berbagi takjil. Tentu tidak ada yang salah dengan kegiatan berbagi takjil. Tapi, bukankah lebih berpahala jika berbagi takjil di tengah kerumunan massa aksi, sembari membawa anggota mereka?!
Di tengah represi terhadap massa aksi tersebut, saya menyaksikan beberapa pimpinan konfederasi tingkat nasional tengah menggelar buka puasa bersama dengan Kapolri (Detik.com, 25 Maret 2025). Beberapa dari pimpinan konfederasi serikat buruh tersebut adalah bagian dari Partai Buruh. Tentu saja pertemuan tersebut tidak membahas mengenai UU TNI dan represi terhadap hak menyampaikan pendapat di muka umum. Dengan wajah sumringah para pimpinan tersebut berfoto bersama dengan aparat keamanan, yang anak buahnya memukul dan mengejar massa aksi. Sekadar informasi saja, dari berbagai titik aksi massa tersebut, para pesertanya adalah buruh yang menjadi anggota mereka.
Jika kita melihat ke belakang, bahwa rezim militeristik yang dipimpin Soeharto negara mengawasi dan mengatur protes buruh, di antaranya Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.342/Men/1986, Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep.120/Men/1988 dan Surat Keputusan Bakorstanas No.02/Satnas/XII/1990. Di sana tertulis, jika terjadi perselisihan antara buruh dengan pengusaha, militer berhak menjadi mediator atau penengah. Secara eksplisit peraturan tersebut mengizinkan mediator pemerintah dari Dinas Tenaga Kerja Daerah untuk berkolaborasi dengan Pemerintah Daerah dan Kepolisian Resort atau Distrik Militer, untuk menangani kekerasan fisik dalam kasus pemogokan. Peraturan tersebut pun menetapkan ‘kode etik’ bagi pekerja yang memaksa pekerja yang mogok untuk kembali bekerja atau menghadapi sanksi dan intervensi polisi atau militer.