Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi manapun.
Sehari sebelum Mayday 2025, salah satu kawan bertanya pada saya melalui WhatsApp “Kamu ke Monas atau ke DPR?” Saya merasa, ini pertanyaan yang sangat tricky karena jawaban saya selanjutnya dapat memberikan persepsi bagi kawan saya tersebut apakah saya bersama dia atau tidak. Jawaban ke Monas atau ke DPR seolah menunjukkan bahwa pilihan ke salah satu tempat tersebut menunjukkan bahwa apakah saya berjabat tangan dengan pemerintah atau mengepalkan jari-jari tangan berteriak lawan. Bisa jadi saya overthinking, tetapi kemudian saya kembali berpikir, kenapa pertanyaan yang terlihat mudah ini malah membuat saya overthinking?
Saya memang orang baru yang belum ada 5 tahun mempelajari isu terkait gerakan buruh di Indonesia. Meskipun saat ini saya menjadi bagian dari salah satu serikat buruh yang menjadi motor May Day Fiesta di Monas, saya selalu menganggap kawan-kawan yang ada di depan Gedung DPR adalah kawan seperjuangan. Terlebih lagi ketika tengah menyusun thesis di tahun 2024, saya mendapatkan kesempatan untuk berdiskusi dengan berbagai lapisan buruh yang tergabung di serikat buruh, baik mereka yang berangkat ke Monas maupun ke depan Gedung DPR.
Setelah beberapa menit menunda menjawab pertanyaan tersebut, akhirnya saya memberanikan dengan membalas, “Saya ke Monas dulu lalu menyusul kawan-kawan di DPR, Kang”. Jawaban yang bagi saya menunjukkan posisi saya sebagai seorang yang selalu berusaha objektif untuk melihat perjuangan kawan-kawan buruh memperbaiki kesejahteraan mereka. “Sampai ketemu di salah satu tempat kumpul tersebut ya, jika kondisi memungkinkan”, tambah saya untuk menyelesaikan jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan oleh kawan tersebut.
May Day Fiesta – Mereka yang Berjabat Tangan dengan Pemerintah
May Day 2025 adalah May Day pertama yang saya datangi bersama pasangan saya. Dari rumah, kami menggunakan KRL Commuter Line dan berhenti di Stasiun Gondangdia untuk melanjutkan perjalanan ke Monas dengan berjalan kaki. Sepanjang perjalanan kami melihat banyak orang mulai berkumpul menggunakan kaos putih berlengan merah yang di tengah kaos mereka tercetak tulisan “May Day 2025” berwarna hitam. Pasangan saya dengan nada agak bingung kemudian bertanya dengan lirih “Oh, ternyata banyak yang membawa keluarga ya, atau ini massa bayaran Prabowo?” Pertanyaan yang valid karena itu juga yang terlintas di benak saya pertama kali melihat massa yang tidak menggunakan logo-logo serikat yang bisa saya kenali.
Saya menjawab dengan sedikit keraguan, “Beberapa tahun ke belakang, kami memang diserukan untuk membawa keluarga agar mereka juga tahu perjuangan yang kami lakukan setiap mengikuti mobilisasi massa.” Ketika masuk kawasan Monas, saya sudah mulai banyak melihat logo-logo yang biasa ditemukan dan digunakan dalam aksi massa buruh. “Nah, ini dia massa buruh yang saya kenal. Yuk, saya perkenalkan ke beberapa orang yang ada di federasi serikat buruh kami.” Sekitar pukul 9.00 pagi, kami mulai antre melewati gerbang pengecekan untuk masuk ke dalam arena panggung. Suatu hal yang tidak biasa tetapi mengingat kegiatan ini bakal dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia maka saya memahaminya.
Hal yang pertama kali menarik perhatian saya adalah desain dan juga visual yang terpampang di gerbang dan juga panggung utama. Saya melihatnya dengan tertegun, lebih seperti bingung karena visual tersebut bagi saya memberikan kesan seperti desain-desain propaganda Blok Timur saat Perang Dingin. Saya mungkin bukan desainer profesional jadi tidak terlalu memahami apa yang membuat saya memiliki perasaan tersebut. Tetapi gambar sekumpulan orang dalam barisan, kemungkinan besar terlihat kaukasoid, tersenyum sambil mengepalkan tangan ke udara secara harmonis, dengan shading dan pencahayaan dari samping itu membuat saya tergelitik. Dalam hati, saya bergumam, “Ah, mungkin ini hanya overthinking saya saja. Mungkin desainer tersebut tidak memiliki pengetahuan itu, atau bisa jadi ini hanya menggunakan prompt sederhana di AI.”
Setelah menunggu sekitar 1 jam diiringi lantunan musik Ska dari band Tipe-X, akhirnya acara dibuka dengan suara dari Raffi Ahmad sebagai MC acara tersebut. Entah berapa kali saya terkikik ketika MC berulang kali mengucapkan kalimat “Hidup buruh! Buruh bersatu, bela negara”. Jelas ini bukanlah hal yang biasa, orang-orang di belakang saya pun kebingungan karena mereka dengan lantang sudah terbiasa menjawab “Buruh bersatu, tak bisa dikalahkan”. Raffi Ahmad, jelas bukan MC ‘kacangan’, hal tersebut saya rasakan ketika ia berkali-kali mengajak kami untuk menyerukan nama Presiden Prabowo. Awal-awal, tidak banyak yang ikut menyerukan, tapi ketika hal tersebut diulang berkali-kali mulai banyak juga yang akhirnya ikut berseru, skill-nya sebagai MC memang patut diapresiasi.
Sekretaris Jenderal ITUC (International Trade Union Confederation) Asia Pacific Shoya Yoshida membuka kegiatan ini dengan pesan solidaritas. Sejujurnya, tidak ada yang aneh karena memang 3 konfederasi (KSBSI, KSPSI AGN, dan KSPI) dari 4 konfederasi yang mengadakan kegiatan ini merupakan afiliasi dari ITUC, konfederasi serikat buruh terbesar di dunia. Hanya KSPSI Jumhur yang tidak atau mungkin belum berafiliasi dengan ITUC. Ketiga konfederasi tersebut juga secara historis merupakan bagian dari koalisi bernama MPBI (Majelis Pekerja Buruh Indonesia) yang pada tahun 2012 dengan gagahnya menyerukan aksi mogok nasional di 80 kawasan industri Indonesia. Akan tetapi, ketika giliran 4 pimpinan konfederasi untuk berorasi, MC malah memanggil mereka untuk memberikan “laporan”. Saya terhenyak karena dari begitu banyak kosa kata dalam Bahasa Indonesia, MC malah menggunakan kata “laporan” seperti kita para buruh dan pemimpin kami yang berada di atas panggung bertanggung jawab terhadap sesuatu yang harus disiapkan kepada Presiden.
Bagi saya yang duduk cukup jauh dari panggung dan hanya melihat dari layar lebar yang tersedia, saya merasa posisi keempat pimpinan konfederasi tersebut cukup canggung. Mereka berdiri berbaris, melihat ke arah Presiden Prabowo dan benar-benar terlihat seperti memberikan laporan, tidak seperti biasanya ketika mereka dengan garang memimpin kami dalam aksi massa. Untungnya, apa yang mereka sampaikan tetap gamblang, tajam, dan jelas tentang apa tuntutan buruh yang mereka wakili. Ya meskipun mungkin bagi saya tidak perlu-lah keempat pemimpin ini ikut meneriakkan, “Hidup Prabowo”.
Yang dinanti akhirnya tiba, Prabowo sebagai seorang presiden, kepala negara, dan kepala pemerintahan Republik Indonesia untuk pertama kalinya datang ke peringatan May Day sejak Soekarno di tahun 1965. Di dalam pidatonya, ada sejumlah janji yang diucapkan dan sudah sepatutnya harus kita kawal untuk diwujudkan secara nyata.
Pertama, membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional yang di dalamnya terdiri dari tokoh-tokoh perwakilan buruh seluruh Indonesia. Lanjutnya, dewan ini akan berfungsi untuk memberikan masukan kepada presiden terkait persoalan yang dihadapi serta regulasi yang tidak memihak kaum buruh. Kedua, membentuk Satgas Anti-PHK yang berupaya agar buruh tidak di-PHK seenaknya dan tidak dikurangi hak-hak mereka. Ketiga, mendorong pengesahan RUU Perlindungan PRT dalam waktu maksimal 3 bulan ke depan dan juga RUU Perlindungan Pekerja Maritim. Keempat, menghapus outsourcing, meskipun katanya kita harus realistis dan melihat kepentingan investasi demi kelangsungan pekerjaan. Kelima, mendukung Marsinah menjadi pahlawan nasional sebagai bagian dari tokoh kaum buruh. Keenam, dukungan terhadap UU Perampasan Aset sebagai upaya perlawanan terhadap korupsi di Indonesia. Ketujuh, mempelajari kembali skema pajak progresif yang dibebankan kepada buruh.
Tentunya janji-janji tersebut sangatlah luar biasa. Semuanya merupakan tuntutan yang sudah sekian lama diperjuangkan dalam aksi-aksi massa yang dilakukan. Jujur, saya kaget dengan semua janji tersebut, karena tidak dapat dipungkiri jika semua dapat dilakukan maka harapan buruh sejahtera di negara ini bisa saja terjadi. Namun, apa yang selanjutnya saya dengar setelah pidato tersebut selesai lebih mengejutkan lagi. Tidak pernah saya impikan selama ini, bahkan berkelakar tentang ini saja tidak pernah, seorang Presiden Republik Indonesia berada di panggung dengan alunan lagu L’Internationale. Lagi-lagi saya berpikir, “Mungkin saya yang overthinking, toh ini hanya sebuah lagu yang liriknya memang relevan dengan kondisi kita saat ini. Indonesia sudah berganti rupa, mungkin saya-lah yang memiliki paham tua dan perlu dilenyapkan itu.”
Jam tangan saya menunjukkan pukul 11:30, MC kembali menyerukan “Prabowo, Prabowo” sebelum mengundang band Wali untuk naik ke panggung, mungkin sudah waktunya bagi kami untuk bergerak menuju depan Gedung DPR. Di luar area Monas ternyata ada 2 kelompok massa yang sedang berkumpul, di dekat pintu keluar menuju Patung Arjuna Wiwaha dan juga di dekat Bundaran Air Mancur MH Thamrin. Meskipun tidak sebanyak yang di dalam Monas, kami berhenti sejenak untuk mendengarkan orasi dan mengambil dokumentasi sedikit sebelum berusaha menyeberang ke arah Bank Indonesia. Sebelum menyeberang saya tidak sengaja melihat seseorang dengan celana dan jaket loreng, menggunakan motor taktis warna hijau dengan plat TNI, serta menggunakan kaos putih berlengan merah yang di tengah kaos tercetak tulisan “May Day 2025” berwarna hitam. Dalam hati saya kembali bergumam, “Ah, mungkin saya overthinking lagi.”
Mei Melawan – Mereka yang Mengepalkan Tangan pada Pemerintah
Setelah beristirahat makan siang kami beranjak menuju Gedung DPR untuk bersolidaritas dengan kawan-kawan buruh yang juga sedang melakukan aksi massa. Kami sampai di area Senayan pukul 13.30 WIB dan mulai melihat antrean kendaraan akibat ditutupnya akses jalan Gatot Subroto depan Gedung DPR. Tidak lama kemudian mulai terlihat barisan massa dari F-SEDAR yang mengular dengan rapi di belakang Mobil Komando (Mokom) yang di atasnya berdiri seorang orator. Dengan lantang, orator tersebut menyerukan boikot terhadap produk es krim AICE yang dianggap telah berulang kali melakukan eksploitasi dan melanggar hak-hak buruh yang bekerja di pabrik mereka.
Tidak lama berselang, kami bertemu dengan kawan-kawan FSPBI (Federasi Serikat Pekerja Bandara Indonesia) yang selama ini selalu saya ajak berinteraksi dalam proses penulisan thesis saya tahun lalu. Secara personal, saya sangat suka dengan desain kaos yang mereka gunakan. Warna merah yang menyala sebagai warna dasar dipadukan dengan warna kuning sebagai aksen. Logo kecil Serikat di depan ditambah dengan desain peta dunia dengan tulisan “We Move the World” di belakang menunjukkan bahwa kaos tersebut didesain secara simple tetapi terlihat sangat ciamik. Kami sedikit bercengkrama sebelum saya menyadari bahwa mereka sedang terburu-buru untuk mengambil beberapa logistik yang berada di dekat perimeter luar barisan massa. Agar tidak menahan mereka terlalu lama, kami pun izin untuk melanjutkan perjalanan kami menuju depan gerbang DPR.
Di sepanjang jalan kami menemukan hal yang cukup berbeda dengan ketika kami di dalam Monas. Massa yang berkumpul tidak sebanyak yang ada di Monas, usia mereka yang datang relatif lebih muda, dan meskipun tidak banyak tetapi kami juga melihat ada beberapa kawan yang membawa keluarga mereka. Kami berhenti sejenak ketika melihat di depan massa F-SEDAR ternyata sudah berbaris pula dengan rapi dan banyak tersusun banner-banner tuntutan yang digelar oleh kawan-kawan GSBI (Gabungan Serikat Buruh Indonesia). Dari atas Mokom sudah berdiri salah satu kawan yang bersiap melakukan orasi. Suaranya yang lantang dibarengi juga dengan tuntutannya yang tidak main-main: hancurkan imperialisme, feodalisme, dan juga kapitalis birokrat. Dominasi sistem tersebut merupakan alasan utama buruh tidak dapat menjadi “tuan” di negara sendiri. Saya tidak kaget mendengar orasi tersebut, karena memang sejak pertama kali bertemu dan beberapa kali mengikuti aksi massa, GSBI secara konsisten selalu menyuarakan tiga hal tersebut.
Di depan gerbang Gedung DPR saya mulai melihat banyak muka familiar yang juga merupakan narasumber utama dalam penulisan thesis saya. Selain itu, terlihat massa KASBI yang sedang beristirahat setelah sejak pagi mereka sudah melakukan long-march sebelum berhenti di depan Gedung DPR. Terdapat beberapa Mokom yang berjejer di depan gerbang, paling tidak ada 2 yang saya kenali, yaitu dari KASBI dan KPBI. Kedua konfederasi tersebut memang dapat dikatakan menjadi motor pergerakan GEBRAK yang dibentuk tahun 2018. Hari itu GEBRAK mengangkat tiga tema: kapitalisme, oligarki dan militerisme. Saya setuju, ketiga unsur tersebut jika bersatu adalah resep mematikan bagi kami yang berjuang demi kesejahteraan buruh. Terngiang cerita senior-senior saya di serikat ketika mereka berjuang pada saat rezim Orde Baru, berlarian menghindari kejaran polisi dan militer ketika mengorganisir demonstrasi buruh pada dekade 90-an. “Ah, indahnya semangat perjuangan yang diteriakkan oleh kawan-kawan ini”, batinku sembari mendengarkan orasi yang diteriakkan oleh kawan-kawan yang berada di atas Mokom.
Banyak poster dan banner tuntutan dari kawan-kawan GEBRAK yang dipajang di sekitar Mokom-Mokom tersebut. Pasangan saya dengan antusias melakukan dokumentasi, “Desainnya keren, kata-katanya menarik, dan aku jadi lebih paham ketika dateng langsung dibanding lihat di handphone doang,” ujarnya dengan antusias. Tak bisa dipungkiri, memang massa yang berkumpul di depan Gedung DPR ini memiliki taste desain yang lebih baik dibandingkan di Monas, mungkin juga karena salah satu anggota GEBRAK adalah serikat SINDIKASI yang menghimpun para buruh media dan industri kreatif.
Seperti di Monas, kegiatan di depan Gedung DPR juga dimeriahkan oleh pertunjukan musik. Berbeda dengan Tipe-X ataupun Wali yang sudah menjadi pemain utama di kancah musik Indonesia, band indie alternative seperti The Brandals dan The Jansen-lah yang menjadi pemuncak di depan Gedung DPR. Di sini saya tidak merasa overthinking karena jika melihat rata-rata massa yang datang mereka akan lebih mengapresiasi kedatangan The Brandals dan The Jansen ketimbang band pop manapun. Semangat yang diberikan dari dentuman drum dan raungan distorsi gitar dalam lagu-lagu kedua band tersebut lebih cocok untuk headbang dan berputar di moshpit dibandingkan untuk berjoget ria. Bagi saya ini lebih selaras dengan tema besar mereka bahwa May Day bukan pesta ataupun liburan, tapi hari perjuangan dan perlawanan.
Tidak selang terlalu lama, kami mendengar ada kawan dari WALHI untuk diajak ke atas Mokom untuk menyampaikan orasi. Pertanyaan kemudian muncul dari pasangan saya, “WALHI lingkungan hidup emang masuk serikat buruh juga?” Saya menjelaskan bahwa GEBRAK ini merupakan aliansi lintas sektor dan juga lintas pergerakan, tidak hanya buruh, mereka dibarengi oleh NGO yang bergerak di berbagai bidang, YLBHI, gerakan masyarakat adat, dan lain-lainnya. Perjuangan mereka bertumpu pada konsep collective liberation yang mendukung segala perjuangan kaum tertindas di Indonesia. “Oh, pantesan tadi aku lihat ada yang bawa bendera Greenpeace juga. Jadi lebih beragam ya ada yang pekerja kantoran juga kayaknya disini.” Betul, dan itu memang yang diupayakan oleh GEBRAK, adanya interconnectedness (saling menyambung) antarelemen masyarakat yang ikut melawan tidak peduli latar belakangnya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 15:30, saya pamit dengan kawan-kawan yang ada di depan gerbang Gedung DPR untuk bertemu kawan seangkatan kuliah yang juga ikut turun melakukan aksi. Menuju tempat pertemuan, saya tidak sengaja bertemu dengan kawan peneliti dan beberapa anggota serikat buruh yang sebelumnya saya lihat di Monas. Meskipun masih menggunakan seragam, mereka datang atas nama pribadi untuk bersolidaritas dengan kawan-kawan seperjuangan yang ada di depan Gedung DPR.
Sekitar pukul 17:15 telah beranjak dari tempat perbelanjaan di samping area DPR/MPR untuk kembali menuju rumah. Dalam perjalanan pulang, saya bertanya bagaimana perasaan pasangan saya setelah mengikuti aksi May Day pertamanya. “Aku pikir bakal kisruh kayak yang di media, tapi ternyata aman dan fine aja ya.” Pasangan saya gantian bertanya “By the way, penasaran deh caranya gimana sih untuk menghancurkan imperialisme, bla-bla-bla tadi?” Pertanyaan ini tentu membuat saya senang ketika dia ingin tahu tentang ilmu yang saya geluti selama beberapa tahun belakang, tetapi jujur sedikit bingung juga. Jawaban dari pertanyaan tersebut akan cukup panjang dan mungkin harus butuh tambahan kesabaran untuk menjelaskan konsep-konsep dasarnya. “Butuh gerakan massa yang luar biasa seperti 1998 untuk dapat menumbangkan “isme” yang tadi kita dengar, karena memang dengan kondisi yang sekarang ini kita bagaikan buih yang tidak terkoordinasi gerakannya. Terlihat banyak tapi ketika disapu langsung hilang semua,” jawab saya berusaha memberikan penjelasan. Pasangan saya menjawab “Wah, ngeri juga kalo bakal kayak 1998 ya. Aku gak ngerti dan gak terlalu paham tentang gimana caranya sih, tapi ya aku setuju-setuju aja meskipun agak takut.”
Bagaimana Polarisasi Bisa Terjadi?
Sesampainya di rumah, saya kemudian berpikir bahwa hari ini sangatlah menarik bagi saya. Banyak pembelajaran yang saya dapatkan dari semua interaksi yang saya lakukan. Saya membuka kembali tulisan dan catatan saya selama menulis thesis tahun lalu, yang ternyata juga masih sangat relevan dengan kondisi saat ini.
Polarisasi yang terjadi di May Day 2025 dan pilihan antara Monas dan Gedung DPR merupakan hasil dari perjalanan panjang pergerakan buruh di Indonesia yang semakin ramai setelah tumbangnya Orde Baru di tahun 1998. Disahkannya UU 21/2000 terkait kebebasan berserikat yang memberikan aturan sangat rendah, yaitu minimal 10 orang, untuk membuat suatu serikat buruh menjadikan banyak orang berbondong-bondong membentuk serikat. Dalam 27 tahun perjalanannya, kita melihat begitu banyak serikat buruh terbentuk, terpecah, ataupun bergabung dengan serikat lainnya, terbentuk lagi, terpecah lagi, dan bergabung lagi. Saking banyaknya bahkan kawan-kawan yang ada di dalam gerakan buruh pun saya yakin tidak ada yang hapal nama semua organisasi serikat buruh di Indonesia.
Serikat buruh merupakan satu gerakan sosial yang sudah banyak dibahas sejak adanya Revolusi Industri di Inggris sekitar abad ke-18. Jika selama ini kita hampir pasti menyematkan pemikiran Marxis yang menekankan antagonisme kelas dalam perjuangan serikat buruh, pada dasarnya tidak semua berpikir seperti itu. Banyak pemikiran-pemikiran terkait serikat buruh yang mungkin tidak terlalu dikenal, seperti Sidney Webbs dan Beatrice Webbs (the Webbs) yang berasal dari Inggris mengedepankan asas industrial democracy untuk mencapai kesejahteraan buruh. Selain itu, ada juga pemikir seperti John Commons, Robert Hoxie, dan Selig Perlman yang tidak melihat adanya antagonisme kelas terjadi di Amerika Serikat seperti yang Marx jabarkan, sehingga bagi mereka sudah sepatutnya serikat buruh fokus pada perbaikan kesejahteraan anggotanya saja. Di lain sisi, juga terdapat pemikiran untuk mencampur antara peran serikat buruh dengan peran mereka sebagai bagian dari Masyarakat yang pada akhirnya menghasilkan berbagai pemikiran seperti social movement unionism ataupun community unionism.
Dalam observasi saya, salah satu penyebab polarisasi ini adalah logika ideologi organisasi yang berbeda dari kedua kutub ini. Merujuk buku Richard Hyman di tahun 2001 berjudul “Understanding European Trade Unionism: Between Market, Class, and Society” kita dapat melihat bagaimana polarisasi ini terjadi dari berbagai hal, contohnya dari narasi terhadap kapital dan strategi yang dilakukan oleh serikat buruh dalam mencapai tujuan organisasi mereka. Pembagian berdasarkan logika ideologi ini ditekankan oleh Hyman hanya sebagai pisau analisis saja, karena pada praktiknya tidak ada serikat buruh yang benar-benar bertumpu pada satu ideologi, tetapi memadukan dengan logika ideologi lainnya ataupun bisa berubah suatu saat sesuai dengan tujuan organisasi.
Mereka yang di Monas dapat dibilang merupakan koalisi serikat buruh yang secara logika ideologi lebih dekat dengan pasar (Market Focused). Mereka berjuang demi anggota-anggotanya menggunakan pendekatan-pendekatan institusionalisme, lobbying, dialog sosial, dan berkolaborasi dengan anggota mekanisme tripartite lainnya, yaitu pemerintah dan pengusaha melalui mekanisme PKB (Perjanjian Kerja Bersama). Serikat buruh memiliki peran sebagai pemberi servis (service provider) kepada para anggotanya dalam memperbaiki kesejahteraan buruh melalui diskusi dan negosiasi dengan stakeholder lainnya. Kita dapat melihat contoh-contoh serikat buruh yang memiliki pandangan ini ada di Inggris Raya, Jepang, sebagian di Eropa Barat, dan beberapa di Amerika Serikat dengan konsep yang hampir mirip tapi berbeda nama (business unionism).
Bagi serikat buruh dengan logika pasar dan fokus utama terhadap anggotanya, maka mereka akan lebih bersifat pragmatis dalam bertindak. Bagi mereka, asalkan itu memperkuat klaim mereka demi memperbaiki kesejahteraan anggotanya, maka sah-sah saja untuk bekerjasama dengan pemerintah maupun pengusaha. Strategi seperti ini pun yang sering dilakukan oleh ILO sebagai bagian dari agensi PBB dan selalu berpatokan pada kedamaian industrial (industrial peace) untuk menyongsong pertumbuhan ekonomi. Prioritas utama mereka akan kepada anggota yang semuanya adalah buruh dan menyasar kepada immediate needs dari buruh. Sehingga, setiap tuntutannya relatif hanya yang berhubungan dengan hak-hak normatif buruh dan jarang untuk membahas tuntutan lain yang lebih luas.
Janji-janji yang diungkapkan oleh Presiden Prabowo di Monas bisa dilihat sangatlah bombastis, luar biasa, dan hampir sukar dipercaya. Tidak bisa dipungkiri bahwa janji tersebut bisa diucapkan karena adanya peran-peran serikat buruh yang ada di Monas. Keempat pemimpin serikat buruh tersebut sampai saat ini masih melakukan perannya untuk benar-benar berusaha menyejahterakan anggotanya dan secara tidak langsung kepada seluruh elemen buruh yang ada di Indonesia. Bayangkan saja, UU Perlindungan PRT yang sudah berpuluh tahun diperjuangkan, telah dijanjikan untuk disahkan maksimal 3 bulan oleh DPR. Belum pernah kita mendapatkan komitmen seperti ini sebelumnya. Belum lagi, janji penghapusan outsourcing yang meskipun masih banyak terms and conditions-nya telah memberikan gemuruh tepuk tangan dari para peserta May Day 2025 di Monas.
Bagaimana dengan mereka yang di depan Gedung DPR? Bukan berarti mereka salah karena tidak menghasilkan janji apapun dari pemerintah. Bahkan, api perjuangan yang terus mereka kobarkan sepanjang hari, bulan, tahun, dan dekade ini harus kita rawat bersama, karena melalui mereka juga-lah buruh dapat menekan pemerintah untuk memberikan janji-janji seperti yang disebutkan di Monas. Perjuangan mereka untuk melawan imperialisme, feodalisme, kapitalis birokrat; kapitalisme, oligarki dan militerisme merupakan esensi dari perjuangan kelas (Class Focused) yang juga dituliskan oleh Hyman di bukunya. Antagonisasi kelas buruh dengan kelas pemodal yang hampir selalu bekerja sama dengan kelas penguasa menjadi fokus sentral dalam perjuangan mereka. Maka tidak heran jika serikat buruh dengan logika ini lebih mudah untuk bekerja sama dengan elemen masyarakat lainnya yang juga dianggap tertindas serta menggunakan narasi yang lebih menitikberatkan pada reformasi sosial untuk mencabut akar-akar kapitalisme yang sudah mengurat di Indonesia.
Serikat buruh dengan logika kelas juga cenderung untuk menggunakan strategi aksi langsung (direct action) untuk menekan atau memberikan agitasi kepada kelas pemodal dan kelas penguasa, seperti long-march, demonstrasi, mogok kerja, dan lain-lainnya. Berbeda dengan serikat buruh yang condong ke logika pasar, serikat buruh dengan logika kelas akan cenderung memiliki ideologisasi dan edukasi ke anggotanya yang lebih kuat. Sehingga, tidak heran jika yang ada di depan Gedung DPR akan lebih militan dibandingkan yang ada di Monas. Kita bisa melihat beberapa contoh serikat buruh yang memiliki logika seperti ini di Perancis, Italia, Korea Selatan, Polandia, dan Afrika Selatan, atau kecenderungan ada di negara yang memiliki sejarah otoritarianisme ataupun fasisme.
Visi dan doktrin ideologi adalah hal utama yang selalu ditekankan oleh serikat buruh dengan logika kelas. Meskipun jika dalam praktiknya mereka harus mengikuti skema institusional yang sudah ditetapkan oleh pemerintah, hal tersebut bagi mereka tidak berarti mereka mengembik kepada pemerintah. Di Indonesia, logika kelas merupakan pengejawantahan dari sila kelima dari Pancasila, yaitu untuk mewujudkan “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Bagi mereka, perlawanan kepada pemerintah merupakan sebuah upaya sebagai pengingat bahwa kondisi sosial yang sekarang kita hadapi masih jauh dari kata adil.
Selain dari logika ideologi organisasi, kita juga perlu melihat bagaimana peran pemimpin serikat buruh dalam membentuk polarisasi ini. Beberapa pemimpin serikat buruh yang saya ajak interaksi memang sudah memiliki perasaan tidak suka ataupun tidak percaya dengan beberapa pemimpin lainnya. Baik itu terjadi akibat persaingan historis yang ada di lapangan terkait perekrutan anggota, ataupun yang lebih mendalam akibat perbedaan logika organisasi. Ada juga pemimpin buruh yang memang secara personal sulit untuk mengalah dengan pemimpin lain, akibat dari perasaan bahwa organisasi yang dipimpinnya memiliki kekuatan yang besar.
Perasaan tersebut akan cenderung untuk menimbulkan bibit-bibit penggolongan us vs them di dalam pergerakan buruh. Contohnya, anggapan bahwa yang berada di Monas adalah tindakan kooptasi gerakan buruh oleh pemerintah, yang di Gedung DPR adalah yang murni berjuang untuk buruh. Atau, yang di Monas yang benar-benar berjuang demi kesejahteraan buruh, yang di Gedung DPR tuntutannya tidak jelas dan tidak ada hasilnya. Kecenderungan untuk melakukan “demonisasi” gerakan buruh lainnya ini akhirnya memperkuat narasi us vs them dan pada akhirnya membuat jurang yang makin dalam antara kedua kutub.
Apakah Kita Tidak Bisa Saling Berangkulan? Toh, Kembali Ke Rumah Sama-Sama Masih Menjadi Buruh
Sejak berakhirnya Orde Baru, serikat buruh di Indonesia sudah dianggap lemah oleh banyak peneliti dengan adanya fragmentasi yang menyebabkan adanya ribuan organisasi. Akan tetapi, jika kita melihat secara pergerakan buruh maka May Day 2025 menunjukkan bahwa saat ini telah berubah menjadi polarisasi atau 2 kutub saja. Mungkin kondisi ini menjadi lebih berbahaya dibandingkan fragmentasi yang dianggap tidak memiliki gravitasi terhadap sisi manapun. Adanya 2 kutub menjadikan salah satu pihak lebih mudah mengidentifikasi yang mereka anggap siapa kawan dan siapa lawan. Pada akhirnya, bukan hanya akan sulit bekerjasama, tetapi malah akan saling menjatuhkan satu sama lain.
Sudah lama kita mendambakan adanya gerakan buruh yang bersatu. Munculnya kembali Partai Buruh dalam kontestasi Pemilihan Umum 2024 setelah absen dalam 2 pemilu sebelumnya dapat dianggap sebagai suatu upaya untuk akhirnya menyatukan berbagai elemen gerakan buruh untuk berada di dalam sistem demokrasi dan mengubah Indonesia menuju Negara Sejahtera (welfare state). Meskipun, kenyataannya masih jauh panggang dari api. Hasil yang tidak sesuai harapan dan tidak kompaknya gerakan buruh dalam mendukung Partai Buruh ini menimbulkan pertanyaan besar terhadap gerakan buruh di Indonesia dan kemampuannya untuk bersatu, bersolidaritas, ataupun bertindak secara kolektif.
Pada awal pembentukannya, saya sedikit ragu bahwa partai tersebut dapat bertahan lama. Mengingat secara historis banyak perpecahan partai atau serikat buruh terjadi setelah kekalahan atau ketidaksepahaman yang ada di dalam internal organisasi. Untungnya, keberadaan Kompolnas dan KPBI di dalam partai tersebut sampai saat ini membuat analisis saya salah. Bagi saya, kedua organisasi tersebut merupakan sebuah “jembatan” yang dibutuhkan untuk menyambungkan logika kelas dengan strategi pragmatis dalam politik praktis yang diusung oleh serikat buruh dengan logika pasar.
Hal yang sama juga saya rasakan dengan gerakan buruh secara umum di Indonesia. Dibutuhkan lebih banyak “jembatan” baik itu yang dibuat langsung oleh salah satu kutub ataupun secara personal dari pemimpin buruh, anggota serikat buruh, ataupun kita yang menjadi simpatisan gerakan buruh. Tidak ada yang bisa mengubah nasib kita kecuali kita sendiri.
Saya berharap bahwa May Day 2025 bukanlah akhir dari impian kita untuk menyatukan gerakan buruh dan analisis saya ini hanyalah overthinking saja. Siapa tahu, polarisasi yang saya takutkan akan semakin memperdalam jurang pemisah, justru malah membuka mata banyak orang bahwa kita tidak perlu menegasikan perjuangan salah satu pihak. Bahwa janji yang diberikan Presiden Prabowo di Monas harus kita kawal terus menerus melalui lobbying ataupun aksi massa yang secara konsisten dilakukan. Bahwa ketika salah satu dari kita lupa dengan janji buruh sejahtera, kita bisa saling mengingatkan untuk kembali ke jalan yang benar. Jangan sampai perbedaan yang ada mengaburkan fakta bahwa saat kita semua kembali ke rumah, kita semua adalah buruh yang masih berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk keluarga kita di rumah.
Saya kembali melihat pesan yang dikirimkan oleh kawan saya ketika bertanya apakah saya ke Monas atau Gedung DPR. Ingin sekali saya berdiskusi tentang tulisan ini dan bagaimana pendapat kawan tersebut. Saya takut, apa yang saya tulis ini hanya merupakan overthinking saya lagi. Semoga saja kita bisa saling belajar dan melihat secara objektif apa yang baik untuk perjuangan menyejahterakan buruh di Indonesia. Karena sejujurnya, sudah lama kita saling terbentur dan sudah saatnya bagi kita untuk mulai terbentuk.