Rabu, 18 Desember 2024, di Hadapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta, Septia Dwi Pertiwi membacakan pledoi sebagai pembelaan atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Septia adalah buruh perempuan yang dikriminalisasi oleh mantan bosnya, Jhon LBF atas tuduhan pencemaran nama baik. Septia dituntut satu tahun penjara dan denda Rp.50 juta. Dalam pledoinya Septia menegaskan komentarnya di media sosial terkait pelanggaran ketenagakerjaan di Hive Five adalah apa yang dialaminya selama ia bekerja. Berikut adalah pledoi yang dibacakan Septia di hadapan Majelis Hakim.
Selamat siang, salam sejahtera untuk semuanya.
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Majelis Hakim yang saya hormati, izinkan saya menjelaskan kejadian sebelum kriminalisasi ini terjadi terhadap saya. 21 bulan lamanya saya bekerja di PT Lima Sekawan Indonesia atau Hive Five, terhitung dari Januari 2021 sampai Oktober 2022. Pada saat itu, saya merupakan buruh terlama kedua dari seluruh buruh. buruh terlama pertama sudah resign di November 2022 dengan masa kerja 24 bulan. Di Divisi Marketing, saya adalah buruh terlama.
Selama 21 bulan, sangat sering saya melihat dan mendengar hal-hal yang menyakitkan hati. Walaupun terdapat ruangan atasan yang bisa digunakan untuk menutupi amarah itu, nyatanya ruangan terbuka, kubikel kantor buruh bekerja terkesan lebih nyaman digunakan untuk meluapkan amarah atasan kepada buruhnya, sampai-sampai buruh lain yang tidak tahu menahu terpaksa menjadi tahu. Tidak heran jika saya hampir mengetahui semua apa yang terjadi di sana, walaupun saya tidak pernah ingin tahu, tapi semua terjadi sangat transparan.
Apa yang terjadi dalam 21 bulan tersebut, yang saya lihat dan dengar lebih menyakitkan dari apa yang saya jelaskan di dalam pengadilan ini. Pemecatan mendadak tanpa adanya peringatan membuat saya bagai bekerja di ujung jurang. Setiap hari, saya selalu mempersiapkan diri jika sewaktu-waktu mendapatkan giliran akan dipecat. Selain itu, saya harus mempersiapkan mental jika gaji saya dipotong tanpa alasan yang jelas. Bahkan, akibat kesalahan orang lain-pun saya terkena dampak pemotongan gaji. Hal tersebut membuat saya merasa tidak akan pernah terhindar dari pemotongan gaji.
Pemecatan dan pemotongan gaji itu membuat mantan-mantan buruh sangat trauma. Hal itu sangat menyakitkan bagi kami. Tidak sedikit yang keluar dari sana dalam keadaan psikisnya terganggu dan butuh pertolongan mental agar dapat kembali hidup normal. Orang-orang yang tidak tahu dan paham akan kejadian tersebut hanya bisa menilai mental kami belum kuat. Tetapi, setelah kami keluar dari sana dan bekerja di perusahaan lain, kami baru menyadari jika apa yang pernah terjadi di sana sangat tidak pantas untuk kami rasakan.
Tidak bisanya menyuarakan apa yang kami rasakan di tempat kerja tersebut pun sangat terlihat jelas ketika Pak Henry menanggapi buruh yang dianggap berbuat kesalahan. Ketika buruh tersebut mencoba untuk menjelaskan bahwa apa yang dituduhkan Pak Henry tidak benar, bukannya didengarkan, buruh tersebut malah dipecat. Penjelasan yang dilakukan buruh selalu dianggap membantah bagi Pak Henry, dan Pak Henry sangat tidak suka buruh membantah.
Saat itu saya sedang membuka Twitter. Kebetulan, tweet dari akun menfess dengan nama pengguna @askrlfess muncul di beranda saya. Apa yang saya reply atau komentari dari tweet akun menfess tersebut sama sekali tidak ada tujuan untuk menyakiti. Saya tidak bermaksud untuk mencemarkan nama baik siapapun. Apa yang saya lakukan hanya berkomentar selayaknya yang dilakukan oleh ribuan pengguna Twitter lain terhadap tweet tersebut. Saya pun selalu bertanya-tanya sampai saat ini, mengapa dari ribuan akun yang mengomentari, hanya saya satu-satunya yang dilaporkan. Padahal media sosial adalah sarana atau alat informasi, komunikasi dan interaksi dengan publik luas. Ada pertukaran informasi, bentuk informasi berupa ekspresi, gambar, tulisan, gambar bergerak, suara atau kombinasi atas semuanya. Tidak ada larangan bagi setiap individu untuk mengeluarkan berpendapat dan berekspresi.
Majelis hakim yang Saya hormati, saya ingin bertanya, apakah bungkam dan menutup mata atas apa yang terjadi, lebih baik bagi rakyat kecil seperti saya? Daripada bersuara untuk perubahan yang lebih baik tapi justru dikriminalisasi? Jika saya dianggap bersalah hanya karena melukai hati satu orang saja, maka bagaimana kepada orang tersebut yang telah menyakiti hati dan merusak mental banyak orang yang merupakan para buruh di perusahaannya yang mulia? Setidaknya, setelah ini yang saya harapkan agar tidak ada lagi buruh yang didzolimi oleh perusahaan, serta membangkitkan semangat kepada buruh perempuan untuk bangkit dari penindasan.
Majelis hakim yang saya hormati. Dalam tuntutannya, jaksa menyatakan bahwa hal yang memberatkan saya adalah karena saya tidak menyesali perbuatan. Mengenai hal tersebut, saya sempat berfikir untuk menyesali perbuatan yang dituduhkan Jaksa Penuntut Umum. Akan tetapi, setelah saya mengingat apa yang saya reply dari tweet tersebut, sama sekali tidak ada yang salah. Tidak ada unsur dari tweet saya yang dapat membahayakan seseorang. Oleh karena itu saya tidak menyesali perbuatan sebagaimana yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum kepada saya. Seperti yang tertulis didalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Majelis hakim yang Mulia, Jaksa juga menganggap apa yang saya lakukan telah menyebabkan kerugian bagi orang lain. Majelis hakim, saya tahu betul bahwa Pak Henry dan Pak Dion Kusuma adalah teman dekat. Pak Dion adalah seorang lawyer. Bagaimana bisa dikesaksiannya Pak Dion mengatakan memutuskan kontrak karena merasa mempunyai beban moral serta kasihan terhadap saya, tapi nyatanya apa yang dilakukan Pak Dion malah memberatkan saya. Saya yakin kerugian secara materiil sebenarnya tidak pernah ada.
Majelis hakim yang saya hormati, Jaksa juga menyebut saya telah meresahkan masyarakat. Saya bertanya-tanya atas pernyataan jaksa ini. Apakah yang dimaksud Jaksa mengenai; respons, simpati, empati, dan dukungan yang diberikan publik terhadap saya karena berani mengungkapkan ketidakadilan yang saya dan rekan-rekan saya alami selama bekerja merupakan wujud dari meresahkan masyarakat?, Apakah karena tweet saya memantik orang-orang lain yang juga mengalami penindasan untuk membuka suara dianggap sebagai meresahkan masyarakat?, Faktanya hingga hari ini banyak masyarakat yang memberikan dukungan kepada saya karena merasa relevan dengan apa yang telah saya alami.
Majelis hakim yang saya hormati, hari ini pelanggaran hak-hak ketenagakerjaan seperti upah murah, lembur tidak dibayar, kerja 24 jam yang merupakan kalimat hiperbola dari tidak ada “hari libur”, tidak ada jaminan kesehatan, merupakan hal yang jamak ditemukan. Pak Henry juga telah melakukan itu sebagaimana terbukti dalam proses pembuktian. Perusahaan-perusahaan lain juga barangkali melakukannya. Itu yang membuat orang-orang terpantik untuk bersuara dan bersimpati terhadap apa yang saya alami.
Majelis Hakim yang Mulia, apa yang telah saya lakukan juga tidak ada untuk kepentingan pribadi. Tidak ada niat untuk mencari untung materiil ataupun imateriil apapun dari tweet yang saya buat. Nyatanya sampai hari ini saya juga tidak mendapatkan keuntungan apapun. Justru beban ekonomi dan psikologis selama proses hukum yang berlarut-larut ini yang saya terima. Bahkan, pernikahan yang telah saya siapkan sejak satu tahun lebih dengan pasangan saya nyaris batal jika tidak ada kemurahan hati yang majelis hakim berikan untuk menjadikan saya tahanan kota. Sebaliknya, hingga detik pledoi ini saya bacakan di hadapan Majelis Hakim yang Saya Hormati, Pak Henry dan Hive Five dapat terus beroperasi, terus meraup keuntungan dan menikmati hidup tanpa konsekuensi hukum apapun atas pelanggaran hak-hak ketenagakerjaan yang saya alami.
Majelis Hakim yang Mulia, saya merupakan seorang anak yatim, tepat seminggu setelah meninggalnya Ayah saya tanggal 29 Desember 2023 saya ditetapkan menjadi tersangka ditanggal 5 Januari 2024, ibaratkan pepatah sudah jatuh tertimpa tangga. Setelah ditetapkan sebagai tersangka saya harus melakukan izin 2 hari dalam seminggu untuk melakukan wajib lapor di Polda selama 8 bulan, Perusahaan mana yang terus menerus memberikan izin ke buruhnya 2 hari dalam seminggu itu yang mulia? Ibu saya sudah tidak dalam usia produktif lagi untuk bekerja. Otomatis saya merupakan tulang punggung keluarga.
Oleh karenanya, saya tidak akan melakukan hal konyol yang membahayakan diri saya dengan melemparkan tuduhan ke publik bila saya tidak memiliki dasar yang kuat. Tidak ada untungnya bagi saya majelis hakim. Panggilan nurani saya sebagai manusia yang berkesempatan untuk menjadi sarjana Psikologi-lah yang menuntun saya untuk berani berbicara. Selama bekerja 21 bulan di Hive Five, saya terus memikirkan kondisi mental rekan-rekan kerja saya.
Niat saya mencuit sangat murni dan jernih, yaitu supaya adanya perubahan yang lebih baik di Hive Five agar buruh yang masih aktif bekerja tidak lagi merasakan apa yang saya dan mantan-mantan buruh lainnya pernah rasakan. Supaya tidak ada lagi buruh yang mengalami pelanggaran hak ketenagakerjaan dan harus menderita tekanan mental. Terlebih lagi, jika ditimbang-timbang berdasarkan bukti-bukti yang terungkap selama persidangan, bukankah justru Pak Henry yang telah meresahkan para mantan buruhnya sehingga mengalami beban psikologis?
Majelis Hakim yang Mulia, saya ingat betul, saat saya membalas komentar dari akun menfess tersebut, ada buruh yang kami saling kenal membuat video klarifikasi seakan-akan apa yang saya tulis tidak benar, padahal kesalahan ia saat bekerja pernah menjadi penyebab gaji saya dipotong. Tetapi beberapa bulan kemudian setelah video itu dibuat hanya untuk membela atasannya, ia pun mengundurkan diri karena merasa tidak diadili oleh atasan yang pernah ia bela. Ia, Pak Henry serta Pak Sabar mengatakan saya pernah menerima gaji 20 sampai 30 juta, tetapi bukti yang tidak bisa mengelak seperti mutasi payroll dari Bank BCA dan Bank BNI tidak pernah ada nominal tersebut yang Mulia. Serta tidak adanya buruh yang kami saling kenal sebagai saksi memberatkan dipersidangan ini membuat saya semakin yakin kriminalisasi yang terjadi kepada saya hanya untuk membungkam buruh yang bersuara.
Di dalam persidangan ini saya memang diadili oleh Bapak-Bapak Hakim, namun jangan lupa proses peradilan ini pun diawasi oleh publik, tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di seantero Indonesia, bahkan oleh dunia Internasional. Saat ini ada rentetan peristiwa-peristiwa politik hukum yang merobohkan kepentingan kepercayaan warga terhadap institusi hukum. Apabila Majelis Hakim yang Mulia memutuskan untuk menjebloskan saya ke penjara, apa yang akan dipikirkan rakyat cilik lainnya yang merasa dirinya dilindungi oleh hak asasi manusia dan konstitusi tetapi malah dikriminalisasi di negara sendiri?
Lebih dari itu apakah hati nurani majelis bisa berhadapan dengan konstitusi yang jelas-jelas menjamin kebebasan berekspresi sebagaimana yang saya lakukan. Sebagai individu, saya memiliki kebebasan dan saya meyakini demikian pula dengan majelis hakim yang ada dihadapan Saya. Saya berharap majelis hakim bisa lurus dan bersih melihat tidak adanya pencemaran nama baik maupun fitnah yang saya lakukan. Saya yakin majelis hakim menjadi pembebas bukan untuk saya saja namun pembebas bagi semua orang yang berani menghentikan praktik penindasan. Saya meyakini bahwa perkara ini bukan perkara tindak pidana. Untuk itu majelis hakim yang mulia, saya memohon untuk dilepas dari dakwaan dan tuntutan terhadap saya dalam perkara ini. Terima kasih.
Jakarta, 18 Desember 2024
Septia Dwi Pertiwi