PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengadopsi Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD/Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas/KHPD), sebagai kovenan yang tidak dapat dipisahkan dari kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak sipil dan politik, pada 13 Desember 2006. Dari 146 negara, Indonesia adalah satu penandatangan CRPD. Pada 2011, Pemerintah Indonesia meratifikasi CRPD melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 mengenai Pengesahan Convention on The Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas). CRPD merupakan penegasan dan pengakuan mengenai hak semua manusia setara sejak lahir. Hak tersebut melekat dan tidak dapat dicabut. Negara wajib dihormati, melindungi, memenuhi dan memajukan hak tersebut.1
Pada 2016, Pemerintah Indonesia menerbitkan UUPD (Undang-Undang Penyandang Disabilitas) Nomor 8 Tahun 2016. UU tersebut menjelaskan definisi disabilitas, ragam disabilitas, jenis-jenis hak yang diakui, kewajiban mempekerjakan 1 persen di perusahaan swasta dan 2 persen di lembaga pemerintah dan perusahaan negara. dserta menetapkan mekanisme reward and punishment bagi yang melaksanakan dan melanggar hak tersebut. UUPD menetapkan 22 hak dasar penyandang disabilitas, 4 hak perempuan disabilitas, dan 7 hak anak dengan disabilitas.2
Setelah dikeluarkan UU Penyandang Disabilitas terdapat 13 peraturan pelaksana berupa peraturan presiden dan peraturan pemerintah. Di antaranya adalah kewajiban pembentukan ULD (Unit Layanan Disabilitas) bidang ketenagakerjaan dan pembentukan KND (Komisi Nasional Disabilitas). Di tingkat provinsi maupun kota dan kabupaten, pemerintah daerah mengeluarkan peraturan yang mengakui keberadaan Penyandang disabilitas. Terdapat 12 provinsi yang telah mengeluarkan perda mengenai disabilitas (Tempo.co, 21 Agustus 2019). Dari 38 provinsi, hanya 28 provinsi, 46 Kota dan 117 Kabupaten, yang telah membentuk ULD.
Sejak 2015, BPS (Badan Pusat Statistik) membuat kategori khusus mengenai perkembangan hak pekerjaan Penyandang Disabilitas berdasarkan konsep Washington Group. Menurut laporan BPS, per 2023, jumlah Penyandang Disabilitas mencapai 22,97 juta jiwa atau 8,5 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Angka tersebut meningkat dari periode 2015 yang mencapai 21,84 juta jiwa. Dari total Penyandang Disabilitas, sekitar 17 juta orang merupakan usia produktif.
Dengan mengukur kewajiban mempekerjakan 1 persen di perusahaan swasta dan 2 persen di lembaga dan perusahaan negara semestinya terdapat 170.000 Penyandang Disabilitas yang bekerja di perusahaan swasta dan 340.000 Penyandang Disabilitas di lembaga negara dan perusahaan negara. Namun hanya 5.825 Penyandang Disabilitas yang bekerja formal dengan rincian 1.271 orang di BUMN dan 4.554 orang di perusahaan swasta. Sisanya, penyandang disabilitas bekerja di sektor informal (Kompas.id, 17/12/2022).
Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) Indikator Pekerjaan Layak di Indonesia 2023 menyebutkan, dari total 139.852.377 penduduk yang bekerja3 sebanyak 0,55 persen atau sebanyak 763.925 orang merupakan Penyandang Disabilitas. Status pekerjaan Penyandang Disabilitas terbagi dalam tujuh kategori yaitu berusaha sendiri (0,85 persen), berusaha dibantu buruh tidak tetap (0,79), berusaha dibantu buruh tetap (0,64 persen), buruh (0,26 persen), pekerja bebas pertanian (0,54 persen), pekerja bebas nonpertanian (0,54 persen), pekerja keluarga/tidak dibayar (0,62 persen). Dibanding periode 2022, kenaikan proporsi tenaga kerja Penyandang Disabilitas terjadi pada status berusaha sendiri dari 0,81 persen ke 0,85 persen, dan status buruh dari 0,23 persen ke 0,26 persen. Data tersebut mengilustrasikan bahwa kebanyakan Penyandang Disabilitas bekerja di sektor informal. Sektor informal merupakan jenis pekerjaan yang rentan, tidak mendapat perlindungan hukum dan tidak dapat mengakses hukum dan berbiaya tinggi. Dalam hal penyediaan jaminan sosial ketenagakerjaan maupun kesehatan misalnya, buruh informal masuk dalam kategori BPU (Bukan Penerima Upah) yang harus membayar mandiri jaminan sosialnya.
Perempuan, Penyandang Disabilitas dan Kebijakan Pasar Kerja Fleksibel
Mm, perempuan Penyandang Disabilitas netra lulus perekrutan lowongan kerja di salah satu perusahaan milik negara. Ketika menandatangani perjanjian kerja, pekerjaannya dialihkan ke perusahaan lain dengan status perjanjian kerja waktu tertentu. Perusahaan tersebut dikenal sebagai anak perusahaan BUMN, sebagai pemborong pekerjaan dari perusahaan BUMN. Mm, menolak pengalihan pekerjaan tersebut karena sejak awal mendaftar melalui perusahaan negara bukan perusahaan lain.4
Ada pula kasus buruh yang dipecat karena menjadi Penyandang Disabilitas sebab kecelakaan kerja. Giri Pamungkas, bekerja di pabrik pengemasan plastik PT HRI (Hasil Raya Industries) Karawang Jawa Barat diberhentikan setelah kehilangan empat jari kanannya. Giri Pamungkas dijanjikan akan dipekerjakan kembali oleh pemilik perusahaan setelah sembuh dari kecelakaan.
Setelah menunggu dua tahun, janji untuk dipekerjakan kembali tidak kunjung datang. Selama dua tahun itu pula ia mencari pekerjaan baru, namun pabrik-pabrik di Karawang hanya menginginkan calon tenaga kerja muda dan fisik ‘normal’. Akhirnya, Giri Pamungkas memberanikan diri menuntut janji perusahaan yang akan mempekerjakannya. Dengan menggunakan media sosial, ia berjuang sendirian. Selama kasus berlangsung, nyaris tidak ada respons dari serikat buruh. Padahal Karawang dikenal dengan puluhan federasi serikat buruh yang aktif memperjuangkan hak-hak buruh.
Kampanye Giri Pamungkas berhasil menarik perhatian media massa. Kasusnya viral dan mendapat peliputan media massa daring nasional. Manajemen perusahaan pun merespons kasus Giri Pamungkas dengan berdalih bahwa pemecatan terhadap Giri Pamungkas bukan karena kecelakaan dan disfungsi anggota tubuhnya, tapi karena berakhirnya perjanjian kerja (Detik.com, 17 Februari 2022). Bupati Karawang pun turun tangan. Kasus tersebut berakhir dengan pembayaran kompensasi dari perusahaan kepada Giri Pamungkas. Giri Pamungkas pun ditawarkan bekerja di salah satu perusahaan milik pemda Karawang (Detik.com, 7 Maret 2022). Namun, buruh dipecat setelah kecelakaan kerja atau setelah dinyatakan ‘sakit berkepanjangan’ merupakan gejala umum dalam praktik perburuhan di industri manufaktur.5
Kasus di atas memberikan gambaran bahwa Penyandang Disabilitas rentan mengalami diskriminasi ketika melamar kerja, mendapatkan pelecehan ketika bekerja dan mudah dipecat. Penelitian Nurhajati dan Arifin (2023) menyebutkan, 5 dari 9 Penyandang Disabilitas mengalami kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Bentuk kekerasan merentang dari diskriminasi kesempatan kerja, pelecehan seksual, dipecat sepihak atau dipaksa mengundurkan diri karena dianggap menjadi beban keuangan perusahaan. Selain itu, ketika bekerja Penyandang Disabilitas tidak mendapat akomodasi yang layak, tidak mendapatkan kesempatan pengembangan karir dan pelatihan kerja, hingga tidak didaftarkan dalam program BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Ketenagakerjaan dan Kesehatan. Penyandang Disabilitas didiskriminasikan karena mereka Penyandang Disabilitas. Lapisan diskriminasi dan pelecehan akan bertambah jika Penyandangan Disabilitas adalah perempuan.
Diskriminasi terhadap Penyandang Disabilitas secara langsung telah bertentangan dengan rencana pemerintah untuk membuka lapangan kerja. Dalam sepuluh tahun terakhir, Pemerintah Indonesia menata perekonomian Indonesia agar lebih ramah investasi. Menurut Kementerian Investasi/BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), daya saing investasi Indonesia naik 7 peringkat dari tahun lalu. Indonesia pun menjadi tiga besar tujuan investasi di Asia Tenggara di bawah Singapura dan Thailand (bkpm.go.id, 27 Juni 2024).
Salah satu karakter lowongan kerja di sektor formal adalah kualifikasi lowongan kerja yang tidak inklusif. Lembaga pemerintah, BUMN maupun perusahaan swasta membuat kualifikasi lowongan kerja yang cenderung abelisme, biased-gender dan ageisme,6dengan mencantumkan: ‘sehat jasmani dan rohani’, ‘berpenampilan menarik’, ‘usia maksimal 35 tahun’. Salah satu manajer HRD pabrik sepatu dalam penelitian ini mengatakan, kualifikasi pekerjaan terbuka untuk Penyandang Disabilitas dan untuk laki-laki. Namun, ia mengakui bahwa pengumuman lowongan kerja tidak menyertakan kalimat pengakuan bahwa pabriknya menerima calon tenaga kerja Penyandang Disabilitas dan formasi khusus Penyandang Disabilitas dan untuk semua jenis kelamin.
Hambatan lain untuk mendapatkan pekerjaan dan upah layak serta perlakuan yang adil di dunia kerja muncul pula dari kebijakan pasar kerja fleksibel (labour market flexibility). Konsep pasar kerja fleksibel (LMF/Labour Market Flexibility) dipromosikan oleh Bank Dunia dan IMF (International Monetary Fund) sejak 1980-an di Asia Tenggara. Konsep utama pasar kerja fleksibel adalah membebaskan pasar kerja dari intervensi nonekonomi dengan memberikan keleluasan terhadap aktor-aktor ekonomi mengatur produksi, waktu, dan tempat kerja serta penyediaan tenaga kerja sesuai kebutuhan produksi. Mudah merekrut dan memecat, menjamurnya penyalur tenaga kerja dan menurunnya kesejahteraan buruh merupakan beberapa kata kunci untuk memahami praktik pasar kerja fleksibel (Tjandraningsih dan Nugroho, 2007; Arifin, 2011).
Hak Pekerjaan Layak dan Pasar Kerja Fleksibel
Dengan keluarnya UUPD maka UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dinyatakan tidak berlaku. Di Bagian Kedua Ketenagakerjaan Pasal 67 Perppu (Peraturan Pengganti Undang-Undang) Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023 istilah ‘penyandang cacat’ yang terdapat dalam UU Ketengakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 pun diganti menjadi ‘Penyandang Disabilitas’. Sehingga istilah resmi bukan lagi cacat tapi Penyandang Disabilitas.7 Selain istilah Penyandang Disabilitas, ada pula istilah difabel (different ability), yangdipopulerkan sejak 1995.
Dengan istilah Penyandang Disabilitas dan Difabel maka manusia tidak diperhadapkan dengan sebutan sempurna dan tidak sempurna tapi kemampuan dan kebutuhan yang berbeda-beda. Perubahan terminologi ini merupakan langkah penting untuk mengubah paradigma dari charity model dan medic model menjadi social model dan human rights model. Karena semua orang berpotensi menjadi Penyandang Disabilitas (lihat, Latief, 1999: 40; Russel, 2010; Rosenthal, 2022; Rieser, 2014).
Tabel Perubahan Istilah
Istilah Medical Model
Istilah Social Model
Penyandang Cacat
Penyandang Disabilitas
Tidak valid, cacat, tidak normal
Penyandang Disabilitas
Tuna netra
disabilitas netra, disabilitas rungu
tuna rungu
Disabilitas rungu/Tuli (dieja dengan huruf besar “T” untuk menunjukkan identifikasi sosial dan budaya), pengguna bahasa isyarat Inggris/Amerika, pengguna bahasa isyarat SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia), Penyandang Disabilitas rungu
Dengan kondisi kerja yang buruk maka salah satu faktor yang mendorong tingkat kehancuran tubuh manusia adalah lingkungan kerja yang tidak aman dan bahan kimia berbahaya. Paparan bahan kimia berbahaya dapat menyebabkan buruh dan keluarga buruh menjadi Penyandang Disabilitas fisik dan mental. Karena itu, diskusi mengenai hak-hak Penyandang Disabilitas tidak dapat dilepaskan dari perjuangan menciptakan kesehatan dan keselamatan kerja.8
Data resmi memperlihatkan kondisi kerja yang tidak aman dapat menyebabkan buruh kehilangan pekerjaan karena menjadi Penyandang Disabilitas. Data BP Jamsostek 2021 menyebutkan,9 jumlah orang yang mengalami kecelakaan dan penyakit akibat kerja meningkat dari 210.789 pada 2019 menjadi 234.370 pada 2021. Dari jumlah tersebut, jumlah buruh yang menjadi Penyandang Disabilitas pun meningkat dari 2019 ke 2021; Penyandang Disabilitas sebagian dari 3072 orang ke 3804 orang dan Penyangang Disabilitas fungsi dari 2984 menjadi 4362.
BPJS Ketenagakerjaan pun menyediakan program RTW (Return to Work). RTW merupakan program perawatan pengobatan, rehabilitasi fisik dan psikis, pelatihan vokasi, hingga evaluasi pengembalian bekerja. Pada 2021, dari total korban kecelakaan kerja hanya 1.120 orang yang mendapat RTW. Dari jumlah tersebut hanya 985 orang yang telah kembali bekerja. Artinya, sebanyak 233,385 buruh yang mengalami kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja tidak lagi mendapatkan pekerjaan
Data Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja
Tahun
Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja
Kasus Fatal
2019
210.789
4.007
2020
221.740
3.410
2021
234.370
6.552
Penyandang Disabilitas Akibat Kecelakaan Kerja
Akibat Kecelakaan
Tahun
2021
2020
2019
Cacat Sebagian
3.804
2.605
3.072
Cacat Fungsi
4.362
2.715
2.984
Cacat Total Tetap
28
9
35
Meninggal Dunia
6.552
2.515
3.172
Kasus Sembuh
219.624
82.802
173.572
Jumlah
234.370
90.646
182.835
Catatan: BPJS Ketenagakerjaan menggunakan istilah cacat ketimbang Penyandang Disabilitas.
Serikat Buruh dan Perjuangan Penyandang Disabilitas
Isu Penyandang Disabilitas menjadi bagian dari persoalan yang diadvokasi oleh serikat buruh. Padahal isu Penyandang Disabilitas dapat dikampanyekan dalam dua dimensi, pertama, hak atas pekerjaan yang inklusif. Kedua, mendorong lingkungan kerja yang aman dan inklusif. Ketiga, mendorong kebijakan manajemen untuk memastikan hak Penyandang Disabilitas agar mendapat kepastian kerja.
Dari 80 federasi serikat buruh tingkat nasional, dalam visi misinya disebutkan mengenai perbaikan kondisi kerja, pengupahan yang adil dan kepastian kerja. Namun, tidak satu pun federasi serikat buruh yang mencantumkan program perjuangan hak atas pekerjaan dan upah yang layak bagi Penyandang Disabilitas (Lihat, Mizuno, dkk., 2007). Dari 2007-2024, dalam setiap kesempatan demonstrasi dan pemogokan, tuntutan serikat buruh didominasi oleh pemenuhan hak normatif (Panimbang, tanpa tahun; Majalahsedane.org, 31 Maret 2024). Isu kecelakaan kerja mulai dikampanyekan di tiga tahun terakhir (lihat, Tim Redaksi Sedane, 27 April 2024), tapi dalam konteks jenis pekerjaan dan bahan kimia berbahaya. Padahal organisasi-organisasi Penyandang Disabilitas berharap dapat bekerja sama dengan serikat buruh agar dapat mewujudkan pekerjaan yang layak bagi semua orang.10
Dari empat pengurus federasi serikat buruh tingkat nasional yang kami wawancara, hanya satu serikat buruh yang menyebutkan memiliki perhatian terhadap permasalahan hak Penyandang Disabilitas, meskipun tidak memiliki agenda khusus untuk mengampanyekan hak-hak Penyandang Disabilitas. Keempat federasi serikat buruh tersebut menegaskan bahwa masalah prioritas serikat buruh berkaitan kebebasan berserikat, kontrak dan outsourcing serta upah minimum. Namun, tiga federasi serikat buruh yang kami wawancarai mengakui bahwa masalah Penyandang Disabilitas terutama yang disebabkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja merupakan persoalan yang mereka hadapi sehari-hari. Merek berhadapan dengan pasal ‘sakit berkepanjangan’, yang terdapat dalam UUK Ketenagakerjaan Nomor 13 Pasal 153 juncto Perppu Cipta Kerja Pasal 81.11
Lembaga-lembaga pemerintah masih menggunakan istilah cacat ketimbang Penyandang Disabilitas dan menerbitkan peraturan yang tidak ramah terhadap Penyandang Disabilitas. Misalnya, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) Nomor 25 Tahun 2008 tentang Pedoman Diagnosis dan Penilaian Cacat Karena Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja. Judul peraturan tersebut secara lugas menggunakan istilah cacat.
Permenakertrans 25 merupakan pedoman penilaian kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang dikonversi dalam jumlah kompensasi bukan perlindungan kepastian kerja bagi buruh yang mengalami kecelakaan kerja. Ada pula Peraturan Badan Kepegawaian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Pengadaan Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang masih mencantumkan ‘sehat jasmani dan rohani’ dan ‘tinggi badan’ sebagai salah satu syarat menjadi PNS.
Sepanjang 2016-2021, lembaga negara menyediakan formasi khusus lowongan kerja untuk mempermudah Penyandang Disabilitas melamar kerja. Ternyata, formasi khusus menjadi bentuk baru diskriminasi terhadap Penyandang Disabilitas. Lembaga negara mengartikan bahwa formasi khusus tersebut sebagai satu-satunya kesempatan bagi para Penyandang Disabilitas untuk melamar kerja sehingga menutup kemungkinan Penyandang Disabilitas melamar di formasi umum (Formasi Disabilitas, 2021).
Penelitian lain menyebutkan, FHCI (Forum Human Capital Indonesia), BUMN dan BUMD belum melaksanakan pemenuhan hak-hak Penyandang Disabilitas dalam hal memberikan peluang kerja, tidak memberikan pelatihan keterampilan dan masih mendiskriminasikan para Penyandang Disabilitas (Hidayatullah, 2022; Delfina, dkk., 2022). Mereka beralasan bahwa para Penyandang Disabilitas tidak memiliki kemampuan pekerjaan yang sesuai dengan jenis pekerjaan yang dibutuhkan oleh BUMN dan BUMD.
Di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang, perusahaan swasta enggan mempekerjakan Penyandang Disabilitas dengan alasan keterampilan kerja Penyandang Disabilitas tidak mendukung untuk bekerja (Dewi, 2015). Di Kota Tangerang, dari 7 perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 3000 buruh hanya mempekerjakan 144 buruh Penyandang disabilitas.
No.
Nama Perusahaan
Jumlah (Orang)
1.
Panarub
17
2.
Panca Prima dan Pan Brothers
13
3.
Adhi Chandra
3
4.
Dynaplast
3
5.
Alfaria Trijaya
46
6.
Midi Utama Indonesia
59
7.
BKPSDM
3
Jumlah
144 Orang
Sementara perwakilan APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia), Susanto mengungkapkan bahwa penyediaan akomodasi bagi Penyandang Disabilitas seringkali berbenturan dengan perizinan dan biaya produksi (Mahardika.org, 3 Oktober 2022).
Salah satu perusahaan ritel raksasa, PT Sumber Alfaria Trijaya, membuka kesempatan kepada para Penyandang Disabilitas. PT Sumber Alfaria Trijaya merupakan salah satu perusahaan yang mendapatkan penghargaan dari Kementerian Ketenagakerjaan sebagai perusahaan yang aktif mempekerjakan Penyandang Disabilitas di Indonesia. Namun, jumlahnya buruh Penyandang Disabilitas tidak mencapai 1 persen. Manager perusahaan PT Sumber Alfaria beralasan bahwa buruh Penyandang Disabilitas tidak memenuhi kualifikasi pekerjaan sesuai kebutuhan perusahaan (Khaeruman, April 2021).
Pratiwi, dkk (2023) menyebutkan, tidak terpenuhinya kuota untuk Penyandang Disabilitas akibat tidak diterapkannya sanksi terhadap perusahaan negara, lembaga negara dan perusahaan swasta yang melanggar peraturan tersebut. Tidak diterapkannya sanksi berkaitan dengan pengawas ketenagakerjaan yang tidak maksimal, pelaporan data tenaga kerja Penyandang Disabilitas belum terintegrasi, dan tidak adanya lembaga yang mengawasi pelaksanaan peraturan tersebut.
Musabab pengabaikan hak pekerjaan Penyandang Disabilitas muncul dari situasi yang kompleks, yaitu jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan keterampilan dan latar belakang pendidikan, tidak adanya dukungan sosial, karakter industri yang mengukur tubuh dan mental manusia dari produktivitas produksi dan kebijakan perburuhan fleksibel.
Para Penyandang Disabilitas dimarginalkan, karena karakter industri manufaktur ringan berbasis modal asing bergantung pada kerja-kerja manual dan rentan memindahkan basis industrinya ke negara lain (Lihat, Winters, 1999; Russell, 2010). Lembaga negara enggan menerapkan sanksi terhadap perusahaan swasta, negara dan lembaga pemerintah dengan alasan ‘khawatir investor kabur’ (Arifin dan Ichsan, 2024). Namun, seperti sering diungkapkan oleh para aktivis buruh, pelanggaran terhadap peraturan perundangan oleh perusahaan karena diberikan contoh oleh penyelenggara negara.
Penelitian ini memperlihatkan bahwa para Penyandang Disabilitas yang telah bekerja menghadapi situasi serupa dengan buruh bukan Penyandang Disabilitas. Mereka rentan dipecat, terjebak dalam lingkungan hubungan kerja kontrak terus-menerus, diupah murah, dan dipaksa untuk bekerja melebihi kapasitas. Namun, para Penyandang Disabilitas mengalami diskriminasi lain, yaitu tidak disediakannya akomodasi yang layak. Perempuan Penyandang Disabilitas menghadapi situasi lebih rentan; mereka mengalami diskriminasi sebagai Penyandang Disabilitas dan sebagai perempuan.
Tulisan ini merupakan ringkasan dari hasil penelitian bersama Sask Finlandia, yang berjudul Menuju Human Rights Model:Pemenuhan Hak Pekerjaan dan Upah Layak bagi Penyandang Disabilitas dalam Konteks Pasar Kerja Fleksibel dan Serikat Buruh. TAB. 2024. Hasil penelitian utuh dapat dibaca di sini: https://archive.org/details/202411-gerakan-penyandang-disabilitas-dan-gerakan-buruh. ↩︎
Ragam disabilitas yang diakui oleh UUPD Nomor 8 Tahun 2016, lihat di Lampiran. ↩︎
BPS mengeklaim, terjadi kenaikan jumlah pendudukan bekerja dari 135.296.713 pada 2022 ke 139.852.377 pada 2023. Di saat bersamaan terjadi kenaikan angkatan kerja dari 143,73 juta orang pada 2022 ke 147,71 juta orang pada 2023. ↩︎
Abelisme adalah pandangan yang mendiskriminasikan Penyandang Disabilitas. Ageisme adalah pandangan yang merendahkan seseorang berdasarkan usia. Biased-gender adalah pandangan yang mendiskriminasikan seseorang berdasarkan jenis kelamin. ↩︎
Para pengamat Penyandang Disabilitas menyebut bahwa istilah cacat hanya dipergunakan untuk benda mati atau barang bekas. Mereka pun menyarankan bahwa penulisan Penyandang Disabilitas ditulis dengan huruf kapital ‘P’ dan ‘D’ untuk memperlihatkan penghormatan kepada Penyandang Disabilitas sebagai manusia. ↩︎
Periode 2021 merupakan laporan mutakhir yang disediakan di website resmi BP Jamsostek. Di laporan tersebut, BP Jamsostek menggunakan istilah cacat ketimbang Penyandang Disabilitas.↩︎
Wawancara Mm. Ibid. Salah satu narasumber merasa heran baru mengetahui tentang UUDP. Menurutnya, penting sekali mengintegrasikan UUDP dalam perjuangan buruh. ↩︎
Praktik pungutan liar bagi pelamar kerja telah menjadi rahasia umum di industri manufaktur. Praktik tersebut dilakukan oleh lembaga resmi maupun tidak resmi yang menjadi penyalur tenaga kerja. Besaran pungutan liar tersebut berkisar antara Rp500 ribu hingga Rp15 juta. (lihat, Arifin, 2019) ↩︎
Sekitar Pukul 21.00 malam saya sedang duduk di warung untuk sekedar makan nasi bungkus dan minum kopi. Tidak lama setelah saya menyeruput kopi satu tegukan, saya melihat seorang pria lengkap dengan baju dinas berwarna kuning dan ia duduk tepat di samping saya. Sambil mengangguk ke saya dan menunjuk kursi dengan jempolnya, saya langsung mengangguk dan […]
Pengesahan revisi RUU TNI Nomor 34 Tahun 2004 merupakan ancaman terhadap kebebasan berserikat dan berunding. Kebebasan berserikat dan berunding merupakan pilar utama kaum buruh untuk memperjuangkan kesejahteraan. Meskipun dalam aksi-aksi massa penolakan UU TNI hanya sedikit serikat buruh yang terlibat. Tentu saja, semua orang mengetahui buruh dan serikat buruh sedang disibukkan dengan kasus-kasus pemecatan, yang […]
Kawan saya berseloroh, Tan Malaka tidak hadir dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia karena gak dapat per diem dari partainya. Tentu saja dia bercanda. Karena ingin mengkritik Ornop yang enggan belajar bersama rakyat. Kamu bisa bayangin ga sih. Bayangin saja dulu! Ada warga yang digusur di hari libur atau buruh mengalami kecelakaan kerja di hari libur. Kemudian […]